28 December 2012

Satu Sore Di Kafe Pinggiran


Saat menikmati kopi sore, seorang gadis bercelana jeans biru pudar, berkaos gambar Hello Kity, bersepatu kets putih, menghampiri mejaku.

"Apa kabar, Mas?" sapanya sambil menyodorkan tangannya. Meski sedikit gugup, saya salami juga sambil berusaha mengingat di mana saya pernah bertemu dia sebelumnya. Rasanya tak mungkin jika saya melupakan gadis semanis ini.

Menyadari keheranan saya, ia lalu memperkenalkan sebagai mahasiswi yang sedang magang menjadi reporter di sebuah majalah lifestyle di Jakarta.

"Maksud saya ke sini, ingin mewawancarai Anda sebentar," pintanya kaku.

Keheranan saya berlipat. Apa tak salah, pikirku. Pastinya dia salah orang. Namun saya tak bisa, tepatnya tak kuasa- untuk menolak permintaannya. Jadi, saya hanya mengangguk dan memberi senyuman yang dimanis-maniskan. :D

19 December 2012

Identitas Itu...

Malam kemarin saya nonton film Inglourious Basterds yang dibintangi Brad Pitt. Film lama buatan tahun 2009. Film parodi yang disutradarai Quentin Tarantino ini membuat saya tersenyum-senyum di sepanjang cerita. Terasa sekali kalau Tarantino membuat film kritik ini sambil main-main.

Salah satu yang menarik dalam film tersebut adalah ketika terbongkarnya identitas mata-mata Amerika yang ditugaskan membantu operasi Kino. Operasi Kino adalah sebuah operasi rahasia yang bertujuan membakar perwira-perwira tinggi SS, temasuk pemimpin tertinggi, Hitler- di dalam bioskop.  

Nah, terbongkarnya identitas si mata-mata oleh prajurit Jerman sepele sekali: gara-gara keliru mengacungkan jari saat memesan minuman di sebuah kafe. Si mata-mata mengacungkan telunjuk, jari tengah dan jari manis untuk mengisyaratkan “tiga”. Padahal orang Jerman biasanya mengacungkan jempol, telunjuk dan jari tengah untuk mengisyaratkan “tiga”.

Sekedar informasi, orang Jerman mengacungkan jempol untuk menyatakan “satu”. Ibu jari dan telunjuk untuk dua, begitu seterusnya hingga “lima”, di mana kelingking adalah jari yang terakhir diangkat. Sementara, orang Amerika sama seperti di Indonesia, mengacungkan telunjuk untuk “satu”, telunjuk dan jari tengah untuk “dua”, dan begitu seterusnya hingga “lima” dengan ibu jari yang paling terakhir diangkat.

Beda di Indonesia, beda di Jerman, beda juga di Serbia. Di Serbia, “satu” dimulai dengan mengacungkan kelingking dan terakhir mengacungkan ibu jari untuk "lima".

Kecil tapi signifikan dalam sebuah identitas.  Begitulah identitas. Hal-hal kecil, sepele, namun sudah melekat menjadi sifat bawaan dalam aktivitas sehari-hari.  Sampai kita sendiri biasanya tidak menyadari.

Memang seperti itulah identitas. Dipengaruhi oleh budaya setempat dan bahkan keluarga. Entah  untuk orang lain, tapi dalam kasus saya, cara melipat pakaian, cara menyetrika, atau cara mencuci, semuanya saya tiru dari bagaimana cara ibu melakukan itu semua. Begitu juga dengan makanan. Saya menganggap makanan yang enak itu makanan yang mendekati masakan ibu. Subjektif memang, tapi itulah identitas menurut saya.

Entahlah..

14 December 2012

Media Itu...



Tahukah Anda saat teori relativitas disampaikan Einstein untuk pertama kalinya, 1905, hanya ada 12 orang di seluruh dunia yang memahami teori itu.Meski cuma dipahami segelintir orang, pers memberitakan teori tersebut ke seluruh daratan Eropa-termasuk Inggris, dan Amerika, selama beberapa hari.

Yang menjadi "ketertarikan dan kepedulian" media bukanlah paparan teori tersebut. Tapi wacana bahwa teori Einstein itu dapat menjungkirbalikkan segala sesuatu yang diyakini sebelumnya. Wacana yang dapat mengubah kemapanan ilmu fisika selama berabad-abad.

