12 August 2009

Rendra



Rendra sudah tiada. Betapa terkejut saya ketika mendengar kabar tersebut. Meski sempat mengikuti satu dua kabar berita tentang dirawatnya penyair satu ini di rumah sakit karena masalah jantung, tak pernah terpikir bahwa ia bakal berpulang sedemikian mendadak. Apalagi empat hari sebelumnya seniman Mbah Surip juga meninggal akibat serangan jantung dan dimakamkan di halaman belakang Bengkel Teater milik Rendra.

Rendra, saya mengenal namanya semenjak di bangku SMP dulu. Tetapi, baru tahun 2005 saya bisa menyaksikan langsung Rendra membacakan sebuah puisi. Ketika di atas panggung itulah saya tahu kenapa Rendra menjadi penyair papan atas di Indonesia: ia karismatik, suaranya memukau, sorot matanya tajam. Dengan mudah ia menyentuh dan membius penonton. Sejak itulah saya mencari Rendra. Empat Kumpulan Sajak-nya saya temukan tertumpuk buku lain di stan Yusuf Agency dalam sebuah acara book fair. Sedang puisi-puisi yang lainnya saya gunduh dari internet. Sejak membaca sajak-sajak Rendra, satu hal dalam diri terpatok pasti: bahwa Rendra lah penyair terbaik yang kita punya.

Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata, demikian kata Rendra.

Dan demikian pulalah bait-bait kehidupan beliau didedikasikan untuk sebuah perjuangan. Sebuah pelaksanaan kata-kata. Sama seperti yang terbaca pada bait-bait sajak beliau. Puitik. Tidak takut bicara, berpendirian keras.

....
Karena kami arus kali
Dan kamu batu tanpa hati
Maka air akan mengikis batu
.
(Sajak Orang Kepanasan, 1979)

Apakah artinya kesenian
bila terpisah dari derita
Apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan...

(Sajak Sebatang Lisong, 1978)

Adalah dedikasinya pada kebenaran. Keterlibatannya pada kehidupan. Perhatiannya pada manusia dan masyarakat, dan kegigihannya untuk terus bekerja melalui cara terbaik itulah, memasukkan entry Si Burung Merak dalam kamus hidup saya.

No comments: