29 December 2009

COIN NOT FOR PRITA

Abang : Kebtulan datang... Minta tolong kerikin saya, Benk.
Ibenk : Masuk angin ya?
Abang : Iya nih.. abis begadang semalem.
Ibenk : Ada koin nya gak?
Abang : Gak punya. Biasanya kan Ibenk punya banyak.
Ibenk : Sekarang ga ada Bang.
Abang : Bukannya uang Ibenk recehan semua biasanya.
Ibenk : Udah habis sekarang.
Abang : lho.. ko bisa? Disumbangkan semuanya buat Prita ya?
Ibenk : ah, Enggak.
Abang : Terus?
Ibenk : Buat beli pulsa sama beras Bang.
Abang : wahh.... Buat beli beras sama beli pulsa paling?
Ibenk : Enggak Bang, buat beli pulsa, baru beli beras.
Abang : Punya pulsa, tapi Abang sms tadi ga dibales.
Ibenk : Pulsanya pulsa internetan Bang. ga bisa buat sms.
Abang : Buat apa terusan?
Ibenk : Buat facebookan ajah Bang. Biar kere yang penting kan bisa update status di mana ajah, Bang.

Abang : Baguuss...
Ibenk : Gimana Bang? pake tutup balsam ajah ya di keriknya?
Abang : Udah ga usah ah..
Ibenk : Loh...kenapa Bang?
Abang : Ngedadak jadi mules nih...

24 December 2009

Masa Lalu, Kisanak..

Satu hal yang selalu aku lakukan dengan hati-hati adalah ketika mengenang masa lalu. Karena tiap kali aku menengok ke belakang, aku bisa tenggelam di sana, dan sulit untuk aku kembali lagi.

Semoga di kemudian hari tidak menyesal karena menghilangkan begitu banyak kesempatan dan waktu muda.


catatan akhir tahun.

Berlibur Ke Bali

Ibenk : Bang, udah pernah ke luar pulau Jawa?
Abang : Mmhhh... udah. Dua kali.
Ibenk : Kemana ajah tuh?
Abang : Ke Pulau Sempu sama ke Pulau Gili di Probolinggo.
Ibenk : yah... Kirain! Berarti belum pernah ke Bali dong? Ke Lombok? Ke Makassar?
Abang : Belum. Emang kenapa?
Ibenk : Ke Bali yuk besok.
Abang : Mau ngapain. Males ah!
Ibenk : Ya berlibur lah bang. Sekarang kan musim liburan.
Abang : Ngapain ah!. Di sini juga tiap hari liburan terus ko. Kan emang lagi gak kerja.

Ibenk :.Aayolah Bang sekali-sekali nikmati hidup. Traveling gituh. Jangan cuma main dan tidur terus! Mumpung ongkosnya murah Bang.

Abang : Emang berapa ongkosnya ke sana?
Ibenk : Nah gitu dong! Semangat! Murah ko ongkosnya Bang. Asal bisa ngejar pesawat jam enam pagi dari Juanda ke Denpasar pasti gratis Bang! makanya besok kita berangkat sebelum subuh dari sini.

Abang : Kenapa gak ngejar bis malam saja dari Malang ke Denpasar. Biar lebih murah. lha wong sama-sama ngejar ko.
Ibenk : Hehe.. Udah pintar sekarang si Abang.ga ketipu lagi..
Abang : Jadi besok gimana ke Bali nya. Jadi nggak?
Ibenk : Yah.. pake nanya segala. Mau ke Bali naik apa Bang. Buat makan besok lusa ajah ga tau bisa makan apa nggak.

Abang : Nah itu... Justru itu. Makanya kita ke Bali ajah besok. Kali ajah di Bali ada orang yang ngasih makan..
Ibenk : ....%^**$$(*&% .... emhh.. kirain udah pinter si Abang.

Foto Bareng Luna Maya

Abenk : Bang, foto kemaren yang bareng sama Luna Maya ko ga diupload ke facebook sih?
Abang : Nggak, ah!
Abenk : Lha, kenapa? kan Keren tuh!! Luna Maya gitu, Bro!
Abang : Enggak ajah..
Abenk : Kenapa Bro?
Abang : Gak kenapa-kenapa kok.
Abenk : Wuahh..gak mungkin banget gak kenapa-kenapa bro. Pasti ada alasannya. Masih takut dikira supirnya Luna Maya, ya Bang?
Abang : Sedikit.
Abenk : Takut dikira pembantunya ya?
Abang : Kadang-kadang sih..
Abenk : Lha terus?
Abang : Ga bangga ajah, Benk.
Abenk : Wuih... gaya banget si Abang. Terus yang bikin Abang bangga apa dong?
Abang : Abang bangga kalo orang lain yang bangga kalau foto bareng sama Abang.
Abenk : Kapan itu kira-kira bang?
Abang : Kalau Abang udah jadi pemain sinetron kali yak?
Abenk : Wah.. kalau itu siap-siap ajah Abang kecewa seumur hidup.
Abang : Bisa ajah si Abenk. Emang mustahil banget ya Benk?
Abenk : Enggak juga sih. Tapi emang si Abang pengen banget jadi orang terkenal ya?
Abang : Ah, enggak juga.
Abenk : Terus kenapa Bang?
Abang : Abang cuma pengen kalau orang ga takut lagi kalo foto bareng sama Abang.
Abenk : ....

18 December 2009

Dangdut is the medicine of my country



Apakah Anda penggemar musik dangdut?
Saya yakin, sebagian besar dari anda mungkin akan menjawab bukan. Karena berbagai alasan: Kampungan, liriknya tentang cinta monyet, lagunya mendayu-dayu, penyanyinya berambut ikal tak terurus, goyangannya kadang nyerempet-nyerempet, dan dengan seribu satu alasan lain yang anda miliki kenapa anda bukan penggemar musik dangdut.

Tapi tunggu dulu. Simpan dulu nyinyir anda. Simpan dulu telunjuk anda untuk menuduh kampungan. Terlepas`dari itu, bagi puluhan juta (atau mungkin ratusan juta) orang Indonesia, musik dangdut adalah obat. Obat dari berbagai macam penyakit.
Dangdut itu seperti aspirin yang langsung meredakan sakit yang meyerang kepala. Ia obat yang cespleng. Mujarab seketika untuk meredakan tekanan kehidupan yang menghimpit.. Dari belitan hutang, tekanan majikan, beban pekerjaan. Sempitnya lapangan pekerjaan, keterbatasan pilihan bidang pekerjaan, dan lain sebagainya dan lain sebagainya.

Saat musik dangdut diputar dengan volume yang besar dan musik mulai mengalun, saat itulah perlahan beban mulai menguap sampai hilang sama sekali. Sementarakah efeknya? Iya, hanya sementara. Tapi itu cukup, seperti oase di padang pasir, tempat singgah sementara para musafir dalam mengisi bekal air untuk kembali menaklukan padang pasir. Musik dangdut seperti wisdoms message bagi para karyawan kota yang merasa ada kekosongan dalam hidupnya. Mungkin karena itulah lirik-lirik musik dangdut punya tema yang sangat luas. Ia kadang begitu lugas menggambarkan kehidupan para pendengar setianya. Bang Toyib, Mulio Sri, Kucing Garong, Sms siapa, dll. Mungkin sambil bergoyang para pendengar ini tersenyum kecil karena cerita hidupnya sedang didendangkan.

Itulah kira-kira yang saya amati selama berkumpul dengan orang-orang pekerja berat. Pekerja berat dalam artian upah mereka tidak bisa meringankan beban kehidupan mereka. Sekeras apapun mereka bekerja upah hanya cukup untuk beberapa hari sahaja. Seperti Sisipus yang ditakdirkan menggelindingkan batu ke puncak bukit hanya untuk meluncurkannya kembali ke lembah.

Maka mendengarkan musik dangdut adalah semacam terapi dari stress. Mendengarkan dangdut Inilah yang menjadi salah satu titik kegembiraan yang bisa ditemukan secara cuma-cuma. Tentu saja ada kegembiraan lain yang juga mereka idam-idamkan. Rumah yang layak, penghasilan yang mencukupi dan tidak sekedar pas-pasan, biaya sekolah untuk anak, memiliki mobil. Tetapi untuk jadi gembira mereka tidak bisa menunggu sampai harus punya uang banyak dan memiliki mobil dulu. Yang entah sampai didapatkan. disanalah musik dangdut menempatkan diri. Sebagai jalan alternatif meraih kegembiraan yang instan yang bisa mereka dapatkan dengan cara yang murah dan singkat.

