07 September 2013

"Memang Begitu Prosedurnya"



“Maaf,  gak bisa diproses, Mas,” kata pelayan nasabah seorang perempuan berusia 35-an, agak gemuk, berkerudung hijau, ketika saya minta ganti kartu ATM BNI yang kedaluarsa.

“Masa sih, Mbak,” heran saya. Saya jelaskan sampai tiga kali kuatir Si Mbak Yu kurang mengerti. Tapi jawaban akhirnya tetap sama.

Saya ke kantor BNI cabang Cirendeu Jumat, awal Agustus lalu. Singkatnya begini: Saya minta ganti kartu ATM, tapi ditolak karena tanda tangan di kartu identitas yang saya tunjukan tidak sesuai dengan tanda tangan yang ada di buku tabungan. Saya jelaskan tanda tangan saya memang sengaja diganti sejak masuk kuliah. Sementara tanda tangan di buku tabungan tetap karena rekening dibuka sejak saya masih SMA dan selama pergantian buku tidak pernah diubah. Alasannya, saat itu, jika mau mengganti tanda tangan harus mengisi apa, beberapa lembar, dan waktu itu saya pikir ribet. Eh, Si Mbak Yu tak menoleran.

Ya sudah, saya bilang buka rekening baru saja. Si Mbak Yu tetap tidak bisa memproses. Katanya, kantor cabang hanya melayani pembukaan rekening kepada calon nasabah yang bermukim di Cirendeu, Tangerang Selatan. Kata dia, solusinya, saya harus mengganti kartu ATM di Kantor Cabang tempat saya membuka rekening. Dalam hal ini Kantor Cabang Sukabumi.  

“Terus apa fungsinya kartu identitas,” kata saya.  
“Memang begitu prosedurnya,” jawabnya.
Ah, repot sekali saya menjelaskan bahwa saya sudah jaranga ke Sukabumi dan tempat kerja saya sekarang di Jakarta, dan tinggal di Cirendeu meski alamat tinggal di KTP masish tertera alamat rumah orangtua.

Setelah Lebaran saya ke Kantor Cabang BNI Sukabumi. Ringkasnya, setelah mengantre, permintaan saya diproses cepat tak lebih dari lima belas menit. Selama proses tersebut, saya tanya ke pelayan nasabah yang juga kebetulan seorang perempuan berkeredung, apakah memang prosesnya harus seperti yang dikatakan Si Mbak Yu, pelayan nasabah di Cabang Cirendue itu?
“Nggak juga, Mas. Pergantian kartu ATM bisa dilakukan di seluruh kantor cabang di seluruh Indonesia,” katanya, seperti promosi.
Jelas saya meragukan. Pada kasus saya kok tidak bisa karena perbedaan tanda tangan.
“Harusnya bisa. Kan bisa dicek apakah identitasnya sama dengan yang di buku tabungan atau tidak,” jelasnya.
“Oh, gitu,” jawab saya sambil mengangguk paham karena serasa sadar telah dikerjai.
“Kerja di mana memang, Mas?” tanyanya.
“Biasa Mbak. Serabutan,” kata saya.
“Oh, … (dia tidak melanjutkan).”
“Iya, ohh,” kata saya. 
Dia senyum, saya senyum.

04 September 2013

Main-main Dengan Twitter


Postingan kali ini saya kopikan dari Twitter.

Rasa luluh saat kita bertemu kini berganti menjadi lelah.

Lelah sekali hatimu menunggu. Hingga tak tersisa ruang untuk riang.

Riang datang di hati yang lapang.

Lapang atau sedang sesak dompetmu tak mempengaruhi kegantenganmu.

Kegantenganmu cuma disebut dalam sajak. Sajak orang-orang gila.

Gila adalah satu cara agar kamu bisa tenang.

Tenang saja, katamu. Tak ada yang perlu dikuatirkan. Badai pasti bersantai.

Bersantai dan tenggelam bersamamu dalam secangkir kopi.

Kopi lagi? Mari ngopi!


Begitu juga dengan yang di bawah ini. 


Dia selalu duduk di sofa paling pojok dekat toilet hanya untuk sekedar tidak dipahami.

Dipahami apa yang tak dimengertinya. Dicintai apa yang tidak bisa dimillikinya. Dan diam-diam disimpannya apa yang sudah jadi kenangan.

Kenangan seperti gigitan linsang, katamu. Mencengkram, tak bisa dilepaskan.

Dilepaskan jasnya saat kembali ke rumahsakit jiwa. Sambil melempar dompetnya, ia bilang, hanya menjadi gila yang tak butuh modal.

Modal utama menjadi penikmat kopi adalah rela menerima yang pahit.

Pahit di cangkir kopiku hilang setelah dicelup bibirmu.

Bibirmu lenyap setelah dicuri seorang perindu yang menyembunyikannya di tempat terpencil.

Terpencil itu soal apa yang sering luput dari mata. Bukan dari tatapan langit.

Langit hari ini bebas dari arakan awan setelah diamuk badai semalaman.

Semalaman kerjanya hanya berlatih di depan cermin, "tuan putri suka kopi juga?" Dijawabnya sendiri. "Tidak, kopi yang cinta saya."

Saya sengaja datang ke kepalanya malam-malam. Menagih puisi pesanan yang belum datang. Padahal pagi sudah menjelang.

Menjelang jam 10 pagi dua peronda masih terbaring di poskamling. Kasihan, semalam suntuk mereka dikejar-kejar kantuk.

Kantuk sedang mengobati seorang wartawan yang terkapar setelah dihajar tenggat.
 


 


23 June 2013

Si Pengaku Nabi

Aku hampir tak mengenalinya saat dia muncul di berita jam 7 malam. Saat itu aku baru saja keluar dari kamar mandi setelah bermain badminton di lapangan dekat komplek. Ia muncul di segmen kedua. Di segmen pertama, dari kamar mandi samar-samar kudengar penyiar memberitakan tarik-ulur rencana kenaikan harga bensin dan solar.

Di segmen kedua itulah si penyiar mengabarkan bahwa polisi telah mengamankan seorang warga yang mengaku nabi. Maulana namanya. Ia bersama pengikutnya diamankan karena hampir menjadi bulan-bulanan massa. Penyiar mengatakan, Maulana dan pengikutnya digerebek warga ketika tengah melakukan ritual di sebuah rumah yang letaknya jauh dari perkampungan namun
disebut-sebut meresahkan warga. Tempatnya semacam padepokan. Maulana tinggal di kediamannya di dekat perbatasan Lembang-Bandung.

Maulana diamankan pada Jumat malam. Sehari kemudian, ia bisa diwawancarai langsung oleh stasiun telvisi berita secara eksklusif. Hebat pikirku.

......

Jarak ratusan kilometer antara si penyiar dan Maulana sudah tak ada lagi artinya. Maulana yang berada di Bandung diwawancarai oleh penyiar yang berada di Jakarta. Aku menyaksikan wawancara ini seperti menyaksikan pertandingan tinju. 
Ronde satu dimulai.
“Pak Maulana, Anda percaya bahwa anda ini seorang nabi?”
“Saya tak harus percaya bahwa saya ini nabi untuk membuktikan bahwa saya ini seorang nabi.”
“Jadi benar anda ini nabi?”
“Saya bilang, saya tak perlu pengakuan untuk meyakinkan bahwa saya adalah seorang nabi atau bukan.”
“Jadi, anda ini seorang nabi atau bukan?”
”Anda ini ruwet sekali. Saya kira jawaban saya sudah jelas.”

Aku tersenyum melihat debat macam ini.  Wajah si penyiar seperti petinju professional yang tak menyangka mendapatkan hook di pelipis kanannya di ronde pertama dari petinju amatir. Tak mau dipermalukan oleh petinju amatir yang tak jelas asal usulnya Si penyiar mencoba membalas.

