13 August 2009

Mendongeng...

ini tulisan dibuat ketika saya KKM dulu, namun baru diposting hari ini. setelah mengalami proses editing dan tambalan di sana-sini tentunya..dan tanpa merubah hasil akhir..
hehheeh..



Ketika Kuliah Kerja Mahasiswa (KKM) dulu, suatu kali saya ketiban sampur ketika diminta untuk ikut membantu mengajar di kelas anak-anak TK.

Waduh..!!!! pikir saya.
Sepengalaman saya, mengurus bocah-bocah TK punya tingkat kesulitan lebih tinggi dibanding mengurus anak-anak SD. Memang anak TK tidak sebandel anak-anak SD, tapi anak TK biasanya sulit untuk memperhatikan penuh. Makanya dari semalam saya sudah mempersiapkan mental kalau-kalau besok, ketika berdiri di muka kelas, saya bicara sendiri tanpa ada seorang anak pun yang memperhatikan. Saya pikir ini akan jadi pekerjaan yang lumayan berat

Esoknya ketika sampai di kelas saya disuguhkan pemandangan yang mencelikkan hati. Bangunan seluas dua setengan kali enam meter menyambut saya. Bangunan tersebut dibagi untuk dua kelas. Satu untuk kelas nol kecil yang lainnya untuk kelas nol besar. Kedua kelas tersebut disekat hanya dengan sebuah papan tulis rusak. Saya perhatikan tak banyak mainan yang tersedia di dua kelas tersebut. Lantaipun hanya berplester kasar..dan tak ada plafon di atas kepala saya...

Memprihatinkan??
Menyedihkan kalau saya bilang.

Saya mencoba fokus dengan apa yang saya hadapi: anak-anak. Saya lalu berkenalan satu-satu dengan anak-anak yang jumlahnya sepuluh...saya tanya juga cita-cita dan hobinya... Pada anak ke sembilan justru saya yang mulai kehilangan konsentrasi... waduh...habis ini ngapain pikir saya..

Mengajak anak-anak menyanyi tidak mungkin... batin saya. Saya ini punya keterbatasan dalam hal mengeluarkan suara-suara merdu. Intinya saya ga bisa kalau di suruh nyanyi. Lebih tepatnya lagi suara saya fals alias sumbang stadium empat. tak bisa diobati lagi :)) Kalaupun dipaksakan bisa-bisa anak-anak yang ada di dalam kelas pada pulang sebelum jam belajar berakhir.

Permasalahan kedua, di kelas ini cadangan kapur tulis sangat terbatas. Bahkan saat saya berusha mencari, kapur tulis bisa dikatakan tidak ada sama sekali. Lihat baik-baik foto yang di atas, tak ada tanda-tanda keberadaan kapur tulis sama sekali. Tak ada kapur tulis walaupun yang panjangnya sepuntung rokok kretek... yang biasa diisap kakek-kakek yang tak punya duit...


Tapi untunglah teman saya yang mengajar di kelas nol besar membawa buku cerita. Dan ketika acara perrkenalan dengan anak-anak selesai semua, buku cerita sudah ada di tangan saya. Dan mulailah saya bercerita. Lumayan...juga sesuatu yang biasa saya lakukan ke adik ketika di Sukabumi akhirnya bisa bermanfaat di sini... mendongeng.

Mengertikah anak-anak dengan jalan cerita yang saya sampaikan..?? mbuh...
Saya ga tau...tapi kayaknya sih mengerti.. lha wong ketika bagian yang seru-seru anak-anak keliatan tegang kok..dan ketika saya sampai ke bagian lucu-lucu anak-anak pada nyengir-nyengir...

Januari 2006

12 August 2009

Rendra



Rendra sudah tiada. Betapa terkejut saya ketika mendengar kabar tersebut. Meski sempat mengikuti satu dua kabar berita tentang dirawatnya penyair satu ini di rumah sakit karena masalah jantung, tak pernah terpikir bahwa ia bakal berpulang sedemikian mendadak. Apalagi empat hari sebelumnya seniman Mbah Surip juga meninggal akibat serangan jantung dan dimakamkan di halaman belakang Bengkel Teater milik Rendra.

Rendra, saya mengenal namanya semenjak di bangku SMP dulu. Tetapi, baru tahun 2005 saya bisa menyaksikan langsung Rendra membacakan sebuah puisi. Ketika di atas panggung itulah saya tahu kenapa Rendra menjadi penyair papan atas di Indonesia: ia karismatik, suaranya memukau, sorot matanya tajam. Dengan mudah ia menyentuh dan membius penonton. Sejak itulah saya mencari Rendra. Empat Kumpulan Sajak-nya saya temukan tertumpuk buku lain di stan Yusuf Agency dalam sebuah acara book fair. Sedang puisi-puisi yang lainnya saya gunduh dari internet. Sejak membaca sajak-sajak Rendra, satu hal dalam diri terpatok pasti: bahwa Rendra lah penyair terbaik yang kita punya.

Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata, demikian kata Rendra.

Dan demikian pulalah bait-bait kehidupan beliau didedikasikan untuk sebuah perjuangan. Sebuah pelaksanaan kata-kata. Sama seperti yang terbaca pada bait-bait sajak beliau. Puitik. Tidak takut bicara, berpendirian keras.

....
Karena kami arus kali
Dan kamu batu tanpa hati
Maka air akan mengikis batu
.
(Sajak Orang Kepanasan, 1979)

Apakah artinya kesenian
bila terpisah dari derita
Apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan...

(Sajak Sebatang Lisong, 1978)

Adalah dedikasinya pada kebenaran. Keterlibatannya pada kehidupan. Perhatiannya pada manusia dan masyarakat, dan kegigihannya untuk terus bekerja melalui cara terbaik itulah, memasukkan entry Si Burung Merak dalam kamus hidup saya.

06 August 2009

Tetra Putri: Tuhan, Iman, Realita.

Namanya Tetra Putri. Lengkapnya Tetra Putri Sembiring. Hampir setengah tahun yang lalu saya mengenalnya. Selama itu, saya belum pernah bertemu dengannya. Maklum, saya mengenal, dan menjalin komunikasi dengannya, (hanya) lewat dunia maya. Ia salah satu temanku di dunia maya yang masih “maya”. Terus terang, sampai sekarang saya sedikitpun tak tahu bagaimana posturnya. Saya hanya bisa menerka-nerka seperti apa ia dari kepingan informasi dari tiap komunikasi yang terjalin dengannya. Dan dalam imaji saya itu, ia memiliki tinggi yang biasa-biasa saja, dengan perawakan yang mungkin tak semampai-semampai banget, mungkin malah cenderung sebaliknya. Rambutnya yang lebat dibiarkannya terurai panjang.

Lahir di salah satu kota Jawa Barat dan tumbuh besar di Bandung. Keluarga yuridis berdarah Batak-Sunda. Milih nyelesain SMA nya di Bandung lalu melanjutkan studi Hukum di Universitas Brawijaya Malang. Jagonya kalau menulis cerita, mulai dari cerita lucu sampai cerita romantika khas film-film korea. Pekerja keras. (Apalagi kalau bukan pekerja keras jika masih kuliah saja ia sudah kerja?). Pintar, jenaka pula. Koleksi tulisan ceritanya banyak temempel di blognya. Bekerja di salah satu firma hukum.

Namun itu dulu... sebelum sesuatu yang besar menimpanya. Sekarang rambutnya dipotong pendek, bahkan teramat pendek...dengan kerontokan yang sulit dihentikan. Tubuhnya mengering... Hari-harinya sekarang banyak dihabiskan di rumah dengan Aktivitas terbatas.

Apa yang menimpanya? Saya tak tahu bagaimana ceritanya bermula.
Saya, sekali lagi, hanya bisa membayangkan:
Mungkin pada suatu hari dalam aktivitasnya yang padat, tiba-tiba saja kondisinya menurun drastis. Tak terasa pandangannya mulai kabur, nafasnya tesengal-sengal, tak berapa lama kemudian Tetra jatuh tak sadarkan diri. Dirawatnya Tetra di rumah sakit. Diperiksa dengan menyeluruh kondisi kesehatannya. Darahnya diambil untuk serangkaian tes medis. Ia menunggu, namun masih belum ada hasil. Beberapa ampul darah diambil dan kembali diambil lagi selang waktu tertentu.. ia penasaran dengan apa yang terjadi dengannya, namun hanya disuruhnya ia menunggu.. Mungkin sehari mungkin juga seminggu. Sampai akhirnya Tetra menerima hasil tes medis yang dilakukan para dokter itu. Hasilnya: kanker. Tepatnya kanker darah.

