29 December 2011

Gerimis Akhir Tahun

(1)

Aku suka gerimis. Gerimis membuat udara pengap di kolong jembatan menjadi lumayan. Tapi gerimis di malam Tahun Baru tak pernah membuatku senang. Hujan di malam Tahun Baru hanya membuat orang malas keluar. Tak ada pesta pora di jalanan. Artinya lagi tak ada yang bisa kupungut untuk menyambung hidup.

Gerimis dan angin makin pekat. Kurapatkan sarung yang membalut tubuhku. Dua tahun yang lalu, gerimis turun sama pekatnya, saat hendak kutinggalkan istriku ke Jakarta.

"Tunggulah sebentar. Nanti akan kulunasi semua hutang berobat anak kita," janjiku.
Kau tersenyum. Tapi kabut di matamu tak juga hilang. Malah menelanku di dalamnya.

Saat itu, kau mencoba menahanku sejenak. "Masih hujan, Mas," katamu. Kau berbalik hendak mengambil payung. Namun tersadar, itulah barang terakhir milikmu yang kau jual. Saat itu pula aku berjanji dalam hati, akan kubelikan kau payung baru saat pulang nanti.

Tapi, istriku, berapa janji yang tak bisa kupenuhi. Kau benar, sudah hampir dua tahun aku di ibu kota, tapi uang yang kukumpulkan masih juga tak seberapa. Menggelandang dan memulung hanya untuk tetap jadi manusia. Katamu, Jakarta menelan manusia. Kau benar, Jakarta menelan harapan.

Suara arak-arakan sesekali terdengar di atasku. Masih 4 jam ke penghujung tahun. Gerimis belum juga reda. Samar-samar suara terompet terdengar. Suara klakson bersahutan. Betapa meriah di luar sana. Gerimis membahasahi mataku lalu kurasa nyeri di dadaku.

(2)

Batu, Malang, Jawa Timur
31 Desember 2011

Sedari pagi hape bututku berbunyi terus. Di layar tertera sepuluh panggilan tak terjawab dari satu nama, Mami. Sialan, bila ada maunya, nyonya tua itu perhatian bukan main.

Satu pesan masuk dari nama yang sama: jangan sampai tak datang nanti malam. Akan ada banyak tamu. Banyak yang minta ditemenin.

Ah, aku ingin perei saja malam ini. Mami harusnya tahu, aku tak suka suara terompet. Ia mengingatkan pada suamiku. Pada kehilangan-kehilangan yang kualami. Aku ingin istirahat malam ini. Menemani anakku. Tadi siang, anakku meminta jagung bakar yang ada di alun-alun. Tapi, sungguh, sudah tak ada uang di kantong.

Uang. Mungkin benar kata Mami, nanti malam akan banyak orang berpesta. Lumayan, bisa menyambung hidup dan menambah buat beli obat anakku. Kata dokter, kartu miskin tak bisa buat beli obat anakku.

Langit gelap, gerimis mulai turun. Kutaburi wajahku dengan bedak murahan. Sayup-sayup, jalanan mulai riuh. Ya.. berangkatlah. Berpestalah. Aku tahu kau butuh hiburan. Sedang aku butuh uang. Mampirlah ke tempatku nanti..

Jam sepuluh hujan tak juga reda. Hape bututku berbunyi lagi. Kuabaikan. Mungkin Gusti Allah sedang marah padaku. Tapi bukankah ini Maha Penyayang juga Maha Mengerti??

Di ranjang kulihat anakku sudah tertidur nyenyak. Ah, wajahnya mirip betul dengan ayahnya. kubersihkan wajahku, lalu kudekap ia sampai aku tertidur.



_______________________

Selamat Tahun Baru, kawan.
Saya doakan semoga tahun depan menjadi lebih baik.

26 December 2011

Cara Mengetahui Seseorang Masih Mencintai Kita Atau Tidak

"Bagaimana mengetahui seseorang itu masih mencintai kita dan masih setia," tanya seorang remaja pada dirinya sendiri.

Berkali-kali pertanyaan itu diajukan dalam batok kepalanya. Namun tak pernah ia mendapatkan jawaban.

“Lihat matanya,” jawab sebuah suara suatu kali, di kamarnya. “Mata adalah jendela jiwa. Mata tak pernah berbohong, ia tulus. Bahkan pada mata yang buta sekalipun,” lanjut suara itu lagi.

“Adakah cara lain. Aku tak bisa dengan cara itu. Bahkan menatap matanya aku tak sanggup,” jawab si remaja. Suara itu tak menjawab. Lalu diabaikan jawaban dari suara yang entah dari mana itu.

Setiap hari, si remaja terbangun dengan pertanyaan yang sama dalam kepalanya. Setiap hari pertanyaan itu berputar dalam kepalanya. Sampai pada suatu malam, seorang lelaki rupawan meloncat keluar dari pikirannya. Si lelaki berbadan tegap, mengenakan pakaian kerajaan dengan mahkota indah, berdiri di hadapannya.

”Lupakan pertanyaan yang tak ada jawabannya itu. Akulah korban pertanyaan tersebut,” kata si lelaki yang tak lain adalah Sri Rama.

“Sudah lama manusia menayakan hal itu. Jika manusia bisa menjawab pertanyaan tersebut takkan kubiarkan Sinta melompat ke dalam kobaran api,” kata Rama.

“Pertanyaan tersebut sudah kuajukan ke Dewata, tak ada satupun yang menjawab.”

Ah, Rama yang kasihan, pikir si Remaja. Setelah berjuang mati-matian membebaskan Sinta dari sekapan Rahwana, ia hanya mendapatkan keraguan. Ia tak yakin apakah perempuan yang direbutnya adalah seorang yang setia?

“Itu karena egomu. Egomu menutup matamu,” tukas si remaja.

“Ah.. kau bocah ingusan, kau tak mengetahui rasanya mencintai yang sangat. Kau tak tahu rasanya menjadi aku.”

Lalu, tiba-tiba, meloncat lagi seseorang dari kepala si remaja. Kali ini perempuan cantik, dengan tubuhnya yang harum semerbak. Sang perempuan mengenakan kebaya dengan bahu terbuka. Dari dandanannya pastilah ia seorang permaisuri raja Jawa atau paling tidak ia pastilah seorang putri raja.

“Aku permaisuri. Akulah korban pertanyaan tersebut,” kata si permaisuri.

Samar-samar si remaja teringat legenda yang diceritakan gurunya dulu. Legenda dari daerah Jawa paling timur. Inilah mungkin permaisuri yang didakwa rajanya berselingkuh dengan seorang patih kerajaan.

“Iya, akulah permaisuri yang tidak dipercaya raja, lalu dititahkannya aku mengakhiri hidupku,” ucap si permaisuri.

Iya, tak salah lagi. Inilah legenda Banyuwangi, pikir si remaja. Sekarang ia bisa melihat detik-detik saat sang permasuri menenggak racun lalu menceburkan diri ke telaga. Masih teringat ia dialog terahhir legenda ini.

"Kakanda, jika nanti telaga ini berubah menjadi harum kau akan mengetahui bahwa aku masih setia dan mencintaimu. Kau akan menyesal karena tak memercayai cinta dan kesetiaanku,” ucap permaisuri.

“Jadi, bagaimana mengetahui seseorang itu masih mencintai kita dan masih setia," tanya si remaja pada permaisuri.

“Tidak. Kau tak layak mempertanyakan itu pada orang yang kau cintai.”

Si remaja tak puas dengan jawaban permaisuri. Lalu diusirnya Rama dan Permaisuri dari kamarnya.

Kamar sunyi kembali. Namun pertanyaan itu masih mendengung di telinganya. Bagaimana mengetahui seseorang masih mencintai kita dan masih setia? Kali ini, pertanyaannya hanya berputar di dalam tempurung kepalanya.

19 December 2011

Seekor Nyamuk Yang Merindu Tuannya

Seandainya tak ada seorang perempuanpun yang merindu padaku, aku sepertinya masih cukup beruntung. Setidaknya masih ada nyamuk betina yang setia menungguku pulang saat bekerja seharian.

Kau tak percaya, memang seperti itulah kenyataannya. Nyamuk-nyamuk di kamar kos-kosanku itu selalu setia menanti kedatanganku.
Buktinya, begitu aku membuka pintu kamar, mereka langsung menghambur ke arahku dan mencoba memelukku.

Aku menganggap hal itu sebagai ungkapan sambutan. Luapan rasa kangen setelah seharian kutinggal di kosan.

Nah, kau tau, sebelum menggigitku, mereka biasanya memutar di atas kepala atau bermanuver dekat telinga sehingga dengung sayapnya cukup terdengar olehku. Setelah itu, clep!! Moncong mereka menancap. Di wajah atau di lengan. Memberi kecupan.

Lihat, betapa rindu mereka padaku. Padahal aku sama sekali belum mandi. Badanku masih bercampur keringat. Tapi mereka tak peduli. Mereka lansung mengecupku.

Kadang aku merasa kasihan pada nyamuk-nyamuk di kamarku. Mereka pasti kesepian. Sejak pagi sudah aku tinggalkan mereka sendirian. Seharian pekerjaan mereka pasti hanya menungguku. Akulah mungkin satu-satunya sahabat dan sumber makanan mereka satu-satunya.

Beruntung, populasi mereka di kamarku sudah tak banyak. Mungkin cuma lima atau enam. Semakin ke sini populasi mereka terus berkurang karena kadang aku memburu mereka karena berani mengganggu saat aku membaca. Tapi anehnya mereka tak pernah punah.

Padahal kamarku sudah terlindung kawat nyamuk, sehingga mereka tak bisa masuk keluar kamar seenaknya. Perhitunganku, jika tidak ada tambahan nyamuk dari luar kamar, harusnya mereka sudah habis sedari berbulan yang lalu. Tapi mereka masih saja eksis meski aku terus memburunya.

Kalau dipikir, memang kasihan mereka. Hanya untuk bisa bertahan hidup mereka harus bertaruh nyawa.

Seharusnya kalau aku lebih tekun dan lebih lama memperhatikan mereka mungkin aku bisa belajar bahasa nyamuk seperti nabi Sulaiman mengerti bahasa semut. Lalu aku bisa bertanya apa maunya mereka.

Setelah mengerti keinginan mereka, aku mungkin tak akan memburu mereka asalkan jangan menggangguku saat membaca. Aku mungkin akan memberi kelonggaran: silahkan menggigitku asal saat aku terditur dan jangan sampai membuat gatal.

Malah, jika mereka pintar, mungkin aku akan mengajak mereka ngobrol. Mengobrol tentang dia, misalnya. Dia yang kadang terasa sangat dekat, akrab. Namun kadang terasa sangat jauh dan asing.

Saat dekat aku bisa seperti anak kecil di depannya. Berceloteh tentang apapun. Namun saat jauh, aku merasa seorang yang asing di hadapannya. Bahkan untuk mengatakan 'hai' pun aku tak berani. Setiap kali dia terasa jauh, selalu ada yang runtuh di hatiku.

Iya, mungkin seharusnya aku lebih sering memerhatikannya. Selalu menghubunginya. Tapi, ia seorang yang mandiri. Terus-terusan menghubunginya pasti akan mengganggunya. Entahlah.

Apakah perempuan memang seperti itu? Membingungkan? Atau cuma aku yang tak bisa memahaminya. Yah, mungkin seperti itu, aku belum mengenalnya. Bahkan sampai sekarang aku belum berani menatap matanya.

Ah, nyamuk. Kau mendengarku? Kau yang hinggap di kaos yang menggantung, kau pergilah ke tempatnya. Tolong jaga dia. Jangan sampai ada seekor nyamukpun yang menggigitnya.

Si nyamuk entah mengerti entah tidak, dia terbang keluar lewat celah pintu. Angin di luar bertiup tak henti-hentinya.

09 December 2011

Hercules dan Lelaki Yang Membakar Dirinya Sendiri



Hercules yang gagah perkasa akhirnya memilih menghabisi dirinya dengan membakar dirinya sendiri. Putra tersayang Zeus itu tak sanggup lagi menanggung penderitaan yang dialaminya.

Hercules tak menyangka jubah pengorbanan yang dikenakannya saat akan merayakan kemenangan, setelah menundukkan Eurystus, malah menjadi akhir dari petualangannya.

Racun dari darah Nessos pada jubahnya sungguh sangat mematikan. Setiap senti dari jubah yang dikenakan Hercules seperti menusukkan belati sampai ke sumsum tulangnya. Semakin kuat Hercules mencoba melepaskan jubahnya, semakin dalam cengkraman belati menghujam tubuhnya.

Hercules putus asa, lalu memilih hangus menjadi abu.

“Apakah lelaki yang ini juga membakar dirinya sendiri karena penderitaan yang sangat, Guru?” Sebuah suara merdu memotong Sang Guru saat sedang menceritakan akhir kisah Hercules.

Si pemilik suara merdu, seorang gadis kecil, bertanya sambil meyodorkan sobekan koran yang didapatnya dari alas donat yang dibelinya tadi pagi.

Sang Guru tak siap mendapat pertanyaan dari muridnya itu. Ia lalu membaca potongan koran yang disodorkan padanya:

Diduga Stress, Seorang Lelaki Membakar Diri Di Depan Istana.

“Iya, mungkin saja,” jawab sang Guru, ragu.

“Apa stress itu, Guru,” kembali si gadis bertanya. Kata ’stress’ sangat asing di usianya yang masih belia.

“Kenapa lelaki itu sebegitu berani membakar dirinya sendiri? Apakah dia tidak tahu api itu panas? Tidak tahukah manusia tidak meleleh saat dijilat api, tapi terbakar, Guru?”

Sang Guru mencoba mengendapkan pertanyaan murid kesayangannya itu.

“Apakah dia ingin meniru Ibrahim, Guru? Apakah dia ingin memanggil api yang dulu pernah memanggang Ibrahim namun api tak bisa menyentuh kulit Ibrahim. Apakah ia ingin Tuhan menciptakan api yang sejuk lagi, Guru?”