“Pak Maulana, jika anda nabi, tentu anda punya kelebihan. Maksud saya mukjizat. Anda tahu setiap nabi dianugerahi mukjizat. Bisa ceritakan apa mukjizat yang anda miliki?”

“Anda sebenarnya boleh tak percaya kalau saya ini bukan nabi. Saya tak akan memaksa.”

“Tapi kan anda ini dipercaya oleh pengikut anda sebagai nabi?”
“Tanyakanlah pada mereka.”

 “Oke. Pak Maulana, bagaimana cara ibadah anada. Apakah anda juga sholat seperti umat Islam, atau misa seperti pemeluk Kristiani, atau mungkin bertapa?”

“Kenapa? Anda mau menambah pahala saya,?”

Wawancara kalah

Maulana, orang yang mengaku nabi, adalah teman sekolahku di SMP. Dulu, namanya Asep Saepudin alias Asep Ucing. Aku mengenalnya karena saat kelas dua SMP ia duduk di belakang mejaku. Ia duduk di kursi paling pojok di samping jendela.

Di sekolah kami, ada lima siswa yang bernama Asep. Seperti umumnya nama orang Sunda, kelima nama Asep itu pun redundan. Dari kelima orang itu, tiga orang bernama Asep Saepudin. Sisanya bernama Asep Saepullah dan Asep Saefullah.

Agar tak keliru menyebut dan tak salah memanggil nama mereka, kami memberikan nama alias kepada lima orang itu. Tiga Asep pertama kami panggil Asep Ucing, karena perangainya mirip kucing yang tampak selalu mengantuk. Asep Cacing karena perawakannya kurus dan sering mengulet. Tampak seperti cacing yang kau simpan di batok kelapa untuk umpan memancing nila di empang. Dan Asep Maghrib karena warna kulitnya mengingatkan kita pada suasana menjelang waktu sholat Maghrib.

Asep Saepullah kami sebut Asep Dadang, karena ayahnya bernama Dadang. Kautahu, jika ada orang yang biasa-biasa saja, dan kau bingung membedakannya sementara ia harus dibedakan, maka nama ayahnya adalah julukan yang paling pas ditempel di belakang nama orang tersebut. Cara seperti itu tak cuma bikin beda tapi juga lucu. Orang-orang arab dulu melakukan itu. Tapi kami melakukan itu untuk bahan candaan dan bahan lelucon. Asep yang terakhir adalah Asep Cepak, karena potongan rambutnya tak pernah lebih dari dua senti.

Bersambung…


13 May 2013

Yu, Yah, Yang




Yu
Jakarta, 2007

"Kalau Minggu depan aku ke rumahmu, gak ditolak 'kan, Yu?"
"Yah nggak lah, Mas."
“Kalau ke rumahmu mau melamar, gak ditolak juga kan, Yu?”
”Loh, ditunggu-tunggu malah, Mas.”
"Yakin kamu, Yu?"
"Mas, belum yakin toh?"
"Yakin, Yu. Aku wis istikhoroh ping telu. Sing pas, sing sreg, yah kamu, Yu. Kamu wis istikharah, Yu?"

"Belum. Emang mesti, Mas?"
"Kalau udah sreg, yah nggak usah. Tapi kalau masih ganjel ya mesti toh, Yu."
"Tapi aku wis sreg, Mas."
"Ya gak usah berarti."

"Tapi, Yu, beneran toh gak malu jadi istri kurir kayak aku ini? Aku kan gak sepinter kamu, Yu? Gak bisa cas cis cus bahasa Inggris, bahasa Portugis. Rumah ya, belum punya."

"Mas belum yakin toh mau nikah sama aku?"
"Jangan disalahpahami begitu, Yu."
"Masih kurang cantik ya, Mas?"
"Loh, wis mirip Chaterin Zeta-Jones begini kok masih dibilang gak ayu. Ngece itu namanya."

"Aku gak peduli, Mas. Yang penting kamu itu setia, Mas."
"Emang aku ada tampang gak setia, Yu?"
"Sekarang sih nggak ada. Kalau lima atau tujuh atau sepuluh tahun lagi yah gak tau."
"Masa sih, Yu?"
"Gak tau, Mas. Menurutmu gimana, Mas?"
"Pasti setia, Yu. Pasti."

Yah
(1987) Solo, Di dalam mobil

"Yah, kapan kita sampai ke rumah nenek?"
"Sebentar lagi, Nduk."
"Kalau sekarang udah sampai?"
"Masih belum."
"Sekarang?"
"Belum juga."
"Jadi kapan sampai ke rumah nenek?"
"Nanti kalau sudah sampai, ayah kasih tau."
"Kapan, Yah?"
"Kalau sudah sampai."
"Sekarang?"
"Belum."
"Kalau sekarang?"
"Belum juga, Sayang. Mending kamu cerita di sekolah tadi. Belajar apa hari ini?"
"Tadi cuma dongeng si kancil dan serigala. Yah, apakah serigala itu saudaranya anjing?"

"Iya. Saudara sepupu mungkin."
"Kenapa anjing bisa dipelihara dan serigala nggak, yah?"
"Mungkin karena serigala gak mau tinggal di rumah. Inginnya tinggal di hutan."

"Yah, benarkah anjing itu lebih setia dari manusia?"
"Mungkin iya."
"Benarkah ada anjing yangg menunggu tuannya sampai mati, Yah?"
"Iya, itu cerita seekor anjing di Jepang."

"Yah, apa benar ibu di rumah nenek?"
"Iya."
"Kenapa gak gak ajak Ayu, Yah?"
"Kamu kan tadi pagi masih sekolah, Yu. Ibu buru-buru."

"Yah, apakah benar ayah mau bercerai?"

26 April 2013

Jam 00

Jam 00, kepalanya mulai riuh. Ke lentera, di jentera, ke bentara lalu ke beranda. Menjelang subuh ia mengaduh. Rindunya belum juga sembuh.
(2013)

Ampunilah Kesibukan Kami

Ampunilah kesibukan kami. Beri keluangan untuk bertemu. Agar tak semua kangen berakhir di keranda rindu.
(2013)

04 April 2013

Lomba Puitwit



Awal Februari lalu, penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) mengadakan lomba membuat puitwit. Lomba semacam ini sebenarnya lumrah diadakan sebuah akun penerbit. Selain untuk menambah follower, juga untuk promosi buku. Saya pun ambil bagian mengikuti lomba tersebut dengan saat itu mensyaratkan kata kunci ‘gula’.

Puitwit adalah jenis puisi yang populer di jejaring Twitter. Tak ada yang berbeda dengan puisi umumnya, hanya saja puitwit dibatasi jumlah karakter. Puitwit tak boleh lebih dari 140 karakter dan dibuat dalam batas waktu yang ketat. Khusus KPG, hanya berlangsung pada jam kerja. Jam 9 pagi-5 sore. Lumayan menantang. Apalagi dalam membuat puitwit disyaratkan untuk memakai kata kunci tertentu.

Maka, disela-sela liputan, otak saya berputar-putar dan terus memikirkan kata gula. Akhirnya menjelang siang saya menemukan satu kalimat yang pas. Saya tulis di akun Twitter saya @1bambang.

Tadi pagi ibuku menyeduh kopi tanpa gula. “Sesekali sesaplah yang pahit-pahit agar tak mudah gila,” pesannya.

Puitwit di atas meski tak menang, masuk dalam tujuh puitwit terbaik yang dipilih oleh juri Joko Pinurbo. Saya senang.

Lalu saya kembali membuat lagi meski batas waktunya sudah jauh lewat.

Gila, gula, galau adalah nama penyakit. Obatnya ada di rumahsakit jiwa, rumahsakit umum, dan rumahsakit rindu.

Gimana?

Kamu sudah pernah bikin Puitwit?

19 March 2013

Hadiah Di Hari Valentine

“Cepat ke sini. Saya lagi sakit, sekarat,” pinta saya kepada teman saya, lewat sambungan telepon. Teman saya itu sebut saja namanya Bujang.

Setelah bertele-tele menanyakan alamat kosan saya, ia berjanji akan datang “secepatnya”. Dan itu artinya dia akan datang lima jam kemudian atau bahkan esok lusa. Saya bilang, saya gak punya waktu selama itu. Bisa saja saya sudah membusuk di kamar jika dia cuma datang “secepatnya”. Saya jelaskan lagi kondisi saya sekali lagi. Barulah ia menjawab dengan jawaban yang sedikit lebih baik dari sebelumnya, “Iya, ini berangkat.” 


Empat puluh lima menit kemudian Bujang tiba di kosan dengan tawa lebar di wajah. Seolah tak ada yang dirisaukannya. Bujang ini memang mirip aktor Hollywood, Jack Black. Wajah dan badan sama-sama tembem dengan selalu memamekan senyuman. Karakternya juga mirip-mirip Jack Black di film Gulliver’s Travels. Mengesalkan tapi lucu. Saat saya meringis kesakitan, ia malah cengangas-cengenges di depan saya. 


Saya jelaskan kembali kondisi saya. Sejak sejam lalu, saya sudah 3 kali muntah, dan lima kali BAB. Kepala saya pening dan perut saya seperti cucian diperas. Melilit. Perih. Dan ia membalas penjelasan saya dengan komentar yang membuat perut saya semakin kejang.  

“Yaelah, biasa saja. Selow. Gak usah digitu-gituin mukanya,” katanya, berkomentar soal wajah saya yang terus meringis. Saya sadar sudah sia-sia memberikan penjelasan panjang lebar. Saat itu saya tak bisa berpikir apakah dia memang coba menenangkan saya atau berusaha melucu. Yang pasti perut saya semakin kejang.

Saya lalu minta tolong diantarkan ke rumah sakit terdekat dengan dibonceng naik motor. Karena tak mampu duduk tegak, saya tumpukan berat badan saya semuanya pada punggung si Bujang. Baru lima meter jalan, dia komentar lagi. "Jangan nyender gitu. Gila lu,” protesnya. “Entar gua disangka homo lagi."

Komentarnya itu hampir
membuat saya mimisan. Sekitar jam 11 saya sampai di sebuah rumah sakit di daerah Ciputat, Tangerang Selatan. Dan si Bujang dengan polosnya tidak langsung membawa saya ke ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD), dia malah membawa saya ke ruang pendaftaran untuk dokter umum. 

Jam 12, saya terbaring di IGD dan sudah menghabiskan satu kantong cairan infus. Sementara Bujang sudah membereskan semua administrasi dan memberi saya sekantong roti, sebotol minuman sebagai bekal selama saya menginap di rumah sakit.
Lusanya saya didiagnosa oleh dokter tiga penyakit oleh dokter. Radang usus, maag, dan diare. Tiga penyakit ini saya pikir kombinasi maut seperti  kombinasi segitiga di Barca, Messi, Iniesta dan Xavi. Bikin lawan Barca kejang-kejang. :D

***
Saat melawan rasa nyeri di perut, saya sebenarnya terpikir menelpon orang lain yang sudah lama tak pernah saya temui. Seseorang yang sudah lama ingin saya telpon, tapi tak pernah berani. Seperti dalam film, saya pikir mungkin romantis juga jika saya menelpon orang yang saya sayangi di saat-saat terakhir. Tapi akhirnya urung juga. Bagaimana kalau dia mengaku tak mengenal atau menjawab dengan jawaban yang bikin saya semakin meringis, “terus kenapa kalau sakit.” Bekerja di Jakarta tanpa memiliki saudara memang seperti anak ayam di tengah ladang. Siap dimangsa elang tanpa ada yang menolong.
:(

