28 August 2010

Kamu adalah Stiker di Sepakbor motormu

Selalu saja ada cara untuk berkomunikasi dengan liyan. Mulai dari update status di facebook, berkicau di twitter, pakai pin di baju, pasang atribut, atau cuma sekedar pasang stiker di spakbor belakang atau kaca belakang mobil (jika anda punya mobil tentunya).

Pesan yang terkandung dari komunikasi tersebut pun beragam adanya. Dari satu pernyataan pribadi akan sesuatu yang dianggap penting, cara bilang bahwa kita adalah bagian dari satu komunitas yang lebih besar sampai sekedar mengutarakan simpati (atau antipati) terhadap satu ide.

Dunia tempat kita hidup memang sudah serba bising. Semua bersama-sama berebut corong bicara ke khalayak ramai. Hidup di dunia yang semacam ini, punya satu cara untuk menyatakan diri mungkin memang jadi penting.

Satu hal yang sering saya catat dan sengaja saya catat adalah cara komunikasi manusia lewat stiker yang menempel di spakbor belakang. Di Jakarta, juga di kota-kota lain yang sering macet, stiker yang menempel di spakbor belakang memang cara efektif untuk berkomunikasi. Sebab, kemacetan dan antrian yang mengular bisa dengan mudah pengendara motor dibelakang untuk melihat stiker yang ada didepannya.

Dari hasil penyelusuran, saya golongkan beberapa stiker yang menempel di kendaraan yang saya temui.

Pertama, stiker yang isinya bilang bahwa si empunya motor adalah bagian dari satu komunitas besar. Biasanya tertempel nama universitas tempat dia kuliah, tempat perusahaan dia bekerja, atau profesi si empunya motor. Biasanya isi stiker ini bunyinya, Universitas Indonesia, Bank Indonesia, atau Press.

Kedua, stiker yang isinya peringatan atau warning untuk hati-hati. Stiker ini isinya mewanti-wanti pengendara yang ada dibelakangnya. Misalnya: Awas Nabrak, Hati-Hati Jangan Ngebut, Kau Aman di Belakangku, Motor Aparat- Jangan di Maling. Atau kadang isinya seruan untuk beribadah. Sholat dan Tilawah. Dll..

Yang ketiga, saya masukkan dalam kategori provokasi. Stiker ini lebih keras isinya karena berani mengutarakan antipati terhadap satu ide

Misalnya, Yang Lambat Pasti Ketinggalan.
Atau yang punya motor matik: Hari Gini Oper Gigi- Cape Deh, atau sengaja bermain pantun. tapi isinya tetap saja kebanggaan naik matik: Kain Batik Burung Gelatik Motor Matik Pacar Cantik.

Balasannya pun tak kalah sengit. Lelaki Sejati Pasti Oper Gigi,atau sindiran halus: Motor Gak Pake Gigi-Nenek Gue Kali.
Ada juga yang lebih mawas diri. Lebih Baik Oper Gigi Dari Pada Oper Kredit. Haha..

Namun, dari semua itu, yang bikin saya terkagum-kagum adalah isi gantungan yang ada di bawah ini:

17 August 2010

Terjajah di momen kemerdekaan

Hari Selasa. 17 Agustus. Perempatan belakang Kejagung tampak begitu tenang hari ini. Tak terlalu macet. Mungkin karena hari libur batinku.

Tapi, tiba-tiba raungan serine memecah kesunyian jalanan. Satu motor menghadang lalu lintas di lajurku. Lalu dengan cepat belasan mobil melintas dengan kecepatan tinggi. dengan klakson menghentak dan menghardik. dengan seenaknya menerobos lampu merah yang sedari tadi menyala.

Saya coba ikuti. Ingin tahu siapa punya ulah di hari kemerdekaan sekarang ini. tak ada identitas. Namun dari beberapa mobil terpasang sticker yang sama di kaca belakangnya. Selintas terbaca Low Brain. Siapa pula low brain ini, pikirku.

Sampai di Jalan Asia-Afrika konvoi mobil bergabung dengan puluhan konvoi sepeda motor. Beberapa pemuda berseragam sekolah SMA terlihat menghentikan arus lalu lintas dengan kibaran bendera.

Serine terus meraung dari beberapa mobil. Klakson-klakson terus menghardik motor atau mobil yang menghalangi jalan mereka. Puluhan motor dengan penumpang berpenampilan seragam tampak sumringah sembari mengibar-ngibar bendera. Tak ada helm. Hanya berbekal atribut merah putih dan bendera. Merah putih begitu semarak. Terus dikibarkan untuk menghadang laju mobil dari simpang yang lain.

Inikah saat yang tepat untuk merasa bangga? Momen kemerdekaan yang nyata? Ketika sang saka begitu digdaya ditinggikan? Lalu kenapa perasaan yang spontan muncul dalam benakku justru umpat dan despise?

16 August 2010

Gegar Budaya di Jakarta

Kalervo Oberg, ekonom Kanada yang kemudian hari jadi anthropolog, suatu kali bikin istilah 'culture shock', atau 'gegar budaya'. Istilah tersebut ia gunakan untuk membahasakan kekagetan dan kekikukan seseorang dari satu budaya kemudian bersua atau hijrah ke tempat dengan budaya berbeda.

Gegar budaya. Culture shock. Itulah kata yang mewakili keadaan saya beberapa waktu belakang ini. keadaan yang menggambarkan keadaan saya yang tergagap-gagap dalam menjalani hidup sesehari di Jakarta.

Untungnya, tak hanya saya yang pernah mengalami gegar budaya seperti ini. Jutaan orang yang tinggal di Jakarta tapi berasal dari ruang budaya lain pun mungkin pernah mengalami hal yang saya alami. Maklum saja, menurut saya, Jakarta memang menyimpan auranya sendiri. Menawarkan kemewahannya sendiri. Kesemrawutannya sendiri. Tantangannya sendiri. Dan, tentu saja, menampilkan kekumuhannya yang khas juga.
Sebab itu, orang dari berbagai sudut negeri ini, akan dengan mudah tergagap-gagap begitu pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta.

Karena itu, saya sering mendapatkan diri ini terngugun sendirian di hadapan kesemrawutan Jakarta. Tercenung di kemewahan Jakarta. Terheran-heran dengan logika yang digunakan dalam interaksi dengan yang liyan. Logika dingin yang terkadang tak kenal pertimbangan familial. Hubungan antar sesama yang terasa asing. Dengan mudah bertemu orang dari berbagai tempat di negeri ini untuk kemudian hilang entah ke mana.

Satu gegar budaya yang menarik yang saya alami adalah tersesat di belantara Jakarta. Untuk dua minggu atau tiga minggu pertama saya di Jakarta, hampir setiap hari saya kesasar, tersesat. Muter-muter di sepanjang jalan Sudirman-Thamrin. Maksud hati ke Kebayoran Lama, tiba-tiba saya temukan diri ini sudah di jalan menuju Tangerang. Mau pulang ke Depok, eh, sudah mau ke Banten. Mau ke Liga Mas Pancoran.. tiba-tiba sudah ada ada di semrawut Pasar Minggu. Fiuh.. dan lain-lain dan lain-lain. Padahal saya sudah sedia dengan peta Jakarta yang saya persiapkan jauh-jauh hari. Peta tetap saja peta. Tidak mengaggambarkan suasana bumi yang sebenaranya.

Gegar budaya yang menarik lainnya adalah ketika memasuki Sudirman Central Business District (SCBD). Di sana, saya bukan saja merasa menjadi alien. Tapi saya merasa datang ke tempat yang asing sama sekali. Bukan hanya dengan teknologi yang ada di sana. Tapi juga manusia yang berulang-aling, keluar masuk gedung pencakar langit, Bertemu manusia dengan pakaian yang hampir sama..

Pekerjaan saya memang memungkinkan saya untuk menghadiri undangan-undangan dari kantor yang berada diperumahan yang biasa-biasa sampai diskusi di hotel berbintang-bintang. (Untunglah pekerjaan saya tak menuntut saya untuk bangun pagi-pagi. Tidak menuntut pakaian yang resmi. Celana jeans dan kaos oblong pun jadi  ).

Yang menarik, dari pengalaman keterasingan serta kegagapan budaya macam di atas tadi adalah kesadaran bahwa lama-kelamaan makin mirip siputlah saya ini: ternyata rumah saya menempel di punggung sendiri dan terus menerus dibawa kemana-mana.
Apalagi kalau bukan disebut siput namanya. Ketika saya datang ke suatu tempat namun tak bisa untuk berbagi sepenuh asumsi akan hidup dan kehidupan dengan sebagian masyarakatnya. Masih pantaskah tempat tadi disebut tempat tinggal? Jika masih terasa terasing dengan dera putar kota beserta nilai, rasa, norma dan pemikiran di dalamnya.

