28 March 2011

Sulitnya Membangun Pusat Dokumentasi

Karena tak terurus, ribuan koleksi karya sastra yang tersimpan di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin terancam rusak (Kompas, 20/3/2011).

Membaca berita itu, saya seolah tersadar dari pertanyaan yang selama ini selalu saya utak-atik dalam kepala. Kenapa bangsa ini selalu terperosok dalam lubang yang sama dan terantuk pada batu yang sama. Jawabannya adalah karena sejarah dan kesusasteraan masih dipandang sebelah mata.

Ketua Yayasan HB Jassin, Ajip Rosidi, tiba-tiba merencanakan untuk menutup PDS HB Jassin. Alasannya, yayasan tak memiliki lagi dana untuk merawat PDS HB Jassin. Pangkalnya, dana hibah dari Pemrov DKI yang digunakan untuk mengelola PDS HB Jassin terus berkurang. Dana yang semula 500 juta pertahun, berkurang hingga kemudian hanya menjadi 50 juta pertahun pada 2011.

Akibat kurangnya subsidi itu, mengutip status Sitok Srengenge di microblogging twitter “yang bahkan tak cukup untuk bayar listrik dan pemeliharaan fasilitas, #PDS hampir tak mungkin bertahan,” tulisnya.

Lagi-lagi alasannya klise, karena masalah birokrasi. PDS terlengkap yang merekam perjalanan sastra Indonesia modern itu terbengkalai. Padahal ada anggaran Rp 6 triliun dari APBD Jakarta 2010 yang tak terserap. Ironis!

Ignas Kleden dalam esainya bertajuk Menyongsong 80 TahunHB Jassin -Menghargai Sebuah Dokumen Hidup- empat tahun silam mengingatkan tentang pentingnya menghargai PDS HB Jassin. Menurut dia, diabaikannya dokumentasi oleh negara hanyalah wajah luar dari mentalitas yang lebih dalam: diabaikannya sejarah. Akibatnya, bangsa Indonesia menjadi pendek ingatan dan lekas pelupa. Dan, kata dia, kutukan bagi seorang pelupa adalah mengulang kesalahan yang sama berulang-ulang.

Sebagian orang bisa saja bertanya kritis, apa pentingnya PDS Sastra. Toh investasi bisa terus berjalan, pembangunan gedung pencakar langit tak akan terpengaruh, pembangunan jalan tol tak akan terganggu, dengan atau tanpa adanya PDS HB Jassin.

Namun, mengutip Ignas, kelak suatu bangsa tidak hanya berbangga tentang berapa panjang jalan tol yang telah dibangun, berapa banyak gedung yang sudah didirikan, tapi apa yang sebetulnya dulu dicari oleh jiwa dan pikirannya saat dulu membangun jalan dan gedung.

Semua itu tentu hanya dapat ditelusuri dari sejarah di mana bangsa tersebut lahir dan tumbuh. Tanpa mengetahui asal usul kelahirannya, sebuah bangsa akan dengan mudah lupa daratan.

Lalu, seberapa besar PDS HB Jassin bagi bangsa Indonesia? Menurut Ignas, arti penting PDS yang didirikan tahun 1977 itu hanya bisa disandingkan dengan universitas-universitas terbaik yang ada di belahan dunia lain.

Arti penting dokumen tersebut baru dapat dipahami, bila diingat bahwa untuk bidang studi lainnya hampir tidak ada pusat dokumentasi di Indonesia yang dapat diandalkan.
Untuk belajar sejarah kebudayaan dan Indonesia, mahasiswa dan sarjana Indonesia akan belajar ke Leiden, Belanda. Untuk belajajar politik mereka harus ke Itacha, AS, untuk belajar Ekonomi ke Canberra, Australia, dan untuk belajar asal-usul perkembangan bahasa sendiri mungkin harus ke Hamburg, Jerman, atau Kyoto, Jepang.

“Hanya untuk belajar sastra Indonesia modern saja seorang sarjana atau mahasiswa cukup indekos di Jakarta dan bisa mendapatkan hampir segala bahan yang dibutuhkannya di PDS HB Jassin,” demikian Ignas.

Masih Terpinggirkan

Tujuh tahun yang lalu saya membaca tulisannya Emha Ainun Najib tentang keprihatinan beliau atas terpinggirkannya dunia sastra di Indonesia. Sekarang nasib dunia sastra tampaknya masih tak berputar. Masih dipinggiran.

Saking termarginalkannya, Cak Nun membandingkan kesusastraan dengan lokalisasi wanita tuna susila (WTS). Menurut Cak Nun, di indonesia sering muncul kondisi dimana WTS memperoleh kemerdekaan untuk beroperasi, sementara itu, seni sastra sangat diragukan oleh masyarakat baik secara politis maupun kultural ia sebaiknya ada.

Begitulah, impian adanya sebuah pusat dokumentasi berbagai bidang ilmu yang terkelola baik sangat jauh dari impian kita. Padahal, jika di Indoneisia ada lima orang Jassin saja maka mungkin sekali ingatan kita akan tertolong. Mungkin banyak kesalahan dapat terhindar dan mungkin pula kita bisa maju beberapa langkah lebih ke depan dari sekarang.

Kenyataan pahit memang. Namun ada dua pilihan menghadapi keadaan tersebut. Kita tanggapi serius akan ditutupnya salah satu dokumentasai sastra terbesar? Atau kita anggap sebagai peristiwa yang wajar terjadi di sebuah negeri penuh korupsi?

Jika kita masih manusia normal, seharusnya kejadian tersebut menyentak kesadaran. Setidaknya, tentang kepedulian Pemerintah Provinsi Jakarta dan warganya. Apalagi dana APBD Jakarta yang Rp 28 triliun yang digunakan untuk PDS HB Jassin relatif masih kecil. Hanya Rp 50 juta per tahun.

Sebelas tahun yang lalu, saat HB Jassin meninggal, Sekwilda DKI Jakarta Fauzi Bowo memimpin upacara pemakamannya.
Maka, jika PDS HB Jassin ditutup saat ini, Foke lah satu-satunya orang yang dicatat dalam sejarah sebagai pemimpin upacara penguburan HB Jassin sekaligus orang yang mengubur harta terbesar peninggalan tokoh sastra Indonesia tersebut.

No comments: