29 March 2011

Gara-gara Nurdin Digusur, Lima Koran Berjudul Headline Sama

Nurdin Halid memang fenomenal. Ketika Menpora Andi Malarangeng mencoret namanya sebagai ketua PSSI, Nurdin tak tampak gentar sedikitpun, malah melawan. Saat diserang dari berbagai penjuru, Nurdin tetap bertahan, malah sesekali menyerang balik lawannya.

Sudah ratusan atau mungkin ribuan kali pecinta sepakbola nasional meminta Nurdin turun dari ketua PSSI. Namun setiap kali permintaan mundur terlontar tiap kali itu pula membal di kerasnya kepala Nurdin.

Tak heran, ketika Menpora di tengah siang tiba-tiba mencoret namanya dari Ketua PSSI, Nurdin marah besar. Dalam sebuah wawancara di TV One, dia mengungkapkan kekecewaannya pada pemerintah. Bahkan tak segan dia mencap pemerintah sebagai penguasa yang otoriter.

Sejak kisruh dalam PSSI dimulai, Nurdin memang berubah jadi sosok newsmaker. Mulai dari kegagalan Timnas dalam piala AFF, carut-marut liga nasional, kasus korupssi, sampai pencoretan dua nama calon ketum PSSI, dan gagalnya konggres, Nurdin selalu jadi sorotan media.

Namun, sepengetahuan saya, tak pernah koran-koran menurunkan judul HL yang sama mengenai Nurdin. Setidaknya sampai hari ini (Selasa, 29 Maret 2011).

Hari ini, setidaknya lima media cetak menurunkan headline (HL) yang hampir sama plek. Koran-koran tersebut antara lain, Kompas, Tempo, Jawa Pos, Media Indonesia, dan Warta Kota.

Kompas sebagai mainstream, menurunkan HL, Pemerintah Tak Akui Nurdin. Demikian juga media yang berada dalam jaringan Kompas Gramedia, Warta Kota, memakai judul HL yang sama. Padahal biasanya Kompas menurunkan HL yang berbeda dari media yang lain.

Sementara, dengan gayanya, Tempo menurunkan berita yang sama. Tempo hanya menambahi kata Cs di belakang kata Nurdin, Pemerintah Tak Akui Nurdin Cs.

Cs adalah bahasa prokem yang bisa berarti dan teman-teman. Sehingga yang dimaksud Tempo, Nurdin Cs itu tertuju kepada kepengurusan PSSI saat ini. Yang tak lain adalah Nugraha Besoes, dan Nirwan Bakrie yang masing masing menjabat sebagai Sekjen dan Wakil Ketua PSSI.

Kenapa Kompas tak memakai kata Cs? Mungkin karena menganggap kata Cs sebagai kata tak standar. Tak ada dalam kamus.

Meski mempunyai arti yang sama, Jawa Pos (JP) juga menurunkan berita yang sama. JP hanya mengurai kata pemerintah menjadi presiden dan Menpora: SBY-Menpora Tak Akui Nurdin Cs

Media Indonesia (MI) turun dengan gaya yang agak sedikit ribet. Kurang sangkil: Pemerintah Tidak Mengakui PSSI Nurdin Halid.

MI tidak menggunakan kata ‘Tak’, tapi memakai bentuk kata dasarnya ‘Tidak’ dan memakai kata ‘PSSI’ sebelum kata ‘Nurdin Halid’. Dari judul tersebut sebenarnya kurang hemat dan sedikit mubadzir, karena seolah menganggap PSSI ada lebih dari satu.

Sementara, Republika dan Jurnal Nasional menurunkan judul yang berbeda.

Jurnas, Pengurus PSSI dibekukan, dan Republika: PSSI Dibekukan. Sedangkan, seperti biasa, Rakyat Merdeka turun dengan gayanya sendiri. Nurdin Halid Dicoret –Menpora Koni dan KOI Ambil Keputusan-

Bukan Kasus Baru

Kasus judul HL yang sama, meski langka, memang sangat wajar terjadi. Dari satu peristiwa yang sama, wartawan bisa saja memilih angle yang sama dengan wartawan lain.

