16 January 2011

Hujan Bulan Juni

Hujan Bulan Juni
Sapardi Djoko Damono

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

---------------------------------------

Entah kenapa seminggu ini aku ingat terus senyum seseorang. Senyum yang manis. Seseorang dengan tawa yang renyah. Dengan caranya memandang hidup, yang entah kenapa, terasa akrab benar dalam kehidupanku. Seperti seorang kenalan lama yang kembali bersua.

Ah, sentimentil. Padahal dulu-dulu selalu belagak tak kenal.

Senin ini ia akan pulang. Mungkin tak kembali. Aku tak tahu. Aku pun tak menanyakannya kapan ia kembali dan akan ke mana..
Yang ku tahu daftar perjalanannya masih panjang.

Mungkin aku tak akan bertemu lagi. sampai entah kapan dan dimana.
Namun aku cukup gembira, bahagia mendekati kukira, bahagia karena bisa berkenalan dengannya.

Seberapa bahagia?? Ia tak akan mengerti.

09 January 2011

Menjadi Kembang Api



Malam tahun baru kemarin adalah malam tahun baru teraneh yang saya jalanin. Malam tahun baru yang berbeda dari tahun sebelumnya, dan sebelumnya dan sebelumnya. Malam tahun baru kemarin ini seperti menyimpan ironinya sendiri. Menyindir sisi hidup saya yang pemalas doyan santai.

Bayangkan saja, disaat orang-orang yang beramai ke jalan, menonton konser, meniup terompet, bakar jagung, sampai nongkrong di pos kamling atau apapun untuk merayakan ‘harapan’ saya malah bergulat di kantor: bekerja. Duh!

Saya jadi merasa termasuk orang yang gila kerja, padahal tentu saja tidak (kalau gila tidur, mungkin iya).

Namun ada satu hal yang bikin hati ini agak terobati. Beruntung, di tempat saya kerja, saya sempat melihat ribuan kembang api yang meledak berbarengan di segenap langit Jakarta. Meriah, semarak!

Memang kembang apinya tak semeriah yang diledakkan di New York sana atau tak segemerlap yang diluncurkan dari gedung Burj Dubai sana. Kembang apinya hanya kembang api yang dijual di pinggir jalan itu. Sederhana. Yang berpartisipasipun bukan milyuner, hanya warga sekitar yang mencoba merasai merayakan setahun belakang yang mungkin kelam dengan harapan tahun anyar. (Inilah mungkin ironi negeri miskin. Bahkan untuk melihat kembang api, orang harus merogoh duit dari kantongnya sendiri.)

Namun tetap saja, percik ledak kembang api yang pecah dalam beberapa detik itu yang merata meriah bisa jadi obat lara hati siapa saja. Termasuk saya.

Ah, kesekejapan itu. Momen sesaat yang bikin langit hitam tiba-tiba menjadi luksian penuh warna itu menyadarkan saya bahwa hidup tak lebih seperti kembang api.

Bukankah manusia juga sebenarnya tak jauh seperti kembang api yang tengah siap meledak di udara melukis gelap malam. Seperti kata Chairil Anwar. ‘Sekali berarti sudah itu mati’.
untuk kemudian mungkin menjadi arang yang getas!?

Ah, jangan pesimis dulu. Mudah-mudahan di saat kita ‘meledak’ ada yang mengabadikan momen tersebut dan bisa menjadi pelipur lara bagi siapa saja.

jadi
Selamat berjuang di tahun baru,
Tahun kelinci.
Tahun kemenangan bagi mereka yang gesit dan cerdik.
Salam, cerdik.