Pertanyan muridnya sudah seperti gugatan pikir Sang Guru.
“Mungkin ia seperti Hercules. Ia sangat menderita dan tak punya pilihan lain selain membakar dirinya,” jawab sang Guru.

“Kenapa kehidupan tak memberikan banyak pilihan bagi lelaki itu,” tanya Si Gadis.

“Bukan kehidupan, anakku,” ralat Sang Guru, “tapi penderitaan dan kemiskinan. Penderitaan dan kemiskinan memang tak menyediakan banyak pilihan. Banyak orang tak bisa menghadapi penderitaan dan kemiskinan. Terutama rasa lapar. Mungkin salah satunya si laki-laki itu.”

Si gadis kecil masih tak mengerti kenapa kemiskinan dan penderitaan bisa membuat lelaki itu menjadi gelap mata.

Bukankah gurunya pernah mengajarkan bahwa kemiskinan, juga penderitaan, adalah sebuah tempaan. Banyak sudah tokoh yang dulu diceritakan gurunya, tokoh yang begitu agung menghadapi penderitaan dan kemiskinan. Dari pada memilih jalan membakar diri seperti laki-laki yang entah siapa namanya itu.

Bukankah bunuh diri adalah dosa besar?

Pernah gurunya bercerita suatu kali tentang seorang pemimpin besar Iran, Imam Khomeini, yang ketika meninggal hanya mewariskan selembar tikar. Bukankah gurunya juga pernah berkisah tentang Siddharta Gautama memilih meninggalkan kemewahan istana dan hidup terlunta-lunta dijalanan.

Pikiran-pikiran itu mengganggu Si Gadis Kecil. Ia ingin menanyakan semua pertanyaan itu kepada gurunya. Namun gurunya terlihat termenung, larut dalam pikirannya.


Si Guru merasakan apa yang mengganggu pikiran muridnya.

“Ah, muridku,” pikir Sang Guru, “Khomeini dan Shiddarta tentu saja bukan bandingan si laki-laki yang mengguyurkan bensin ke sekujur badannya lalu membakar dirinya sendiri. Kemiskinan yang datang kepada Khomeini dan Siddharta bukan kemiskinan yang dipaksakan secara struktural. Melainkan kebersahajaan yang merupakan pilihan hidupnya.”

Ia ingin menceritakan semua itu pada muridnya. Tapi mungkin si Gadis Kecil belum mengerti. Belum mengerti bahwa di negerinya orang-orang di sergap kemiskinan dan penderitaan bahkan sebelum ia bisa menentukan pilihan hidupnya.

Sang Guru hanya mengusap rambut muridnya dan berjanji untuk mengajak si gadis kecil menengok si lelaki yang membakar diri di rumah sakit. Mungkin laki-laki itu bisa menjawab semua rasa penasarannya. Mungkin.

06 December 2011

Suatu Hari Bersama Ahmad Tohari

Apa yang tersisa dari sebuah pertemuan?

Beribu orang sudah kau temui, namun kadang tak menyisakan sedikitpun kelebatan dalam ingatan. Namun, ada pertemuan-pertemuan yang meski sekejap namun serasa abadi. Kita lalu menyebutnya "menjadi kenangan".

Pertemuan yang ‘menjadi kekal dalam ingatan’ itu yang baru saya alami kemarin. Saya sebut kemarin karena rasanya memang baru seperti kemarin meski sudah sebulan berlalu. Pertemuan itu dengan seorang bernama Ahmad Tohari.

Saya bertemu dengannya ketika ia berkunjung ke Jakarta. Saat itu ia diundang untuk menghadiri acara pemutaran film Sang Penari di sebuah mall di kawasan Sudirman.

Terus terang, ini pertemuan pertama saya dengan penulis trilogi Ronggeng Dukuh Paruk itu. Mengenakan kemeja warna putih bermotif garis, kacamata dan topi pet warna hitam ia tampak berbeda dengan semua pengunjung yang hadir. Ia terlihat.. sederhana.
Ia ternyata lebih tua dan sedikit ringkih dari yang saya kira sebelumnya.

“Saya datang di Gambir tadi malam. Dari tempat yang jaraknya 400 km dari sini,” kata Ahmad Tohari, membuka jumpa pers siang itu. Sang sutradara, produser, dan para pemain Sang Penari juga ikut hadir dalam acara itu.

Setelah semua selesai memberikan keterangan pers, Ahmad Tohari dan para pembicara lalu keluar untuk foto bersama. Dan, seperti biasa, memberikan kesempatan wartawan melakukan wawancara kembali.

Beruntung setelah foto-foto tak banyak orang yang mengeremuni Ahmad Tohari, juga mewawancarainya. Hanya beberapa orang yang meminta tanda tangannya dan berfoto bersama.

Setelah tidak ada lagi orang yang mengerumuninya, saya lalu menghadangnya saat ia mau mengambil tasnya. (Setelah memberikan keterangan pers ia masih menenteng tas jinjing yang terlihat tampak sesak yang kemudian ia simpan di balik banner Sang Penari)

Dan dengan sok akrab saya perkenalkan diri lalu mengucapkan selamat, karena bukunya sudah mengilhami sebuah karya yang lebih modern. Saat bertemu itu saya langsung mengaku sebagai orang yang menyukai karya-karyanya. Saya juga mengaku telah membaca semua karyanya dan mempunyai semua karyanya. Lengkap!

Padahal, jujur saja, ada dua buku karyanya yang belum saya baca dan miliki. Belantik dan Di Kaki Bukit Cibalak. Tapi saat itu rasanya saya tidak bisa menahan diri untuk bilang ‘belum lengkap’. Tentu saja untuk menunjukkan sebagai fans yang paling ngefans. Kapan lagi Ahmad Tohari keluar dari sarangnya di Banyumas.

Saat saya meracau seperti itu, ia masih saja tersenyum. Entah ia menyimak atau tidak yang saya katakan. Saya mungkin terlalu cepat bicara. Juga terlalu banyak.
(Saya sadar kemudian cara memperkenalkan diri macam itu benar-benar tak efektif. Saya teringat cara memperkenalkan diri Goenawan Mohamad saat bertemu Pramoedya Ananta Toer di Pulau Buru. Singkat dan efektif)

kepada Ahmad Tohari lalu saya tanyakan soal bocoran karyanya yang sedang dibuat saat ini. Dan seperti biasa, ia masih saja menjawab dengan rendah hati.

"Ah.. Saya ini kan bukan seorang penulis produktif. Beda dengan penulis yang lain yang produktif," jawabnya.

Masih memilih tinggal di tengah sawah dan betah mendengarkan suara kodok?
Ia lalu ketawa.

Saya menanyakan itu karena dulu pernah sekilas membaca artikel tentang kepindahannya dari Jakarta. Alasannya, Jakarta terlalu bising. Ia memilih kampugnya dimana suara kodok masih terdengar di sore hari.
"Iya, masih di Banyumas, masih tinggal di rumah yang di kelilingi pohon bambu," katanya. Bukankah memang, dengan penanya, burung alap-alap, jangkrik, kodok, mampu memberikan arti tersendiri tentang makna kehidupan.

Setelah selesai basa-basi saya pun dengan hormat meminta beliau untuk membubuhkan tanda tangannya di buku Ronggeng Dukuh Paruk bercover Sang Penari. Juga meminta beliau untuk berfoto bersama. :)

Ah, norak memang. Mungkin karena saya kadung menganggap bertemu penulis itu lebih susah dari pada bertemu artis atau penyanyi. Apalagi dengan selebritis yang selalu tampil di tayangan infotainment.

Sebenarnya saya juga bukan orang yang termasuk suka berfoto bersama dengan para pesohor. Apalagi berbangga saat berfoto bersama dengan mereka. Saya bangga jika orang orang lain merasa bangga jika berfoto dengan saya.

Namun saat bertemu seorang penulis macam Ahmad Tohari, jiwa primordial saya kambuh.

Saya tahu kebanggaan yang saya rasakan mungkin tidak bisa dimengerti oleh generasi pecinta Justin Bieber atau Sm*sh. Atau generasi yang menyukai para pesohor yang senantiasa tampil gemerlap di depan kamera.

Saya mengagumi manusia yang tetap memilih hidup sederhana meski karya sudah diterjemahkan keberbagai macam bahasa. Seseorang yang konsisten untuk memilih
dunia menulis yang sepi.

18 November 2011

Indonesia Vs Malaysia: Mengelola Perseteruan Menjadi Hal Positif



Tak diragukan, laga antara Indonesia Vs Malaysia nanti malam akan berlansung sengit. Kedua negara ini memang punya sejarah perseteruan yang panjang. Hubungan diplomatik negara serumpun inipun pasang-surut sejak kedua negara ini merdeka. Selain masalah sengketa wilayah, klaim produk budaya pun mewarnai naik turunya hubungan diplomatik dua negara ini.

Perseteruan di lapangan pun akhirnya menjadi tak hanya soal kualitas permainan. Olah raga menjadi tak hanya sekedar tontonan. Perseteruan di lapangan hijau menggelagak ke luar lapangan jadi emosi soal harga diri dan adu gengsi, yang sayangnya, sering berujung destruktif. Saling ancam, saling cibir, saling tantang antar suporter sudah ramai di forum-forum di ranah maya. Bahkan media ke dua negara ikut terprovokasi (atau sengaja memprovokasi?).

Tiga hari jelang pertandingan Indonesia vs Malaysia di SEA Games, saya menerima pesan berantai di BBM. Pesan yang awalnya entah dari siapa ini meminta suporter Indonesia mengenakan batik dan membawa angklung saat menonton timnas U-23 di GBK nanti.

Tentu saja, saya tak meneruskan pesan tersebut. Entah kenapa saya merasa himbauan tersebut hanya seperti adu gengsi jawara.

Perseteruan memang menyenangkan. Namun bila ia hanya sekedar adu gengsi tanpa memberikan manfaat pada sesama ia hanya menjadi perseteruan yang buta. Sportifitas dan fairplay di lapangan seringkali tercemar gara-gara suporter macam hooligan urakan. Tak hanya di Tanah Air, di liga-liga besar dunia, fenomena supporter urakan ini bisa ditemukan.

Namun perseteruan ternyata tak selalu harus berakhir buruk. Energi kompetisi dan persaingan di lapangan hijau ternyata bisa disalurkan ke satu aktifitas untuk kepentingan orang lain. Perseteruan di lapangan, bisa berarti hidangan makanan bagi keluarga yang membutuhkan.

Adalah dua suporter American Football di Alabama, Auburn University (AU) dan University of Alabama (UA), yang mampu mengubah gelegak emosi perseteruan menjadi hal yang bermanfaat bagi sesama.

Sejak 18 tahun yang lalu, dua suporter rival abadi ini mengadakan kompetisi bertajuk Beat Bama Food Drive. Sebulan menjelang pertandingan di liga divisi dua, kedua suporter klub bertetangga ini bakal beradu dalam mengumpulkan makanan kalengan.

Suporter tim yang mengumpulkan total makanan kaleng terberat lah yang menjadi pemenang. Makanan kalengan yang terkumpul kemudian didonasikan ke Alabama Food Bank, yang bertugas menyalurkan makanan ke mereka yang membutuhkan atau menyimpannya sebagai cadangan di saat darurat.

Seperti dikutip oanow.com, Selasa (16/11/2011), tahun ini, kompetisi dimulai dari tanggal 10 Oktober sampai 20 November 2011.

Tahun lalu, kompetisi ini dimenangkan oleh Alabama University (AU) yang berhasil mengumpulkan makanan kaleng dengan total berat 234.116 pon atau setara dengan 117 ton. Sementara rival abadinya, University of Alabama, hanya mengumpukan 218.510 pon. Makanan yang dikumpulkan AU diperkirakan senilai 377.000 dollar amerika atau setara Rp 3,3 miliar rupiah.

Mengejutkan? Sebuah kota berpenduduk tak sampai 60 ribu ini bisa mengumpulkan makanan dari emosi perseteruan. Saya bilang, menakjubkan!

Di saat kita masih berkutat dengan emosi perseteruan tentang gengsi dan harga diri yang buta, jauh di ujung sana, ada yang sudah berhasil mentranformasikan perseteruan sehingga menjadi sesuatu yang positif.

Mengumpulkan makanan bagi yang membutuhkan.
Ah, entah kapan kita sampai ke sana.

10 November 2011

Aneh

Aku aneh, katamu. Harusnya ku jawab, aku menjadi aneh karena memikirkanmu.

Maksudku, aku aneh jika mengobrol denganmu. Meski aku menganggap tidak ada yang aneh dengan semua tindakanku. Baiklah aku mengaku, iya aku menjadi sedikit aneh, tapi tidak selalu.

 
Aku kira, mungkin, keanehanku itu hanya di matamu saja. Bukan-bukan, jangan salah presepsi dulu. Maksudku bukan kamu yang aneh.

Tentu saja, ke-aneh-an ku ini sepenuhnya karena aku sendiri. Tepatnya karena apa yang aku rasakan padamu. Atau apa yang aku pikirkan tentangmu.

Aku aneh karena memikirkan apa tanggapanmu jika kau mengetahui apa yang aku rasakan kepadamu. Tuh, kan.. Aku aneh lagi..

Sudahlah jangan memintaku untuk menjelaskan. Aku pun tak mengerti dengan apa yang terjadi dengan diriku.
Entahlah..
 

27 October 2011

Seperti Serpihan Pasir

Sore ini, dalam perjalanan pulang aku tercenung di bis yang aku tumpangi. Akhir pekan, rute Jakarta-Sukabumi memang bukan rute yang bersahabat untuk bergegas. Kau harus sabar menikmati perjalanan yang penuh adegan slow motion ini.