Akhirnya saya menelpon Bujang untuk saya repoti karena beberapa alasan. Pertama karena faktor pertemanan. Kedua, secara tidak langsung dia ikut bertanggung jawab dalam membuat kondisi saya sekarat. Sebelum saya tepar, malamnya dia mengajak saya makan bebek pedas di kawasan Rawa Belong. Saya pikir itu yang bikin saya kondisi saya drop. Jadi paling tidak, si Bujang harus ikut beertanggung jawab. Saya menelpon dia bukan karena dia memiliki naluri pembantu. :D

Hari itu tanggal 14 Februari. Artinya bagi sebagian orang saat untuk merayakan Hari Valentine yang biasa dirayakan dengan memberi hadiah kepada orang yang disayangi. Teman, sahabat, orangtua, istri, suami, atau kekasih. Saya tak pernah punya pengalaman memberi hadiah atau menerima hadiah di Hari Valentine.
Meski tidak pernah ikut merayakan, saya selalu senang jika diberi hadiah. Sebuah pemberian yang tulus, saat merayakan sesuatu atau tidak, saya kira wajib disyukuri dan dibalas minimal dengan ucapan terima kasih. 
Jadi saya ucapkan terima kasih untuk Bujang, dan orang-orang yang memberi perhatian.

22 January 2013

Kisah Tragis Para Petinju



Sampai membaca buku karya FX Toole, Agustus lalu, saya tak terlalu begitu mengenal tinju. Paling saya mengenal tinju hanya sebagai olah raga dengan guyonan yang sedikit nyinyir. "Cari duit saja sampai harus babak belur."  :D

Namun setelah membaca Kisah-kisah Di Balik Ring karya Toole, pengetahuan saya tentang tinju benar-benar berubah. Lewat cerpen-cepennya, Toole menceritakan bahwa tinju itu bukan soal adu jotos di atas ring. Tinju berbeda dengan tawurab di jalanan di mana yang besar-kuat pasti menang. Tinju adalah olah raga untuk menguji dan mengenal diri sendiri. Tinju adalah soal harga diri.

Enam cerpen dalam buku tersebut, Toole menghadirkan tokoh-tokoh yang jarang disorot. Toole juga menguak cerita-cerita yang jarang diketahui atau sudah menjadi rahasia umum. Seperti, praktik suap juri, pembagian honor antara petinju, aksi culas promotor, kepiawaian seorang cut man dan sebagainya dan sebagainya. Kehebatan Toole adalah, mampu menguak cerita-cerita yang di balik gemerlap dunia tinju dengan penuh detail.

Lewat pengalamannya di dunia tinju, Toole mampu menggambarkan dunia tinju yang keras, berdarah, penuh intrik dan juga airmata.

Namun entah kenapa, Toole selalu mengakhiri ceritanya dengan ending yang pahit. Beberapa bahkan nyaris tragis. Hanya satu cerpennya yang menurut saya cukup melegakan, Tampang Siamang. Selain itu pahit. Sepahit empedu.

Salah satu  cerpen terbaiknya, Million $$$ Babby pernah diangkat ke layar lebar dengan sutradara Clint Eastwood. Film tersebut menyabet empat Oscar.  Diantaranya untuk kategori film terbaik. Film yang wajib tonton.

Satu lagi yang membuat saya betah membaca buku ini adalah karena sang penerjemah, mampu menangkap feel bahasa aslinya dan menerjemahkan dengan istilah kita.  Maka jangan kaget jika dalam dialog anda akan menemukan kata-kata pukimak,dan toket. :D

Selamat Membaca.

10 January 2013

Gara-gara The Beatles

Menulis fiksi itu gampang-gampang susah. Meski kadang banyak susahnya. Salah satu cara agar lancar menulis adalah latihan menulis dengan metode free writing. Saya coba, dan hasilnya tak buruk-buruk amat.

Selamat membaca.

------
Namaku Refa. Kata ibu, nama itu pemberian ayahku. Aku percaya saja karena tak bisa menanyakan langsung kepada ayah. Ayah pergi saat aku masih dalam kandungan.

Aku tak tahu alasan kenapa ayah pergi meninggalkan aku dan ibu. Kata tente Rin, mereka berpisah karena The Beatles. Ayah menganggap Yoko Ono adalah setan yang  berwujud perempuan sebagaimana setan dulu berubah wujud menjadi ular untuk memisahkan Adam dan Hawa di surga. Kata ayah, karena Yoko Ono,  persahabatan John Lennon dan Paul McCartney renggang dan akhirnya The Beatles bubar.

Sementara menurut ibu, John jadi lebih utuh dengan kehadiran Yoko. Karena perbedaan itu, ibu dan ayah sering bertengkar. Sampai suatu pagi, ayah pergi meninggalkan rumah kontrakkan dalam keadaan seperti kapal pecah.

Aku sebenarnya tak peduli dengan The Beatles. Tapi ibu sering cerita bagaimana ia mengenal The Beatles dari ayah. Sejak diperkenalkan lagu Yesterdays ibu langsung jatuh cinta pada grup band tersebut.  

Menurut ibu The Beatles tak seperti superstar lainnya. Mereka selalu tampak sederhana dan kompak. Mungkin karena mereka tumbuh dari Liverpool. Kota kelas pekerja. Sama seperti kakek yang juga buruh.

***
Dari cerita ibu, namaku, diambil dari kata reformasi. Ayah adalah aktivis mashasiswa 98 asal Jogja, sementara ibu kuliah di UI. Mereka bertemu saat demo besar-besaran menuntut Pak Harto mundur. 
Kata Tante Rin, adik ibu, sejak pertama bertemu, mereka langsung klop. Di sela-sela demo mereka berpacaran dan sempat menghabiskan waktu ke ancol berdua. Tante menyebutnya sebagai pasangan serasi seperti Romeo dan Juliet. Mereka menikah tahun 2000 tepat saat usiaku 2 bulan dalam kandungan.  

Suatu pagi ibu menangis saat membaca koran di kursi meja makan..



09 January 2013

Penyesalan

Seorang teman pernah bertanya, apa penyesalan terbesar dalam hidupmu ?

Meski disampaikan sambil lalu, pertanyaan tersebut terus berputar-putar di dalam kepala hingga sekarang. 
Ah, penyesalan, kenapa ia selalu datang belakangan? Saya tidak tahu. Mungkin seperti kata Stephen Hawking, karena manusia cuma bisa mengingat waktu psikologis. Manusia hanya bisa mengingat masa lalu dan bukannya masa depan.

Jadi apa penyesalan terbesar? Kalau harus menjawab pertanyaan di atas, sepertiya ada dua penyesalan dalam hidup saya. Dan andai saja waktu bisa diputar ulang, atau ada mesin penjelajah waktu, saya ingin mengulang kembali ke waktu tersebut.

Tentu saja berandai-berandai macam itu tak akan membuat masalah selesai. Hanya mengorek-ngorek luka lama.

Baiklah, agar ceritanya sedikit seru, saya ceritakan dari penyesalan yang kedua terlebih dahulu.

Penyesalan saya yang kedua datang di masa masa-masa akhir kuliah. Waktu itu, bisa dibilang saya sedang melarat. :D Tabungan yang tak seberapa sudah terkuras untuk skripsi. Sementara, jatah dari orangtua sudah habis buat persiapan wisuda. Ah, kuliah memang tak murah. Ingat itu.

Karena berbagai alasan, saya juga tak bisa meminta uang tambahan ke orangtua. Jadi akhirnya dengan sangat terpaksa beberapa buku yang belum saya kirim ke rumah, saya lego untuk memperpanjang hidup di Malang. Empat buku seratus ribu rupiah. Murah.

Buku yang saya jual adalah, Setelah Revolusi Tak Ada Lagi karya Goenawan Mohamad, Kentut Kosmopolitan, Seno Gumira Ajidarma, kumpulan features Dari Bali sampai Venesia, Shindunata dan satu lagi serial Soekarno-saya tak ingat judulnya apa.

