07 September 2013

"Memang Begitu Prosedurnya"



“Maaf,  gak bisa diproses, Mas,” kata pelayan nasabah seorang perempuan berusia 35-an, agak gemuk, berkerudung hijau, ketika saya minta ganti kartu ATM BNI yang kedaluarsa.

“Masa sih, Mbak,” heran saya. Saya jelaskan sampai tiga kali kuatir Si Mbak Yu kurang mengerti. Tapi jawaban akhirnya tetap sama.

Saya ke kantor BNI cabang Cirendeu Jumat, awal Agustus lalu. Singkatnya begini: Saya minta ganti kartu ATM, tapi ditolak karena tanda tangan di kartu identitas yang saya tunjukan tidak sesuai dengan tanda tangan yang ada di buku tabungan. Saya jelaskan tanda tangan saya memang sengaja diganti sejak masuk kuliah. Sementara tanda tangan di buku tabungan tetap karena rekening dibuka sejak saya masih SMA dan selama pergantian buku tidak pernah diubah. Alasannya, saat itu, jika mau mengganti tanda tangan harus mengisi apa, beberapa lembar, dan waktu itu saya pikir ribet. Eh, Si Mbak Yu tak menoleran.

Ya sudah, saya bilang buka rekening baru saja. Si Mbak Yu tetap tidak bisa memproses. Katanya, kantor cabang hanya melayani pembukaan rekening kepada calon nasabah yang bermukim di Cirendeu, Tangerang Selatan. Kata dia, solusinya, saya harus mengganti kartu ATM di Kantor Cabang tempat saya membuka rekening. Dalam hal ini Kantor Cabang Sukabumi.  

“Terus apa fungsinya kartu identitas,” kata saya.  
“Memang begitu prosedurnya,” jawabnya.
Ah, repot sekali saya menjelaskan bahwa saya sudah jaranga ke Sukabumi dan tempat kerja saya sekarang di Jakarta, dan tinggal di Cirendeu meski alamat tinggal di KTP masish tertera alamat rumah orangtua.

Setelah Lebaran saya ke Kantor Cabang BNI Sukabumi. Ringkasnya, setelah mengantre, permintaan saya diproses cepat tak lebih dari lima belas menit. Selama proses tersebut, saya tanya ke pelayan nasabah yang juga kebetulan seorang perempuan berkeredung, apakah memang prosesnya harus seperti yang dikatakan Si Mbak Yu, pelayan nasabah di Cabang Cirendue itu?
“Nggak juga, Mas. Pergantian kartu ATM bisa dilakukan di seluruh kantor cabang di seluruh Indonesia,” katanya, seperti promosi.
Jelas saya meragukan. Pada kasus saya kok tidak bisa karena perbedaan tanda tangan.
“Harusnya bisa. Kan bisa dicek apakah identitasnya sama dengan yang di buku tabungan atau tidak,” jelasnya.
“Oh, gitu,” jawab saya sambil mengangguk paham karena serasa sadar telah dikerjai.
“Kerja di mana memang, Mas?” tanyanya.
“Biasa Mbak. Serabutan,” kata saya.
“Oh, … (dia tidak melanjutkan).”
“Iya, ohh,” kata saya. 
Dia senyum, saya senyum.

04 September 2013

Main-main Dengan Twitter


Postingan kali ini saya kopikan dari Twitter.

Rasa luluh saat kita bertemu kini berganti menjadi lelah.

Lelah sekali hatimu menunggu. Hingga tak tersisa ruang untuk riang.

Riang datang di hati yang lapang.

Lapang atau sedang sesak dompetmu tak mempengaruhi kegantenganmu.

Kegantenganmu cuma disebut dalam sajak. Sajak orang-orang gila.

Gila adalah satu cara agar kamu bisa tenang.

Tenang saja, katamu. Tak ada yang perlu dikuatirkan. Badai pasti bersantai.

Bersantai dan tenggelam bersamamu dalam secangkir kopi.

Kopi lagi? Mari ngopi!


Begitu juga dengan yang di bawah ini. 


Dia selalu duduk di sofa paling pojok dekat toilet hanya untuk sekedar tidak dipahami.

Dipahami apa yang tak dimengertinya. Dicintai apa yang tidak bisa dimillikinya. Dan diam-diam disimpannya apa yang sudah jadi kenangan.

Kenangan seperti gigitan linsang, katamu. Mencengkram, tak bisa dilepaskan.

Dilepaskan jasnya saat kembali ke rumahsakit jiwa. Sambil melempar dompetnya, ia bilang, hanya menjadi gila yang tak butuh modal.

Modal utama menjadi penikmat kopi adalah rela menerima yang pahit.

Pahit di cangkir kopiku hilang setelah dicelup bibirmu.

Bibirmu lenyap setelah dicuri seorang perindu yang menyembunyikannya di tempat terpencil.

Terpencil itu soal apa yang sering luput dari mata. Bukan dari tatapan langit.

Langit hari ini bebas dari arakan awan setelah diamuk badai semalaman.

Semalaman kerjanya hanya berlatih di depan cermin, "tuan putri suka kopi juga?" Dijawabnya sendiri. "Tidak, kopi yang cinta saya."

Saya sengaja datang ke kepalanya malam-malam. Menagih puisi pesanan yang belum datang. Padahal pagi sudah menjelang.

Menjelang jam 10 pagi dua peronda masih terbaring di poskamling. Kasihan, semalam suntuk mereka dikejar-kejar kantuk.

Kantuk sedang mengobati seorang wartawan yang terkapar setelah dihajar tenggat.