Kali ini, tak ada warna senja yang menemani seperti biasanya. Sejak dari Jakarta hujan turun begitu lebat. Butir-butir air menggelapkan matahari.

Kuusap jendela kaca berkabut di sampingku. Awan gelap masih menggantung di langit. Hujan tampaknya belum akan reda.

Perjalanan. Aku suka suasana perjalanan. Ia seperti malam hari, ketenangan, kedamaian, dan kesunyiannya pas untuk mengendapkan semua yang sudah terjadi. Benakmu dengan mudah mengembara ke mana-mana. Ke masa lalu, teman, pekerjaan, atau masa depan.

Ah, waktu ternyata begitu cepat berlalu. Tak terasa sudah satu tahun lebih aku di Jakarta. Mengenal kembali manusia-manusia baru. Teman baru. Kehidupan baru. Meski tergagap-gagap melewatinya.

Tentang teman-teman lama, aku sadar betapa jarang aku bersapa apalagi berjumpa dengan mereka. Suatu kali, bersama beberapa teman kampus yang juga bekerja di Jakarta, merancang acara kumpul-kumpul jauh-jauh hari. Namun toh akhirnya gagal juga.

Aku tahu, tak mungkin terus bisa mengharapkan kebersamaan dan keakraban seperti dahulu. Banyak hal berubah dan akan terus berubah. Kita memang harus terbang dan mengepak mimpi sendiri-sendiri.

Bukankah kita semua mesti menyelesaikan sesuatu?

Satu lagi yang selalu menyelinap dalam hatiku adalah tentang hubunganku dengan seseorang. Hubungan dengan seseorang yang "entah kenapa".

Disebut ‘entah kenapa” karena sebagian diriku sedari dulu ingin bertemu, berdekat dan ingin mengobrol lama-lama dengannya. Tertarik, senang, bahagia kukira jika bersamanya.
Namun sebagian dari diriku lagi membiarkan rasa hormat, segan, putus asa, dag dig dug lebih menguasai. Jadi jangankan mengobrol berhadapan dengannya mungkin aku tak berani.

Entahlah..

Tak terasa, bis yang kutumpangi berlalu begitu cepat. Terminal Baranangsiang Bogor sudah tampak di depan mata.

Mungkin seperti itulah perjalanan hidup. Tanpa disadari, tiba-tiba saja perjalanan sudah berakhir. Bahkan sebelum kesadaran untuk melakukan yang terbaik muncul, perjalanan sudah habis.

Waktu, sekuat apapun waktu yang kau genggam ia akan berlalu. Seperti serpihan pasir pantai yang kering yang kau genggam. Lepas tak terasa.

Seorang teman pernah berpetuah dalam kalimat yang lebih puitik dalam menggambarkan tentang orang-orang yang kau cintai.
”Peluk erat orang-orang yang kau cintai. Sebelum ia akhirnya lepas.”
Namun sudah sayup-sayup kuingat.

Bis yang kutumpangi benar-benar sudah sampai tujuan. Sebelum aku berganti bis, aku ingin menghirup dalam-dalam apa yang kurasa dan kujalani.

Aku harus berganti bis. Namun di luar, hujan belum juga reda.

Perjalanan basah Jakarta-Bogor, 22 Oktober 2011

15 October 2011

Perempuan Blues


Perempuan Blues. Begitu aku menyebutnya. Aku bertemu dengannya sebulan yang lalu di sebuah kafe di pinggiran Jakarta.

Malam itu, dia datang saat pertunjukkan blues -yang digelar rutin tiap Jum'at malam- sudah setengah jalan.
Tak ada yang mencolok dengan penampilannya saat pertama kali bertemu.
Seingatku, malam itu ia cuma mengenakan celana jeans biru pudar dipadu dengan kaos putih yang dibalut blazer cokelat muda. Tak mencolok, namun cukup untuk mengalihkan perhatian semua pengunjung dari kesibukkannya.

Apa yang membuat ia sebegitu menarik perhatian? Rambutnya? Mungkin matanya. Matanya mengkilatkan sesuatu yang akrab dengan pengunjung. Entahlah.

Dia memilih tempat tak jauh dari samping mejaku. Memesan kopi, kemudian menyandarkan punggungnya pada sofa. Saat menyandarkan punggungnya itu aku melihat ia begitu lega, lepas seperti membuang beban yang selama ini dipikulnya.

Aku lekas mengalihkan perhatianku pada kopiku. Tapi aku yakin sempat melihat titik air mata keluar dari sudut matanya.

Entah mana yang lebih memesonaku saat itu. Lengkingan gitar yang penuh rasa menyayat-nyayat hati di depan sana, atau wajah cantik yang dilanda mendung, di sampingku.

Selama pertunjukkan blues, aku meliriknya beberapa kali. Kopi di atas meja sudah tak menarik perhatiannya. Ia menerawang menikmati alunan blues.

Sejak saat itu, aku menyengaja datang ke kafe itu untuk bertemu dengannya. Kadang dia yang lebih dulu datang, kadang aku yang lebih dulu menunggu. Masih di tempat yang itu-itu juga. Hanya bertemu tak pernah menyapa, apalagi mengobrol.

Namun setiap kali bertemu ia di kafe selalu ada kebas setiba aku di kamar. Ada rasa, namun tak dapat aku mendefinisikan di mana letaknya. Seperti rasa kopi yang masih tercecap di ujung lidah.

Bayangan perempuan blues itu diam-diam menyelinap dalam hatiku. (Bersambung)

13 October 2011

Kau tahu rasanya..


Kau tau rasanya diacuhkan orang yang kau sayangi?! Dadamu menjadi sesak dan berat. Nyeri. Bahkan perasaan itu bisa muncul hanya karena hal sepele. Seperti sms yang kau kirim atau pesan yang kau kirim saat chatting tidak ditanggapi.

Bukan karena pertanyaanmu yang tak dijawab yang membuatmu tiba-tiba merasa sesak. Tapi kesadaran mengetahui kau tidak cukup berarti bagi orang yang kau sayangi. Bahkan hanya untuk membalas sebuah SMS yang kau kirim. Kesadaran itu yang membuatmu hampa. menciutkan hati.

24 September 2011

Drupadi Memakai Rok Mini*




Bima tiba-tiba saja menggebrak meja taruhan. Meja judi tempat Duryudana dan Yudhistira bermain dadu itu lansung hancur berkeping-keping.

Wajah putra Pandu yang perkasa itu merah padam menahan amarah. Andai saja Arjuna tak menahan, hampir saja diremukkan tangan kakaknya, Yudhistira.

Bima geram kepada kakaknya. Kakakanya yang telah mempertaruhkan Drupadi di meja perjudian. “Saat kau pertaruhkan seluruh hartamu, aku diam saja. Karena kau adalah raja. Saat kau pertaruhkan kami, adik-adikmu, aku diam saja. Karena kau adalah kakakku. Begitu juga saat kau pertaruhkan dirimu. Karena kau yang berhak atas hidupmu. Tapi apa hakmu mepertaruhkan Drupadi?” geram Bima.

“Mana tanganmu, biar kuremukkan tanganmu. Tangan yang mempertaruhkan apa saja dan kalah!”Arjuna kembali menengahi meredakan amarah Bima.

Yudhistira hanya menunduk. Seluruh harta, tanah, ternak, kerajaan, kini sudah ludes terampas ke tangan Kurawa. Keempat adiknya, bahkan dirinya sudah bukan miliknya lagi, semua sudah berpindah tangan lewat meja taruhan. Terakhir sekali Drupadi, istri Pandawa, yang terenggut ke tangan Kurawa.

Duryudana segera menyuruh adiknya, Dursasana, menyeret Drupadi ke tengah ruangan. Menyadari Drupadi menjadi miliknya, birahi Dursasana langsung naik ke ubun-ubun. Kata-kata cabul langsung keluar dari mulutnya. Lalu segera direnggutnya ujung kain Drupadi.

Yudhistira masih diam menunduk. Di sampingnya, rahang Bima mengeras menahan amarah melihat kelakuan cabul Dursasana. Tak tahan atas penghinaan tersebut, segera Bima melepas sumpah yang mengerikan. Ia berikrar, dalam peperangan kelak, ia akan merobek dada Dursasana dan meminum darahnya.

Mendengar sumpah itu, Dursasana sedikit menciut nyalinya. Namun nafsunya kembali menguasai dirinya. Dia tetap berhasrat menelanjangi Drupadi saat itu juga. Di hadapan Pandawa.

Tapi, Dewa melindungi Drupadi. Kain yang membalut tubuh Drupadi menjadi tak berujung. Kain yang direnggutnya terus terulur tiada habis-habisnya.Tubuh Drupadi tetap terbungkus. Sampai putra itu kelelahan sendiri dan menghentikan kecabulannya.***

Itu sepenggal cerita dari epik Mahabrata. Cerita saat kebaikkan dan kejahatan begitu jelas batasnya. Seorang ksatria perkasa marah saat seorang perempuan lemah dihinakan didihadapannya.

Kini batas itu menjadi kabur dan samar. Ketika perempuan sendiri menanggalkan sendiri pakaian yang membungkus tubuhnya. Dan mempertontonkannya kepada orang-orang tubuhnya sebagai suatu keindahan. Dan dia menyukainya saat mempertontonkan kemolekkan tubuhnya. Adakah seorang Bima yang melepaskan sumpahnya?

Dulu, Duryudana harus menggunakan kelicikan Sangkuni, berjudi dengan Yudistira, dan menghadapi kemarahan Bima agar Dursasana bisa melucuti kain penutup tubuh Drupadi yang ternyata tak berujung itu.

Sekarang, kain-kain Drupadi terlucuti dengan sendirinya. Begitu mudah. Tanpa harus menghadapi amarah Bima.

Oh, betapa senang Dursasana..

*Tulisan di atas merupakan cerita ulang dari esai As. Laksana yang berjudul Kain Sang Dewi dari Podium Detik.

18 August 2011

Belum Bisa Apa-apa

“Mas, sampeyan wartawan yang meliput ini kan, Mas? Tolong selamatkan tanah saya, Mas. Rumah saya digusur.”

Seorang Ibu dengan gurat-gurat dalam di wajahnya menatapku. Tangannya menggenggam tanganku penuh harap.

Saya diam, tak bisa apa-apa.

Dalam sejam, buldoser meratakan rumahnya.



Dan barangkali karena hanya sebuah koran, jika berita ini terbit esok hari, ia hanya akan jadi berita kecil beberapa kolom mengisi halaman dalam di pojok bawah.



Kecewakah si Ibu?

Pers hanya satu pilar di negara ini..

06 August 2011

Menyempurnakan KBBI, Mungkinkah?

Saat membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sudahkan pengetahuan tentang sebuah kata kita dapatkan? Misalnya, mengetahui kapan sebuah kata masuk dalam bahasa Indonesia, kapan ia mengalami perubahan makna, bagaimana cara pelafalannya, nuansanya, dan dalam bentuk apa saja kata tersebut digunakan?

sudahkah pengetahuan seperti itu kita peroleh dari KBBI? Rasanya tidak. KBBI yang kita punya sepertinya belum bisa menjawab rasa penasaran kita terhadap hal-hal seperti itu.

***

Minggu kemarin saya baru saja mengkhatamkan buku The Professor and the Madman karya Simon Winchester. Ini buku kedua, karya Winchester yang saya baca, setelah Krakatoa.

Fokus cerita buku ini adalah sejarah tentang proses pembuatan kamus yang awalnya disebut New English Dictonary, namun akhirnya menjadi Oxford English Dictonary (OED).

Hal yang membuat saya tercengang adalah mengetahui fakta bahwa dibutuhkan waktu 70 tahun untuk menyusun OED. Sebuah “Kamus besar” yang disebut Winchester sebagai panduan bahasa Inggris paling definitif itu, rampung pada 1928. Tahun dimana founding father bangsa kita mulai menyadari dan mengikrarkan sebuah bahasa yang kelak menjadi bahasa nasional, Bahasa Indonesia.

Waktu 70 tahun sebenarnya tak terlalu mencengangangkan jika melihat hasilnya. OED berhasil menyusun 414.815 kata yang didefinisikan, 1.827.306 kutipan ilustratif yang dibagi dalam 12 jilid raksasa. Bandingkan dengan KBBI yang sampai saat ini belum mencapai 100.000 kata.

Saya sendiri pernah melihat OED di perpustakaan Universitas Brawijaya saat masih kuliah dulu. Entah edisi dan jilid ke berapa. Namun seperti dijelaskan Winchester, kamus tersebut mampu menyajikan pengetauan bahasa Inggris secara keseluruhan.

OED mencatat setiap kata, setiap nuansa, setiap pergeseran makna, ejaan, cara pengucapan, setiap akar etimologi, dan setiap kutipan ilustratif yang bisa dipinjam dari setiap pengarang Inggris. Hal yang belum bisa dipenuhi oleh KBBI.

***

Membandingkan OED dengan KBBI, saya menyadari bahwa KBBI sangat jauh tertinggal. Bukan saja dalam jumlah kata namun dalam penjelasan-penjelasan lain tentang sebua kata, seperti kutipan ilustratif yang menjadi kebanggan OED.

Entah kenapa para ahli bahasa penyusun KBBI sepertinya abai untuk mencermati setiap penggunaan bahasa dalam berbagai penerbitan. Dalam KBBI baik edisi I maupun edisi II, kita tidak menemukan satupun karya sastra, atau surat kabar, yang dijadikan sebagai “pustaka acuan”. Kebanyakan “pustaka acuan” yang digunakan adalah kamus-kamus dan daftar-daftar istilah. Padahal kehidupan sebuah bahasa tidak lepas dari bahasa yang digunakan di masyarakat, seperti koran dan karya-karya sastra.

Bisakah kita bisa menyusun sebuah KBBI seperti OED? Tentu saja. Andai saja para ahli bahasa mau mengurus, saya kira akan banyak relawan yang ikut bergabung.

Dalam pembuatannyapun saya kira akan lebih mudah dan lebih murah. Pasalnya dunia yang kita diami saat ini sudah dilengkapi peralatan modern. Pengumpulan lema dalam karya sastra tidak akan sebanyak saat menyusun OED. Mengingat umur bahasa Indonesia masih relatif muda.

Berkembang dan majunya bahasa hanya tergantung dari kepedulian kita untuk memeliharanya. Memang jauh terlambat. Namun rasanya lebi baik menyadari terlambat dan bergegas mengejar ketertinggalan dari pada diam dan terus terpuruk.

Selamat malam..

25 July 2011

Suara yang Datang Tengah Malam

Selepas tengah malam, aku selalu didatangi suara aneh yang menyebalkan. Aneh, karena suara itu datang setelah penghuni kost kamar lain terlelap. Menyebalkan, karena suara itu datang saat tubuh butuh istirahat setelah seharian didera pekerjaan.

“Berapa kau gadaikan telingamu?”

Nah, suara itu maksudku.

Dia datang lagi malam ini. Seperti tak pernah bosan, dia selalu datang ketika aku sendirian dalam kamar; Sehabis membayangkan perempuan-perempuan yang dulu pernah dekat denganku. Atau datang setelah memikirkan cara terbaik mendekati gadis manis yang kadang kebetulan bertemu di lapangan.

“Jangan pura-pura tak dengar kamu?,” suara itu terdengar lagi.
Menyela lamunan tentang si gadis manis yang sedang tersenyum dalam benakku.
Aku diam saja. Tak menyahut. Mungkin kali ini suara itu bukan bertanya padaku.

“Jadi sudah berapa kali kau gadaikan telingamu? Aku hanya ingin tahu saja,” masih suara itu.

Lama-lama dia mulai mengganggu ketenangan. Suaranya tambah lantang. Mulai lancang.
Tapi aku tetap diam. Acuh tak acuh.

“Jadi bagaimana ceritanya, sampai kasusnya bisa menghilang seperti ditelan bumi. Kamu tidak tahu, tidak dengar atau bagaimana?” suara itu lagi.

“Jadi di mana idealisme-mu yang dulu kau banggakan it.,”

Ah, dia sudah mulai kurang ajar.
Aku tetap diam. Seperti biasa.
Karena benar aku tak tahu apa yang dimaksudkan suara aneh itu tadi.
Kasus? Kasus apaan?

Aku benar-benar tak tahu apa yang dibicarakan suara itu. Satu-satunya orang yang membicarakan kasus hari ini adalah.. hanya perempuan cantik yang mengaku sekretaris dari pengurus partai yang aku lupa namanya. Namun selalu tersenyum kalau bicara.

Tentu saja selain cantik, montok, amplop yang dia berikan juga sangat tebal. Ah, kenapa tadi tidak ku ajak saja pergi ke Puncak..

“Jadi, berapa kau gadaikan telingamu?” suara itu terdengar lagi, membuyarkan rencana akhir pekan yang tengah kususun dengan si sekretaris.

Aku tutup telinga rapat-rapat. Kupejamkan mata kuat-kuat. Dan mengubur suara itu dengan suara musik entah apa.

Saat terbangun, hari sudah siang.

Aku bergegas, mandi dan meluncur ke sebuah kantor milik pemerintah. Takut terlambat bertemu dengan seorang sekretaris yang ingin kasusnya juga tak sampai jadi berita.

Aku sudah tak ingat lagi kejadian semalam. Pertanyaan apa saja yang dilontarkan oleh suara aneh yang entah siapa dan dari mana itu. Aku juga sudah tak peduli apakah suara itu berasal dalam mimpi atau dari suara sunyi.

12 July 2011

SMS Dari Kawan, Suatu Pagi

Sudah lama saya tak menulis tentang teman-teman dekat atau cerita yang terliwat sesehari. Mungkin karena telah menjauh dari diri sendiri. Telah begitu terdera oleh rutinitas. Sehingga kebas oleh cerita-cerita sederhana. Entahlah..


Hari Kamis kemarin, kira-kira jam 9 pagi, saya dapat SMS dari Malang. Dari kawan saya yang ada di sana. Sebut saja, Mbah Jiwo. Bukan nama sebenarnya. Tapi nama itu lebih terkenal dari nama sebenarnya. Beliau teman saya semasa kuliah, dan sama-sama terlibat di Teater Langit.

“Mohon doa dan dukungannya, siang ini jam 1 Humor Ganas akan tampil di Malang property Expo di MX Mall Malang,” begitu isi pesannya.

Saya tak bisa langsung membalas. Jam segitu saya masih belum pulih benar dari keadaan terlelap.
Masih terbaring.

Sekitar jam 11, sebelum berangkat ke luar saya balas. Mendoakan sekaligus mencandai.

Saya mengetik, “Sukses, mbah. Perlu bakar dupa atau kemenyan di sini?”

Cukup lama menunggu handphone saya kembali berbunyi. Balasan dari MJ.

“Sholat gaib saja,” begitu isi pesan yang saya baca. .

Tadinya saya mau bales lagi. Namun kayaknya, saat itu, Mbah Jiwo dan teman-teman butuh waktu tenang tanpa digoda dan dicandai siapapun. Tak perlu bayak berpikir untuk sampai ke pemikiran seperti itu. Pasalnya, Ini pentas Teater Langit pertama di Mall.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Maka pesan “Sholat gaibnya entar kalau pertunjukkannya gagal,” yang sudah saya ketik urung saya kirimkan.

Selamat buat teman-teman Teater Langit.

28 June 2011

Menanti Kemunculan Quentin Tarantino-nya Indonesia

Bagaimana perfilman Indonesia saat ini? Saya kira menjawab dengan jawaban ‘lumayan’ adalah jawaban yang pas untuk saat ini. Lumayan membaik.

Dari segi kuantitas, perfilman tanah air mengalami peningkatan. Ada gairah. Dalam sebulan, bisa 5 sampai 10 film baru selesai diproduksi dan siap beredar ke bioskop-bioskop.

Apalagi tanpa persaingan dengan film-film Hollywood. Saya kira film-film tanah air ini bisa mejeng tanpa harus was-was jika diacuhkan penonton. Mau bagaimana lagi, penonton hanya dihadapkan satu pilihan jika ke bioskop: film yang itu-itu saja

Lalu bagaimana kualitasnya? Saya kira bisa debatable. Baik, buruk, sedang, lumayan, bisa jadi jawaban.

Beberapa film, bisa disebut kurang memenuhi bahkan gagal disebut sebuah film. Logika cerita amburadul, latar gambar buruk, musik seadanya. Artistik? aduh jangan tanya. Namun tidak sedikit pula yang sudah membaik. Cerita lumayan, musik oke, gambar jelas, sinematografi sip. Konklusinya, semua film produksi tanah air tidak bisa disamaratakan.

Kenapa begitu? Karena memang tujuan membuat film berbeda-beda dari produser yang satu dengan produser yang lain.

Ada rumah produksi yang sibuk melayani selera penonton. Biasanya rumah produksi ini secara periodik dan terus-terusan membuat film-film bergenre horor plus plus. Maksudnya horor plus-plus adalah horor ditambah dengan komedi, atau horor ditambah adegan plus plus. Produser kategori film-film ini sampai rela mengimpor bintang film porno demi mendongkrak jumlah penonton.

Hanya satu dua rumah produksi yang tetap fokus pada kualitas sembari sibuk menyelipkan pesan moral atau pendidikan dalam filmnya. Rumah produksi ini biasanya tak ragu jika harus mengangkat tema-tema sejarah.

Sementara ada rumah produksi yang terlalu berkutat pada pesan yang ingin disampaikan, sehingga cerita, sinematografinya malah terasa terabaikan. Terlalu memikirkan pesan, lalu film sebagai sebuah hiburan tidak bisa dihadirkan. Melihat film ini serasa mendengar ceramah.

Lalu, adakah filmaker kita yang membuat film untuk ‘senang-senang’? Senang-senang dalam artian dia tidak mengikuti selera penonton, tidak juga memusingkan dengan pesan yang ingin disampaikan.

Mirip-mirip filmnya Quentin Tarantino. Orsinil, meriah, tidak membosankan. Jangan tanya soal keseriusan pada peraih oscar ini. Bahkan soal darahpun Quentin bisa sangat rewel.

Tentu saja bagi sutradara nyentrik ini, tak ada masalah membuat film seperti apapun. Modal besar, mudahnya akses ke kapital dan alat produksi rasanya tak ada hambatan untuk mewujudkan film impiannya. Hadirnya orang “gila” macam Quentin memang terasa bikin hidup lebih meriah.

Lalu, adakah orang seperti Quentin Tarantino di Indonesia? Seorang pembuat film yang akan membebaskan pecinta film dari film yang itu-itu saja? Mungkin tidak ada, atau malah banyak.

Banyak tapi sayangnya belum muncul.

Salam banyak-banyak..

19 June 2011

Teguran Mahfud MD

Teguran Ketua MK Mahfud MD kepada Presiden SBY karena menggunakan bahasa Inggris saat berpidato, seharusnya juga menjadi teguran untuk kita semua. Seperti diketahui sebelumnya, Preseiden SBY ditegur Mahfud MD karena berpidato dalam bahasa Inggris saat membuka konferensi tingkat menteri (KTM) ke-16 Gerakan Non Blok (GNB) di Bali, bulan lalu.

Meski yang disebut melanggar UU, yang bila melanggar tak ada sanksinya itu, hanya ditujukan kepada presiden dan pejabat pemerintahan. Namun saya kira teguran dari Mahfud MD merupakan himbauan kepada siapapun untuk menghidupkan bahasa Indonesia. Untuk selalu menjungjung bahasa persatuan. Termasuk media di dalamnya.

Karena rasa-rasanya kurang adil jika kita hanya mengritik presiden, sementara media yang juga turut serta dalam mengampanyekan cara berbahasa campur aduk, luput dari perhatian.

Soalnya pasti ada alasan di balik kenapa Presiden SBY kadang mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan Bahasa Inggris dalam beberapa pidatonya itu? Bisa jadi presiden terpengaruh oleh media atau ikut tren dari masyarakatnya.

Entah karena beliau sering menonton Metro TV? Seperti yang kita tahu, stasiun TV ini sering membuat judul acaranya dengan bahasa Inggris, walalupun isi acaranya, yah menggunakan bahasa Indonesia. Ataukah presiden terpengaruh artis Cinta Laura, ataukah karena presiden sering menonton sinetron?

Alasan Presiden mencampur adukkan masih tanda tanya. Karena belum ada surat kabar yang memberitakan alasanya. Hanya yang bukan tanda tanya adalah pola kapan presiden menyisipkan bahasa Inggris dalam pidatonya, kapan tidak.

Presiden biasanya menyisipkan bahasa Inggris saat sedang berpidato di hadapan orang-orang pintar. Sementara saat mengungkapkan curahan hatinya, ketababahan dirinya menghadapi ratusan fitnah, misalnya, presiden lancar berbahasa Indonesia.

Bagi saya, apa yang dilakukan SBY hanya semakin mempekuat kepercayaan saya pada ungkapan bahwa pemimpin itu produk dari masyarakatnya.

Salahkah Menyelipkan Bahasa Inggris?

Pertanyaan pentingnya, jika yang diwajibkan UU untuk menggunakan bahasa Indonesia itu adalah pejabat dan presiden, lalu apakah salah jika masyarakat biasa menyisip-nyisipkan bahasa Inggris dalam sebuah percakapan atau tulisan?

Dari apa yang saya simak saat membaca rubrik-rubrik bahasa yang ada di surat kabar, para pemerhati bahasa ini selalu menyarankan agar kita semampunya menggunakan bahasa Indonesia. Selama kita menemukan padanan kata dalam bahasa Indonesia, kita selalu dihimbau agar sebisa mungkin menggunakan kata tersebut dalam bahasa Indonesia dari pada bahasa Inggris.

Misalnya menggunakan kata “unduh” untuk “download” atau “unggah” untuk “upload”, meskipun “unduh” dan “unggah” kurang populer.

Lalu untuk merespon teguran Mahfud MD itu, perlukah Kompasiana, misalnya, mengganti rubrik “lifestyle” menjadi “gaya hidup”? Pasalnya, dalam English Oxford Dictionary online dan Kamus Besar Bahasa Indonesia online kedua kata tersebut mepunyai arti yang sama.

Sementara terhadap kata dalam bahasa Inggris yang belum ada padanan katanya dalam bahasa Indonesia, kita diberi kelonggaran untuk menyisipkan kata tersebut dalam bentuk bahasa Inggris.

Kenapa begitu? saya kira karena ada kata dalam bahasa Inggris yang belum ada padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Misalnya, saya masih kesulitan menemukan padanan kata “single”. Misalnya dalam kalimat, penyanyi A rencananya akan meluncurkan single keduanya dan album ketiganya, di hotel C.

Bahasa Inggris begitu kaya lemanya karena banyak menyerap frasa dalam bahasa lain. Sehingga sebagian orang, selain karena gengsi, lebih menggunakan bahasa Inggris karena leih ekspresif.

Banyak contoh kata dalam bahasa Inggris yang masih belum memiliki padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Untuk itu maka tugas para ahli bahasa untuk segera menyerap dan membakukannya ke dalam bahsa Indonesia. Jjika tidak ada gebrakan dari pengelola bahasa, saya kira kita akan semakin sering menemukan Cinta Laura dalam percakapan sesehari.

Salam Cinta.

11 June 2011

Begitu Susahkah Berbahasa Indonesia?

Ada rasa prihatin saat membaca laporan yang diturunkan oleh Media Indonesia hari Jum’at (10/6/2011), kemarin. Secara umum laporan tersebut mengupas tentang sulitnya mata pelajaran Bahasa Indonesia di kalangan pelajar SMA.