Jadi, beruntunglah Indonesia yang punya musik dangdut dan memiliki seniman-seniman dangdut yang hebat. Dan seharusnya berterima kasih pulalah pemerintah kita kepada seniman-seniman dangdut ini, yang sampai sekarang belum bisa memberikan pelayanan kesehatan gratis kepada masyarakatnya. Sehingga, berkat seniman dangdut inilah puluhan juta orang tidak perlu ke Puskesmas hanya untuk mendapatkan obat pusing, sakit kepala atau masuk angin macam aspirin atau paracetamol. Berkat seniman dangdut inilah anggaran belanja negara terselamatkan untuk membeli berton-ton aspirin dan paracetamol.

Sekali lagi, Anda mungkin bukan penggemar musik dangdut. Tapi jika diam-diam lutut anda bergoyang dan jempol anda bergerak berirama ketika mendengar musik dangdut. Maka, sebenarnya Jauh di dalam diri Anda sendiri, anda adalah seorang dangdut mania.
Tak usah malu tapi berbahagialah, karena anda punya peluang untuk gembira dengan cara yang murah.
Selamat bergoyang!
Tarriiikk maannng....!!

07 December 2009

Malang Yang Sederhana

Terkadang manusia itu tidak peduli pada hal-hal kecil yang sederhana. Entahlah, mungkin karena memori dan indera manusia yang dibentuk dan dilatih hanya untuk merekam kebahagiaan, keterkejutan, atau keperihan yang luar biasa. Sedangkan pada hal-hal kecil-yang sederhana, yang terlalui di tengah rutinitas kehidupan, ingatan seringkali alpa.

Namun saya terlanjur punya keyakinan bahwa kebahagiaan itu juga terselip di tengah situasi kehidupan sesehari. Di episode-epiosode hidup yang sederhana dan tidak istimewa. Tapi, justru karena sederhana itu, ia menyimpan rasa, aura, yang tak bisa di dapat dan ditemukan dari situasi dan barang yang istimewa dan wah. Ia bukan kaget, kegembiraan yang luar biasa. Ia hal sederhana yang berada di pijakan hidup sesehari. Ia seperti selimut lama yang telah usang namun selalu setia menemani tidur dan sanggup menawarkan kenyamanan dan kehangatan. Selimut baru semahal apapun itu, rasanya tak sanggup menawarkan rasa persahabatan yang telah terjalin lama antara tubuh dan selimut lama tadi.

Dan hal sederhana itu ialah seperti sekarang ini. Saat musim hujan, saat Malang mulai terasa dingin kembali, lalu menemukan diri duduk di depan komputer dengan ditemani secangkir kopi panas. Membiarkan benak berkeliar dikejar jemari yang menari di atas keyboard. Menyelusuri serat-serat pikir sambil menyeruput kopi dari cangkir. Hal sederhana itu bisa juga saat terjebak hujan di bawah kanopi bersama seseorang yang spesial. Berdiri atau duduk dan sesekali bertukar pandang. Tidak bicara, hanya menunggu hujan reda.

Hal sederhana itu saat jumpa kawan-kawan lama lalu main futsal bareng atau menyengaja berkumpul di warung lesehan malam di pinggir jalan. Di bilangan Dinoyo atau Soekarno Hatta. Memesan aneka kopi atau cukup dengan STMJ. Berkumpul bercengkrama satu sama lain. Saling menanyakan kabar dan melepas kangen lalu mengobrol ngarol kidul, sambil diselingi komentar rasa kopi yang dipesan.

Hal sederhana itu ialah saat berlama-lama di toko buku atau di kios buku pasar Wilis. Saat memilih dan memilah buku dari tumpukan buku yang tak selalu tertata. Mengambilnya, membacanya sekilas.. lalu meletakkannya kembali sebelum beralih ke buku lain. Saat menimbang-nimbang harga buku yang akan dibeli dengan uang yang dimiliki. Saat mencoba menawar, dan tersenyum geli saat menyadari si penjual menghargai buku dari tebal tipisnya halaman buku.

Hal sederhana itu saat terus mengetahui tempe menjes yang minim gizi namun tetap laris manis. Mendengarkan suara khas para penjaja makanan di malam hari yang bergerilya ke sudut-sudut kota. Mendengarkan teriakan penjaja sate.. dengan teriakkan “teeeeeee...” yang memanjang dan khas. Pedagang tahu campur dengan teriakan “campur purr” dengan penekanan “pur” yang seperti membal ke tembok lalu kemudian hancur. Atau penjaja nasi goreng, tahu tek, mie pangsit, atau bakso, yang kesemuanya punya piranti khusus dan berbeda dalam menjajakan dagangan mereka sendiri, yang entah dari sejak kapan tersepakati.

Hal yang sederhana itu, saat pagi hari di Pasar Minggu. Sendiri, berdua ataupun beramai. Berkeliling dari stan ke stan melihat aneka panganan, jajanan dan pakaian. Lalu membiarkan diri terjebak di tengan riuh hiruk pikuk penjual dan pembeli. Kemudian duduk istirahat di stan makanan pojok, memesan pecel atau apa saja untuk sarapan, sambil mengamati orang yang berlalu lalang. Atau saat sesekali ke pasar Comboran, pasar barang bekas, surganya pemburu barang antik. Tidak selalu untuk membeli barang bekas. Hanya sekedar membangkitkan kenangan dan sedikit bernostalgia dengan barang-barang yang dulu akrab. Barang-barang yang dulu tampak canggih tnamun kini sudah tampak kuno di makan zaman. Barang-barang yang ditata rapi di lapak-lapak menunggu pembeli.

Kebahagiaan sederhana itu ialah sehabis Isya saat berkumpul dan mengobrol bersama keluarga. Dengan ibu, ayah, atau adik. Bicara tentang hal-hal seputar rumah. Tentang kura-kura kecil yang dibeli adik atau bunga yang baru dibeli ibu dari pasar Splindit. Kemudian dengan bebas dan lepas saling berbagi kekhawatiran. Tentang Malang yang terasa semakin panas, jalanan yang mulai macet. Tentang kesulitan keuangan Arema, tentang Pak De yang masih di rumah sakit habis dioperasi. Tentang lagu yang bisa dimainkan dari gitar yang baru di beli adik. Tentang kucing rumah yang semakin besar.
Tentang apa saja..

Kebahagiaan yang sederhana itu bisa juga berupa.. saat di mana malam semakin larut, dan hari semakin senyap, namun menemukan diri masih terjaga sendirian di dalam kamar. Mencoba membuka hati pada Allah atas apa yang terjadi selama perjalanan hidup yang telah dilalui. Lalu menemukan tempat kembali dan segala solusi dari segala masalah beban studi, pekerjaan, hubungan personal, dan masalah-masalah lain yang seakan terus mendera adalah kembali kepada pangkuan Yang Maha Pemberi Solusi.

Hal-hal yang kecil, yang sederhana, yang tak ternilai.
Duh, betapa sebenarnya kebahagiaan itu juga tersebar di sekitar kita pada hal yang sederhana. Dan betapa Malang dianugerahi dengan hal-hal yang sederhana itu.

26 November 2009

Mengapa Kambing Menyebrang Jalan

Kemarin, ketika beres-beres kamar guna mengumpulkan kertas-kertas yang tidak dipakai lagi untuk dikirim ke pengepul, saya menemukan tulisan “Mengapa Kambing Menyebrang Jalan (MKMJ)” yang terselip di binder catatan kuliah semester-semester awal kuliah dahulu. Saya ingat, tulisan ini saya salin di sebuah perpustakaan kota, yang saya tak tahu dari buku berjudul apa, tujuh atau delapan tahun yang lalu ketika duduk di bangku sekolah menengah dulu. Ketika cuman gara-gara pernah membaca buku Romo Mangun dan Frans udah berani berdiskusi dengan semangat pokoknya asal beda. Dan mungkin karena semangat asal beda itu pula saya kemudian menyalin catatan MKMJ ini. Bahwa setiap orang boleh berbeda pendapat. Bahkan terhadap pertanyaan netral sekalipun.
Dan berikut salinan catatan dari MKMJ:


Di bawah ini pelbagai reaksi dan responsi kalangan dengan latar belakang yang berbeda terhadap pertanyaan netral: Mengapa kambing menyebrang jalan?

AHLI DEMOGRAFI : Meningkatnya kepadatan populasi di sisi ini memicu beberapa kambing secara selektif untuk pindah ke tempat lain yang desakan demografisnya lebih renddah.

PAKAR MIGRASI: Di seberang, rumput lebih hijau dan kambing mencoba nasibnya di sana.

AHLI EVOLUSI : Ia ingin pindah ke ruang ekologis yang lain untuk bertahan hidup.

PAKAR MUTASI : Ia tidak menyebrang, melainkan meloncat-loncat ke seberang jalang.

AHLI GENETIKA : Ia membuktikan bahwa makhluk hidup itu egois yang berpuncak pada gennya.

AHLI METEOROLOGI : Ia pikir di seberang jalan tidak hujan.

AHLI ASTROFISIKA : Untuk menghindari dampak meteor.

AHLI VULKANOLOGI : Tanda-tanda gunung berapi akan meletus.

PENGUSAHA HUTAN : Ia melarikan diri dari kebakaran hutan buatan.

BIOTEKNORAT : Kambing dapat menyebrang jalan karena hukum-hukum Biofisika, Biokimia, dan Biomatematika, dan hukum-hukum itu tidak dapt dimanipulasi.

AHLI MATEMATIKA : Ia ingin membentuk himpunan baru.

AHLI FILSAFAT : Ia tidak puas lagi dengan paradigma lama.

AGAMAWAN : Tidak semua hal dapat dipahami dengan benar oleh akal manusia.

PENGANUT KEPERCAYAAN : Ada kekuatan gaib yang menggerakkannya ke seberang.

INTELEKTUAL : Itulah kearifan organismik kambing tersebut.

CALON DOKTOR : Ia hendak membuktikan “salah” (memfalsifikasi) hipotesis yang menyatakan kambing tidak berani menyebarang jalan.

PEJABAT : HARUS DIWASPADAI, ia mungkin anti pembangunan.

LSM : Ia bermaksud mencari suaka, karena ia tidak dapat membuktikan bahwa ia kambing hitam.

PENGAMAT SOSIAL : Di sebelah sini terlalu banyak kambing hitam dan ia merasa di diskriminasi serta kalah suara.

POLITIKUS : Memang dasar kutu loncat!

IDEOLOG : terbukti bahwa kambing itu liberal.

PATRIOT NASIONALIS : sejauh-jauh kambing berlari ia akan kembali ke kandangnya juga.

PEMBANGKANG : Untuk mengelak dari ETORSI (pungli, upeti, pemerasan, uang, keamanan, biaya upacara, sumbangan wajib wajib, saham wajib).

PAKAR HAM : Di sebelah sini cukup makan tetapi tidak bebas mengembek, sedangkan di seberang sana bebas mengembek hati meski tak cukup makan.

AHLI HUKUM : Tidak ada rambu jalan yang melarangnya menyebrang.

PEDAGANG KAKILIMA : Ada bau kereta tukang sate yang mendekat.

PEMBANTAI : Kambing boleh menyebrang kemana saja tetapi hidupnya akan berakhir di bawah do’a dan parang saya.

PENIMBUN PANGAN : Ia sangka rumput di sini akan segera habis.

WARTAWAN : Kambing menyebrang jalan bukan berita yang bagus kecuali kalau ia milik pejabat atau artis.

DESAINER : Ini hanya fad, sekarang memang trendi untuk menyebarang.

AHLI PSIKOLOGI : Karena terkejut oleh klakson mobil, ia jadi panik dan salah mengambil keputusan .

AHLI SEJARAH : Semenjak jalan ada, kambing sudah menyeberang jalan.

KRITIKUS SASTRA : Ia agak jalang dan ingin lari dari gerombolannya yang terbuang.

PENYANYI LAGU DAERAH :
2x Dua tiga kambing berlari, onde sayang
Berlari-lari menyeberang jalan
2x Dua tiga pemimpin korupsi, onde sayang
Langsung lari menyeberang lautan

AHLI STATISTIKA : Seekor kambing dan sebuah jalan adalah indikator yang terlalu kecil hingga tak perlu didiskusikan.

PENGELOLA VALAS: tunggu saja nanti, rumput diseberang kita jatuhkan harganya.

AHLI EKONOMI : mengapa buang waktu dan energi memperbincangkan kambing menyeberang jalan yang penting berapa harga kambing sekarang dalam Dollar.

KAUM REALIS : kambing itu menyeberang karena ingin berada di sisi jalan yang lain, terlepas rumput di sana lebih hijau atau tidak.

PETUGAS DLLAJ : menyeberang boleh saja, asal jangan mirip si Komo saja.

POLANTAS : sebaiknya ia lewat jalan layang.

Sekarang menurut Anda, kira-kira mengapa kambing menyebrang jalan?

19 November 2009

ngobrolin 2012

Susah emang hidup di dunia sekarang tanpa harus terbawa isu yang dibawa arus besar.

Misalkan saja anda orang yang hidup soliter, cuek, tidak terlalu memperhatikan lingkungan sekitar, tidak terlalu banyak bicara, bukan penghuni dunia maya, jarang nonton televisi, tak terlalu peduli sama koran atau radio, namun pasti suatu kali entah itu di warung makan, entah di tempat minum kopi, di kos-kosan, di kantor, di perpustakaan, di dalam angkot, entah di mana saja, secara sengaja atau tidak, anda akan mendengar orang lain bicara tentang film 2012. Atau malah pembicaraan itu berasal dari teman anda sendiri yang tiba-tiba saja bertanya: sudah nonton film 2012?
Karena anda merasa tidak tahu anda pun lantas menjawab belum. Lalu dengan sendirinya teman anda bercerita kehebatan film 2012 seolah ia sudah menontonnya dan tanpa diminta dengan semangat pula teman anda akan mempromosikan film 2012 itu seakan film tersebut film buatannya sendiri. Dan mulailah anda tergiring oleh rasa penasaran untuk mengetahui lebih dalam sampai kemudian akhirnya memutuskan untuk menonton film.

Saya baru-baru saja ingat bahwa pertanyaan kiamat 2012 pertama kali saya dapatkan dari seorang teman maya ketika saya masih sibuk-sibuk mengerjakan skripsi. Sekitar bulan Maret. Dan itu berarti delapan bulan yang lalu. Anda bayangkan film yang di putar bulan November telah menjadi diskusi hangat di ranah maya pada awal tahun 2009. Bahkan di chat room Kick Andy tempat kadang saya mampir, kiamat 2012 menjadi bahan perbincangan beberapa minggu. Pertanyaannya tentu saja: berapa lama kontruksi makna (sehingga menganggap 2012 itu penting) tersebut di bangun dan dipasarkan oleh marketing 2012. Sampai-sampai room Kick Andy yang biasanya tempat ngobrol yang gak jelas ujungnya ko ya sempat-sempat serius diskusi 2012. :)

Ketika teman tersebut bertanya dengan serius pendapat saya tentang kiamat 2012 tentu saja tidak saya ladeni. Selain saya bingung harus menjawab dengan versi apa (versi ilmiah jelas saya gak mumpuni, versi agama apalagi selain cuma mengetahui percaya hari akhir itu termasuk rukun Iman). Menurut saya ngapain juga mendiskuskan suatu hal yang sesama anggota diskusinya sama-sama tidak diberi kuasa untuk tahu. Diskusi macam ini menurut saya bukan saja buang-buang tenaga tapi juga tidak akan mendapat apa-apa kecuali sebuah kesimpulan yang kita sudah tau hasilnya dari dulu: Bahwa kiamat itu bisa kapan saja. Bahwa kiamat itu rahasia Allah dan akan terus menjadi rahasia Allah sampai kiamat kelak. Bahwa tak ada seorangpun manusia yang mengetahui. Termasuk Gus Dur, termasuk Mama Laurent, juga Ki Gendeng Pamungkas.