Beruntung saya punya teman yang sama-sama mencintai buku. Jadi saat melepas buku tersebut, saya cukup lega karena buku tersebut tidak jatuh ke tangan orang yang salah. Begitu ada uang, mungkin saya bisa membayar kembali buku-buku tersebut. Begitu pikir saya.

Tak terbayang jika saya harus menjual buku tersebut ke pasar buku Wilis, Malang. Kemungkinan buku tersebut hanya dibeli setengahnya. Penjual buku di pasar Wilis menghargai buku bukan dari penulis, tapi dari ketebalan buku. :D


Menjual buku untuk bertahan hidup? Apakah tedengar menyedihkan. Menurut saya iya. Apalagi buku-buku tersebut saya kategorikan buku langka. Saat saya mau membeli kembali buku tersebut, teman saya menolak. “Buat kenang-kenangan dari kamu,”alasannya. 

 Yah, begitulah. Sama-sama pecinta buku memang susah untuk melepas buku. Sampai saat ini saya belum bisa mengganti buku-buku tersebut. 

Lalu apa penyesalan pertama? Penyesalan pertama agak rumit untuk saya ceritakan. Saya menyadari bahwa memang penyesalan terbesar itu bukan tentang apa yang telah dilakukan, tapi tentang apa yang tidak dilakukan.

Ini soal perempuan, jadi saya tak bisa banyak cerita. Lihat, bahkan untuk menceritakannya pun saya malu-malu. :D

Omong-omong, apa penyesalan hidupmu?

05 January 2013

Work Hard, Party Hard

Kerja habis-habisan, lalu pesta gila-gilaan. Di Jakarta, beberapa kalangan menjadikan idiom ini sebagai gaya hidup. Tak percaya? tengoklah beberapa tempat di Jakarta di akhir pekan. Kemang misalnya. Maka mulai Jumat sampai Sabtu malam, klab, kafe dan tempat pesta lainnya ramai disesaki kaum urban setelah lima hari  didera pekerjaan. Bukan gaya hidup yang baik tentunya, meski patut juga dicoba sesekali. :D

Dalam kultur Timur, atau masyarakat desa, pesta biasanya dirayakan sebagai cara untuk mengukuhkan nilai-nilai tradisi. Berbeda dengan di kota. Dalam masyarakat urban, pesta identik sebagai cara untuk mengabaikan nilai-nilai. Terutama  nilai yang berada di luar pesta. Jika nilai, norma, adalah pagar yang mengurung, maka saat pesta pagar tersebut bisa didorong sejauh mungkin. Bahkan, diharapkan setiap orang untuk melepaskan keterkungkungannya dari norma dalam kehidupannya sesehari di luar pesta.

Maka yang terjadi dalam pesta adalah kegilaan. Setiap orang boleh mengekspresikan kegilaannya. Meski akhirnya pagar tersebut kembali menciut begitu pesta usai.

Saya bukan penyuka pesta atau acara yang digarap untuk merayakan sesuatu atau untuk "meledakan" diri. Entah kenapa. Mungkin karena saya tak tahu mesti ngapain. Saya sering kikuk jika menghadapi orang yang tak dikenal. Apalagi ada kebiasaan sering membicarakan dan men-share apa yang terjadi di dalam pesta ke luar pesta.

Padahal di Amerika misalnya, ada idiom what happens in Vegas, stays in Vegas. Idiom tersebut mengartikan bahwa kegilaan yang terjadi di tempat pesta, usahakan tak menjadi pembicaraan. Orang dibuat mengerti kapan nilai tersebut bisa didorong dan dilucuti, kapan tetap harus dihormati.

Di Indonesia idiom tersebut bisa berganti menjadi, what happens in party room, stays in party room.


O,iya.. Kapan terakhir Anda mengkikuti pesta?
Akhir tahun kemarin? Apakah Anda ikut meledak?? :D