30 March 2010

Romeo Juliet



Sebenarnya sudah lama saya nonton film Romeo Juliet (RJ) yang disutradarai oleh Andi Bachtiar Yusuf ini. Saya ingat pertama kali nonton film ini ketika tak sengaja datang ke acaranya nonton film bareng di Perpustakaan Umum Kota Malang. Namun karena satu dan lain hal, baru sekarang-sekarang saya sempat me-review kembali film ini. Tentu di tengah isu akan digelarnya Konggres Sepak bola Nasional (KSN) yang dengar-dengar akan menyumbang perbaikan dalam mengelola sepak bola nasional. Terlambatkah me-review film yang sudah lama? Nggak juga. Tampaknya berlindung pada pepatah ‘lebih baik terlambat dari pada tidak’ sesekali ada gunanya juga.

Secara umum, film yang diluncurkan April 2009 ini sudah termasuk berani dalam menyuguhkan film yang baru dan berbeda dari film yang lain. Di mana tren film saat itu masih berputar di sekitar film horor dan juga komedi yang gak jelas. Walaupun tema yang ditawarkan film ini adalah tema klasik : cinta yang tumbuh di tengah permusuhan, film ini menjadi menarik karena mengambil latar persepakbolaan nasional. Olah raga yang begitu dicintai mayoritas penduduk Indonesia. Menarik, meskipun tidak ada hal baru yang diungkap dari film tersebut. Film RJ sendiri memulai cerita dari satu kekerasan antar suporter yang melahirkan kekerasan baru dan terus menerus melahirkan kekerasan yang seakan tak putus-putus.

Seingat saya, ada dua film sebelumnya yang juga mengangkat atau berlatar sepak bola. Pertama, Garuda di Dadaku yang diproduseri oleh Ari Sihasale dan Gara-Gara Bola film komedi yang dibintangi Wingky Wiryawan. Dari dua film tersebut, Garuda di Dadaku berkisahkan perjuagan seorang bocah, Bayu, dalam seleksi masuk Tim Nasional Anak. Sedang Gara-Gara Bola bercerita tentang dua orang sahabat Ahmad dan Heru yang tercekik hutang akibat kalah dalam judi bola. Film bagus.

Dan jika saja film Romeo Juliet mampu mengangkat lebih dalam masalah persepakbolaan di Indonesia, saya pikir RJ bisa menjadi film yang lebih bagus dari dua film di atas. Tapi sayangnya film ini hanya mengangkat permasalahan permukaan dan (kemudian) mengeksploitasinya tanpa bisa meng-eksplore lebih dalam permasalahan sepak bola yang ada di negeri ini.

Saya sebut hanya mengeksploitasi karena film ini tidak menceritakan apa yang menjadi akar dari kekerasan antar suporter sepakbola itu sendiri. Dalam film ini terceritakan suporter Persija dan Persib adalah dua suporter yang bermusuh-bebuyutan yang tanpa awal (dan dengan ending film ini, permusuhan tersebut mungkin juga tanpa akhir). Seolah permusuhan antara kedua suporter tersebut adalah given. Menghadirkan cerita seperti ini saya pikir berbahaya juga karena bisa mewariskan dan melanggengkan permusuhan yang baru kepada penonton ataupun suporter-suporter yang masih anak-anak.

Kedua, disebut hanya mengangkat masalah permukaan karena bila mau melihat lebih seksama, kekerasan antar suporter pendukung tim sepak bola adalah satu keping bagian dari puzle carut marutnya sepak bola yang ada di negeri ini. Misalnya, permasalahan mafia sepakbola, pengaturan hasil skor pertandingan, dan ketidak keprofesionalan tim penyelenggara liga Indonesia. Karena bila melihat fakta di lapangan, salah satu penyebab kekerasan antar suporter maupun tindak anarki suporter adalah disebabkan oleh ketidak profesionalan pengelola liga sepak bola.

Di sinilah letak ironi yang bisa saja dimunculkan pada film RJ namun gagal dan tidak diangkat sama sekali dalam film ini. Misalnya, di saat para suporter mati-matian membela tim kesayangannya, di jajaran elit pengurus liga dengan mudahnya mengatur skore pertandingan dengan para mafia sambil berkaraoke ria. Atau memanipulasi kesadaran massa suporter untuk kepentingan satu kekuasaan ataupun demi nilai ekonomis satu pihak tertentu. Karena selalu ada logika sederhana: selalu ada yang diuntungkan dari dilanggengkannya sebuah permusuhan.