Makanya daripada diskusiin film kiamat 2012 yang (menurut saya) tak penting, masih mendingan bersihin bulu hidung. Jelas ketauan hasil dan manfaatnya. :)

Bila toh keukeuh bermaksud benar-benar ingin mengetahui informasi keadaan kiamat, saya kira tak perlulah dengan diskusi panjang lebar sampai berbusa. Lebih baik duduk lalu membuka kitab suci masing-masing dan mulai merenungi ayat-ayat yang menggambarkan hari kiamat. Selain lebih valid, karena langsung dari Yang Empunya Bumi Langit dan Seisinya dan juga saya kira Ia lah yang lebih berhak di tanya pertama kali karena Ia yang menciptakan Bumi Langit dan Seisinya, tentu juga (seharusnya) ketika membaca lebih mendebarkan, karena ceritanya bukan fiksi yang pasti kelak akan terjadi.
Tapi tentu saja orang males bila harus buka kitab sucinya. Selain malas, mungkin buka kitab suci ga gaya lah yaw! :)

Tentang Filmnya.
Terus terang, filmnya sendiri saya belum menonton. Jadi tak mungkin saya berkomentar tentang isi filmnya. (Saya termasuk orang yang tidak nonton film yang lagi meledak. Saya akan nonton ketika euforia sudah mulai reda). Jika ingin mengetahui ceritanya silahkan baca sinopsisnya saja yang menurut saya klise sekali kecuali efek visualnya itu yang katanya bagus. Begitu pula tokoh-tokohnya. Dalam sebuah surat kabar tokohnya disebutkan bahwa tokoh utama adalah seorang ayah idealis Amerika. Dan setelah baca-baca inilah kesimpulan yang saya dapatkan mengenai seorang ayah idealis Amerika itu: bercerai dengan istrinya meskipun masing saling mencintai (bingung juga saya, masih mencintai ko bercerai?), memiliki dua oarang anak, dibenci salah satu (atau kedua) anaknya, dan sekuat tenaga berjuang menyelamatkan keluarganya.
Yah..tokohnya mirip-mirip Tom Cruise dalam The War OF The End lah.

Kalau mau ditelisik faktor apa yang membangun kenyataan seolah film ini layak dipercaya dan layak ditonton? Tentu saja anda sendiri sudah tahu atau mungkin belum tahu: Membuat film itu harus menguntungkan, dan segala usaha dilakukan untuk mendapatkan keuntungan itu. Film akan hidup jika ia laku dijual. Jadi film yang ingin laku dijual harus bisa menjual diri.tentu saja, semakin canggih kiat marketing bersangkutan, semakin tampil seolah-olah penting, genting-padahal tujuannya ingin ditonton.

Lantas apakah salah menganggap film 2012 itu penting. Barangkali tidak. Melihat film tentang hancurnya bumi adalah penting; tapi film tentang para korban TKW Indonesia yang bekerja di Hongkong yang disiksa juga tentu saja tak boleh dilewatkan. Bukankah sering film tentang korban orang-orang hilang dilewatkan begitu sahaja.

Tentang Bencana.
Mungkin anda salah satu orang yang berharap dengan nonton film 2012 akan bisa menghadirkan sosok kiamat dalam benak anda. Agar bisa terlihat lebih nyata dan meng-imani lebih kuat.
Tapi kenapa harus nonton 2012 dulu. Toh bencana dahsyat macam meletusnya gunung berapi, gempa atau banjir atau tsunami juga pernah terjadi di tempat yang begitu akrab dan dekat dengan kita. Bahkan korbannya pun mungkin orang yang dekat dengan kita.

Mangkanya saya tak terlalu berharap bahwa setelah nonton bencana 2012 akan terjadi perubahan gaya hidup pada orang-orang yang menontonnya. Perubahan gaya hidup yang lebih ramah lingkungan misalnya atau lebih radikal seperti menjadi aktifis global warming mungkin. Atau terjadi pertaubatan massal misalnya, karena merasa bumi yang ditempati akan hancur. Atau tiba-tiba saja masjid penuh, gereja sesak dengan orang-orang yang beribadah karena merasa kiamat tak lama lagi.

Saya sulit membayangkan itu.
Lha wong bencana tsunami asli atau the real tsunami di Aceh beberapa tahun silam yang sebegitu dahsyatnya menelan banyak korban jiwa, yang ketika air sudah tumpah di pantai orang-orang sudah tidak ingat lagi keluarganya, toh akhirnya menjadi biasa-biasa saja bagi kebanyakan orang. Hanya sebatas teringat saja bahwa Indonesia pernah kena tsunami.. yang korupsi masih korupsi. Yang maling tetap maling.

Bahkan ketika terjadi gempa-gempa dalam skala kecil setelah gempa di Tasikmalaya dan Sumbar saya masih mendengar komentar “Ah, cuma segitu goyangannya” atau “Ah, kaga ada kentang-kentangnya” atau “Oo..begini ya kalau gempa. Enak goyang-goyang. Tapi ko, ga ada yang retak-retak ya?” atau “ yaah..! kalau cuma segini gak bakalan masuk berita” bahkan ketika gempa di Sumbar pun yang menghancurkan ratusan bangunan dan merenggut korban jiwa yang banyak masih terdengar komentar “Ga ada apa-apanya dibandingkan tsunami Aceh”
nah loh!? Aneh kan bila denger komentar-komentar tersebut?
Apa iya emang harus sampai kayak tsunami Aceh dulu lantas korban layak mendapat empati?
Saya ga tau pasti apa penyebabnya sampai terlontar komentar-komentar macam di atas itu, tapi ini juga mungkin akibat media massa (terutama televisi) yang selalu menyampaikan gaya pemberitaan yang berlebihan dan mendramatisir, yang menyuguhkan berita bencana secara sensasional yang “menghibur”. Sehingga tak terlalu salahlah bila para penonton berharap bencana yang lebih dramatik dan lebih “menghibur”. Karena selalu ada proses mengeraskan kulit ari begitu juga hati.

Nah, sekarang anda bayangkann saja sendiri. Jika terhadap bencana real alias asli alias pernah terjadi saja tidak banyak perubahan pada sikap manusia (kecuali para korban tentu saja, yang harus hidup ke tenda-tenda pengungsi) apalagi terhadap film 2012, yang meskipun menampilkan berbagai macam kedahsyatan bencana yang dilatari berbagai penjelasan berbau ilmiah, tetap saja sedari awal ditegaskan ini film cuma fiksi.

Selamat berpikir!
Menonton ga menonton itulah obrolan.

31 October 2009

pada akhirnya

Pada akhirnya
peta hidup akan kita lipat
lalu disimpan pada kotak di laci terdalam.
Dan jejak langkah akan tertimbun
debu jalan yang terbawa angin.

Tak ada yang tersisa setelah perjalanan
selain retak-retak dalam ingatan.

Dan pada akhirnya
kita akan kembali tersesat.
(seperti hari itu)
kau tersesat dalam kamarku
aku tersesat dalam dirimu.

Pada akhirnya semua harus berakhir.
dan yang seharusnya tak terjadi
yang kan menjadi abadi.

Sukabumi, Oktober 2009

03 October 2009

sajak perempuan

laut adalah perempuan
bumi adalah perempuan
air adalah perempuan

samudera juga perempuan
tanah juga perempuan
rembulan juga perempuan

dan selebihnya hanyalah sepi..

dan selebihnya adalah sepi

Sukabumi, September 2009

09 September 2009

BLOG FOTO : Sebuah Pengantar

Dari dulu saya memendam keinginan untuk mempunyai satu blog khusus tentang foto-foto. Bukan, bukan foto tentang saya. Tapi foto hasil jepretan saya atau setidaknya foto yang berkaitan dengan tema yang saya inginkan. Semenjak sekolah menengah dulu saya memang sudah mulai menaruh minat yang lumayan (besar) berkaitan media gambar. Foto maupun lukisan. Tiap ada pameran lukisan atau foto di perpustakaan, saya kadang sengaja menyempatkan diri untuk mengunjungi pameran tersebut.

Begitu pula foto-foto di Foto Pekan Ini koran Kompas atau Dibalik Lensa Jawa Pos selalu menjadi perhatian saya tiap Minggu. Dari foto-foto tersebut saya belajar tentang satu hal. Bagaimana caranya menghadirkan potret hidup nyata dalam bingkai estetik. Menyuguhkan gambar sisi hidup yang menggugah: berkeringat, berairmata, bersahaja, berdesak, bersenyum dan berpengharapan.