Saya tak pernah tahu bagaimana reaksi ia ketika mendengar seucap kata vonis yang beratnya bak palu godam itu. Terkejut, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Mungkin tak ada kata-kata yang bisa keluar dari bibirnya. Lidahnya kelu. Hanya air mata yang menderas...
Atau mungkin ia menjerit histeris... mengetahui bahwa segala mimpi hidupnya yang telah dijaga dan dirawatnya baik-baik harus direnggut secara kasar dan tiba-tiba..

Yang saya tahu selontar perntanyaan akhirnya keluar juga dari bibirnya.. “Kenapa? Kenapa ya Allah? ..ko saya??”

Saya bisa mengerti jika pertanyaan macam itu keluar juga dari mulutnya. Pertanyaan tersebut mungkin akan keluar juga dari mulut saya jika dalam posisinya. Manusia sudah menanyakan hal tersebut sejak lama. Sebagian manusia bahkan kehilangan imannya karena pertanyaan macam ini. Karena pertanyaan tersebut seolah tak terjawab: tiap kali pertanyaan diajukan tiap itu pula membal di hadapan dinding bisu realitas.

Saya pernah terlibat dalam sebuah obrolan serius tentang pertanyaan yang sama dengan seorang teman yang sama-sama hobi berpikir. Tepatnya beberapa hari setelah acara Kick Andy menghadirkan para pengidap penyakit langka. Kalau tak salah ingat, salah satu yang ikut hadir adalah komedian Pepeng. Hasil diskusinya adalah ternyata ada banyak jawaban dari pertanyaan tersebut, dari yang afirmatif sampai negatif, secara theologis ataupun filsafat.... Namun adalah dua hal berbeda untuk bicara filsafat dan theologis di meja diskusi dengan merenungkan masalah ini di hadapan teman baik yang berlinang air mata dan dengan hati yang hancur mengajukan pertanyaan yang sama.

saya masih belum mempercayainya sepenuhnya ketika kabar itu sampai juga pada telinga saya. Pertanyaan “Kenapa” pun sempat terlintas dalam benak saya? Mungkin serangkaian definisi penyebab ia terkena kanker bisa diajukan, namun kenapa Tetra?kenapa Kanker?? Kanker? Kanker diusianya 22 tahun? Tetra masih muda, pintar, humoris, berani. Baru tahun lalu gelar sarjana hukumnya ia terima dari universitas. Kanker?

Mungkin sejak itu tulisan-tulisannya menjadi lebih redup. Atau munkin saya salah karena tak selalu saya mengikuti tulisannya. Jika lebih redup tampaknya perkara hidup mati memang masih punya harga tersendiri: enggan ia berbagi dengan sisi ringan hidup macam canda dan ketawa.

***
Sampai sekarang saya tak punya kata-kata yang bijak buatnya. Tak ada pengetahuan yang bisa dibagi dengannya untuk menerangi keadaannya saat ini. Tak ada nasihat yang bisa diberikan untuk meringankan bebannya. Tak ada jawaban seistimewa apapun itu untuk membuatnya lebih sumringah. Tak ada jawaban apa-apa sefilosofis, dan searif apapun itu. Setiap jawaban filsafat dan logika yang saya coba susun, saya sadari pada akhirnya ketika logika diterjemahkan ke dalam masalah praktis, logika tak memberi penghiburan apapun. Memang, tampaknya penyelesaian masalah praktis bukan dengan jejalan teori. Menyelesaikan masalah orang lapar memang bukan diberi ceramah. Orang lapar solusi praktisnya hanya satu: diberi makan.

Namun, yang terbersit dan yang menginspirasi tulisan ini juga adalah ketika suatu kali saya tak sengaja membaca statusnya di jejaring sosial terkenal yang meminta teman-temannya untuk mendo’a kannya. Saya takjub.
Saya takjub karena melihat satu lagi bagaimana kapasitas manusia masih bisa berdo’a kepada Dzat yang keberadaanya sedang dipertanyakan oleh situasi yang bikin manusia berdo’a. Apakah yang menggerakkannya?? Bukankah itu iman? Bukti dari segala yang tak nampak.


Lewat tulisan ini, kalau boleh saya minta keleluasaan saudara untuk ikut mendoakan teman saya Tetra.
Berdo’a semoga imannya tidak akan salah. Dan semoga Allah memberinya kesembuhan.