Ah, mungkin pada tingkat tertentu kita adalah siput-siput yang membangun rumah di punggungnya sendiri. Rumah yang dindingnya adalah asumsi akan makna. Asumsi sendiri terhadap manusia dan komunitas. Asumsi yang terus menerus kita bolak-balik dan putar-sesuaikan dengan budaya asal-asul.

12 August 2010

Interview With Keong Racun

Wawancara dengan pejabat dinegeri ini sungguh merepotkan. Sebab yang dibicarakan adalah ideologi politik yang seakan-akan maha penting. Padahal, omongan mereka sungguh tidak menggerakkan negeri ini ke tempat yang lebih baik sedikitpun. Bagaimana mau lebih baik jika kata-kata yang keluar dari mulutnya sampah semua. Kebohongan melulu.

Jadi, bisakah wartawan menjadi jujur padahal sumber beritanya jelas-jelas ngibul?

Tentu susah. Maka dituliskanlah kebohongan tadi dengan dipotong sana-sini. Dimodif bahasanya yang carut marut. Diperbaiki lalu dipoles hingga terbaca sebagai sesuatu yang penting. Karena sungguh, jika tidak diperbaiki di sana-sini, pasti dengan mudah pembaca mengenali tulisan omongan tersebut sebagai sampah.

Setelah laik baca, maka kebohongan dicetak dan simsalabim sampailah kebohongan tadi di meja anda. Lalu Anda membacanya dengan semangat seakan membaca sesuatu yang penting. (siapa yang menyedihkan sebenarnya? hehe)

Ah, Sungguh melelahkan.. membosankan wawancara seperti itu.

Untunglah saya mempunyai hari libur. Hari yang bisa digunakan untuk otak saya berpikir tentang kejujuran. Berjalan-berkeliling untuk bertemu dengan senja yang tak pernah mungkin berbohong.

Sampai suatu hari, dihari libur, tak sengaja saya bertemu dengan Keong Racun. Anda pasti sudah kenalhewan ini. Hewan yang namanya mendadak terkenal seantaro jagad karena jadi judul sebuh lagu.

Setelah meminta izin untuk wawancara, tanpa basa-basi saya berondong si Keong Racun dengan pertanyaan-pertanyaan.Saya senang wawancara dengan si Keong Racun, karena saya tahu jawabannya bukan sampah.Si Keong Racun tak punya otak. Tak mungkin ia berbohong.

Berikut kutipan wawancaradengan Keong Racun:

"Bung Keong Racun, bagaimana kabarnya sekarang?"
"Iya.. baik-baik saja. Meski gak sebaik dulu."
"Lho..memang keadaannya sekarang seperti apa?"
"Sekarang sungguh repot. Menjadi terkenal sungguh gak nyaman."

"Maksudnya?"

"Sekarang hidup tidak tenang. Karena banyak yang nyari. Denger-denger katanya mau untuk dijadiin menu makanan baru di restoran Cina dan Jepang. Belum lagi yang nyari-nyari karena mau balas dendam."


"Dijadiin makanan?"

"Iya. Kami sekarang diburu di mana-mana. Yang di laut, lautnya dikeringin. Yang sembunyi di sungai, sungainya dikuras. Yang hidup di hutan. Hutannya digunduli. Sekarang populasi kami tinggal beberapa ratus ribu lagi."

"Kalau yang mau balas dendam karena apa?"

"Iya.. Manusia-manusia yang ada di lirik lagu keong racun itu, denger-denger mereka terhina dan tak terima karena disamain dengan kaum keong racun. Padahal yang sungguh terhina itu saya, kaum keong racun. Masa disamain sama manusia bejat. Masa dijadikan istilah lelaki gituan."

"Apakah Bung Keong Racun kecewa?"

"Kecewa sih iya. Ko ya..bisa disamain sama gituan. Kalau yang baik-baik saya pasti senang. Saya kok heran. Manusia itu kok bisa-bisanya nyari kambing hitam."

"Lalu kalau merasa jadikambing hitam, apa tindakan Bung KeongRacun?"

"Yaa.. gimana lagi. Mau demo kan gak gak mungkin. Mau lapor ke Komnas HAM juga gak mungkin. Mau nuntut karena pencemaran nama baik, pasti diketawain. Yah.. sudah. Kami nerimo ae. Terima saja. Pasrah. barangkali saja ini sudah kehendaknya gusti. Padahal meski kami gak berotak kami kan masih sama-sama ciptaanTuhan."

"Anda kok baik Bung Keong Racun?"

"Yaaa.. mungkin karena cita-cita saya dulu pengen jadi wartawan."