Jadi dalam prinsip media massa, wacana bombamtis kadang lebih penting dari runutan teori. Tidak terlalu mengerti tak apa, yang penting dapat berita mencengangkan. Terbukti, setelah diberitakan, orang-orang di Jerman membicarakan teori tersebut di berbagai tempat; pasar, kantor, sekolah dll.
“Meski yang memahami teori tersebut hanya 12 orang,” demikian tulis New York Times.

Begitulah prinsip media agar dapat bertahan. Yang diperlukan adalah menjual, bukan hanya menerangkan. Kecuali dalam berita Liputan6 malam tentunya. Berita tak perlu bombastis, yang penting ada cengkok Jeremy Tetty. Yang di akhir acara selalu bilang, “Salam esceteveee..” :D

Mungkin saya terlihat sinis, tapi sungguh sebenarnya saya sedang memuji bagaimana media bertahan. Einstein bahkan pernah bilang, "Dalah hidup ini terkadang kita harus menjual, bukan menerangkan."
Hal tersebut disampaikan Einstein kepada, fisikawan nuklir, Leo Szilard, yang pesimis saat Einstein menunjuk ahli ekonomi Alexander Sachs untuk berbicara dengan presiden Roosevelt tentang pentingnya segera dibuat program rekayasa nuklir. Szilard saat itu ragu dengan kemampuan Sachs dalam menerangkan runutan teori teori nuklir.

06 November 2012

Puisi Senin Pagi

Fajar pecah dan remahnya taburi pagi. Selamat pagi, bisik bunga pada matahari. Ini Senin, dan kau tetap berseri.

Duel Maut

Rokok, hisap diriku. Ayo bertaruh, siapa yang lebih dulu jadi abu.

Kerja Wartawan

Sudah kubilang jangan jadi wartawan. Kerjanya digesa-gesa berita dan peristiwa. Lebih enak jadi artis. Kerjanya dikejar-kejar wartawan

Sepatu Ayah

Sepatu ayah cuma satu. Pantopel hitam kulit lembu. Pernah kupinjam, rasanya seperti menginjak batu. Tiap melangkah sembilu sampai dadaku.

23 October 2012

Nasihat Bagi Yang Mau Menikah




Bagi yang masih ragu untuk menikah, ada baiknya mendengarkan nasihat Bu Geni. Bu Geni adalah seorang juru rias pengantin dalam cerpen Bu Geni di Bulan Desember karya Arswendo Atmowiloto. Beliau adalah seorang juru rias handal yang hasil riasannya bisa manglingi. Manglingi artinya tak dikenali lagi karena lebih cantik dari aslinya.

“Untuk melangkah ke pelaminan,” Nasehat Bu Geni, “yang diperlukan hanya sedikit keberanian, dan banyak kebodohan, itulah modal kawin. Untuk bercerai, diperlukan banyak keberanian dan sedikit kebodohan.” Begitu Bu Geni.  

Nasihat tersebut mengingatkan saya pada keputusan Charles Darwin sebelum akhirnya menikah. Sebelum mantap ke pelaminan, Darwin menyusun daftar dua kolom dengan judul yang isinya alasan "menikah" dan "tidak menikah".

Kelakuan tersebut tak aneh jika mengetahui sifat Darwin yang dikenal sebagai seorang pemikir dan –sudah bukan rahasia- seorang yang sering menunda-nunda sesuatu.
Bukunya yang terkenal On the origin of Species by Means of Natural Selection atau Asal-usul Spesies mungkin tak pernah diterbitkan jika naturalis jenius yang tengah bermukim di Nusantara, Alfred Russel Wallace, terus mendorong Darwin segera menerbitkan bukunya itu.

Dalam kasus Darwin, sebelum memutuskan menikah, ia mengisi daftar kolom pro pernikahan dengan “pendamping tetap dan teman pada usia tua” .. “betapapun lebih baik dari seekor anjing,” tulisnya.

Sementara daftar di antara yang kontra adalah "lebih sedikit uang untuk buku" dan "hilangnya waktu yang sangat menyedihkan." Setelah berpikir lama, pertimbangan pro akhirnya menang. Dan menikahlah Darwin.

Menganggap perkawinan sebagai sesuatu yang menakutkan memang sesuatu yang wajar. Bagi Darwin pernikahan berarti mengurangi keluangan waktunya untuk dirinya.Bu Geni bahkan bilang penemuan manusia yang paling membelenggu dan menakutkan adalah perkawinan. :D

Menurut Bu Geni, tak heran jika ketakutan terwujud pada perkawinan. Takut terlalu bahagia, terlalu bebas, terlalu nikmat, makanya kita mengikatkan diri pada perkawinan yang banyak mengatur tanggung jawab, mengatur kewajiban. Termasuk memberi nafkah, membesarkan anak-anak.
“Aneh saja, tapi pada dasarnya kita takut dengan kebahagiaan diri kita sendiri, dan membatasi dengan adanya kuasa Tuhan.” Demikian Bu Geni.

--
Nah, malam-malam begini saya kok ngomongin pernikahan.  Mau menikahkah saya?
Lha, siapa juga yang gak mau..  :P

Cucimata

"Rutinlah cucimata dengan airmata agar mata tak mudah silau," kata ibu dan dokter mataku.

(2012)

Menengok Ibu



Besok kuambil cuti dua minggu
seminggu untuk berlibur
sisanya untuk tidur.

Jemu juga kerja terus di malam Minggu
dulu sekali, ibu pernah datang berkunjung.
“Malam Minggu kok kerja. Emang mau ngawini buku?” tanya ibuku.

Kemarin ibu datang lagi lewat mimpi
ia duduk di ruang tamu
lalu melantur ngomongin cucu si anu yang lucu di rumah anu.
“Di rumah kan masih ada kucing abu-abu yang tak kalah lucu,” hiburku.
Sebelum pamit, ibu minta ditengoki.

Baiklah, Bu,
sebelum berlibur
besok aku mampir ke makam ibu.

(2012)

11 October 2012

Insomniaku

Insomniaku berisi tiga komposisi. Secangkir kopi, sejumput rindu dan sebatang puisi.

Perebus Batu



Perebus batu akhirnya menyerah. Umar tak kunjung datang. Yang tersisa hanya batu dan abu. Memaksanya untuk segera tidur mendekap anaknya.

Ia Benci

Ia benci gerimis dan hujan. Caranya turun mengingatkannya pada airmata ibu saat meninggalkannya di depan pintu panti.

Jangan Masuk Lift Sendirian

Tak ada yang menakutkan selain terperangkap dalam lift dengan orang gila. Aku mengalaminya. Si gila hanya tertawa saat kutatap dalam cermin.

Obrolan Pagi

Di meja, secangkir kopi dan segelas teh saling berbagi pahit. Merasa senasib, Setelah baca kenaikan harga gula dari koran di atas kursi.

Tawuran

Di tas sekolahku ada celurit pemberian ibu. Usai sarapan, ayah selalu berpesan. "Tugasmu menguji ketajamannya pada dada musuhmu," katanya.

Bulan Ember

Oktober, November, Desember adalah bulan ember di rumahku. Kala itu, ember-ember ikut kumpul di ruang tengah menampung airhujan dan airmata.

Ngeblog Lagi, Gila Lagi



Punya blog itu kadang merepotkan. Bila tak terurus dan tak terupdate, kadang datang rasa bersalah. Seperti mengabaikan sebuah rumah. Mengabaikan tempat yang pernah menjadi tempat tumbuh dan berkembang.  Mengabaikan asal-usul.
Bagi saya, blog memang sangat personal. Menjadi nara blog telah melatih saya untuk terus menulis. Meski jika membaca tulisan-tulisan lama, saya kadang malu sendiri. Banyak tulisan-tulisan setengah matang, tak lengkap, tak komprehensif.

Belum lagi dalam tulisan-tulisan tersebut berleleran tata bahasa dan ejaan yang amburadul.  Dulu, saya abai dengan tata bahasa dan ejaan karena menurut saya jungkir balik ejaan adalah sebuah kreatifitas. Saya keliru. Ketidakberesan dalam tata bahasa menunjukkan bahwa kecakapan berbahasa orang itu babak belur. 

Berapa bulan ini saya memang malas menulis di blog. Saya lebih aktif berkicau di Twitter. Sifatnya yang sangkil dan ringkas membuat saya lebih tertantang untuk berkicau lewat Twitter. Di sana saya berlatih memeras dan memadatkan kalimat tak lebih dari 140 karakter. Namun, seperti social media lainnya, Twitter juga kadang terlalu hectic dan berisik.

Setelah lama hibernasi, saya putuskan balik lagi. Menjadi nara blog. Entah sampai kapan. Kembali menulis di blog meski tak ada yang baca? Mungkin.  Toh, menulis buat saya latihan untuk mengingat peristiwa dan menata benak.

Mudah-mudahan ke depan bisa terus rutin. Syukur-syukur kalau ada yang menyimak. :D

19 July 2012

“Bisakah kau tak mengirim broadcast message!?”

Sepuluh Broadcast Message masuk ke Blacberry Andi sebelum jam sepuluh pagi. Saking keselnya, Andi menulis status di Bbnya. “Insyaallah semua sudah saya maafkan. Mohon tidak BM maaf-maafan.”

Tak sampai dua menit, BM maaf-maafan jelang Ramadhan datang lagi. Kali ini pengirimnya dari sahabat lamanya, teman sedari sekolah sampai kuliah. Merasa tak tak dihiraukan, lansung ia telepon teman lamanya tersebut.

“Bisakah kau tak mengirim broadcast message!?”

“Lho, emang kenapa? Kalau kau tak suka kau tinggal hapus saja. Bebas.”

”Maksudku, kalau kau mau minta maaf, minta maaflah dengan serius.”

”Siapa yang bercanda? Kau kira aku bercanda? Kau yang terlalu serius, Kawan. BM itu fasilitas BB. Kalau yang bikin ajah memfasilitasi,  kenapa pula kau jadi sewot.”

“Maksudku begini, Kawan. Minta maaflah secara personal. Jangan dengan BM. Minta maaf dengan BM itu seperti tak serius. Juga tampak tak tulus.”

“Kau ini naif, kawan. Aku tak punya waktu bila harus menyapa satu-satu. Dan sejak kapan kau jadi penceramah, heh? Aku sadar sekarang, orang yang tidak mau menerima BM maaf-maafan itu orang yang tidak serius untuk saling memaafkan.”

“Logika mu terbalik, Kawan. Keliru. Justru orang yang mengirim BM maaf-maafan itu yang tidak serius meminta maaf.”

“Ah, kau masih saja sok benar. Merasa paling benar sendiri.”

“O, duniaa... Kau masih saja keras kepala.”

Dan telepon pun terputus.
Tak lama, keduanya mengirim SMS yang sama.

Mohon maaf, kawan. Kau belum berubah juga. haha..

09 May 2012

Buruh

Seorang karyawan pabrik sepatu bertanya pada saya, kenapa selama bertahun-tahun ia bekerja banting tulang, hidupnya tak kunjung membaik.

Saya, juga anda, mungkin akan kebingungan menjawab pertanyaan tersebut. Tapi tidak untuk para juragan. Seperti para motivator, seorang juragan terlatih untuk mengantisipasi pertanyaan-pertanyaan macam di atas.

Para juragan pasti akan menjawab dengan jawaban yang terdengar melegakan, “sabarlah, dan tetap fokus untuk terus kerja, kerja, dan kerja.”

Yah, begitulah ajaran para juragan. Segala jawaban telah dikondisikan agar dalam batok kepala para buruh, yang harus bangun sedari subuh dan kemudian kerja 8 jam sehari, tak terbersit pertanyaan yang aneh-aneh. Agar mereka tetap bisa “positif thingking”.

Akan sangat berbahaya jika dalam kepala buruh terbersit pertanyaan yang aneh-aneh. Mempertanyakan dari mana para juragan memperoleh gaya hidup yang jetset, yang bisa mempraktekkan ajaran majalah-majalah gaya hidup seperti bersantap di kafe mewah, makan di restoran mahal, mengoleksi apartemen atau pelesiran ke luar negeri, misalnya.

Begitulah, kibul, berita, petuah, hiburan dicampur aduk dan ditebar di sekitar kita untuk menjaga motivasi para buruh. Sebab sekali motivasi bekerja buruh hilang, gantinya hanya pemogokkan massal menuntut kenaikkan upah. Kalau tetap menuntut, maka dinaikkanlah upah sedikit-sedikit. Tak bisa sembarangan, sebab jarak ongkos produksi dengan harga pasaran tetap harus tinggi.

“Gaji tak bisa sama rata. Gaji diberikan sesuai dengan tanggung jawab. Sampai sekarang karyawan sudah dibayar sesuai dengan upah minimun,” kata juragan.
Ya, upah minimum. Kalau bisa minimumlah seterus-terunya.

Begitulah, nasib para pekerja yang mengandalkan gaji. Nasib di negeri pat-gulipat memang seperti tidak ditakdirkan oleh Tuhan, tapi ditentukan di meja-meja perundingan penguasa dan pengusaha.

Jadi apalagi yang menarik dari Hari Buruh kemarin selain jalan barengnya? blokir jalannya? Panas-panasannya? Parkir bisnya?

Hari buruh memang dirayakan. Meriah, begitulah. Bahkan difasilitasi. Pejabat, anggota DPR ikut turun ke jalan. Sesekali olah raga tak apalah, begitu pikirnya.

Setelah itu, para buruh kembali pulang dengan lesu kembali masuk roda hamster. Seperti kembang api yang diledakkan di langit malam, meriah dalam ketersekejapan. Setelah itu langit kembali kelam dan kembang api, meminjam istilah Goenawan Mohamad, jatuh menjadi arang yang getas. :p




09 February 2012

Perempuan Blues (2)

Benarkah melarikan diri bukan tindakan seorang ksatria?

Ah, kukira tidak begitu. Aku berani bertaruh setiap orang pasti pernah melarikan diri dari sesuatu. Dan sesuatu itu bisa apa saja: Pekerjaan yang tak ada habisnya, hubungan yang entah kenapa, bos yang menekan, hutang yang mencekik, atau apa saja. Kau bisa menulis “apa saja" untuk hal yang sangat banyak macamnya, kan?

Kukira, terkadang kita memang butuh waktu, butuh jarak, sampai kita siap berhadapan dengan masalah. Dan sebelum kau benar-benar siap berhadapan dengan masalah, kau boleh melarikan diri. Mungkin sebab itulah jurus bela diri yang paling sakti adalah jurus langkah seribu, alias ilmu melarikan diri.

Karena melarikan diri itulah, aku sekarang terdampar di sini. Sejak bertemu dengan perempuan blues di kafe ini, aku selalu menghabiskan Jumat malamku di sini. Di sebuah kafe di pinggiran Jakarta. Menikmati kopi hitam dan mendengarkan blues sambil menunggu perempuan bues datang yang biasanya duduk tak jauh dari mejaku.

Kau tentu bisa punya cara lain untuk melarikan diri. Sendirian menonton film di bioskop, membaca buku di taman, memanjakan diri di hotel, liburan ke pantai, pergi ke tempat dugem atau apa saja. Sesuatu yang bisa membuat hatimu merasa lebih lega. Ini soal selera dan aku takkan protes.

Seperti biasa, malam ini aku duduk di tempat agak terpinggirkan. Cukup jauh dari panggung. Aku suka tempat ini karena berjarak dengan kerumunan. Karena itulah tujuanku datang ke sini: melarikan diri.

Di depan sana, seorang pemain gitar beraksi di atas stage kecil. Ia selalu memesonaku. Terutama saat sang vokalis memainkan lagu-lagu penuh rasa menyayat. Seperti senyuman perempuan blues.

Soal perempuan blues, aku berpikir ia seperti perempuan cantik yang ada di manapun. Seperti dalam film, ia hadir di berbagai macam setting tempat: kota, desa, istana, hutan, bahkan penjara sekalipun. Tapi sayang, ia selalu tak terjangkau oleh penonton. Sedalam apapun kau mengetahui kisah hidupnya, ia tetap tak terjangkau.

Pun malam itu. Aku tak pernah berniat mengubah statusku dari seorang penonton menjadi seorang pemain sampai ia tersenyum padaku saat menuju tempat duduknya. Aku masih tak yakin, namun spontan saja mulutku bicara.

"Kau terlihat cantik?," kataku saat perempuan blues hendak duduk di tempat biasa.

Ia menengok, berterima kasih lalu tersenyum. gerak-geriknya sungguh enang. Setenang telaga. ia lalu pindah ke mejaku. Senyumnya masih saja ditebar. Senyum manis yang bisa membuat seluruh penghuni ruangan menjadi tentram. Memesona, seperti lantunan blues.