Dalam laporan tersebut disebutkan sebanyak 1.786 siswa SMA/MA se-Indonesia tidak lulus Ujian Nasional dalam mata pelajaran bahasa Indonesia. Jumlah tersebut jauh lebih banyak dibandingkan siswa yang tidak lulus dalam mata pelajaran bahasa Inggris yaitu sejumlah 152 siswa. Sementara, yang sepertinya tidak asing, ketidaklulusan terbanyak masih dipegang oleh mata pelajaran matematika, yaitu sebanyak 2.392 siswa.

Pertanyaan dari orang awam tentang pendidikan seperti saya, tentu saja, begitu susahkah pelajaran bahasa Indonesia?? Padahal Bahasa Indonesia adalah bahasa yang banyak dipergunakan dalam kehidupan sesehari selain bahasa ibu.

Jika melihat perbandingan kelulusan mata pelajaran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, pertanyaan lain yang muncul, benarkah bahasa Inggris lebih mudah dibandingkan bahasa Indonesia? Padahal kita tahu, kebanyakan dari kita, saya misalnya, selalu gelagapan bila berkomunikasi dalam bahasa Inggris.

Dari pertanyaan sederhana tersebut saya jadi meragukan jika UAN dijadikan sebagai satu-satunya alat uji untuk mengukur kemampuan berbahasa Indonesia siswa-siswa.

Apa sebab, soal UAN yang seluruhnya menggunakan metode pilihan ganda, hanya menguji kemampuan membaca siswa. Sementara pelajaran Bahasa Indonesia bukan cuma tentang membaca. Tapi juga mencakup keterampilan, menulis, berbicara, dan mendengarkan

Jadi, bagaimana menilai keterampilan menulis dalam soal pilihan ganda? Apakah memilih satu jawaban dari empat pilihan yang disediakan bisa merefleksikan kemampuan anak mengekspresikan dirinya dalam menulis?

Apakah soal pilihan ganda untuk memilih mana pantun, dan mana puisi menggambarkan kemampuan anak membuat puisi? Menulis adalah kemampuan produktif untuk mengembangkan gagasan di otak. Sedang membaca soal pilihan ganda tidak ada urusannya dengan memproduksi gagasan.

Jadi mengukur satu kemampuan berbahasa yaitu membaca menjadi harga mati untuk megukur dan menilai kecerdasan seorang siswa. Jadi apa gunanya para siswa belajar habis-habisan jika alat pengujinya tidak valid dan tidak bisa diandalkan?

Ini bukan berarti pula saya menganggap siswa SMA mampu berbahasa Indonesia dengan ‘baik dan benar’. Apalagi di tengah fenomena para remaja saat ini keranjingan menggunakan bahasa menggunakan kode-kode alias alay.

Budayawan dan penulis Ajip Rosidi pun pernah mengungkapkan keprihatinan tentang lemahnya penguasaan berbahasa Indonesia di kalangan pelajar. Padahal, kata Ajip, mudah sekali jika ingin melatih keterampilan berbahasa Indonesia di kalangan pelajar.

Dirikan perpustakaan. Beri siswa kesempatan untuk membaca buku-buku yang baik di luar jam mata pelajaran. Apa itu buku-buku baik? Salah satu contoh buku yang baik adalah buku-buku sastra yang sudah diakui mutunya.

Pertanyaannya, sudahkah Kemendiknas mengusahakan untuk mendirikan perpustakaan di sekolah dengan koleksi buku yang bermutu? Jika belum, rasa-rasanya persoalan berbahasa Indonesia akan tetap menjadi momok bagi pelajar menjelang UAN tiap tahunnya.

Salam.

Bendera Malaysia Disensor di Film Upin & Ipin

Ada yang menarik dalam film Upin dan Ipin episode hari Minggu (5/6), yang disiarkan MNC TV, kemarin. Karena saat menonton film sudah berjalan, saya tidak tahu judul acara film yang kemungkinan dimulai sekitar jam 19.30 itu. Namun seingat saya, episode itu menceritakan Si Ipin (atau Si Upin) yang kakinya sedang patah. Kaki Si Ipin (atau Si Upin) kemudian dibalut gips dan harus memakai kruk saat berjalan.

Nah, dalam beberapa scene ada bendera Malaysia yang menjadi latar belakang. Meski tak penuh memperlihatkan utuh bendera Malaysia namun saat menjadi latar mendadak bendera tersebut menjadi buram.

Pertama kali melihat saya tidak menyadari bahwa gambar yang mendadak buram itu bendera Malaysia. Pertama kali, saya berpikir mungkin gambar yang mendadak buram tersebut iklan sebuah produk. Seperti halnya tayangan-tayangan yang sengaja diburamkan untuk menutupi merk dagang tertentu.

Namun saat scene film bergerak dengan tempo cukup cepat saya sadari ternyata gambar yang mendadak buram adalah bendera Malaysia.

Saya tidak tahu apakah pemburaman atau pensensoran bendera Malaysia itu dari sononya atau kah sengaja di sensor oleh pihak MNC.

Jika dari tim produksi Malaysia rasanya tidak mungkin. Sebab, dalam scene yang berlangsung cepat, saat bendera malaysia tampak dari jauh, terlihat bendera Malaysia dengan jelas dan utuh sedang berkibar tertiup angin.

Apakah oleh pihak MNC? Saya juga tidak tahu.

Jika memang oleh pihak MNC, saya juga tidak tahu apa motif di balik pensensoran bendera Malaysia tersebut. Apakah dari rasa nasionalisme sehingga dengan sengaja menghindari lambang-lambang Malaysia.

Apalagi hubungan Indonesia dengan Malaysia akhir-akhir ini ini terjadi friksi karena masalah tenaga kerja Indonesia (TKI), dan pernyataan Malaysia yang mengklaim beberapa jenis kesenian Indonesia sebagai miliknya.

Bukan Yang Pertama
Penghilangan gambar bendera malaysia ternyata bukan kasus yang pertama. Sebelumnya pernah ada kasus dalam menghilangkan hal yang berkaitan dengan negeri Jiran tersebut.

Penulis dan budayawan Ajip Rosidi dalam kolom bertajuk Bahasa Indonesia dan Malaysia pernah mempertanyakan hilangnya kata ‘Melayu’ dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, ketika merumuskan tentang Bahasa Negara (Bab III Pasal 25 ayat 1).

Padahal, tulis Ajip, yang menjadi sumber bahasa Indonesia itu bahasa Melayu dinyatakan secara gamblang dalam Keputusan Kongres Bahasa Indonesia yang Kedua yang diselenggarakan di Medan tahun 1954.
Akan tetapi, mengapa dalam UU tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan yang diundangkan tahun 2009, seperti sengaja dihindarkan hubungan bahasa Indonesia dengan bahasa Melayu?

Sekali lagi saya tidak tahu apa dibalik pensensoran bendera Malaysia tersebut. Namun saya ingat ketika hubungan Indonesia dan Malaysia sedanga memanas beberapa waktu lalu. Saat itu banyak terdengar komentar-komentar dengan nada-nada tajam dalam forum-forum: mengancam, mencibir, menantang Malaysia. Tak sedikit pula dari komentar-komentar tersebut yang menyuarakan kembali ide Soekarno dahulu : Ganyang Malaysia!

Meski mungkin yang tengah diperjuangkan dalam forum-forum tersebut adalah hak untuk dihormati sebagai manusia atau komunitas, atau bangsa, yang berasal dari semangat nasionalisme, namun selalu ada yang timpang dengan cara memperjuangkannya.

Yang justru terbaca dari komentar-komentar tersebut adalah penegasan sikap nasionalisme kita yang lebih mirip sebagai gengsi jawara, daripada nasionalisme yang berakar pada nilai universal macam hak asasi ataupun harga diri manusia.
Entahlah..
Jadi kenapa Bendera Malaysia Disensor di Film Upin & Ipin? Entahlah..

Selamat malam..

08 June 2011

Bertamu Ke Perbatasan




Dulu, ketika pertama kali mendengar pembuatan film Batas, saya girang bukan main. Sebagai penikmat film, tentu saja saya senang, karena saya pikir film ini akan menyuguhkan sesuatu yang berbeda dari film-film tanah air yang sedang beredar di bioskop saat ini.

Apalagi jauh hari sebelum pemutaran, banyak berita tentang film Batas muncul di berbagai media. Misalnya, berita dari produser Marcella Zalianty yang mengisahkan beratnya medan ke lokasi syuting di daerah Entikong, Kalimantan Barat sana. Bahkan istri pembalap Ananda Mikola ini sampai harus membuka jalan baru agar mobil bisa lewat.

Belum lagi cerita dari sang sutradara, Rudi Soejarwo. Dia menceritakan tentang masyarakat Suku Dayak yang begitu teguh memegang adat dan selalu menyelesaikan setiap masalah lewat jalur adat.

Semua berita dan cerita yang disampaikan itu tentu saja membuat kontruksi sendiri cerita film Batas di benak saya. Namun setelah menonton, saya tidak mendapatkan apa yang saya bayangkan dari cerita dan berita-berita yang saya baca sebelumnya.

Pidato Sang Produser

Film ini berpusat pada tokoh Jaleswari (Marcella Zaliyanty) yang datang ke perbatasan Kalimantan Barat. Jaleswari adalah seorang relawan dari Jakarta yang ditugaskan untuk menyelesaikan masalah program bantuan pendidikan sebuah perusahaan yang tiba-tiba terhenti di daerah perbatasan.

Dalam menjalankan tugasnya tersebut dia kemudian dihadapkan dengan budaya, dan dihenyakkan dengan keadaan masyarakat di daerah perbatasan. Keadaan yang sama sekali tak pernah terlintas dalam benaknya.

Sebagai film yang memotret daerah perbatasan film ini layak diacungi jempol. Karena mau tersaruk-saruk datang ke sudut-sudut lain di Indonesia untuk memngangkat setting yang tak pernah tersentuh layar lebar tanah air.

Namun sayangnya film ini tidak dibarengi dengan cerita yang utuh tentang masalah-masalah perbatasan. Misalnya tentang paradoks daerah perbatasan. Kontras kesejahteraan dengan negeri tetangga. Sarana dan akses yang masih berupa mimpi bagi anak-anak di perbatasan, dan lain sebgainya dan lain sebagainya.

Menonton film Batas saya serasa bertamu ke daerah perbatasan. Bertamu dalam arti kita datang, melihat masyarakat perbatasan namun yang dihidangkan ke penonton adalah masalah-masalah yang dimpor ke perbatasan. Bukan masalah-masalah asli masyarakat daerah perbatasan.
Meski dalam film ini menceritakan perdagangan manusia, namun cerita perdagangan wanita terkesan hanya sebagai penggenap cerita film ini.

Selain itu Ada beberapa dialog yang sepertinya terlalu dipaksakan hanya untuk mengulang kata ‘batas’.
Terlepas dari catatan-catatan di atas saya kira film ini layak ditonton.
Selamat menonton

Keperawanan, Antara Dewi Perssik dan rara Mendut

Baru-baru ini penyanyi dangdut Dewi Persik (Depe) gembar-gembor tentang keberhasilan operasi selaput daranya (vaginoplasty). Perempuan asal Jember Jawa timur ini, mengaku sudah melakukan operasi keperawanan di Mesir. Tak tanggung-tanggung, biaya yang dikeluarkan untuk operasinyapun terbilang luar biasa. Depe harus merogoh uang sebnilai Rp 1 milyar.

Menurut Depe, salah satu tujuan operasi keperawanan adalah untuk calon suaminya kelak. Sebagai mana diketahui Depe memang sudah dua kali menikah yaitu dengan Saipul Jamil dan Aldi Taher.

“Meski statusku janda, aku kan masih akan tetap perawan pada saatnya. Aku melakukan semua ini juga untuk suamiku nanti. Jangka panjang lah,” kata Depe seperti dikutip salah satu media online, belum lama ini.

Mendengar komentar Depe tentang keperawanan, saya teringat dengan konsep keperawanan yang disampaikan Rara Mendut. Rara Mendut adalah tokoh utama dalam novel yang berjudul sama dengan namanya karya YB Mangunwijaya alias Romo Mangun.

Dikisahkan, Rara Mendut adalah budak rampasan dari pantai utara yang menolak diperistri oleh Tumenggung Wiraguna. Wiraguna adalah orang nomor dua di Kerajaan Mataram saat itu. Saat Rara Mendut dirampas dari desanya dan tinggal di istana Pati, kediaman Adipati Pragola, suatu kali dia menyampaikan konsep keperawanan kepada dayangnya, Genduk Duku.

Menurut Mendut, yang mendapat petuah tentang keperawanan dari ibunya, perawan dan tidak perawan bukan lagi pada keadaan fisik, tapi terletak pada hati seseorang perempuan.

Sengaja saya kutip penggalan dialog Rara Mendut dengan Genduk Duku:

“Dengarkan, Gendukku.” Lalu telapak tangan Mendut meletakkan diri berat menekan pada dada si Genduk. “Ini, Nduk. Ibuku selalu berpesan kepada Mendut, ‘perawan dan tidak perawan terletak pada tekad batin, pada galih di dalammu.’ Banyak gadis di dalam peperangan diperkosa, tetapi bila itu melawan kemauan, mereka masih perawan. Dewi Sinta seandainyapun dia sudah ditiduri oleh Rahwana. Dewi Sinta yang melawan, tetaplah perawan. Bahkan ibuku berkata, dan biar ibuku hanya perempuan desa tetapi saya selalu percaya ibuku benar, ‘Seorang ibu yang sudah melahirkan anak tujuh pun, bila dia suci dalam pengabdiannya selaku istri setia dan ibu, diapun perawan dalam arti yang sejati.’ Percayalah Nduku Dukuku. Jangan takut. Kau percaya, Dukuku?”

Konsep keperawanan yang berbeda dari dua perempuan yang berbeda pula. Rara Mendut hidup di tahun 1600-an di zaman kerajaan Mataram. Zaman di mana raja bisa dengan seenaknya mengambil ratusan perempuan yang disukainya untuk dijadikan sebagai selir. Tentu saja, di masa tersebut keperawanan bisa dengan mudah direnggut oleh kekuasaan.