Kasus tersebut bukan karena contek-contekan atau copas (copy paste) yang biasa terjadi dalam pembuatan tugas di kalangan mahasiswa.

Namun tentu saja bagi media yang menjual berita dan mendidentifikasi dirinya sebagai media yang berbeda dengan yang lain, kasus tersebut memalukan. Seperti ikut ke pesta menggunakan kostum yang sama.

Entahlah..

Dari sekian banyak koran, HL mana yang kira-kira menurut Anda pas??

28 March 2011

Sulitnya Membangun Pusat Dokumentasi

Karena tak terurus, ribuan koleksi karya sastra yang tersimpan di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin terancam rusak (Kompas, 20/3/2011).

Membaca berita itu, saya seolah tersadar dari pertanyaan yang selama ini selalu saya utak-atik dalam kepala. Kenapa bangsa ini selalu terperosok dalam lubang yang sama dan terantuk pada batu yang sama. Jawabannya adalah karena sejarah dan kesusasteraan masih dipandang sebelah mata.

Ketua Yayasan HB Jassin, Ajip Rosidi, tiba-tiba merencanakan untuk menutup PDS HB Jassin. Alasannya, yayasan tak memiliki lagi dana untuk merawat PDS HB Jassin. Pangkalnya, dana hibah dari Pemrov DKI yang digunakan untuk mengelola PDS HB Jassin terus berkurang. Dana yang semula 500 juta pertahun, berkurang hingga kemudian hanya menjadi 50 juta pertahun pada 2011.

Akibat kurangnya subsidi itu, mengutip status Sitok Srengenge di microblogging twitter “yang bahkan tak cukup untuk bayar listrik dan pemeliharaan fasilitas, #PDS hampir tak mungkin bertahan,” tulisnya.

Lagi-lagi alasannya klise, karena masalah birokrasi. PDS terlengkap yang merekam perjalanan sastra Indonesia modern itu terbengkalai. Padahal ada anggaran Rp 6 triliun dari APBD Jakarta 2010 yang tak terserap. Ironis!

Ignas Kleden dalam esainya bertajuk Menyongsong 80 TahunHB Jassin -Menghargai Sebuah Dokumen Hidup- empat tahun silam mengingatkan tentang pentingnya menghargai PDS HB Jassin. Menurut dia, diabaikannya dokumentasi oleh negara hanyalah wajah luar dari mentalitas yang lebih dalam: diabaikannya sejarah. Akibatnya, bangsa Indonesia menjadi pendek ingatan dan lekas pelupa. Dan, kata dia, kutukan bagi seorang pelupa adalah mengulang kesalahan yang sama berulang-ulang.

Sebagian orang bisa saja bertanya kritis, apa pentingnya PDS Sastra. Toh investasi bisa terus berjalan, pembangunan gedung pencakar langit tak akan terpengaruh, pembangunan jalan tol tak akan terganggu, dengan atau tanpa adanya PDS HB Jassin.

Namun, mengutip Ignas, kelak suatu bangsa tidak hanya berbangga tentang berapa panjang jalan tol yang telah dibangun, berapa banyak gedung yang sudah didirikan, tapi apa yang sebetulnya dulu dicari oleh jiwa dan pikirannya saat dulu membangun jalan dan gedung.

Semua itu tentu hanya dapat ditelusuri dari sejarah di mana bangsa tersebut lahir dan tumbuh. Tanpa mengetahui asal usul kelahirannya, sebuah bangsa akan dengan mudah lupa daratan.

Lalu, seberapa besar PDS HB Jassin bagi bangsa Indonesia? Menurut Ignas, arti penting PDS yang didirikan tahun 1977 itu hanya bisa disandingkan dengan universitas-universitas terbaik yang ada di belahan dunia lain.

