22 January 2013

Kisah Tragis Para Petinju



Sampai membaca buku karya FX Toole, Agustus lalu, saya tak terlalu begitu mengenal tinju. Paling saya mengenal tinju hanya sebagai olah raga dengan guyonan yang sedikit nyinyir. "Cari duit saja sampai harus babak belur."  :D

Namun setelah membaca Kisah-kisah Di Balik Ring karya Toole, pengetahuan saya tentang tinju benar-benar berubah. Lewat cerpen-cepennya, Toole menceritakan bahwa tinju itu bukan soal adu jotos di atas ring. Tinju berbeda dengan tawurab di jalanan di mana yang besar-kuat pasti menang. Tinju adalah olah raga untuk menguji dan mengenal diri sendiri. Tinju adalah soal harga diri.

Enam cerpen dalam buku tersebut, Toole menghadirkan tokoh-tokoh yang jarang disorot. Toole juga menguak cerita-cerita yang jarang diketahui atau sudah menjadi rahasia umum. Seperti, praktik suap juri, pembagian honor antara petinju, aksi culas promotor, kepiawaian seorang cut man dan sebagainya dan sebagainya. Kehebatan Toole adalah, mampu menguak cerita-cerita yang di balik gemerlap dunia tinju dengan penuh detail.

Lewat pengalamannya di dunia tinju, Toole mampu menggambarkan dunia tinju yang keras, berdarah, penuh intrik dan juga airmata.

Namun entah kenapa, Toole selalu mengakhiri ceritanya dengan ending yang pahit. Beberapa bahkan nyaris tragis. Hanya satu cerpennya yang menurut saya cukup melegakan, Tampang Siamang. Selain itu pahit. Sepahit empedu.

Salah satu  cerpen terbaiknya, Million $$$ Babby pernah diangkat ke layar lebar dengan sutradara Clint Eastwood. Film tersebut menyabet empat Oscar.  Diantaranya untuk kategori film terbaik. Film yang wajib tonton.

Satu lagi yang membuat saya betah membaca buku ini adalah karena sang penerjemah, mampu menangkap feel bahasa aslinya dan menerjemahkan dengan istilah kita.  Maka jangan kaget jika dalam dialog anda akan menemukan kata-kata pukimak,dan toket. :D

Selamat Membaca.

10 January 2013

Gara-gara The Beatles

Menulis fiksi itu gampang-gampang susah. Meski kadang banyak susahnya. Salah satu cara agar lancar menulis adalah latihan menulis dengan metode free writing. Saya coba, dan hasilnya tak buruk-buruk amat.

Selamat membaca.

------
Namaku Refa. Kata ibu, nama itu pemberian ayahku. Aku percaya saja karena tak bisa menanyakan langsung kepada ayah. Ayah pergi saat aku masih dalam kandungan.

Aku tak tahu alasan kenapa ayah pergi meninggalkan aku dan ibu. Kata tente Rin, mereka berpisah karena The Beatles. Ayah menganggap Yoko Ono adalah setan yang  berwujud perempuan sebagaimana setan dulu berubah wujud menjadi ular untuk memisahkan Adam dan Hawa di surga. Kata ayah, karena Yoko Ono,  persahabatan John Lennon dan Paul McCartney renggang dan akhirnya The Beatles bubar.

Sementara menurut ibu, John jadi lebih utuh dengan kehadiran Yoko. Karena perbedaan itu, ibu dan ayah sering bertengkar. Sampai suatu pagi, ayah pergi meninggalkan rumah kontrakkan dalam keadaan seperti kapal pecah.

Aku sebenarnya tak peduli dengan The Beatles. Tapi ibu sering cerita bagaimana ia mengenal The Beatles dari ayah. Sejak diperkenalkan lagu Yesterdays ibu langsung jatuh cinta pada grup band tersebut.  

Menurut ibu The Beatles tak seperti superstar lainnya. Mereka selalu tampak sederhana dan kompak. Mungkin karena mereka tumbuh dari Liverpool. Kota kelas pekerja. Sama seperti kakek yang juga buruh.

***
Dari cerita ibu, namaku, diambil dari kata reformasi. Ayah adalah aktivis mashasiswa 98 asal Jogja, sementara ibu kuliah di UI. Mereka bertemu saat demo besar-besaran menuntut Pak Harto mundur. 
Kata Tante Rin, adik ibu, sejak pertama bertemu, mereka langsung klop. Di sela-sela demo mereka berpacaran dan sempat menghabiskan waktu ke ancol berdua. Tante menyebutnya sebagai pasangan serasi seperti Romeo dan Juliet. Mereka menikah tahun 2000 tepat saat usiaku 2 bulan dalam kandungan.  

Suatu pagi ibu menangis saat membaca koran di kursi meja makan..



09 January 2013

Penyesalan

Seorang teman pernah bertanya, apa penyesalan terbesar dalam hidupmu ?

Meski disampaikan sambil lalu, pertanyaan tersebut terus berputar-putar di dalam kepala hingga sekarang. 
Ah, penyesalan, kenapa ia selalu datang belakangan? Saya tidak tahu. Mungkin seperti kata Stephen Hawking, karena manusia cuma bisa mengingat waktu psikologis. Manusia hanya bisa mengingat masa lalu dan bukannya masa depan.

Jadi apa penyesalan terbesar? Kalau harus menjawab pertanyaan di atas, sepertiya ada dua penyesalan dalam hidup saya. Dan andai saja waktu bisa diputar ulang, atau ada mesin penjelajah waktu, saya ingin mengulang kembali ke waktu tersebut.

Tentu saja berandai-berandai macam itu tak akan membuat masalah selesai. Hanya mengorek-ngorek luka lama.

Baiklah, agar ceritanya sedikit seru, saya ceritakan dari penyesalan yang kedua terlebih dahulu.

Penyesalan saya yang kedua datang di masa masa-masa akhir kuliah. Waktu itu, bisa dibilang saya sedang melarat. :D Tabungan yang tak seberapa sudah terkuras untuk skripsi. Sementara, jatah dari orangtua sudah habis buat persiapan wisuda. Ah, kuliah memang tak murah. Ingat itu.

Karena berbagai alasan, saya juga tak bisa meminta uang tambahan ke orangtua. Jadi akhirnya dengan sangat terpaksa beberapa buku yang belum saya kirim ke rumah, saya lego untuk memperpanjang hidup di Malang. Empat buku seratus ribu rupiah. Murah.

Buku yang saya jual adalah, Setelah Revolusi Tak Ada Lagi karya Goenawan Mohamad, Kentut Kosmopolitan, Seno Gumira Ajidarma, kumpulan features Dari Bali sampai Venesia, Shindunata dan satu lagi serial Soekarno-saya tak ingat judulnya apa.

Beruntung saya punya teman yang sama-sama mencintai buku. Jadi saat melepas buku tersebut, saya cukup lega karena buku tersebut tidak jatuh ke tangan orang yang salah. Begitu ada uang, mungkin saya bisa membayar kembali buku-buku tersebut. Begitu pikir saya.

Tak terbayang jika saya harus menjual buku tersebut ke pasar buku Wilis, Malang. Kemungkinan buku tersebut hanya dibeli setengahnya. Penjual buku di pasar Wilis menghargai buku bukan dari penulis, tapi dari ketebalan buku. :D


Menjual buku untuk bertahan hidup? Apakah tedengar menyedihkan. Menurut saya iya. Apalagi buku-buku tersebut saya kategorikan buku langka. Saat saya mau membeli kembali buku tersebut, teman saya menolak. “Buat kenang-kenangan dari kamu,”alasannya. 

 Yah, begitulah. Sama-sama pecinta buku memang susah untuk melepas buku. Sampai saat ini saya belum bisa mengganti buku-buku tersebut. 

Lalu apa penyesalan pertama? Penyesalan pertama agak rumit untuk saya ceritakan. Saya menyadari bahwa memang penyesalan terbesar itu bukan tentang apa yang telah dilakukan, tapi tentang apa yang tidak dilakukan.

Ini soal perempuan, jadi saya tak bisa banyak cerita. Lihat, bahkan untuk menceritakannya pun saya malu-malu. :D

Omong-omong, apa penyesalan hidupmu?

05 January 2013

Work Hard, Party Hard

Kerja habis-habisan, lalu pesta gila-gilaan. Di Jakarta, beberapa kalangan menjadikan idiom ini sebagai gaya hidup. Tak percaya? tengoklah beberapa tempat di Jakarta di akhir pekan. Kemang misalnya. Maka mulai Jumat sampai Sabtu malam, klab, kafe dan tempat pesta lainnya ramai disesaki kaum urban setelah lima hari  didera pekerjaan. Bukan gaya hidup yang baik tentunya, meski patut juga dicoba sesekali. :D

Dalam kultur Timur, atau masyarakat desa, pesta biasanya dirayakan sebagai cara untuk mengukuhkan nilai-nilai tradisi. Berbeda dengan di kota. Dalam masyarakat urban, pesta identik sebagai cara untuk mengabaikan nilai-nilai. Terutama  nilai yang berada di luar pesta. Jika nilai, norma, adalah pagar yang mengurung, maka saat pesta pagar tersebut bisa didorong sejauh mungkin. Bahkan, diharapkan setiap orang untuk melepaskan keterkungkungannya dari norma dalam kehidupannya sesehari di luar pesta.

Maka yang terjadi dalam pesta adalah kegilaan. Setiap orang boleh mengekspresikan kegilaannya. Meski akhirnya pagar tersebut kembali menciut begitu pesta usai.

Saya bukan penyuka pesta atau acara yang digarap untuk merayakan sesuatu atau untuk "meledakan" diri. Entah kenapa. Mungkin karena saya tak tahu mesti ngapain. Saya sering kikuk jika menghadapi orang yang tak dikenal. Apalagi ada kebiasaan sering membicarakan dan men-share apa yang terjadi di dalam pesta ke luar pesta.

Padahal di Amerika misalnya, ada idiom what happens in Vegas, stays in Vegas. Idiom tersebut mengartikan bahwa kegilaan yang terjadi di tempat pesta, usahakan tak menjadi pembicaraan. Orang dibuat mengerti kapan nilai tersebut bisa didorong dan dilucuti, kapan tetap harus dihormati.

Di Indonesia idiom tersebut bisa berganti menjadi, what happens in party room, stays in party room.


O,iya.. Kapan terakhir Anda mengkikuti pesta?
Akhir tahun kemarin? Apakah Anda ikut meledak?? :D