Sementara Dewi Perssik hudup di masa kini, masa ketika orang bisa dengan mudah membangun hubungan, mengutip lagu dangdut, Cinta Satu Malam, dan den gan mudah pula melakukan operasi keperawanan. Meski tentu saja tidak murah.

Yang satu bersandar pada jiwa, sedangkan yang lain pada fisik. Yang saya heran, konsep keperawanan zaman dahulu, yang diajarkan dari seorang ibu kepada anaknya kok sepertinya luntur dimakan waktu.

22 May 2011

Revolusi PSSI: Pilih Langsung Ketua PSSI Oleh Rakyat

Apa yang terjadi pada Konggres PSSI kemarin malam sungguh sangat memilukan. Perjuangan berdarah-darah para pecinta sepak bola tanah air saat menurunkan Nurdin Halid ternyata hanya menghasilkan wakil-wakil yang tak kalah bebal, yang kemudian mendadak bisa berteriak.

Bagaimana tidak memilukan, konggres yang diharapkan sebagai awal memperbaiki prestasi sepakbola nasional ternyata tidak menghasilkan apa-apa hanya kericuhan. Bahkan konggres berubah sebagai ajang memperebutkan keuntungan bisnis di industri sepakbola.

Ah, sepertinya sudah menjadi rahasia umum jika apa yang terjadi di konggres kemarin adalah bukan pertarungan wakil-wakil yang menginginkan kemajuan sepak bola. Tapi pertarungan memperebutkan bisnis di industri sepakbola antara pengusaha pengusahan dan para mafia sepakbola.

Tak heran, saat palu diketok tanda berakhirnya konggres oleh Agum Gumelar, tanpa menghasilkan apa-apa selain kericuhan, begitu banyak nada kecewa terdengar dari pecinta sepak bola. Ungkapan rasa kecewa, sedih, prihatin, sampai marah beredar ramai di dunia maya.

Meski memang ada juga yang memaklumi kericuhan konggres sebagai sesuatu yang Indonesiawi. Hal yang sangat lumrah terjadi dalam hampir setiap konggres atau sidang di Indonesia belakangan ini.

Memang sepertinya tak salah punya pendapat tersebut. Apalagi hampir di seluruh konggres-konggres organisasi, terlebih partai politik kerap terjadi kericuhan.

Tak usah ngomongin Konggres partai politik atau sidang DPR, di Konggres organisasi insan perfilman pun, PARFI, terjadi kericuhan saat konggres digelar. Padahal PARFI adalah organisasi para artis. Bukankah artis adalah pekerja keindahan, artist. Dan bukankah keindahan itu adalah puncak kebenaran dan kebaikan.

Pertanyaan yang sama sahih diajukan ke Konggres PSSI. Konggres sebuah organisasi olah raga. Bukankah olahraga itu berkisah dan mengajarkan tentang spotifitas?

Tapi kenapa masih ada yang menganggap kericuhan pada konggres bukan sebagai sesuatu yang memalukan bahkan memilukan? Mungkin karena sudah lama rakyat Indonesia selalu menerima, memafhumi, dan sangat mudah memaafkan kesalahan para wakilnya.

Tentu saja maksud dari tulisan ini tidak seperti yang tertera dari judul tulisan ini. Meski mungkin idenya bisa diperdebatkan. Tulisan ini hanya menyampaikan kekecewaan karena melihat para peserta konggres yang selalu mengatasnamakan rakyat tapi hanya memikirkan dirinya sendiri.

Inilah bentuk ketidakpercayaan kepada para peserta konggres yang di tiap kesempatan selalu bilang sebagai pemilik hak suara sah. Mereka yang dalam konggres selalu meneriakkan nam a rakyat dan bangsa Indonesia, namun sebenarnya hanya memikirkan kelangsungan jabatan dan keuntungannya pribadi.

Saya tidak rela jika kepengurusan organisasi olahraga yang begitu dicintai kebanyakan rakyat Indonesia diserahkan kepada orang-orang yang hanya memikirkan bisnis dan keuntungan semata, alih-alih prestasi.

Atau mungkin sudah saatnya dipilih langsung oleh rakyat. Rakyat yang tak pernah memikirkan keuntungan hanya perbaikan dan prestasi untuk sepakbola tanah air.
Atau memang kita hanya bisa menunggu dan berharap datangnya sang Ratu Adil yang entah kapan datangnya..

Selamat malam Indonesia..

09 May 2011

Sepotong Cerita Dari Wakatobi (Tentang Film The Mirror Never Lies)




Beberapa hari kemarin saya menonton beberapa film baru buatan anak negeri. Dari beberapa film, yang bagus di ulas sepertinya cuma satu: The Mirror Never Lies (TMNL).

Film ini karya sutradara Kamila Andini. Sementara pemainnya Atiqah Hasiholan, dan (lagi-lagi) Reza Rahardian (kenapa bioskop kita sepertinya sulit lepas dari wajah satu ini?).

Setelah nonton, saaya percaya bahwa bakat, bisa diwariskan dari ayah ke anaknya. Seperti kemampuan Kamila Andini yang mampu menampilkan sisi-sisi artistik dari sebuah film. Kemampuan menangkap sisi artistik itu mungkin saja memang turun dari gen ayahnya, Garin Nugroho.

Menonton film ini saya teringat film Brokeback Mountain. Jika film yang disutradarai Ang Lee itu mengeksplor latar pegunungan maka TMNL mengeksplor pesisir pantai, dan laut Wakatobi.

Sama seperti Brokeback Mountain, TMNL mungkin bisa jadi nominasi best picture di Indonesia Movie Awards. Karena meski menghadirkan cerita yang tak biasa, menurut saya, keindahan alam Wakatobi jadi jualan utama film ini.

Kamera benar-benar mengeksplor penuh setiap sudut Wakatobi dimana ia bisa mengambil gambar. Jadi jangan heran, berbagai keindahan di Wakatobi tersaji di film ini. Siluet senja, gugus awan, semburat fajar, hamparan laut, bentang pantai, lengkung pelangi, terumbu karang, alam bawah laut, jadi latar kebanyakan adegan film ini.

Di mana Wakatobi? Dia tepat di ujung bawah kaki kanan pulau berbentuk huruf K, Sulawesi Tenggara. Namun karena terus menerus menampilkan suasana alam yang indah, apalagi dengan tempo yang lambat, terus terang, saya beberapa kali menguap bosan.

Apalagi kebanyakan latar musik mengambil nada-nada rendah. Tambah mengantuklah saya. Mungkin untuk menggambarkan kekosongan, kehampaan dan penantian seorang Tayung. Untunglah film ini tertolong oleh tiga anak suku Bajo yang lucu. Lumayan membuat segar.

Andai saja Kamila Andini menghadirkan gambar-gambar pembanding, misalnya, dengan menayangkan gambar gedung beton yang dingin, sampah menumpuk, semrawut kota, saya kira akan lain ceritanya. Saya kira kebosanan tak akan banyak menyergap penonton.

Beralih ke ceritanya. TMNL bercerita tentang diary Pakis (Gita Novalista), seorang anak suku Bajo yang menanti kedatangan ayahnya yang pergi melaut. Meski disebut-sebut ayahnya sudah meninggal, Pakis tak mau percaya. Tiap hari ia menunggu kedatangan ayahnya. Suku Bajo adalah satu-satunya suku di Indonesia yang membuat perkampungan di laut.

Pakis adalah anak Tayung (Atiqah Hasiholan). Jika Pakis yang tak mau mempercayai kematian ayahnya, maka Tayung leih realistis. Tayung meyakini jika suami yang ditunggunya telah mati dan meinta Pakis untuk mempercayai kematian ayahnya. Di sinilah konflik muncul. Saat penantian itulah datang Tudo (Reza Rahardian), seorang peneliti lumba-lumba, yang sayangnya tidak mengambil tempat yang sangat penting dalam film ini.

Tudo, sebagai peneliti yang membawa laptop, sepertinya sebagai tokoh yang meyadarkan penonton bahwa film ini berlatar di dunia yang kita hidupi saat ini. Bukan masa lalu. Karena tanpa kehadiran Tudo, penonton akan kesulitan menentukan latar waktu film ini. Teknologi canggih yang tertangkap kamera selain laptop dan peralatan penelitian milik Tudo, hanya parabola.

Padahal jika diambil latar kehidupan Tudo, dengan Jakarta tempat asalnya, konflik hidup sebelumnya, saya kira konflik akan lebih dalam dan rumit.

Selain itu, meski film ini di dukung World Wide Fund for Nature (WWF), namun pesan-pesan lingkungan kurang terasa dalam film ini. Saya tak tahu, Kamila seperti ragu-ragu, atau mungkin takut, dan tak berani untuk menyampaikan pesan kepedulian lingkungan. Pesan lingkungan benar-benar terbungkus rapi dalam dialog-dialog dan pesan-pesan ayah Pakis, tokoh yang sebenarnya abstrak.

Andai saja, TMNL mampu seberani Happy Feet dalam mengkampanyekan kepedulian lingkungan, saya kira TMNL akan menjadi film yang layak diacungi empat jempol.

Padahal jika dilihat, masalah kelestarian sumberdaya laut yang ada di TMNL, hampir sama yang ada di film Happy Feet. Ikan yang semakin jarang, sampah yang menumpuk di laut, penangkapan ikan yang tak terkendali, semakin jauh tempat menangkap ikan nelayan kecil, adalah masalah-masalah yang sama.

Lepas dari itu semua, film ini sungguh menggambarkan potongan kehidupan orang-orang di sudut lain Indonesia. Kehidupan lain yang penuh kesederhanan dan kearifan sebuah budaya.

Indonesia ternyata bukan cuma Jakarta.
Selamat menonton..

30 April 2011

MUI, Uya Memang Kuya, dan Tanda Tanya

Sampai tulisan ini saya posting, setahu saya Majelis Ulama Indonesia (MUI) belum memutuskan fatwa apapun terhadap film “?” (baca: tanda tanya). Menurut Ketua Pusat Bidang Budaya MUI, KH A Cholil Ridwan, MUI masih harus membahas dengan mengadakan rapat khusus. Meskipun dari sejak awal menonton, Pak KH Kholil terlihat ingin sekali mencekal peredaran film yang dibintangi Revalina S Temat itu.

Saya tidak tahu bagaimana akhir nasib film ini, apakah film karya Hanung Bramantyo itu nantinya akan di fatwa sebgai haram, halal, atau sunnah, atau makruh. Saya tidak tahu.

Tapi saya kira memang demikian. MUI harus rapat dan rembuk terlebih dahulu. Tidak tergesa dalam memutus. Melihat secara utuh semua persoalan adalah langkah yang tepat. Apalagi sejumlah fatwa-fatwa MUI sering dipertanyakan sejumlah pihak. Terutama dalam kemumpunian ilmu dan metodologi yang digunakan ulama-ulama MUI dalam memproduksi fatwa-fatwa tersebut.

Misalnya, dalam memfatwa haram acara Uya Memang Kuya. Tampak bahwa MUI memang tergesa-gesa, kurang memahami apa yang sedang dibicarakan, dan hanya melihat kulit luar dari tayangan tersebut.

As Laksana, penulis dan seorang yang mendalami hipnosis, menilai para ulama telah gagal dan meleset dalam memahami tayangan Uya Memang Kuya. Menurut Sulak, panggilan As Laksana, fatwa haram dimunculkan dengan alasan yang sangat keliru. Keliru karena apa yang dilakukan Uya bukan hipnosis.

Sulak menganggap pertunjukan Uya Memang Kuya hanya sandiwara. Tentang hal ini, kata dia, para ulama bisa meminta pengakuan dari pelakunya langsung, baik si Uya maupun orang-orang yang pura-pura tidur itu.

Tentang Fatwa Haram

Menurut Emha Ainun Nadjib, fatwa bahwa sesuatu itu haram tidak sama dengan ‘sesuatu itu pasti haram’. Jadi, seuatu itu haram hanya menurut salah satu pendapat. Anda boleh punya pendapat yang sama atau berbeda.

Fatwa, kata Cak Nun, sapaan Emha Ainun Nadjib, adalah hasil penghayatan manusia terhadap nilai baikburuk, benar-salah, indah-jorok. Adalah produk dinamika manusia dalam memahami, meneliti, menganalisis, dan mengambil keputusan tentang sesuatu hal di antara ranah-ranah kebaikan hidup yang begitu luasnya.

Cak Nun dengan tegas menyatakan hukum halal haram itu mutlak milik Allah. Ia yang memiliki hak asasi untuk mengharamkan atau menghalalkan sesuatu. Karena Dia lah yang punya saham seratus persen dalam kehidupan.

Haram berzina, makan riba, makan babi, mencuri, minun arak. Tak ada tawar menawar dengan hukum tersebut. “Ambil atau tinggalkan,” kata Cak Nun.

Di luar itu, wilayah yang Allah mempersilahkan manusia untuk berdiskusi. Sehingga untuk satu masalah bisa lahir jutaan fatwa sejumlah pemeluk agama Islam. Tentu saja sepanjang mereka memenuhi syarat keilmuan dan metodologis untuk memproduksi fatwa.

Jikapun pada akhirnya MUI kemudian memfatwakan haram, saya kira ini waktu yang tepat untuk menyikapi perbedaan dengan damai.

Jika film ‘?’ mengajarkan bahwa perbedaan adalah niscaya, berarti penonton ‘?’ akan damai saja menyikapi fatwa haram dari MUI.

Selamat malam semuanya.

Membaca Peluang Hatta Rajasa di 2014


Rencana pernikahan Pangeran Wiiliam dan Kate Middleton benar-benar menyedot perhatian publik. Bukan hanya kemegahan pesta pernikahan yang disiapkannya, tapi pernikahan tersebut akan memuaskan dahaga tentang mimpi-mimpi manusia dari dongeng masa kecilnya.

Tentang pangeran yang menyunting gadis biasa, kereta kuda, sepatu kaca, gaun indah, pesta pernikahan yang meriah, menu makanan yang wah, dan lain sebagainya, dan lain sebagainya.

Di tanah air, rencana pernikahan tersebut hanya bisa disaingi oleh satu berita yang sama: Dilamarnya Siti Ruby Aliya Rajasa oleh Edhie Baskoro Yudhoyono.

Aliya, panggilan Siti Ruby Aliya Rajasa, adalah putri Ketua PAN Hatta Rajasa yang juga menjabat sebagai Menko Perekonomian. Sementara Ibas, panggilan Edhie Baskoro Yudhoyono, putra orang nomor satu di Indonesia saat ini sekaligus Sekjen partai berkuasa saat ini, Partai Demokrat.

Jadi dibandingkan rencana pernikahan pewaris tahta kerajaan Inggris itu, rencana pernikahan putra kedua SBY itu akan lebih rumit. Bagaimana tidak, jika pernikahan tersebut terjadi, berarti ada koalisi baru di kedua partai.

Memang akan susah sekali untuk tidak menghubungkan pernikahan tersebut dengan keadaan politik saat ini dan persiapan pemilu 2014 ke depan. Meski beberapa kali Hatta Rajasa meminta untuk tidak mengaitkan pernikahan anaknya dengan politik.

Saya malah teringat cerita dalam novel Taiko karangan Eiji Yoshikawa. Dimana putri dijadikan koalisi untuk memperluas kekuasaan. Pilihan selalu ada dua: berkoalisi atau dilibas habis.

Inilah mungkin yang disebut sebagai koalisi permanen. Koalisi yang diikat dengan janji suci.

Dan seperti koalisi-koalisi yang ada di tanah air, maka setiap koalisi selalu ditandai dengan perjanjian pembagian ‘jatah’. Pertanyaannya, akan menjadi apa Hatta Rajasa si Pemilu 2014. Akan menjadi capres, cawapres, atau akan menjadi menteri. Mungkin malah tidak mendapat jatah apa-apa. Apa saja saya kira memang bisa saja terjadi.

Jikapun belum ada, maka perundingan bagi-bagi ‘jatah’ akan lebih mudah.

Saya tidak tahu. Jadi kita lihat saja di 2014.

06 April 2011

Menggugat kekerasan (Tentang Film Tanda Tanya)



Jika ada yang menganggap kekerasan sebagai jalan keluar untuk menyeragamkan perbedaan. Maka film berjudul ? (baca: tanda tanya) memaksa kita bertanya ulang, berpikir ulang dan menguji kembali hipotesa tersebut.

Seingat saya, ? memang bukan film pertama yang mengangkat tema keberagaman. Sebelumnya, film Cin(t)a, dan 3 Cinta 2 Dunia 1 Cinta, terlebih dahulu menghadirkan konflik yang muncul dari perbedaan agama.

Namun kedua film yang saya sebutkan di atas sepertinya kurang menggambarkan utuh konflik sosial keberagaman dan keberagamaan di tanah air. Padahal dalam kondisi sosial masyarakat kita, seringkali sejumlah kasus kekerasan muncul justru bukan dari masalah perbedaan agama.

Entah itu tetangga yang kalah main kartu yang kebetulan berbeda agama kemudian adu mulut, entah itu anak kalah main bola yang kebetulan orang tuanya berbeda agama, namun tiba-tiba merembet keprsoalan agama dan boommm.. menyalalah kekereasn. Dalam salah satu scene film ini menggambarkan cerita di atas. Bahwa kekerasan agama terkadang bukan karena masalah perbedaan agama, tapi karena ego manusia.

Meski bukan hal baru, ? mengangkat tema yang masih tabu dan sensitif di masyarakat. Tabu karena perbedaan agama menjadi topik yang jarang dibicarakan bersama. Orang lebih banyak menjadikannya sebagai prasangka. Namun ? berani menghadirkannya utuh ke sidang penonton untuk sama-sama ditanyakan ulang, dan dibicarakan bersama.

Saya salut, karena masalah yang banyak mengendap di benak banyak orang namun jarang dibicarakan, tersampaikan utuh ke sidang penonton. Sehingga mau tak mau memaksa untuk menjadi perhatian bersama. Apalagi mampu disuguhkan dalam cerita yang bagus. Meluas sekaligus mendalam.

Makanya, tak heran jika dalam film ?, kamera masuk menelisik ruang-ruang pribadi. Seperti miskroskop, ia menoropong konflik kehidupan sesehari tokohnya. Mulai dari kamar tidur, berangkat ke tempat bekerja sampai ke rumah-rumah ibadah. Masjid, Gereja, dan Kelenteng.

Untunglah sutradara sangat memperhatikan detail properti, adat dan budaya di mana adegan berlangsung. Sehingga bisa menampilkan cerita seperti dalam keadaan sesungguhnya.

Menurut saya, memang penting untuk sebuah film seperti ini menggambarkan utuh setiap informasi dari keragaman yang ada di wilayah tersebut. Kenapa? agar orang bisa mengambil sikap terhadap keberagaman. Mengetahui keberagaman membuat orang lebih toleran.

Secara keseluruhan, ? menceritakan tentang keterombang-ambingan, keterasingan, kerinduan, frustasi seseorang dengan hubungan keluarga juga agama leluhurnya. Sebuah masalah yang mungkin akrab ditemui sang sutradara Hanung Bramantyo saat masih kecil. tumbuh dilingkungan beragama Islam, Katolik dan Budha.

Dalam ?, Hanung Bramantyo memperkenalkan satu persatu tokohnya dengan setting sebuah perkampungan di sebuah Gang Kota Lama, Semarang. Tak ada tokoh yang menjadi lakon utma dalam film ini. Semua tokoh mendapatkan porsi yang sama, sehingga saya kira penonton akan kesulitan menentukan siapa tokoh utama dalam film ini.

Salah satu tokoh dalam film ini menceritakan kehidupan Rika (Endhita) yang memutuskan untuk bercerai dengan suaminya karena menolak dipoligami. Rika pun pindah agama dari Islam ke Katolik dan menjadi single parent. Namun begitu, anaknya, Abi, dibiarkan tetap beragama Islam. Bahkan Rika mengajari Abi sholat, ngaji dan berpuasa. Meski awalnya Rika terombang-ambing oleh keputusan yang telah dibuatnya. Apalagi dengan masyarakat sekitar dan orangtuanya yang masih belum menerima keputusannya. Dan lain-lain dan lain-lain.


Sayangnya, judul film ini kurang ekspresif. Kurang bisa menggambarkan isi cerita. Kenapa judulnya ?. Hanung mengaku kesulitan untuk menggambarkan kondisi sosial di filmnya tersebut. Saya kira Hanung bukan tidak bisa, Hanung cuma miskin kata-kata. J

Okelah, dari pada saya sok tahu dan banyak bicara, mendingan nonton sendiri filmnya. Alih-alih bisa bantu Mas Hanung untuk memberikan judul film ini. Lumayan kalau bisa membantu, hadiah seratus juta sudah menanti.

Selamat menonton.

29 March 2011

Gara-gara Nurdin Digusur, Lima Koran Berjudul Headline Sama

Nurdin Halid memang fenomenal. Ketika Menpora Andi Malarangeng mencoret namanya sebagai ketua PSSI, Nurdin tak tampak gentar sedikitpun, malah melawan. Saat diserang dari berbagai penjuru, Nurdin tetap bertahan, malah sesekali menyerang balik lawannya.

Sudah ratusan atau mungkin ribuan kali pecinta sepakbola nasional meminta Nurdin turun dari ketua PSSI. Namun setiap kali permintaan mundur terlontar tiap kali itu pula membal di kerasnya kepala Nurdin.

Tak heran, ketika Menpora di tengah siang tiba-tiba mencoret namanya dari Ketua PSSI, Nurdin marah besar. Dalam sebuah wawancara di TV One, dia mengungkapkan kekecewaannya pada pemerintah. Bahkan tak segan dia mencap pemerintah sebagai penguasa yang otoriter.

Sejak kisruh dalam PSSI dimulai, Nurdin memang berubah jadi sosok newsmaker. Mulai dari kegagalan Timnas dalam piala AFF, carut-marut liga nasional, kasus korupssi, sampai pencoretan dua nama calon ketum PSSI, dan gagalnya konggres, Nurdin selalu jadi sorotan media.

Namun, sepengetahuan saya, tak pernah koran-koran menurunkan judul HL yang sama mengenai Nurdin. Setidaknya sampai hari ini (Selasa, 29 Maret 2011).

Hari ini, setidaknya lima media cetak menurunkan headline (HL) yang hampir sama plek. Koran-koran tersebut antara lain, Kompas, Tempo, Jawa Pos, Media Indonesia, dan Warta Kota.

Kompas sebagai mainstream, menurunkan HL, Pemerintah Tak Akui Nurdin. Demikian juga media yang berada dalam jaringan Kompas Gramedia, Warta Kota, memakai judul HL yang sama. Padahal biasanya Kompas menurunkan HL yang berbeda dari media yang lain.

Sementara, dengan gayanya, Tempo menurunkan berita yang sama. Tempo hanya menambahi kata Cs di belakang kata Nurdin, Pemerintah Tak Akui Nurdin Cs.

Cs adalah bahasa prokem yang bisa berarti dan teman-teman. Sehingga yang dimaksud Tempo, Nurdin Cs itu tertuju kepada kepengurusan PSSI saat ini. Yang tak lain adalah Nugraha Besoes, dan Nirwan Bakrie yang masing masing menjabat sebagai Sekjen dan Wakil Ketua PSSI.

Kenapa Kompas tak memakai kata Cs? Mungkin karena menganggap kata Cs sebagai kata tak standar. Tak ada dalam kamus.

Meski mempunyai arti yang sama, Jawa Pos (JP) juga menurunkan berita yang sama. JP hanya mengurai kata pemerintah menjadi presiden dan Menpora: SBY-Menpora Tak Akui Nurdin Cs

Media Indonesia (MI) turun dengan gaya yang agak sedikit ribet. Kurang sangkil: Pemerintah Tidak Mengakui PSSI Nurdin Halid.

MI tidak menggunakan kata ‘Tak’, tapi memakai bentuk kata dasarnya ‘Tidak’ dan memakai kata ‘PSSI’ sebelum kata ‘Nurdin Halid’. Dari judul tersebut sebenarnya kurang hemat dan sedikit mubadzir, karena seolah menganggap PSSI ada lebih dari satu.

Sementara, Republika dan Jurnal Nasional menurunkan judul yang berbeda.

Jurnas, Pengurus PSSI dibekukan, dan Republika: PSSI Dibekukan. Sedangkan, seperti biasa, Rakyat Merdeka turun dengan gayanya sendiri. Nurdin Halid Dicoret –Menpora Koni dan KOI Ambil Keputusan-

Bukan Kasus Baru

Kasus judul HL yang sama, meski langka, memang sangat wajar terjadi. Dari satu peristiwa yang sama, wartawan bisa saja memilih angle yang sama dengan wartawan lain.

Kasus tersebut bukan karena contek-contekan atau copas (copy paste) yang biasa terjadi dalam pembuatan tugas di kalangan mahasiswa.

Namun tentu saja bagi media yang menjual berita dan mendidentifikasi dirinya sebagai media yang berbeda dengan yang lain, kasus tersebut memalukan. Seperti ikut ke pesta menggunakan kostum yang sama.

Entahlah..

Dari sekian banyak koran, HL mana yang kira-kira menurut Anda pas??

28 March 2011

Sulitnya Membangun Pusat Dokumentasi

Karena tak terurus, ribuan koleksi karya sastra yang tersimpan di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin terancam rusak (Kompas, 20/3/2011).

Membaca berita itu, saya seolah tersadar dari pertanyaan yang selama ini selalu saya utak-atik dalam kepala. Kenapa bangsa ini selalu terperosok dalam lubang yang sama dan terantuk pada batu yang sama. Jawabannya adalah karena sejarah dan kesusasteraan masih dipandang sebelah mata.

Ketua Yayasan HB Jassin, Ajip Rosidi, tiba-tiba merencanakan untuk menutup PDS HB Jassin. Alasannya, yayasan tak memiliki lagi dana untuk merawat PDS HB Jassin. Pangkalnya, dana hibah dari Pemrov DKI yang digunakan untuk mengelola PDS HB Jassin terus berkurang. Dana yang semula 500 juta pertahun, berkurang hingga kemudian hanya menjadi 50 juta pertahun pada 2011.

Akibat kurangnya subsidi itu, mengutip status Sitok Srengenge di microblogging twitter “yang bahkan tak cukup untuk bayar listrik dan pemeliharaan fasilitas, #PDS hampir tak mungkin bertahan,” tulisnya.

Lagi-lagi alasannya klise, karena masalah birokrasi. PDS terlengkap yang merekam perjalanan sastra Indonesia modern itu terbengkalai. Padahal ada anggaran Rp 6 triliun dari APBD Jakarta 2010 yang tak terserap. Ironis!

Ignas Kleden dalam esainya bertajuk Menyongsong 80 TahunHB Jassin -Menghargai Sebuah Dokumen Hidup- empat tahun silam mengingatkan tentang pentingnya menghargai PDS HB Jassin. Menurut dia, diabaikannya dokumentasi oleh negara hanyalah wajah luar dari mentalitas yang lebih dalam: diabaikannya sejarah. Akibatnya, bangsa Indonesia menjadi pendek ingatan dan lekas pelupa. Dan, kata dia, kutukan bagi seorang pelupa adalah mengulang kesalahan yang sama berulang-ulang.

