Postingan kali ini saya kopikan dari Twitter.
Rasa luluh saat kita bertemu kini berganti menjadi lelah.
Lelah sekali hatimu menunggu. Hingga tak tersisa ruang untuk
riang.
Riang datang di hati yang lapang.
Lapang atau sedang sesak dompetmu tak mempengaruhi
kegantenganmu.
Kegantenganmu cuma disebut dalam sajak. Sajak orang-orang
gila.
Gila adalah satu cara agar kamu bisa tenang.
Tenang saja, katamu. Tak ada yang perlu dikuatirkan. Badai
pasti bersantai.
Bersantai dan tenggelam bersamamu dalam secangkir kopi.
Kopi lagi? Mari ngopi!
Begitu juga dengan yang di bawah ini.
Dia selalu duduk di sofa paling pojok dekat toilet hanya
untuk sekedar tidak dipahami.
Dipahami apa yang tak dimengertinya. Dicintai apa yang tidak
bisa dimillikinya. Dan diam-diam disimpannya apa yang sudah jadi kenangan.
Kenangan seperti gigitan linsang, katamu. Mencengkram, tak
bisa dilepaskan.
Dilepaskan jasnya saat kembali ke rumahsakit jiwa. Sambil
melempar dompetnya, ia bilang, hanya menjadi gila yang tak butuh modal.
Modal utama menjadi penikmat kopi adalah rela menerima yang
pahit.
Pahit di cangkir kopiku hilang setelah dicelup bibirmu.
Bibirmu lenyap setelah dicuri seorang perindu yang
menyembunyikannya di tempat terpencil.
Terpencil itu soal apa yang sering luput dari mata. Bukan
dari tatapan langit.
Langit hari ini bebas dari arakan awan setelah diamuk badai
semalaman.
Semalaman kerjanya hanya berlatih di depan cermin,
"tuan putri suka kopi juga?" Dijawabnya sendiri. "Tidak, kopi
yang cinta saya."
Saya sengaja datang ke kepalanya malam-malam. Menagih puisi
pesanan yang belum datang. Padahal pagi sudah menjelang.
Menjelang jam 10 pagi dua peronda masih terbaring di
poskamling. Kasihan, semalam suntuk mereka dikejar-kejar kantuk.
Kantuk sedang mengobati seorang wartawan yang terkapar
setelah dihajar tenggat.
No comments:
Post a Comment