Aku tak tahu keberanian dari mana hingga aku menyapanya. Padahal, 3 bulan bertemu tak pernah ada dialog.”Sudah punya pacar?,” kataku lagi.

”Belum,” jawabnya, lugas.

”Kenapa?”

”Karena belum saja.”

”Perempuan cantik sepertimu harusnya mudah mendapatkan pacar,” kejarku.

”Mungkin karena itu.”

”Heh?” terus terang aku sedikit kaget dengan jawabannya.

”Aku tak tertarik membalikkan tangan,” lanjutnya. Menjawab keherananku.

”Jadi, kamu tak percaya lelaki yang mendekatimu?”

"Maksudnya?" Ia balik bertanya.

”Kamu belum punya pacar karena tidak mempercayai satu pun lelaki yang mendekatimu?”

”Apakah harus?”

Ah, dunia.. ia malah balik bertanya. Ia ini lugu, bodoh atau apa??

”Cinta memerlukan kepercayaan. Itulah hukum percintaan yang diwariskan oleh Adam dan Hawa dulu,” kataku mencoba menjelaskan.

”Bagaimana caranya agar aku bisa mempercayai seseorang? Aku tak bisa menemukan alasan untuk mempercayai seseorang. Seorang laki-laki, maksudku,” jawabnya. Sengit.

”Kau hanya tinggal mempercayainya saja. Kadang kau tak butuh alasan untuk melakukan sesuatu.”

”Ahhh...,” keluhnya terdengar sinis di telingaku. Jawabanku tampaknya tak menarik baginya. Ia menghela nafas dalam lalu menyandarkan punggungnya ke kursi.

”Aku mengenal perempuan-perempuan sepertimu,” kataku memulai percakapan kembali setelah cukup lama terdiam.
Ia mengerenyitkan dahi seakan minta penjelasan lebih jauh.

"Perempuan sepertimu," kataku, "perempuan mandiri yang biasanya meremehkan lelaki. Tapi aku tahu lelaki yang cocok untukmu. Kau cocok menikah dengan seorang pengusaha."

Ia hendak menjawab namun tiba-tiba hapenya bergetar lirih. Ia lalu mengetik sesuatu di smartphonenya. Tak lama seorang lelaki berdiri di mulut pintu.

”Aku harus pergi sekarang. Sampai ketemu lagi,” katanya.
Ia melangkah pergi dengan anggun tanpa menengok sekali ke arahku. Perempuan blues pergi dengan hanya menyisakan aroma parfum yang menusuk dadaku.

06 January 2012

Malam-malam Oedipus

Setiap malam sebelum tidur
kukumpulkan benda-benda tajam yang ada di kamarku
gunting, pisau, gunting kuku, garpu, dll.
kuikat satu, lalu kukunci dalam laci lemari bajuku

Pernah aku lalai suatu kali.
Saat tidur pulas
sebilah gunting hampir memutus urat leherku
untunglah senyum ibu membangunkanku
tepat saat gunting akan menggigit di batang leher.

Kutatap tajam ke arah gunting
matanya mengkilat balik menatapku
maaf, kata gunting
aku tak bisa tidur sejak kau tancapkan aku di perut ayahmu.

02 January 2012

Tahun yang Baru Rindu yang Lama

"Kemana kau nanti malam," kata bayang-bayang yang selalu menemaniku.
"Menemani kalender di detik-detik terakhir menghabiskan sisa waktunya."

Andai rindu juga seperti kalender. Bisa diganti yang rindu baru, bila rindu yang lama sudah habis.

Pagi ini kulihat kalender sudah dingin tergantung di dinding. Kaku.
Semalam, kematiannya pastilah disambut tiupan terompet dan tembakan kembang api. Kematian yang tragis.
Ah, maafkan aku, kalender. Aku tertidur semalam. Tak bisa mendampingi di saat-saat terakhir mu. Pastinya kau kesepian di detik-detik penghabisan mu.

Ku copot kalender dari dinding. Tak kubuang, ku simpan di lemari. Siapa tahu bisa untuk sampul buku keponakanku.

"Ada yang baru di Tahun Baru?" Bisik kalender baru saat kupasang.
Tidak. Dadaku masih mengeja nama yang sama. Masih bergetar rindu yang lama.