Arti penting dokumen tersebut baru dapat dipahami, bila diingat bahwa untuk bidang studi lainnya hampir tidak ada pusat dokumentasi di Indonesia yang dapat diandalkan.
Untuk belajar sejarah kebudayaan dan Indonesia, mahasiswa dan sarjana Indonesia akan belajar ke Leiden, Belanda. Untuk belajajar politik mereka harus ke Itacha, AS, untuk belajar Ekonomi ke Canberra, Australia, dan untuk belajar asal-usul perkembangan bahasa sendiri mungkin harus ke Hamburg, Jerman, atau Kyoto, Jepang.

“Hanya untuk belajar sastra Indonesia modern saja seorang sarjana atau mahasiswa cukup indekos di Jakarta dan bisa mendapatkan hampir segala bahan yang dibutuhkannya di PDS HB Jassin,” demikian Ignas.

Masih Terpinggirkan

Tujuh tahun yang lalu saya membaca tulisannya Emha Ainun Najib tentang keprihatinan beliau atas terpinggirkannya dunia sastra di Indonesia. Sekarang nasib dunia sastra tampaknya masih tak berputar. Masih dipinggiran.

Saking termarginalkannya, Cak Nun membandingkan kesusastraan dengan lokalisasi wanita tuna susila (WTS). Menurut Cak Nun, di indonesia sering muncul kondisi dimana WTS memperoleh kemerdekaan untuk beroperasi, sementara itu, seni sastra sangat diragukan oleh masyarakat baik secara politis maupun kultural ia sebaiknya ada.

Begitulah, impian adanya sebuah pusat dokumentasi berbagai bidang ilmu yang terkelola baik sangat jauh dari impian kita. Padahal, jika di Indoneisia ada lima orang Jassin saja maka mungkin sekali ingatan kita akan tertolong. Mungkin banyak kesalahan dapat terhindar dan mungkin pula kita bisa maju beberapa langkah lebih ke depan dari sekarang.

Kenyataan pahit memang. Namun ada dua pilihan menghadapi keadaan tersebut. Kita tanggapi serius akan ditutupnya salah satu dokumentasai sastra terbesar? Atau kita anggap sebagai peristiwa yang wajar terjadi di sebuah negeri penuh korupsi?

Jika kita masih manusia normal, seharusnya kejadian tersebut menyentak kesadaran. Setidaknya, tentang kepedulian Pemerintah Provinsi Jakarta dan warganya. Apalagi dana APBD Jakarta yang Rp 28 triliun yang digunakan untuk PDS HB Jassin relatif masih kecil. Hanya Rp 50 juta per tahun.

Sebelas tahun yang lalu, saat HB Jassin meninggal, Sekwilda DKI Jakarta Fauzi Bowo memimpin upacara pemakamannya.
Maka, jika PDS HB Jassin ditutup saat ini, Foke lah satu-satunya orang yang dicatat dalam sejarah sebagai pemimpin upacara penguburan HB Jassin sekaligus orang yang mengubur harta terbesar peninggalan tokoh sastra Indonesia tersebut.

10 March 2011

Cantengan Jempol Senat Senut

Dua hari ini jempol kaki kanan saya senat senut bukan main. Gara-garanya ada infeksi kuku di jempol kaki kanan. Nama kerennya: cantengan. Ya, cantengan!
Indikasinya, jempol bengkak, memerah, dan kalau sudah parah ada nanah disertai ngilu, nyeri, sakit, perih, dan kalau kesenggol.. Ughh sakitnya senut bukan main sampai ubun-ubun. Nut nut nut.. Wuihhghh!! Horor dah!

Cantengan, memang bukan penyakit menular, tapi terus terang cukup memalukan. Lebih dari itu, aktivitas jadi terganggu gara-gara si jempol senat senut selalu. Aneh memang, meski infeksinya di jempol kaki tapi senat senutnya bisa sampai ke hati. Akibatnya, kerja tak fokus, makan tak fokus, minum tak fokus, ngobrol tak fokus. Alhamdulillah cuma tidur saja yang masih bisa fokus. Masih bisa nyenyak.

Sebenarnya ini bukan pertama kali saya cantengan. Setahun mungkin sekali atau dua kali cantengan mampir di jempol kaki saya. saya pun tak punya obat khusus untuk mengobatinnya. Hanya dibersihkan, atau cukup direndam air hangat. Biasanya tuntas.. tapi cantengan kali ini berbeda. Beliau agak betah memndekam di bawah jempol kuku saya.

Saya sebenarnya heran, tak tahu kenapa si cantengan bisa rutin mampir di jempol kaki saya. Padahal ada teman saya yang katanya tak pernah menderita penyakit memalukan macam ini.
Apa mungkin dia dulu dapat imunisasi cantengan dan saya tidak?

Selintas pikiran iseng muncul. Apa mungkin presiden atau artis terkenal pernah cantengan. Misalnya SBY, Bung Karno, atau Dian Sastro, pernahkah beliau-beliau ini cantengan juga? Saya gak tahu.
Tapi kalau Gus Dur, karena begitu merakyatnya, mungkin pernah juga beliau dilanda penyakit ini.

Kembali ke cantengan jempol kanan saya.
Saya tak tahu persis kapan infeksi di jempol kaki saya mulai membengkak. Yang saya ingat, gejalanya mulai terasa setelah potong kuku hari Senin. Mulai terasa tuh senat senut di jempol kaki. Saya biarkan, karena biasanya cukup dibersihkan sudah hilang ngilunya.

Tapi gara-gara Rabu malam saya main futsal dan pakai sepatu yang agak sempit. Senat senut di jelpol kaki bukannya reda malah tambah menggila.
Tambah parah lah senant senut jempol kaki saya. Tambah tinggilah intensitas senat senutnya. Nut nut nut.. sampa ke dahi.

Saya pun akhirnya ngobrak-ngabrik gugel, untuk cari cara ampuh buat bunuh si cantengan. Soalnya hari Minggu mau ke kondangan, ada teman mau nikahan. Kan tengsin juga kalau ke kondangan masih jalannya tak tegap gara-gara cantengan.

Hasil ngubek-ngubek gugel, saya mendapat informasi bahwa obat cantengan yang mujarab adalah garamicyn..

Jadi, setelah dari kantor ini saya mampir ke apotek buat beli garamicyn. Katanya harganya cuma 25 ribu perak.

Oke, doakan saya semoga cepat sembuh..
Amin..

07 March 2011

Obrolan Tentang Alien




Benarkah alien ada?

Saya kira, pertanyaan tersebut masih sahih diajukan. Karena meski teori penolakan keberadaan alien bertebaran, teori tersebut bisa direduksi hanya dengan satu pertanyaan sederhana: bagaimana jika. What if. Bagaimana jika alien ada?

Ditemukannya crop circle di tiga tempat di Yogyakarta, yang menggegerkan di awal tanun ini tentu menjadi pertanda bahwa hal yang berhubungan dengan alien begitu menjadi perhatian khalayak.

Dan melihat betapa fenomena alien menjadi euforia, sejenak, pikiran iseng muncul dalam benak saya. Manusia ini kadang kelewat aneh: meski keberadaan alien misterius ia disukai dan digemari. Atau justru karena misterius tersebut ia jadi membangkitkan horor membangkitkan andrenalin dan karenanya jadi menghibur. Tengok saja daftar film laris hollywood, pasti film tentang alien ada di deretan film terlaris.

Tentu saja, crop circle yang katanya hasil karya iseng mahasiswa UGM itu, tidak bisa dijadikan bukti adanya alien. Namun, saya tertarik dengan pernyataan Drapper & Smith dalam textbook klasik bertahun 1966 'Applied Regression Analysis' yang biasa dipakai untuk menala ‘kebenaran’.

Buat mahasiswa science yang menjelang tugas akhir pasti tak asing dengan pernyataan Drapper & Smith itu . “The absence of proof is not the proof of absence,” demikian mereka. Ketiadaan bukti bukan bukti ketiadaan.

berikutnya tunggu catatan tentang alien..