22 July 2008

Kalau bisa, Bukan titik akhir



Malam itu entah hari apa dan entah hari ke berapa saya berada di kapal. Mungkin hari ke lima, mungkin juga hari ke enam. Ah..entahlah. Sejak hari pertama di kapal, jalannya waktu memang sudah tak terperhatikan lagi. Tidak terperhatikan, bukan tidak diperhatikan. Karena memang saya sudah tak sanggup lagi untuk memperhatikan.

Terombang-ambing di Kapal Motor 99 GT di Samudera Hindia membuat saya seperti terserang penyakit types. Pikiran tak sanggup lagi konsentrasi lebih dari dua menit. Pikiran mudah melayang kemana-mana. Badan cuma bisa berbaring karena lemas. Kepala pusing pening seperti digodam. Perut mual tak bisa makan.

Selama perjalanan sampai saat itu, perut hanya terisi air teh manis. Tidak lebih. Makanan tak sanggup lewat lebih dari lambung. Saya perhatikan, jari-jari tangan dan kaki sudah seperti kerangka.

Beginilah kalau orang gunung tersasar berlayar ke samudera: mabuk laut. Skripsi saya yang membahas pemetaan nelayan longline di Samudera Hindia mengharuskan saya berlayar bersama nelayan longline ke Samudra Hindia selama 15 hari.

Menjelang tengah malam, para ABK mulai berdatangan ke dek, tempat dimana ABK  beristirahat. Tampaknya kerja sudah selesai untuk hari itu. Meski masih pusing, saya paksakan untuk duduk dan ikut dalam percakapan mereka. Percakapan tentang pengalaman menjadi nelayan. Sebagian dari mereka masih sebaya, beberapa ada yang lebih muda dari saya. Total ada 12 ABK. Mereka semua dari Pemalang, kota dekat Cilacap di Jawa Tengah sana.

“Capek, Mas. Kerjanya gak kenal jam. Sehari istirahat paling cuma lima jam, Kadang seharian penuh selesainya pekerjaan. Udah gitu belum tentu dapat ikannya lagi...,” seseorang mengawali pembicaraan.

“Belum kalau ada gelombang besar, Mas,” timpal yang lain.

Seorang teman ABK lain, yang ikut menumpang untuk pulang, ikut bercerita pengalamannya. “Kalau sekarang saya pulang dulu, Mas. Mau ke Bandung. Ada pekerjaan lain. Baru dua bulan setengah saya di laut. Harusnya sih enam bulan,” paparnya, menjelaskan alasan berhenti sementara melaut.

“Lha, terus bayarannya gimana dong?” heran saya.

“Yang penting sudah bisa tutup kasbon, Mas. Delapan ratus ribu sama rokok dua ratus ribu,” ungkapnya.

“Kalo gak melaut kerjanya apa, Mas?” tanyaku.
“Ya...apa saja. Kadang jadi cleaning service di Semarang.”

“Kalo dulu saya ingin melanjutkan sekolah ke SMA, Mas. Tapi orangtua gak punya biaya. Malahan saat pembagian ijazah saya udah melaut.” Seorang lagi anak muda yang dari tadi diam saja, ikut angkat bicara, meski terdengar lebih sebagai gumam ke dirinya sendiri.

“Kalo ada pekerjaan lain, saya mau kerja yang lain, Mas,” ucapnya.


Tak persis demikian memang percakapannya, namun semacam itulah. Dan sayapun jadi sadar tentang apa artinya menjadi nelayan bagi (sebagian) anak nelayan. Nelayan adalah pekerjaan yang liat dan pekat dengan resiko. Menjadi nelayan adalah titik berangkat dari hidup mereka, dan bukan titik selesai. Kalau bisa, bukan titik selesai.

Di mata kuliah Ekonomi Perikanan semester dua dulu, tak pernah terbaca dan terpikir bahwa menangkap ikan (menjadi nelayan)  adalah sebagai salah satu upaya ekonomis beresiko tinggi. (aduh...maaf..maafff, ini mungkin lebih karena sayanya saja yang  jarang baca teks wajib kuliah atau jarang masuk kuliah..). Ternyata saya salah.

Dari awal saat kapal berangkat, perkara BBM (mahal dan langka), cuaca, hujan, gelombang, arus, angin, umpan, air yang kurang, makanan yang menipis, dan sebagainya dan sebagainya sudah menghembalang. Ketika ikan di tanganpun masalah tak terhenti, hanya berganti nama menjadi pembusukkan, panjangnya rantai distribusi, penyimpanan, harga rendah, dan lainsebagainya-dan lainsebagainya.

Menjadi nelayan memang bukan tentang melulu menaklukkan lautan tapi lebih menaklukkan diri sendiri. Ia menuntut keberanian, kesabaran, keuletan, dan pada akhirnya kepasrahan. Walaupun banyak yang tak setuju premis tersebut, pada akhirnya kita mesti menerima bahwa seperti itulah kenyataan nelayan kita saat ini.

Di luar, gelombang masih mengguncang lambung kapal. Gelap semakin pekat. Angin kencang dengan aroma garam masih menusuk hidungku. Saya berbaring limbung.

No comments: