20 April 2009

Jejak



ombak laut membelai halus pantai berpasir
Namun jejak kakimu merusaknya



Jejak kakimu merobek pantai berpasir
Namun ombak laut cepat menyulamnya



Dari sebuah catatan lampau
Malang, (tak ada catatan waktu)

Teman 3

di titik ini kita berhenti
titik dimana arah sudah berselisih
tanpa kita sadari
dan tanpa harus kau mengerti

di titik ini kita berselisih arah
karna tangan saling menghunus belati
dan lidah sudah berlumur bisa
sedang mata tak lagi menjalin

di titik kita berselisih arah.
habis sudah. tak ada apa dan siapa
Hanya kita
Aku, engkau, dan semburat jingga

Akhirnya kita berhenti di sini.
namun jika kita percaya bulatnya bumi,
pasti pada suatu nanti
di titik ini kita beriring kembali.


Dari sebuah catatan lampau
Malang. (tak ada keterangan waktu).

Tentang teman yang keras kepala.
::cinta, pertemanan, persahabatan, terkadang memang buta,
Tapi seringkali juga bodoh::

13 April 2009

angin berubah arah

Angin berubah arah
pijakan bergetar goyah
pegangan telah melemah.

Tak ada yang bisa aku pertahankan.

padamu, aku pasrah dan menyerah
dalam dirimu tersesat aku sudah.


Sukabumi, April 2009

11 April 2009

Just smile.

Belajar dan tumbuh di sebuah lingkungan (organisasi) yang (selalu) diasah tajam kekritisannya, di satu sisi memang membuat penglihatan ini semakin peka terhadap kejanggalan, kekeliruan, dan kesalahan yang terserak. Mulut ini sering mendadak tak bisa diam jika melihat apa yang tidak sesuai dengan harapan. Mendadak tangan ini gatal ingin segera menulis, berkomentar dan mengkritik jika mendapatkan sesuatu yang tidak ideal. Siapaun itu, apapun itu. Namun di sisi lain, tanpa sadar mempertajam ke-kritisan telah menumpulkan sisi kemanusiaan yang lain dalam diriku. Tanpa sadar (membuat diri ini) justru sering kehilangan sisi sensitifitas yang lain, yang sama pentingnyanya: emphati.

****

Dulu, pada sebuah titik mangsa, seorang rekan (dalam satu organisasi) pernah kedapatan kerja untuk memimpin kepanitiaan sebuah acara. Kebetulan sekali dia junior (di organisasi), tak pernah ada pengalaman organisasi sebelumnya, kalaupun ada, berbedalah sekali dengan apa yang ia geluti saat itu. Benar-benar baru. Sebulan sejak terjun (di keorganisasian), ia masih berkutat dengan segala idiom dan kerangka pikir yang baginya sama sekali baru. Aku salut juga dengan apa yang ia pelajari dan dengan semangat yang ia miliki saat itu.

Meski seperti itu, kepemimpinannya dalam sebuah kepanitian, penuh dengan kegugupan, kekeliruan, (dan kesalahan konsepsi) khas orang baru. Beberapa rekanku yang sudah (merasa) senior, waktu itu, langsung terlihat mengerutkan dahi. Aku pun tanpa sadar ikut ambil sikap kritis. Dan tak hentinya dalam kepala ini berkomentar: ’wah..salah tuh kalau gituh..’ ‘harus nya ga seperti itu tuh, harusnya kan begini’, ‘masa gituh’ dan semacamnya dan semacamnya.

Dan tiba-tiba saja aku terhenyak. Ingat pengalaman sendiri ketika pertama kali terjun ke dalam organiasi dan ketiban sepur untuk memimpin sebuah kepanitiaan. Tak lama sebelum itu, beberapa tahun sebelumnya. Jadi ingat, betapa keringat dingin mengalir dari hidung dan kening. Ingat betapa bingungnya ketika harus memimpin sebuah pertemuan, betapa takut salah ngomong, betapa kikuknya, dan betapa susahnya menyesuaikan jadwal dengan segala aktifitas yang baru. Sudah lama berkecimpungpun tak hentinya aku membuat kekeliruan. Betapa susahnya mengatur keseimbangan, laku, dan sebagainya dan sebagainya.

di tengah itu semua, saya teringat pada seorang senior. (Tak usahlah aku sebut namanya, nanti ia GR). Di tengah segala kesalahan dan kegugupanku, tiap kali aku merayap-tertatih-berjalan dengan apa yang aku kerjakan, ia selalu tersenyum mendukungku. Tiap kali aku menyelesaikan satu pekerjaan dalam keorganisasian ia selalu (hampir pasti) tersenyum, dan (mungkin) sambil bercanda ia memberi perhatian. Tiap kali ia tersenyum dan berkomentar sederhana tentang dukungannya kepadaku, hati ini plong. Aku merasa mendapat persetujuan dan perhatian dari seseorang yang mengerti lebih dulu bagaimana cara hidup berorganisasi.

Hanya tersenyum. Simbol penerimaan, persetujuan, atau sekedar dukungan yang diekspresikan secara sederhana. Aku yakin ia tidak sepenuhnya setuju dengan apa yang tengah aku kerjakan dan aku lakukan saat itu (ini terlihat ketika kita sedang mengobrol... dan jika ia tengah menyinggung apa yang sedang aku kerjakan... pertanyaannya itu! sampai-sampai aku bingung cari alasan apa), namun kesediannya untuk mendukungku, dengan sederhana, atas apa yang sedang aku kerjakan, benar-benar membuat segalanya berbeda.
Ah...Tak tahulah awak apa yang terjadi tanpa ada dukungan sederhana itu tadi...

****

Teringat itu semua, sekarang aku jadi sering malu pada diri sendiri. bagaimana mungkin aku yang sedang sama-sama belajar, mengambil sikap over kritis kepada rekan seperguruan dan seperjuangan. Maka, dari pengalaman itu semua, tiap kali seorang rekan, teman, saudara, tengah mengambil pilihan atas apa yang ingin ia lakukan, aku akan tersenyum seraya mengangguk atas pilihan tersebut. Dan tentu saja komentar ringan akan meluncur sebagai ekspresi dari sebuah dukunganku. Aku akan menyatakan dukungan walau hanya dengan sebuah senyuman. Sederhana memang. Akupun tak berharap banyak bahwa ia akan menangkap pesan dari apa yang aku sampaikan. Namun dari itu semua, yang terpenting, aku merasa lebih baik dan lega melakukannya.



:: ::

09 April 2009

Pah...! (korupsi dong!) mamah mau mobil baru nih pah...

Istri : papah... baru pulang ya? Kebetulan tuh, mamah baru ajah selesai buatin makanan kesukaan papa... ada Semur daging, sayur lodeh, sama perkedel kentang. Makan sekarang ya pa...?
Ayo dong pa!? pasti enak deh…!

Suami yang tak biasa disambut pulang seperti itu terheran..lantas..

Suami : emang Ada apa sih mah…?

Istri : Ah…enggak. Ga ada apa-apa kok...
eh, pah...ngomong-ngomong.. lagi ngebahas UU apa nih di kantor Pah?? pah-pah..?? masih inget sama pak Budi gak Pah??

Suami : Pak Budi mana mah??

Istri : itu loh pah, temen papah yang di komisi C?? Yang kemarin di kampanye jadi jurkam juga loh pah...? Inget kan pah??

Suami : emh…….. *mikir bentar lalu kemudian angguk-angguk kepala* emang kenapa mah..? *heran dan mulai curiga gelagat si istri*

Istri : Pak Budi itu tambah kaya ajah yah pah? Mobilnya aja sekarang tambah banyak. Rumahnya di mana-mana. BMW sama New Camry nya katanya baru lagi pah. Itu loh pah... BMW model yg terbaru. Katanya sih ramah lingkungan ituh pah. Yang pemanasan global gituh deh pah...

Istri : Ayo dong pah....! Makan sekarang yah pah..!? Pasti enak deh… udah laper kan pah...

saat makan malam di meja makan ---baru saja satu suap---

Istri : gimana pah? Enak ga pah sayur lodehnya??

Suami : .....




agustus08-april09

Tuk Hendra



Pulang ke rumah, kepala ini masih dipenuhi segala deadline dan segala antisipasi untuk minggu depan. Tapi apadaya, dealine tetap jadi deadline, yang kalau ga kepepet dan tersudut, susah sekali tuk dapat wangsit bisa tuk belajar dan menyelesaikannya. Trying to be studious. Still on trying, not studious.. di tengah segala persiapan dan cari wangsit untuk bisa duduk belajar menekuni skripsian itulah saya sengaja main ke rumah teman. Dan di tengah obrol mengobrol tersebut tiba-tiba informasi itu datang.

Hendra Firmansyah, satu dari lima temanku semasa kecil. Rumahnya tak jauh dari rumah orang tuaku di Sukabumi. Bersebrangan kalau tidak disebut berhadapan. Kami tumbuh besar bersama walau dengan minat dan sifat yang berbeda. Kami lalui masa kecil bersama (ber-enam) dengan segala kenakalan, kebandelan, keluguan (dan mungkin kebodohan) khas anak desa. Kami nonton bareng saint seiya, power rangger, satriya baja hitam dan sebagainya dan sebagainya. Kami menjelajah dan bertualang ke mana-mana, di mana-mana. Mencoba serta bermain-main dengan segala garis batas. Kami belajar tentang petemanan, persahabatan, persaudaraan, dan belajar menerima tanggung jawab serta konsekuensi dari semua itu. Segala salah paham yang pernah mewarnai, penerimaan dan pengampunan yang mengambil tempat dalam hidup kami, telah menjadi pelajaran tak ternilai.

Ia salah satu teman kecilku (dari lima) yang bisa satu sekolahan sejak mulai dari SD sampai Tingkat menengah. Sejak SMP, tiap kali mau berangkat sekolah, kami akan berangkat bersama walau pulangnya tak selalu bisa bareng. Ia (mereka) dengan teman-temannya. Aku dengan teman-temanku. Tapi, tiap malam kita akan segera berkumpul bersama lagi. Berenam. Berbagi pengalaman seharian. Sejak saya hijrah ke Malang kami sudah jarang bisa ketemu. Aku sok sibuk dengan pelajaran dan macam-macamnya, ia sudah bergulat dengan pekerjaannya. Mungkin hanya saat saya pulang saja kita bisa bertemu dan mengobrol ngarol kidul sambil ditemani kopi.

Dan besok Minggu, ia akan melangkah lebih dulu untuk menaiki jenjang pernikahan. Mengikat janji dengan seseorang untuk menjalani hidup bersama. Memancang tenda tidak untuk ditempati sendiri lagi. melanjutkan petualangan hidup bersama seseorang.

Huff...h, aku memang sering jadi sentimental gak karuan bila ingat teman masa kecil dan mengingat hal-hal besar macam pernikahan. Diri ini sering terngungun (apa yah bahasa yang tepat?) di hadapannya. Entahlah.. Sementara diri ini masih bergulat dengan (segala pertanyaan untuk mengenal) diri sendiri mau jadi apa dan mau kemana... eh, satu persatu teman main sudah mulai berkeluarga.
Kemarin, saat melepas kerinduan, ia tanya, kapan aku akan segera menyusulnya... aku hanya menjawab : segera (sambil tersenyum). Tapi ia tahu apa arti “segera” itu. Dalam hati aku menjustifikasi dengan apa yang di ucapkan si Mulan : bunga yang terlambat mekar akan menjadi bunga yang paling indah... semoga saja. Setidaknya aku berharap seperti itu.

Ah, sudahlah.. tak usahlah terlalu banyak memikirkan diri sendiri (bukankah berlarut dalam pikiran satu bagian membuat kita bijaksana, tapi tiga bagian membuat kita jadi pengecut). Biarkanlah hari ini, dan sisa waktu yang ada ini, aku persiapkan untuk memberikan yang terbaik untuknya. Untuk memberi selamat dan mengantarkannya bertemu dengan sang mempelainya besok Minggu. Ucapan selamat dan penghormatan dariku, dari seorang yang pernah berbagi fantasi tentang the A team dan mac-gyver, atas keberaniannya untuk melangkahkan kaki ke jenjang hidup berkeluarga.

Ok bro..
Tak banyak yang bisa kuberikan.
Selamat menempuh jalan baru.
Semoga menjadi keluarga yang diridhoi dan diberkati oleh Allah.
Sakkinah, mawaddah, warrahmah.

::aku mungkin tak sempat bercengkrama dengan tuan putri.
Jadi, titip salam buat tuan putri yang sudah merelakan diri mau berbagi perjalanan hidup denganmu::.

