03 April 2009

sekejap di lavalette

Beliau hampir seusia dengan ayahku. Tapi gurat dalam di raut wajahnya, warna perak di rambutnya, ia tampak seakan lebih tua dari usia sebenarnya. Matanya sulit untuk bisa konsentrasi, kadang beliau menatap lurus serius ke televisi yang di hadapannya, kadang memejam kuat. Beliau terbaring lemah di ranjang tak jauh dari tempat aku duduk. Hari itu, sudah genap empat belas hari beliau terbaring lemah. Jarum infus masih tertancap ke pergelangan tangan kirinya.
Tak berapa lama, sang anak mendekat ke arahnya. Memberi minum, sebelum kemudian ia mengajaknya menirukan apa yang di lafalkannya. Aaaaa...! Aaaaa...! Iiiiiii...! bukan..bukan Aaa, tapi Iiiii....

Beberapa saat sebelumnya, sang anak, seorang sahabat, menjelaskan padaku tentangnya. Stroke telah menyerangnya di saat beliau bangun pagi, tepat ketika ia akan menegakkan sholat subuh. Bagian kiri tubuhnya tak lagi bisa digerakkan dan kemampuan bicaranya telah menghilang. Stroke telah menyerang otak bagian pusat bicara, sehingga susah baginya untuk dapat berbicara seperti biasa. Sekarang, perlahan fisiknya sudah membaik tinggal kemampuan bicaranya yang masih dalam terapi pemulihan.

Dan malam itu, ketika sang anak mengajaknya mengobrol dan merawatnya, sebuah momen melintas di hadapanku. Sebentar. Hanya sekejap. Ketika si anak berdiri di samping tempat tidurnya, saat sesekali ia menyeka keringat yang muncul di dahinya. Ketika sang anak dengan penuh sabar melafalkan huruf-huruf vokal di hadapannya. Aaaaaa....! Aaaaaaa...! tapi ternyata sang ayah tak berbuat apa-apa. Tak bicara apa-apa. Hanya menatap sang anak. Lekat. Sementara sang anak baru tersadar. Ia berhenti melafalkan, tersadar mendapatkan perhatian penuh dari ayahnya. Mata mereka bertemu. Sang anak menerima kenyataan, matanya berkaca. Dan seuntai senyum yang begitu penuh, begitu luas, mengembang di bibir sang anak. Anak dan ayah sedang bicara kasih sayang tidak lewat kata. Bicara cinta dengan mata.

***
Adakah anak yang tak bersedih ketika mendapatkan bahwa seorang ayah yang selama ini dibanggakannya tidak lagi sempurna seperti dahulu? Kupikir tak akan ada yang tak bersedih. Pasti terpukul. Tapi momen yang mampir sekejap di hadapanku, malam lalu, di Kelas 1 RS Lavalette, telah bicara tentang kapasitas manusia untuk menerima apa yang tak diharapkannya, untuk berlapang dada dengan apa yang didapatkannya. Ayah tetaplah seorang ayah, yang menjadi kebanggaan, betapapun tak sempurnanya ia (sekarang).

----------
Ah, siapakah saya ini sebanarnya, yang sok-sok-an bicara tentang kesempurnaan. Bukankah pada akhirnya tiap kita ini adalah yang tak sempurna, yang lemah, di hadapan Allah Yang Maha sempurna. Bukankah tiap kita adalah yang tak penuh, dan serba kurang, yang selalu berharap diterima dengan lapang oleh orang lain. Menyadari dan mencoba belajar merefleksikan kapasitas Allah yang selalu siap menerima hambanya, yang tak sempurna, dan serba kurang, kukira tiap kita jadi punya alasan untuk terus bersyukur.

1 comment:

taufan said...

ayahku seorang petani...dan dengan segala kelemahan beliau, aku sayang beliau, aku bangga thd beliau...semoga Allah SWT selalu melindungi beliau.amin