Tapi tak hanya itu, foto-foto ternyata juga bisa bercerita tentang sisi ringan hidup manusia. foto-foto yang mengabadikan peristiwa atau obyek lucu, lugu bahkan konyol. Seperti blog Serasa ini (yang udah dibukukan), yang selalu bikin saya tersenyum lebar bahkan tak jarang membuat tertawa lepas bila melihat foto-foto tersebut.

Dan seperti biasa, bila melihat hal-hal istimewa saya ikut-ikutan latah. Saya ingin ikut-ikutan. Tapi jangankan blog -yang biasanya dipakai orang untuk memerkan hasil karyanya- lha.. hasil karyanya alias foto hasil jepretan saya sendiri, yang ingin saya pajang, saya tak punya. Setelah saya renung-renungkan lama-lama, ada dua alasan kenapa sampai sekarang saya tak punya banyak karya foto.

Pertama yaitu masalah teknis. Dulu, saya tak punya piranti untuk “jeprat-jepret”. Ada sebenarnya, tapi kamera analog. Analog biasa lagi. Dan saya pikir bodoh juga saya jika tetap memaksakan kehendak untuk memajang karya foto hasil dari kamera analog tersebut. Pake kamera analog biasa ribet. Harus beli film lah, gak bisa dikontrol gambar yang sudah dan akan diambil (gak bisa di zoom, didelete, dan dilain-lain, sebagaimana kemampuan yang biasa dimiliki kamera digital) harus dicuci lah... ribet mahal pula.
wah..dihitung-hitung bisa besar pasak dari pada tiang! Dan siapapun yang melanggar adigium tersebut adalah perbuatan bodoh, terutama bagi mahasiswa bokek macam saya.

Masalah yang kedua, yaitu masalah psikis. Ini masalah yang paling serius yang menjadi hambatan utama seorang fotographer: Saya lebih senang berada di depan kamera sambil senyam-senyum menjadi obyek kamera, dari pada saya harus di belakang kamera sambil memicingkan mata sebagai tukang foto. Entah kenapa, saya sering merasa gak rela saja jika harus berada di belakang kamera, “tersembunyi” dari lensa -sementara yang di depan lensa sana- orang lain cengar-cengir memamerkan diri dan merayakan momen “sedang berada di mana” dan “sama siapa” mereka. Heh... menyebalkan bukan??
Di titik ini saya sempat berpikir juga bahwa jadi fotographer terutama spesialis pas foto adalah pekerjaan yang menyakitkan hati. Bener gak?? (kecuali bila obyek yang di foto adalah Dian Sastro tentunya... kayak di film Ungu Violet itu J )

Masalah teknis sebenarnya masalah ringan. Mencari solusinyapun tidak terlalu sulit dibanding masalah kedua. Bisa pinjam kamera temen atau masuk LPM (lembaga Pers Mahasiswa) atau klub fotographi. Selesai.
Alasan yang kedua ini yang saya belum tahu solusinya dan tampaknya mempunyai andil paling besar alasan kenapa sampai sekarang saya tak pernah masuk klub foto dan tak punya banyak karya foto mskipun sudah memegang kamera. J

Nah.. memang sekarang saya sudah memegang kamera digital dengan resolusi yang lumayan.. tapi ya itu tadi..gara-gara belum lancar mengatasi masalah kedua hasil jepretan saya belum terlalu banyak...

***
Sekarang saatnya memulai mimpi yang dulu sempat digadang-gadang semenjak masuk kuliah. Jadi fotographer kecil-kecilan. Nah untuk menyimpan (dan sekaligus memajang dan “memamerkan”) foto tesebut sengaja saya buat blog baru khusus foto-foto. Nama blognya sendiri belum nemu yang keren...
Entar-entar lah saya pikirkan...mungkin ada usulan??

seperti kata orang... berpanjang-panjang dan berbusa-busa memang tak menarik..
Nah!! Sekarang sudilah para pengunjung untuk mau mengintip blog baru saya ini...

07 September 2009

nokturno

jalanan sudah dingin
Buku sudah basi
Kopi sudah habis
Lampu telah mati
Tapi bayangnya belum beranjak pergi dari hati

Sekarang terbaring aku,
tersalib di ranjang sepi
berteman peri dalam mimpi
dan sebait puisi..
yang tak pernah jadi

05 September 2009

met ultah mbakyu

Hari ini ia ulang tahun. Sudah lama saya tak bertemu dengannya. dan mungkin tak akan pernah bertemu lagi sampai entah kapan dan entah di mana.
well, it was a great joy to know her. How great? She won't understand.
And for me? Saya memilih untuk bersyukur untuk saat-saat ini. Bersyukur karena sudah pernah diijinkan untuk bertemu dan berkenalan dengan seseorang yang ... cantik.

Happy birthday mbakyu.
mimpi. cita-cita.
semoga selalu bersamamu.

02 September 2009

Menyikap Friksi RI-Malaysia

Kembali, Indonesia dan Malaysia bersitegang. Pemicunya pun tak jauh berbeda degan yang terdahulu. Kali ini gara-gara dimasukkannya tari Pendet dalam sebuah promosi wisata Malaysia yang ditayangkan luas ke manca negara. Dan kembali lagi, sebagian dari kita, cepat bereaksi, merasa tersinggung, protes, turun ke jalan, dan dengan segera memasang badan menantang. Bahkan menteri kebudayaan dan Pariwisata tak lepas dari masalah klaim-mengklaim ini, dan konon sudah melayangkan nota protes kepada negara Jiran itu.

Saya masih ingat ketika beberapa kala yang lalu, ketika Malaysia mengklaim --meskipun saya tak pernah menyaksikan atau mendengar langsung klaim tersebut keluar dari pihak Malaysia- produk budaya kita seperti lagu rasa sayange, batik, reog, dan angklung, dengan mudah sebagian dari kita marah, dan lalu turun ke jalan melakukan aksi protes. group anti Malaysia pun dengan cepat segera beredar di situs jejaring sosial. dalam beberapa tayangan berita bahkan beberapa orang berlatih bela diri untuk mempersiapkan melawan Malaysia jika dibutuhkan.

Saya sebenarnya tak mengerti, dari mana datangnya semangat memprotes tersebut. Dari semangat nasionalismekah?

Seperti biasa, bila ada friksi atau isu yang menjadi polemik, saya selalu menyempatkan untuk jalan-jalan membaca komentar-komentar online di surat kabar, forum kas-kus, atau forum-forum lainnya. (Kenapa forum Kas-Kus? Karena menurut saya apa yang dikatakan orang kebanyakan itu menjadi penting, meskipun tidak selalu berarti menjadi yang paling benar). Dan selalu saja yang terkecap oleh lidah saya ketika membaca komentar-komentar tersebut adalah nada-nada tajam: mengancam, mencibir, menantang. Tak sedikit pula dari komentar-komentar tersebut yang menyuarakan kembali ide Soekarno dahulu : Ganyang Malaysia! (bahkan teman saya mengundang saya untuk ikut dalam grup ganyang Malasyia)

Meski mungkin yang tengah diperjuangkan dalam forum-forum tersebut adalah hak untuk dihormati sebagai manusia atau komunitas, atau bangsa, yang berasal dari semangat nasionalisme, namun selalu ada yang timpang dengan cara memperjuangkannya. Yang justru terbaca dari komentar-komentar tersebut adalah penegasan sikap nasionalisme kita yang lebih mirip sebagai gengsi jawara, daripada nasionalisme yang berakar pada nilai universal macam hak asasi ataupun harga diri manusia. Dahulu, imperialismelah yang melahirkan nasionalisme. Dan oleh karena itu, sangat tidak mungkin nasionalisme, yang menentang imperialisme, melahirkan imperialisme.

