15 November 2008

Segenggam Cinta dari Anis Matta




Perasaan apa yang melanda para pecinta ketika cinta menyapa? Dari mana cinta datang dan kemana cinta menghilang? Apa cinta itu? Sepertinya pertanyaan seputar cinta tak akan pernah habis dan selesai. Manusia memang bisa bertanya, tapi sepertinya manusia tak akan pernah menemukan definisi yang paling pas, yang paling tepat dan paling seksama. Pasti selalu ada yang lemah, dan tidak setara, dalam setiap definisinya tentang cinta. Ada yang tak sepenuhnya bisa ia ungkapkan ketika berbicara cinta. Sebab itu mungkin manusia membuat media-media abstrak: puisi, alegori, lagu, lukisan, mitos, untuk menggambarkan cinta, untuk menggambarkan seluruh fenomena emosi dan stimultan yang tengah mereka rasakan, namun tak sepenuhnya juga bisa diungkapkan.

Mungkin dari keterbatasan pemahaman manusia tentang cinta itulah sebuah tulisan pendek hadir tiap dwi mingguan selama tiga tahun, di sebuah majalah. Hanya satu halaman namun begitu dinanti-nanti oleh para pembaca setia majalah tersebut. Kolom, yang diasuh oleh stamina satu orang tersebut hadir dengan sebuah gayanya yang khas.

Lalu apa sebenarnya yang diinginkan Anis Matta, sang penulis, seorang da’i, seorang politikus terkemuka, dengan tulisan-tulisannya tersebut?

Satu hal yang jelas, Anis hadir kepada sidang pembaca dengan menawarkan sebuah jalan alternatif. Sebuah wacana, sebuah ide, sebuah gagasan baru tentang topik perbincangan yang tak selesai-selesai selama berabad-abad itu. Mungkin tidak semuanya baru tapi Anis mampu mengemas dan menampilkannya menjadi sesuatu yang segar dan pembaca ‘dipaksa’ untuk merenungkannya. Sehingga setiap tulisan dalam Serial Cinta adalah sebuah cerminan pendekatan terhadap ide besar. Kesederhanaannya bercerita, limpah perhatiannya pada detil dan hal kecil dari kehidupan tentang pengelolaan cinta tersebar ditiap tulisannya, spontan dan konsisten memberikan kearifan dalam memandang fenomena cinta, menjadi gagasan tiap-tiap tulisannya.

Maka tulisannya mencerminkan sebuah kekuatan dalam kelembutan –sebuah gaya yang jarang ditemukan dalam penulisan sebuah kolom di majalah-majalah lain. Tabur metafora yang menghiasi tiap tulisan, kata putik yang lincah namun tetap terkendali, kombinasi antara kata kutipan dan kisah yang serasi, semua meluncur dari jemarinya. Semuanya dapat menunjukkan bagaimana Anis serius dan intens dalam memberi daya gugah dalam tiap tulisannya sekaligus menunjukkan kehadirannya ketika berhadapan dan ‘mengobrol’ dengan para pembacanya.

Lalu dari mana Anis mendapatkan daya gugah sebesar itu? Semua itu memang bisa dilihat sebagai kelihaian menulis dan keahlian menyampaikan gagasan. Tapi tampaknya bukan hanya itu yang menjadi kekuatan dalam tiap tulisannya. Jika konsepsi adalah sebuah pondasi di mana sebuah tulisan akan dibangun, maka dapat dipandang konsepsi Anis adalah konsepsi yang sudah matang dan selesai.

Oleh karena itu di dalam 73 tulisannya, kita tidak bisa mendeteksi Anis bicara tentang, atau merekam, kejadian dalam kehidupan pribadinya. Ia tidak menjadi topik utama atau menjadi lakon utama dalam tulisannya. Anis tampak telah lepas dari masalah-masalah pribadinya. Ia sudah tidak terjebak dalam pertanyaan kegelisahan atau pencarian-pencarian dalam misteri, yang justru biasanya terjadi ketika seseorang menulis tema cinta, melainkan Anis datang ke dalam kehidupan dengan tulisannya untuk memberikan penjelasan atau bahkan jawaban.

Setidaknya, ia menyampaikan apa yang bisa dan seharusnya ada ketika orang bicara dan mengelola cinta. Ia dengan kearifannya, seperti seorang guru, mengajari atau tidak, agar pikiran-pikirannya didengarkan dan direnungkan. Sehingga dalam membaca tiap tulisannya pembaca tidak dibawa larut keseluruhan dalam obrolan cinta yang tanpa ujung dan tak habis karena rasa terbawa romansa. Tapi di hadapan tulisan Anis akal kita disiapkan agar tetap terjaga walaupun rasa sedang berkelana.

Makanya dalam buku Serial Cinta, kita dapat melihat penuturan baru ketika berbicara cinta: sang penulis membedah fenomena cinta menjadi pecahan kecil-kecil, dianalisa, dideskripsikan lantas dikategorisasi yang semuanya menyebar dalam tiap tulisannya. Tapi dalam proses tersebut ia tidak terjebak dalam bahasa teknis dan narasi yang berbelit dan bercabang. Malah sebaliknya, Anis menuliskannya dengan apik dan penuh puitik. Melankolik tanpa jadi dramatik. Ia mampu memaparkan gagasan-gagasannya dengan cukup lengkap, menyentuh berbagai dimensi, serta sistematis dan tertib.

Tentu saja dalam penyampaian gagasannya Anis telah siap dengan catatan sejarah yang valid dan kutipan-kutipan serta kisah untuk menguatkan argumentasinya. Barangkali itu yang memang harus diyakinkan untuk mengguncang persepsi dominasi yang ada saat ini. Terutama untuk meyakinkah bahwa ‘suatu hal’ itu pernah terjadi di dunia di masa lalu dan ‘suatu hal’ tersebut masih mungkin untuk diulang hari ini.
***

Hal yang tampak kurang menarik dari Serial Cinta adalah penggunaan judul buku yang terasa kurang menggugah dilanjutkan dengan penjelasan judul yang terlalu mendramatisir. Sedangkan gambar sampul serta tata letaknya sepertinya tidak terlalu mendapatkan perhatikan yang serius dalam penggarapannya. Sehingga –bagi yang tidak pernah mengenal kolom Anis Matta- tampak terkesan isinya main-main terlebih bila disandingkan dengan judulnya yang terlalu mendramatisir.

Namun dari semua itu buku Serial Cinta tetap berharga untuk menjadi tambahan referensi bagi siapa saja yang ingin lebih memahami tentang cinta dan ingin melihat cinta dalam warna yang berbeda. Anis memang telah menambah segenggam pasir pemahaman yang diambil dari bentangan gurun cinta. dan meskipun kita bertambah pengetahuan toh kita tetap sulit mendefinisikannya kembali tentang cinta.

Mungkin inilah yang dimaksud oleh penulis dalam cinta tanpa definisi-nya. bahwa cinta tak perlu definisi:
Cinta adalah kata tanpa benda, nama untuk beragam perasaan, muara bagi ribuan makna, wakil dari sebuah kekuatan tak terkira. (tapi) Ia jelas, sejelas matahari.

* Penikmat buku, Mahasiswa Universitas Brawijaya.

2 comments:

Anonymous said...

lagi jalan-jalan dan mampir lagi hehe...

pernah suatu hari saya menanyakan perihal perasaan saya pada seseorang, pertanyaan saya sederhana.
apakah saya sedang jatuh cinta?
kok katanya saya cuman simpati aja. Alah... sedari dulu itu mulu jawabannya, lha terus kapan saya tau rasanya jatuh cinta. daripada sibuk mendefinisikan yang namanya cinta yang ga jelas wujud dan gejalanya itu mending mendefinisikan sintax pemrograman, jelas parameternya dan bisa diukur hasilnya dan bisa menghasilkan uang... hehe...

Bambang Trismawan said...

cinta emang bukan untuk di jawab-macam-macam. didefinisikan rupa-rupa. bukan untuk
diukur-setepat-tepatnya juga.
apalagi untuk digambarkan serinci-rncinya.


ga usah...
justru semakin analitik benak kita mendefinisikan, semakin nggak sesuai fenomena cinta dengan pengalaman kita sendiri.


untuk tahu bahwa seseorang jatuh cinta atau tidak. hanya cukup diam sebentar lalu bertanya pada hatimu yang terdalam. Apakah kau sedang jatuh cinta...

dan bravo...kau akan tahu!