Sebagian orang bisa saja bertanya kritis, apa pentingnya PDS Sastra. Toh investasi bisa terus berjalan, pembangunan gedung pencakar langit tak akan terpengaruh, pembangunan jalan tol tak akan terganggu, dengan atau tanpa adanya PDS HB Jassin.

Namun, mengutip Ignas, kelak suatu bangsa tidak hanya berbangga tentang berapa panjang jalan tol yang telah dibangun, berapa banyak gedung yang sudah didirikan, tapi apa yang sebetulnya dulu dicari oleh jiwa dan pikirannya saat dulu membangun jalan dan gedung.

Semua itu tentu hanya dapat ditelusuri dari sejarah di mana bangsa tersebut lahir dan tumbuh. Tanpa mengetahui asal usul kelahirannya, sebuah bangsa akan dengan mudah lupa daratan.

Lalu, seberapa besar PDS HB Jassin bagi bangsa Indonesia? Menurut Ignas, arti penting PDS yang didirikan tahun 1977 itu hanya bisa disandingkan dengan universitas-universitas terbaik yang ada di belahan dunia lain.

Arti penting dokumen tersebut baru dapat dipahami, bila diingat bahwa untuk bidang studi lainnya hampir tidak ada pusat dokumentasi di Indonesia yang dapat diandalkan.
Untuk belajar sejarah kebudayaan dan Indonesia, mahasiswa dan sarjana Indonesia akan belajar ke Leiden, Belanda. Untuk belajajar politik mereka harus ke Itacha, AS, untuk belajar Ekonomi ke Canberra, Australia, dan untuk belajar asal-usul perkembangan bahasa sendiri mungkin harus ke Hamburg, Jerman, atau Kyoto, Jepang.

“Hanya untuk belajar sastra Indonesia modern saja seorang sarjana atau mahasiswa cukup indekos di Jakarta dan bisa mendapatkan hampir segala bahan yang dibutuhkannya di PDS HB Jassin,” demikian Ignas.

Masih Terpinggirkan

Tujuh tahun yang lalu saya membaca tulisannya Emha Ainun Najib tentang keprihatinan beliau atas terpinggirkannya dunia sastra di Indonesia. Sekarang nasib dunia sastra tampaknya masih tak berputar. Masih dipinggiran.

Saking termarginalkannya, Cak Nun membandingkan kesusastraan dengan lokalisasi wanita tuna susila (WTS). Menurut Cak Nun, di indonesia sering muncul kondisi dimana WTS memperoleh kemerdekaan untuk beroperasi, sementara itu, seni sastra sangat diragukan oleh masyarakat baik secara politis maupun kultural ia sebaiknya ada.

Begitulah, impian adanya sebuah pusat dokumentasi berbagai bidang ilmu yang terkelola baik sangat jauh dari impian kita. Padahal, jika di Indoneisia ada lima orang Jassin saja maka mungkin sekali ingatan kita akan tertolong. Mungkin banyak kesalahan dapat terhindar dan mungkin pula kita bisa maju beberapa langkah lebih ke depan dari sekarang.

Kenyataan pahit memang. Namun ada dua pilihan menghadapi keadaan tersebut. Kita tanggapi serius akan ditutupnya salah satu dokumentasai sastra terbesar? Atau kita anggap sebagai peristiwa yang wajar terjadi di sebuah negeri penuh korupsi?

Jika kita masih manusia normal, seharusnya kejadian tersebut menyentak kesadaran. Setidaknya, tentang kepedulian Pemerintah Provinsi Jakarta dan warganya. Apalagi dana APBD Jakarta yang Rp 28 triliun yang digunakan untuk PDS HB Jassin relatif masih kecil. Hanya Rp 50 juta per tahun.

Sebelas tahun yang lalu, saat HB Jassin meninggal, Sekwilda DKI Jakarta Fauzi Bowo memimpin upacara pemakamannya.
Maka, jika PDS HB Jassin ditutup saat ini, Foke lah satu-satunya orang yang dicatat dalam sejarah sebagai pemimpin upacara penguburan HB Jassin sekaligus orang yang mengubur harta terbesar peninggalan tokoh sastra Indonesia tersebut.

10 March 2011

Cantengan Jempol Senat Senut

Dua hari ini jempol kaki kanan saya senat senut bukan main. Gara-garanya ada infeksi kuku di jempol kaki kanan. Nama kerennya: cantengan. Ya, cantengan!
Indikasinya, jempol bengkak, memerah, dan kalau sudah parah ada nanah disertai ngilu, nyeri, sakit, perih, dan kalau kesenggol.. Ughh sakitnya senut bukan main sampai ubun-ubun. Nut nut nut.. Wuihhghh!! Horor dah!

Cantengan, memang bukan penyakit menular, tapi terus terang cukup memalukan. Lebih dari itu, aktivitas jadi terganggu gara-gara si jempol senat senut selalu. Aneh memang, meski infeksinya di jempol kaki tapi senat senutnya bisa sampai ke hati. Akibatnya, kerja tak fokus, makan tak fokus, minum tak fokus, ngobrol tak fokus. Alhamdulillah cuma tidur saja yang masih bisa fokus. Masih bisa nyenyak.

Sebenarnya ini bukan pertama kali saya cantengan. Setahun mungkin sekali atau dua kali cantengan mampir di jempol kaki saya. saya pun tak punya obat khusus untuk mengobatinnya. Hanya dibersihkan, atau cukup direndam air hangat. Biasanya tuntas.. tapi cantengan kali ini berbeda. Beliau agak betah memndekam di bawah jempol kuku saya.

Saya sebenarnya heran, tak tahu kenapa si cantengan bisa rutin mampir di jempol kaki saya. Padahal ada teman saya yang katanya tak pernah menderita penyakit memalukan macam ini.
Apa mungkin dia dulu dapat imunisasi cantengan dan saya tidak?

Selintas pikiran iseng muncul. Apa mungkin presiden atau artis terkenal pernah cantengan. Misalnya SBY, Bung Karno, atau Dian Sastro, pernahkah beliau-beliau ini cantengan juga? Saya gak tahu.
Tapi kalau Gus Dur, karena begitu merakyatnya, mungkin pernah juga beliau dilanda penyakit ini.

Kembali ke cantengan jempol kanan saya.
Saya tak tahu persis kapan infeksi di jempol kaki saya mulai membengkak. Yang saya ingat, gejalanya mulai terasa setelah potong kuku hari Senin. Mulai terasa tuh senat senut di jempol kaki. Saya biarkan, karena biasanya cukup dibersihkan sudah hilang ngilunya.

Tapi gara-gara Rabu malam saya main futsal dan pakai sepatu yang agak sempit. Senat senut di jelpol kaki bukannya reda malah tambah menggila.
Tambah parah lah senant senut jempol kaki saya. Tambah tinggilah intensitas senat senutnya. Nut nut nut.. sampa ke dahi.

Saya pun akhirnya ngobrak-ngabrik gugel, untuk cari cara ampuh buat bunuh si cantengan. Soalnya hari Minggu mau ke kondangan, ada teman mau nikahan. Kan tengsin juga kalau ke kondangan masih jalannya tak tegap gara-gara cantengan.

Hasil ngubek-ngubek gugel, saya mendapat informasi bahwa obat cantengan yang mujarab adalah garamicyn..

Jadi, setelah dari kantor ini saya mampir ke apotek buat beli garamicyn. Katanya harganya cuma 25 ribu perak.

Oke, doakan saya semoga cepat sembuh..
Amin..

07 March 2011

Obrolan Tentang Alien




Benarkah alien ada?

Saya kira, pertanyaan tersebut masih sahih diajukan. Karena meski teori penolakan keberadaan alien bertebaran, teori tersebut bisa direduksi hanya dengan satu pertanyaan sederhana: bagaimana jika. What if. Bagaimana jika alien ada?

Ditemukannya crop circle di tiga tempat di Yogyakarta, yang menggegerkan di awal tanun ini tentu menjadi pertanda bahwa hal yang berhubungan dengan alien begitu menjadi perhatian khalayak.

Dan melihat betapa fenomena alien menjadi euforia, sejenak, pikiran iseng muncul dalam benak saya. Manusia ini kadang kelewat aneh: meski keberadaan alien misterius ia disukai dan digemari. Atau justru karena misterius tersebut ia jadi membangkitkan horor membangkitkan andrenalin dan karenanya jadi menghibur. Tengok saja daftar film laris hollywood, pasti film tentang alien ada di deretan film terlaris.

Tentu saja, crop circle yang katanya hasil karya iseng mahasiswa UGM itu, tidak bisa dijadikan bukti adanya alien. Namun, saya tertarik dengan pernyataan Drapper & Smith dalam textbook klasik bertahun 1966 'Applied Regression Analysis' yang biasa dipakai untuk menala ‘kebenaran’.

Buat mahasiswa science yang menjelang tugas akhir pasti tak asing dengan pernyataan Drapper & Smith itu . “The absence of proof is not the proof of absence,” demikian mereka. Ketiadaan bukti bukan bukti ketiadaan.

berikutnya tunggu catatan tentang alien..

23 February 2011

Bung Nurdin, kapan kiranya kau mati?




Jika diberi kesempatan bertemu dengan Bung Nurdin, saya cuma ingin ngomong: Udahlah Bung Nurdin, anda sebenarnya sudah gak layak jadi ketua PSSI.

Tapi tampaknya, omonganku tak mungkin didengarkan oleh Bung Nurdin. Ada begitu banyak orang yang rasanya lebih ahli dari saya, dan lebih punya kuasa dari saya, tapi akhirnya nasibnya sama di depan Bung Nurdin: dianggap angin lalu. Apalagi hanya skedar omongan saya.

Apalagi sekarang. tentunya hari-hari ini Bung Nurdin jauh lebih sibuk dibanding hari-hari sebelumya. Bung Nurdin pasti lagi memutar otak, menyusun rencana, dan mengatur strategi agar PSSI tetap di bawah pantatnya. Dan tentu, menjaga agar para pengurus PSSI di Pemrov itu, terus menjilati kakinya. Bisa saya bayangkan, pasti sibuk sekali.

Bung Nurdin, saya bukan fanatik. Saya adalah satu dari sekian banyak orang Indonesia yang berharap dan bermimpi timnas bisa bicara banyak di pentas dunia. Saya cuma ingin lihat timnas bertanding dengan sekuat tenaga dan seluruh kemampuan melawan Prancis atau Brazil di final piala dunia.

Saya cuma pemimpi yang ingin mendengarkan lagu Indonesia Raya dinyanyikan di laga-laga dunia. Melihat para suporter dengan bangga mengibarkan bendera mini, berdiri khidmat sambil bersenandung lirih menyanyikan lagu Indonesia Raya namun menggema diseluruh stadion. Di seluruh dunia.

Bermimpi para pemain timnas barbaris tegap saat bertanding di kancah Internasional dengan kaos garudanya, tangan kanan mereka bersidekap di dada. Mereka tak minder, karena percaya ada suporter yang menemani perjuangannya. Sadar ada tugas dan harapan dari seluruh orang di Indonesia yang di letakkan di pundak mereka.
Ah...betapa mengharukan dan membahagiakannya.

Namun, dengan harapan dan impian setinggi itu betapa kecewa dan menyedihkannya sepak bola tanah air sekarang ini. Betapa prestasi timnas kita terpuruk bahkan ditingkatan Asia. kompetisi kita carut marut dan penuh konflik, penjaringan dan pembinaan pemain kita payah. Hal tersebut diperparah dengan para pengurus PSSI yang menginginkan jabatan ketua sebagai jabatan seumur hidup. Makin mengenaskan dengan Bung Nurdin tetap keukeuh pengen jadi Ketua PSSI.

Ah...betapa mengecewakan dan menyedihkannya.

Padahal pada titimangsa kemaren, di ajang piala AFF, pasukan timnas sudah bertanding ala pahlawan. Mereka sadar betul ada mimpi yang harus mewujud dari bangsa yang haus prestasi. Karena prestasi satu-satunya yang konsisten dimiliki bangsa ini cuma korupsi.

Harusnya Bung Nurdin malu, karena ada orang-orang yang benar-benar memperjuangkan sepak bola Indonesia untuk meraih prestasi.

Bung Nurdin, kapan kiranya kau mati??

Tulisan ini sudah pernah saya posting di bulan September 2007. Hampir empat tahun silam. Namun tampaknya masih relevan dengan kondisi PSSI saat ini.

15 February 2011

Marwita Marganing Maruta



Kalimat di atas saya temukan dari bagian kedua dari trilogi Roro Mendut-nya Romo Mangun: Genduk Duku.

Kata tersebut diucapkan Slamet, suami Genduk Duku, saat mencoba menenangkan istrinya yang tiba-tiba saja menghadapi nasib yang tak menentu. Saat rencana yang sudah ditata baik-baik tiba-tiba direnggut kasar dan paksa oleh kekuasaan.

Marwita marganing maruta, berguru pada jalannya angin.

Kata yang punya cerita, marwita marganing maruta adalah nasihat kuno dari para nelayan. Berguru pada jalannya angin, adalah nasihat untuk memanfaatkan berbagai kondisi alam sekitar untuk sebuah kemajuan.

“Angin dorong dari belakang, maupun angin lawan dari muka, keduanya dapat dimanfaatkan agar perahu dapat maju”.

Nasihat memang selalu enak untuk didengar. Apalagi dipetuahkan. Namun saat melaksanakan, sungguh perkara yang berbeda.

Dulu, Saya sering prustasi jika menghadapi keadaan dimana rencana yang sudah tertata, kemudian terenggut. Rencana yang tersusun lenyap di tikungan.

Saat inipun saya masih terus berjuang mengalahkan ketakutan-ketakutan yang ada dalam diri saya. tentang mimpi, tentang harapan. Dan sungguh itu tak mudah. sering mengecewakan malah.

Namun, setidaknya saya masih dan akan terus mencoba. Ah, adakah cara lain selain mencoba?

rencana.., percayalah
Allah Maha Tahu, Kita tidak tahu apa-apa