Namun, sekali lagi, sayangnya Romeo Juliet hanya mampu mensubtitusi latar cerita dan hanya mampu memberi warna-warna lokal agar tampak lebih Indonesiawi, tanpa banyak mampu menghadirkan tragedi dan ironi juga paradoks cerita dari tanah Italia karya Shakespeare itu. Paradoks terhadap olah raga yang begitu dicintai namun ternyata minim prestasi. Meskipun kalau dipikir dalam, agak memaksakan juga mensubtitusi dua keluarga yang bermusuhan pada dua suporter Persib dan Persija. Karena bila permusuhan dua keluarga asal kota Verona itu berhubungan karakter seorang pemimpin keluarga, sedangkan suporter berkaitan erat dengan kesadaran massa.


Jika saja film ini mampu memberikan potret-potret persepakbolaan Indonesia secara komprehensif dan tidak hanya mengeksploitasinya, saya yakin film RJ bukan saja dapat memberikan hiburan tapi juga cermin bagi semua pecinta sepakbola. Cermin untuk melihat wajah sepakbola nasional dan dengan rendah hati segera memulai membenahi segala carut marut sepak bola Indonesia yang minim prestasi ini.



:: beginilah kalau berprofesi sebagai penikmat film. Bisanya cuma berkomentar, mending kalau mutu::

24 March 2010

mendefinisikan diri

Saya sering tak tahu harus menjawab apa jika dalam percakapan ada seorang yang bertanya asli mana? Saya biasanya tak bisa langsung menjawab karena bingung, apa sebenarnya yang dimaksud dengan kata “asli” tersebut?
Apakah kata “asli” tersebut mewakili suku, bahasa, tempat lahir, atau budaya? Ataukah justru kata ‘asli’ tersebut merangkum semua pilihan di atas? Lalu, kalau memang ada yang asli, adakah yang tidak asli?

Sampai sekarang pertanyaan-pertanyaan tersebut selalu muncul dalam pikiran saya. Dan sampai sekarang belum bisa saya jawab dengan jelas.

Pertanyaan ‘asli mana’ sebenarnya bukan pertanyaan yang aneh. Malah pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang lumrah saja terlontarkan dalam setiap obrolan perkenalan di hampir kebanyakan orang. Sepengalaman saya, entah itu kebetulan atau tidak, hampir setiap saya berkenal dengan orang baru, entah itu basa-basi atau bukan, pertanyaan ‘asli mana’ hampir selalu meluncur dari mulut lawan saya bicara. Sepertinya dengan mengetahui lawan bicaranya ‘asli mana’, seseorang punya pengetahuan awal dalam mengenal karakter dan sifat orang tersebut. Dan oleh karena itu, punya cukup pertimbangan untuk memutuskan melanjutkan satu hubungan atau tidak. Entahlah

Kembali ke pertanyaan ‘asli mana’. Bila pertanyaan ‘asli’ itu berhubungan dengan budaya, maka kebingungan saya dalam menjawab pertanyaan ‘asli mana’ adalah mungkin karena saya tidak pernah belajar serius atau tidak pernah mengikuti sampai ke detail-detail akar budaya di mana saya tumbuh.

Misalnya, saya mengaku mempunyai akar budaya Sunda. Dalam artian saya, mempunyai akar budaya Sunda itu berarti, tumbuh besar dalam percakapan dengan bahasa Sunda, punya ikatan emosional sama Si Kabayan dan Si Cepot, pendukung Persib, berasa di rumah bila mendengar degungan Sunda, setidaknya menyukai wayang golek atau calung, dan selintas pernah diperkenalkan dengan seni tari dan karawitan dalam muatan lokal semasa di SMP. Dan lain-lain dan lain-lain. Namun, meskipun mempunyai akar budaya Sunda seperti saya sebutkan di atas, saya merasa akrab juga dengan budaya lain. Kehidupan priyayi kecil ala Umar Kayam, humor-humor celatukan ala Mas Butet, atau tradisi-tradisi Jawa yang diceritakan oleh Kuntowijoyo, yang mereka sepenuhnya adalah Jawa. Seneng juga sama Arema bahkan beberapa kali ikut konvoinya Aremania.

Semua itu terlewati tentunya seiring dengan latar belakang saya. Lahir dari orang tua Sunda asal Sukabumi. Tumbuh besar di Sukabumi, lalu baru pada umur 18 pindah ke Malang untuk bertemu dengan orang-orang dari berbagai penjuru Indonesia. Di Malang itu saya berteman akrab dengan berbagai Suku di Indonesia.

Maka, pertanyaan yang muncul adalah masih bisakan disebut asli bila kenyataannya dalam perjalan hidup mengalami banyak akulturasi budaya dengan budaya luar yang berbeda dengan akar budaya sendiri. Karena setahu saya, kata asli itu selalu mengacu pada kemurniannya. Alias tidak ada campurannya?

Entahlah. Mungkin pada akhirnya, budaya, suku, tempat lahir, keturunan, atau klasifikasi lain apapun itu, terkadang tidak cukup untuk menampung definisi seseorang di dalamnya. Manusia jelas lebih kompleks dari sekedar satu set nilai yang telah dikotak-kotak oleh inspirasi pemikiran manusia. Apalagi tengah hidup di jaman seperti saat ini, di mana begitu deras dan mudahnya pertukaran pemikiran dan nilai antar budaya. Sehingga munculnya seorang yang keluar dari kotak-kotak definisi lama dan mendefinisikan dirinya sebagai seorang berbeda, sebagai seorang ‘antar budaya’, adalah hal yang mungkin saja terjadi.

Mungkin juga tidak. Saya tak tahu pasti. Mungkin sebenarnya tulisan ini adalah bentuk pembelaan diri sendiri karena belum bisa saya menerangkan atau mencerminkan satu sistem nilai atau kelompok budaya di mana saya sebenarnya berdiri. Atau justru tadi itu. mencoba mendefinisikan diri sebagai seorang yang antar budaya.
Ah, entahlah.

Hal yang menarik yang belum terceritakan di atas adalah betapa sederhananya sebagian dari kita memberikan cap tertentu pada satu himpunan manusia. Bahwa yang Makassar itu keras, atau yang Solo sebagai yang halus dan santun... Entah kapan kita akan belajar bahwa keragaman adalah sesuatu yang senantiasa melekat pada manusia di mana saja, entah itu di tanah Papua atau di tatar Sunda.

Entahlah.

Nah, kalau sekarang anda ditanya asli mana, anda akan menjawab apa?

07 March 2010

Suporter Senayan

Ibenk : huuu...! huuuuu... huuu...!
Abang : hey, ngapain!? Berisik tau?!
Ibenk : jangan ganggu deh, Bang. Lagi persiapan nih. Huuu... huuuu...!
Abang : persiapan apa? Mau jadi suporter, ya?
Ibenk : bukan, Bang. Persiapan 2014 nanti nih.
Abang : oo.., persiapan piala dunia 2014. mau jadi suporter mana nih?
Ibenk : ih.. Bukan!
Abang : lha, terus ngapain haha huhu.. haha huhu ga jelas kayak suporter gituh.
Ibenk : ini lagi latihan persiapan untuk jadi caleg ke senayan, Bang.
Abang : &^^*&*(()%.

06 March 2010

Ketombean

Ibenk : obat gatal-gatal di kepala apa ya, Bang?
Abang : emang kenapa kepalanya?
Ibenk : ga tau nih, Bang. udah lama gatal banget.
Abang : kutuan paling?
Ibenk : ih.. bukan. Kayaknya sih ketombe.
Abang : ketombean mah gampah atuh. Keramas ajah yang rutin.
Ibenk : masa sih? Tapi ko masih gatel yah, Bang?
Abang : Ibenk rutin ga keramasnya?
Ibenk : bukan rutin lagi Bang. Tiap kali mandi saya keramas.
Abang : yang bener, ah?
Ibenk : serius, Bang.
Abang : ko aneh ya? emang mandinya berapa hari sekali?
Ibenk : lumayan sering sih, Bang. Rata-rata seminggu sekali lah..
Abang : euuhhh!! Borokokok siahh!!