03 April 2009

KLIK

Klik..
suara gagang telepon yang di letakkan terdengar dari ujung sana.
percakapan telah selesai..
masih ada sesal, kenapa tak bisa lebih cepat.
tapi harus ada keputusan. sudah bosan terperangkap rutinitas!
toh cuma sebentar.



tenanglah ya di sana...
bentar lagi kita head to head.
mau adu tebakan tiap hari...? boleh.
mau adu nge-game...? ayo.
mau didongengin cerita lagi...? siap.
mau dibuatkan omelet? gampang.
mau adu gitar... ?(emhh... ga yakin bisa nih
tapi ga apa-apa deh, -paling akhirnya cuma bisa dengerin-).
siapa takut..!


sekarang jauh lebih ringan.
masih berat..tapi jauh lebih ringan.



::tentang mimpi yang keras kepala::

sekejap di lavalette

Beliau hampir seusia dengan ayahku. Tapi gurat dalam di raut wajahnya, warna perak di rambutnya, ia tampak seakan lebih tua dari usia sebenarnya. Matanya sulit untuk bisa konsentrasi, kadang beliau menatap lurus serius ke televisi yang di hadapannya, kadang memejam kuat. Beliau terbaring lemah di ranjang tak jauh dari tempat aku duduk. Hari itu, sudah genap empat belas hari beliau terbaring lemah. Jarum infus masih tertancap ke pergelangan tangan kirinya.
Tak berapa lama, sang anak mendekat ke arahnya. Memberi minum, sebelum kemudian ia mengajaknya menirukan apa yang di lafalkannya. Aaaaa...! Aaaaa...! Iiiiiii...! bukan..bukan Aaa, tapi Iiiii....

Beberapa saat sebelumnya, sang anak, seorang sahabat, menjelaskan padaku tentangnya. Stroke telah menyerangnya di saat beliau bangun pagi, tepat ketika ia akan menegakkan sholat subuh. Bagian kiri tubuhnya tak lagi bisa digerakkan dan kemampuan bicaranya telah menghilang. Stroke telah menyerang otak bagian pusat bicara, sehingga susah baginya untuk dapat berbicara seperti biasa. Sekarang, perlahan fisiknya sudah membaik tinggal kemampuan bicaranya yang masih dalam terapi pemulihan.

Dan malam itu, ketika sang anak mengajaknya mengobrol dan merawatnya, sebuah momen melintas di hadapanku. Sebentar. Hanya sekejap. Ketika si anak berdiri di samping tempat tidurnya, saat sesekali ia menyeka keringat yang muncul di dahinya. Ketika sang anak dengan penuh sabar melafalkan huruf-huruf vokal di hadapannya. Aaaaaa....! Aaaaaaa...! tapi ternyata sang ayah tak berbuat apa-apa. Tak bicara apa-apa. Hanya menatap sang anak. Lekat. Sementara sang anak baru tersadar. Ia berhenti melafalkan, tersadar mendapatkan perhatian penuh dari ayahnya. Mata mereka bertemu. Sang anak menerima kenyataan, matanya berkaca. Dan seuntai senyum yang begitu penuh, begitu luas, mengembang di bibir sang anak. Anak dan ayah sedang bicara kasih sayang tidak lewat kata. Bicara cinta dengan mata.

***
Adakah anak yang tak bersedih ketika mendapatkan bahwa seorang ayah yang selama ini dibanggakannya tidak lagi sempurna seperti dahulu? Kupikir tak akan ada yang tak bersedih. Pasti terpukul. Tapi momen yang mampir sekejap di hadapanku, malam lalu, di Kelas 1 RS Lavalette, telah bicara tentang kapasitas manusia untuk menerima apa yang tak diharapkannya, untuk berlapang dada dengan apa yang didapatkannya. Ayah tetaplah seorang ayah, yang menjadi kebanggaan, betapapun tak sempurnanya ia (sekarang).

----------
Ah, siapakah saya ini sebanarnya, yang sok-sok-an bicara tentang kesempurnaan. Bukankah pada akhirnya tiap kita ini adalah yang tak sempurna, yang lemah, di hadapan Allah Yang Maha sempurna. Bukankah tiap kita adalah yang tak penuh, dan serba kurang, yang selalu berharap diterima dengan lapang oleh orang lain. Menyadari dan mencoba belajar merefleksikan kapasitas Allah yang selalu siap menerima hambanya, yang tak sempurna, dan serba kurang, kukira tiap kita jadi punya alasan untuk terus bersyukur.