Tentang Budaya.
kembali kepada pertanyaan awal. dari mana datangnya semangat memprotes tersebut??
Bila klaim itu berkenaan dengan masalah teritori wilayah, klaim Malaysia atas blok Ambalat misalnya, saya bisa mengerti bila kita protes. Dan saya kira pantaslah kita marah dan sudah sepatutnya pula surat keras kita layangkan kepada negara tetangga kita itu. Tapi bila berkenaan dengan klaim produk budaya, patutkah sebenarnya kita marah dan berkoar menantang? Bukankah justru sikap kita harusnya sebaliknya, berbangga? Bangga karena budaya kita telah mempengaruhi dan diakui oleh negeri sebrang tersebut? karena budaya yang kuat akan mempengaruhi budaya lain terutama di zaman globalisme sekarang ini.

Banyaknya penggemar acara “Country” Tantowi Yahya dengan pakaian khas koboinya bukankah berasal produk dari budaya Amerika? Aliran seniman nyentrik Mbah Surip dengan model rambut gimbal dan kostum nyentrik bukankah berasal dari penyanyi Jamaika, Bob Marley? Seni bela diri macam kapulera dan kungfu bukankah bukan berasal dari negeri kita? Dan sepertinya masih banyak lagi produk budaya asing yang kemudian diadopsi oleh sebagian masyarakat kita. Lalu marahkah mereka, negara produk budaya yang kita tiru berasal, ketika produk budayanya kita mainkan? Saya kira tidak. Malah sebaliknya.

Budaya adalah produk suatu masyarakat. Berkembang dan dikembangkan oleh masyarakat melalui proses yang panjang. berkembangnyapun karena mendapat perhatian dan penghargaan yang intens dari masyarakat itu sendiri. Oleh sebab itu, saya merasa tidak ada alasan untuk marah ketika tari pendet masuk dalam promosi wisata Malaysia. Karena, saya yakin, orang Malaysia tak akan mampu memahami dan menguasai arti tari pendet sebagaimana orang Bali memahami tari pendet. Karena produk budaya bukan kaset pita atau makanan kalengan yang bisa diproduksi pabrikan secara massal ketika mendapatkan master lagu atau resepnya. Budaya membutuhkan proses penghayatan yang intens dari masyarakat.

Sebab itu pula, ketika lagu Rasa Sayange -(terkesan) diklaim oleh pihak Malaysia karena sering dinyanyikan di negeri Jiran sana. saya tak mendapat alaan untuk marah. Karena lagu tersebut begitu dihargai di sana bahkan sering dinyanyikan dalam keseharian masarakat Malaysia. Sedangkan di Indonesia? Ah, Terus terang saya sendiri tidak hafal lagu tersebut.

mungkin itu...
Mungkin yang harus kembali dilakukan oleh kita. kembali memahami dan belajar lebih dalam kebudayaan kita dan mencoba mempromosikannya dengan lebih elegan. Dan tentu saja, kembali belajar akan semangat nasionalisme yang bukan hanya santun namun betul-betul mampu menghargai bangsa tetangga sebagai entitas yang sejajar.

masih bisakah kita berharap?

13 August 2009

Mendongeng...

ini tulisan dibuat ketika saya KKM dulu, namun baru diposting hari ini. setelah mengalami proses editing dan tambalan di sana-sini tentunya..dan tanpa merubah hasil akhir..
hehheeh..



Ketika Kuliah Kerja Mahasiswa (KKM) dulu, suatu kali saya ketiban sampur ketika diminta untuk ikut membantu mengajar di kelas anak-anak TK.

Waduh..!!!! pikir saya.
Sepengalaman saya, mengurus bocah-bocah TK punya tingkat kesulitan lebih tinggi dibanding mengurus anak-anak SD. Memang anak TK tidak sebandel anak-anak SD, tapi anak TK biasanya sulit untuk memperhatikan penuh. Makanya dari semalam saya sudah mempersiapkan mental kalau-kalau besok, ketika berdiri di muka kelas, saya bicara sendiri tanpa ada seorang anak pun yang memperhatikan. Saya pikir ini akan jadi pekerjaan yang lumayan berat

Esoknya ketika sampai di kelas saya disuguhkan pemandangan yang mencelikkan hati. Bangunan seluas dua setengan kali enam meter menyambut saya. Bangunan tersebut dibagi untuk dua kelas. Satu untuk kelas nol kecil yang lainnya untuk kelas nol besar. Kedua kelas tersebut disekat hanya dengan sebuah papan tulis rusak. Saya perhatikan tak banyak mainan yang tersedia di dua kelas tersebut. Lantaipun hanya berplester kasar..dan tak ada plafon di atas kepala saya...

Memprihatinkan??
Menyedihkan kalau saya bilang.

Saya mencoba fokus dengan apa yang saya hadapi: anak-anak. Saya lalu berkenalan satu-satu dengan anak-anak yang jumlahnya sepuluh...saya tanya juga cita-cita dan hobinya... Pada anak ke sembilan justru saya yang mulai kehilangan konsentrasi... waduh...habis ini ngapain pikir saya..

Mengajak anak-anak menyanyi tidak mungkin... batin saya. Saya ini punya keterbatasan dalam hal mengeluarkan suara-suara merdu. Intinya saya ga bisa kalau di suruh nyanyi. Lebih tepatnya lagi suara saya fals alias sumbang stadium empat. tak bisa diobati lagi :)) Kalaupun dipaksakan bisa-bisa anak-anak yang ada di dalam kelas pada pulang sebelum jam belajar berakhir.

Permasalahan kedua, di kelas ini cadangan kapur tulis sangat terbatas. Bahkan saat saya berusha mencari, kapur tulis bisa dikatakan tidak ada sama sekali. Lihat baik-baik foto yang di atas, tak ada tanda-tanda keberadaan kapur tulis sama sekali. Tak ada kapur tulis walaupun yang panjangnya sepuntung rokok kretek... yang biasa diisap kakek-kakek yang tak punya duit...


Tapi untunglah teman saya yang mengajar di kelas nol besar membawa buku cerita. Dan ketika acara perrkenalan dengan anak-anak selesai semua, buku cerita sudah ada di tangan saya. Dan mulailah saya bercerita. Lumayan...juga sesuatu yang biasa saya lakukan ke adik ketika di Sukabumi akhirnya bisa bermanfaat di sini... mendongeng.

Mengertikah anak-anak dengan jalan cerita yang saya sampaikan..?? mbuh...
Saya ga tau...tapi kayaknya sih mengerti.. lha wong ketika bagian yang seru-seru anak-anak keliatan tegang kok..dan ketika saya sampai ke bagian lucu-lucu anak-anak pada nyengir-nyengir...

Januari 2006

12 August 2009

Rendra



Rendra sudah tiada. Betapa terkejut saya ketika mendengar kabar tersebut. Meski sempat mengikuti satu dua kabar berita tentang dirawatnya penyair satu ini di rumah sakit karena masalah jantung, tak pernah terpikir bahwa ia bakal berpulang sedemikian mendadak. Apalagi empat hari sebelumnya seniman Mbah Surip juga meninggal akibat serangan jantung dan dimakamkan di halaman belakang Bengkel Teater milik Rendra.

Rendra, saya mengenal namanya semenjak di bangku SMP dulu. Tetapi, baru tahun 2005 saya bisa menyaksikan langsung Rendra membacakan sebuah puisi. Ketika di atas panggung itulah saya tahu kenapa Rendra menjadi penyair papan atas di Indonesia: ia karismatik, suaranya memukau, sorot matanya tajam. Dengan mudah ia menyentuh dan membius penonton. Sejak itulah saya mencari Rendra. Empat Kumpulan Sajak-nya saya temukan tertumpuk buku lain di stan Yusuf Agency dalam sebuah acara book fair. Sedang puisi-puisi yang lainnya saya gunduh dari internet. Sejak membaca sajak-sajak Rendra, satu hal dalam diri terpatok pasti: bahwa Rendra lah penyair terbaik yang kita punya.

Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata, demikian kata Rendra.

Dan demikian pulalah bait-bait kehidupan beliau didedikasikan untuk sebuah perjuangan. Sebuah pelaksanaan kata-kata. Sama seperti yang terbaca pada bait-bait sajak beliau. Puitik. Tidak takut bicara, berpendirian keras.

....
Karena kami arus kali
Dan kamu batu tanpa hati
Maka air akan mengikis batu
.
(Sajak Orang Kepanasan, 1979)

Apakah artinya kesenian
bila terpisah dari derita
Apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan...

(Sajak Sebatang Lisong, 1978)

Adalah dedikasinya pada kebenaran. Keterlibatannya pada kehidupan. Perhatiannya pada manusia dan masyarakat, dan kegigihannya untuk terus bekerja melalui cara terbaik itulah, memasukkan entry Si Burung Merak dalam kamus hidup saya.

06 August 2009

Tetra Putri: Tuhan, Iman, Realita.

Namanya Tetra Putri. Lengkapnya Tetra Putri Sembiring. Hampir setengah tahun yang lalu saya mengenalnya. Selama itu, saya belum pernah bertemu dengannya. Maklum, saya mengenal, dan menjalin komunikasi dengannya, (hanya) lewat dunia maya. Ia salah satu temanku di dunia maya yang masih “maya”. Terus terang, sampai sekarang saya sedikitpun tak tahu bagaimana posturnya. Saya hanya bisa menerka-nerka seperti apa ia dari kepingan informasi dari tiap komunikasi yang terjalin dengannya. Dan dalam imaji saya itu, ia memiliki tinggi yang biasa-biasa saja, dengan perawakan yang mungkin tak semampai-semampai banget, mungkin malah cenderung sebaliknya. Rambutnya yang lebat dibiarkannya terurai panjang.

Lahir di salah satu kota Jawa Barat dan tumbuh besar di Bandung. Keluarga yuridis berdarah Batak-Sunda. Milih nyelesain SMA nya di Bandung lalu melanjutkan studi Hukum di Universitas Brawijaya Malang. Jagonya kalau menulis cerita, mulai dari cerita lucu sampai cerita romantika khas film-film korea. Pekerja keras. (Apalagi kalau bukan pekerja keras jika masih kuliah saja ia sudah kerja?). Pintar, jenaka pula. Koleksi tulisan ceritanya banyak temempel di blognya. Bekerja di salah satu firma hukum.

Namun itu dulu... sebelum sesuatu yang besar menimpanya. Sekarang rambutnya dipotong pendek, bahkan teramat pendek...dengan kerontokan yang sulit dihentikan. Tubuhnya mengering... Hari-harinya sekarang banyak dihabiskan di rumah dengan Aktivitas terbatas.

Apa yang menimpanya? Saya tak tahu bagaimana ceritanya bermula.
Saya, sekali lagi, hanya bisa membayangkan:
Mungkin pada suatu hari dalam aktivitasnya yang padat, tiba-tiba saja kondisinya menurun drastis. Tak terasa pandangannya mulai kabur, nafasnya tesengal-sengal, tak berapa lama kemudian Tetra jatuh tak sadarkan diri. Dirawatnya Tetra di rumah sakit. Diperiksa dengan menyeluruh kondisi kesehatannya. Darahnya diambil untuk serangkaian tes medis. Ia menunggu, namun masih belum ada hasil. Beberapa ampul darah diambil dan kembali diambil lagi selang waktu tertentu.. ia penasaran dengan apa yang terjadi dengannya, namun hanya disuruhnya ia menunggu.. Mungkin sehari mungkin juga seminggu. Sampai akhirnya Tetra menerima hasil tes medis yang dilakukan para dokter itu. Hasilnya: kanker. Tepatnya kanker darah.

Saya tak pernah tahu bagaimana reaksi ia ketika mendengar seucap kata vonis yang beratnya bak palu godam itu. Terkejut, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Mungkin tak ada kata-kata yang bisa keluar dari bibirnya. Lidahnya kelu. Hanya air mata yang menderas...
Atau mungkin ia menjerit histeris... mengetahui bahwa segala mimpi hidupnya yang telah dijaga dan dirawatnya baik-baik harus direnggut secara kasar dan tiba-tiba..

Yang saya tahu selontar perntanyaan akhirnya keluar juga dari bibirnya.. “Kenapa? Kenapa ya Allah? ..ko saya??”

Saya bisa mengerti jika pertanyaan macam itu keluar juga dari mulutnya. Pertanyaan tersebut mungkin akan keluar juga dari mulut saya jika dalam posisinya. Manusia sudah menanyakan hal tersebut sejak lama. Sebagian manusia bahkan kehilangan imannya karena pertanyaan macam ini. Karena pertanyaan tersebut seolah tak terjawab: tiap kali pertanyaan diajukan tiap itu pula membal di hadapan dinding bisu realitas.

Saya pernah terlibat dalam sebuah obrolan serius tentang pertanyaan yang sama dengan seorang teman yang sama-sama hobi berpikir. Tepatnya beberapa hari setelah acara Kick Andy menghadirkan para pengidap penyakit langka. Kalau tak salah ingat, salah satu yang ikut hadir adalah komedian Pepeng. Hasil diskusinya adalah ternyata ada banyak jawaban dari pertanyaan tersebut, dari yang afirmatif sampai negatif, secara theologis ataupun filsafat.... Namun adalah dua hal berbeda untuk bicara filsafat dan theologis di meja diskusi dengan merenungkan masalah ini di hadapan teman baik yang berlinang air mata dan dengan hati yang hancur mengajukan pertanyaan yang sama.

saya masih belum mempercayainya sepenuhnya ketika kabar itu sampai juga pada telinga saya. Pertanyaan “Kenapa” pun sempat terlintas dalam benak saya? Mungkin serangkaian definisi penyebab ia terkena kanker bisa diajukan, namun kenapa Tetra?kenapa Kanker?? Kanker? Kanker diusianya 22 tahun? Tetra masih muda, pintar, humoris, berani. Baru tahun lalu gelar sarjana hukumnya ia terima dari universitas. Kanker?

Mungkin sejak itu tulisan-tulisannya menjadi lebih redup. Atau munkin saya salah karena tak selalu saya mengikuti tulisannya. Jika lebih redup tampaknya perkara hidup mati memang masih punya harga tersendiri: enggan ia berbagi dengan sisi ringan hidup macam canda dan ketawa.

***
Sampai sekarang saya tak punya kata-kata yang bijak buatnya. Tak ada pengetahuan yang bisa dibagi dengannya untuk menerangi keadaannya saat ini. Tak ada nasihat yang bisa diberikan untuk meringankan bebannya. Tak ada jawaban seistimewa apapun itu untuk membuatnya lebih sumringah. Tak ada jawaban apa-apa sefilosofis, dan searif apapun itu. Setiap jawaban filsafat dan logika yang saya coba susun, saya sadari pada akhirnya ketika logika diterjemahkan ke dalam masalah praktis, logika tak memberi penghiburan apapun. Memang, tampaknya penyelesaian masalah praktis bukan dengan jejalan teori. Menyelesaikan masalah orang lapar memang bukan diberi ceramah. Orang lapar solusi praktisnya hanya satu: diberi makan.

Namun, yang terbersit dan yang menginspirasi tulisan ini juga adalah ketika suatu kali saya tak sengaja membaca statusnya di jejaring sosial terkenal yang meminta teman-temannya untuk mendo’a kannya. Saya takjub.
Saya takjub karena melihat satu lagi bagaimana kapasitas manusia masih bisa berdo’a kepada Dzat yang keberadaanya sedang dipertanyakan oleh situasi yang bikin manusia berdo’a. Apakah yang menggerakkannya?? Bukankah itu iman? Bukti dari segala yang tak nampak.


Lewat tulisan ini, kalau boleh saya minta keleluasaan saudara untuk ikut mendoakan teman saya Tetra.
Berdo’a semoga imannya tidak akan salah. Dan semoga Allah memberinya kesembuhan.

31 July 2009

Entah bagaimana Aku Menuliskannya

Entah bagaimana aku mesti menuliskannya, kukira tak kan pernah bisa runtut terkisahkan olehku. Tentang bagaimana hari-hari itu datang dan pergi, dan betapa aku menantikan masing-masing dari mereka.

Hari-hari musim hujan yang segar menggoda atau musim kemarau yang panas menyengat, bagiku adalah dirimu.

Saat-saat di mana aku pernah merasakan begitu mengenalmu. Saat aku merasa kau begitu dekat denganku. ketika kita mengobrol, tentang apa saja, dan menemukan diri saling menatap sekian detik, tak bicara, sekedar bertukar pandang. Atau saat satu dua leluconku membuatmu tertawa lepas. Aku suka caramu tertawa, dengan mata, dengan hati.

Atau tiap kali kita jalan. Dan di tengah itu semua, tanganku sejenak menggamit, tak ada yang spesial, hanya menjaga kesadaran bahwa aku sedang bersamamu. Di sebentar waktu itu, akan terasa seperti selamanya bagiku. Atau aku yang menginginkannya sebagai selamanya.

Sampai akhirnya hari itu. Hari ketika perlahan aku merasa tak mengenalmu. Saat wajahku beranjak asing di hadapan tatapmu. ketika kata dan mata tak lagi menjalin. Saat aku merasa kau sangat begitu jauh. Saat dimana, tanpa aku sadari dan mengerti, akhirnya kita saling memberi jalan untuk berselisih arah. Kurasa, itu terakhir kali aku bersamamu.

Di hari itu, kurasa sakit aneh yang merambat dari ujung-ujung lidahku, ia merangkak turun perlahan ketengah dadaku. Lalu menyesak, menumpuk di dalam dadaku. Hari itu, sekian lama lalu, adalah kali pertama aku merasa sakit yang aneh tersebut, sekaligus merasa sangat kesepian dan sendirian.

Setelah hari itu, seringkali aku bangun pagi dan pergi di pagi hari, hanya untuk bertemu denganmu. Dimana saja. Meskipun hanya sesaat. Walau aku tahu, tak akan ada cakap di antara kita.

Sedang kemarin siang, setelah sejenak bersamamu, setelah satu dua kata terlepas dari hati ku, kurasa lagi sakit yang aneh yang merambat dari ujung lidah yang menyerang dadaku.
Di hari itu, kurasa akhirnya aku mengerti apa sebabnya. Sakit yang aneh yang merambat itu. Adalah makna yang tak terkatakan, karena memang tak pandai aku memilih ucapan, tak pintar aku mengungkapkan perasaan. Tak tersampaikan, ia merangkak menujumu. Hingga di ujung lidahku ia berhenti, tak tertembus, jalan buntu. Ia berbalik ke asalnya, ke dadaku. Menjelma jadi sensasi, protes menghembalang benak pandirku.

***
Sekarang, teringatku padamu. Pada celoteh kita dahulu. Pada jalan-jalan yang pernah kita lewati bersama. Pada tempat-tempat yang pernah kita datangi bersama. Pada waktu-waktu yang pernah kita lalui bersama. Pada saat aku pernah diam-diam berjanji dalam diri, bahwa suatu saat aku akan terus bersamamu.

Sekarang...
aku disini. tanpamu
Dan kurasa lagi ngilu itu.



31 Agustus 2008

29 July 2009

mimpi indahkah kau tadi malam?

Malam ini tak ada yang lebih ingin aku lakukan
Selain berada bersamamu. Sedekatmu mungkin.
kemudian membisikkan “selamat malam”, “tidur nyenyak”,
“mimpi indah” padamu.
Pelan saja. Dekat telingamu. Hanya cukup aku, kau mendengarnya.
Agar tak terusik sunyi yang membungkus kita.

Malam ini tak ada yang lebih ingin aku lakukan
Selain berada bersamamu. Sedekatmu mungkin.
menanti momen di mana matamu pelan-pelan menutup.
Saat sadarmu berangsur redup. Saat jiwamu perlahan tertidur.
Lalu menikmati lelapmu. menghitung nafasmu
yang lepas sehelai demi sehelai ke ruang sepi

Malam ini tak ada yang lebih ingin aku lakukan
Selain berada bersamamu. Sedekatmu mungkin.
Menjagamu.. sampai embun pagi mewujud setitik demi setitik di atas daun.
sampai semburat fajar perlahan terlukis.
Hingga pagi menjelma.Lalu menemukanmu di awal hari,
dan aku bertanya “mimpi indahkah kau tadi malam?”


2008

Cuplikan operet anak...

inilah salah satu cuplikan dari naskah operet anak... yang beberapa hari kemarin berhasil pentas di hotel apa..gituh . Namanya juga cuplikan..jadi yah..cuma se upritt.. :) catatan: operet ini di mainkan oleh bocah-bocah kelas 3-5 SD.

Pemain : Teater (anak) Juara
Sutradara : Suaidi Bakhtiar
Cerita : Bambang Trismawan
Penata Musik : Bambang & Suaidi


K+K : Assalamualaikuuuuuuuuummm.............
Ibu : Waalaikum salam...

((Kaka dan Kiki pulang dari mengaji di masjid dekat rumahnya. Kiki pulang dengan wajah yang sedih dan tertunduk. Hampir menangis. Matanya berkaca-kaca. Melihat anaknya datang seperti itu, ibu lansung bereaksi)).

Ibu : Ono opo toh ndukk..?? sini cah ayu...
Kiki : (matannya tak kuat lagi menahan curahan air yang segera membanjir
hiks...hiks.... (lalu tersedu-sedu)

Ibu : Kaka, kenapa Kiki ko nangis...?
Kaka : Ga tau Bu...
Ibu : Loh..kok bisa ga tau sih...
Kaka : Yah..ga tau Bu....di ejek Rini paling Bu...
(kaka lalu pergi ke kamar)
Kiki : (Masih...menunduk) hiks..hiks...
Ibu : Kenapa toh nduk...ko anak Ibu nangis...?
Kiki : Buuu....
Ibu : Iya....
Ada apa...toh??
Kiki : Bu, kata si Rini, orang yang punya hutang, kalao meninggal gak bisa masuk surga Bu. Bener gak, Bu?

Ibu : (mendengar pertanyaan tersebut ibu heran, mendekati anaknya serasa mengusap seluruh rambutnya)
emang kenapa toh nduk...?

Kiki : Ka...ta si Riii..ni Ba...pak punya hu...tang banyak.... jadi gak bo...leh ma..suk su...rg..aa Bu.
Emang Benar ya, Bu? Hiks..hiks.. (masih tersedu-sedu)

Ibu : Lha Rini tau dari mana toh nduk kalau Bapak punya utang...?
Kiki : Da..ri ma...manya, Bu?
Ibu : (Si ibu kaget dan tersentak dalam hati, tapi masih berpikir untuk cari jawaban terbaik)
Emh.... coba Kiki tanya sendiri gih sama bapak yah....
Tuh bapak lagi nonton tv...

Bapak : (Bapak mendengar percakapan si ibu langsung mematikan tv yang sedang di tontonnya lalu menyambut anaknya)
Sinih... Ki...

Kiki : (Kiki duduk di samping bapak) paaaaak...??
Bapak : Apa, Ki..?
Kiki : Bener yah Pak, kata si Rini itu...?
Bapak : Bener apanya toh nduk...?
Kiki : Yang katanya Bapak punya utang Pak ? dan gak bisa bayar hutang.....
Kata si Rini Pak orang yang punya hutang gak bisa masuk surga. Bener ya Pak?? (masih terisak-isak)

Bpk : Bapak jawab, tapi Kikinya jangan menangis yah..yah..!?? (di pangkunya Kiki ke pangkuan si Bapak)

Kiki : (mengangguk-ngangguk)
Bapak : Kalau katanya Bapak punya hutang, iyah... Bapak punya utang.
Tapi, Bapak passsti akan membayarnya, Sayang.
Terus.. kalau masuk surga dan enggak, itu semuanya urusannya Allah.
Jadi ga ada hubungannya sama omongannya Rini, sayang....

Kiki : Tapi uangnya tuk bayar utang dari mana pak?? Katanya Bapak ga bisa lagi bayar hutang ...

Bpk : Ya...kita minta sama Allah juga.
Kiki : Kenapa minta sama Allah pak??
Bapak : (si Bapak berpikir) Karena Allah itu Maha Besar.
Kiki : Besar...? lebih besar dari gajah.. Pak?
Bpk : (tersenyum) lebih besar dari semuanya, kiki. Tapi maksudnya bukan besar badannya.
Sebab Allah itu tidak berbadan. Ia tidak menyerupai apapun.
(ragu...ragu...sebentar. berpikir. Mencoba bagaimana menerangkannya dengan baik.)
Allah itu di sebut besar, karena Ia baik. Sangaaat Baik.

Kiki : Lebih baik dari Pak de, Pak??
Bpk : O, Jauh..lebih baik. Kalau pak de suka ngasih permen dan kue ke Kiki, maka Allah mengasih Kiki, mengasih Kaka, mengasih Ibu, mengasih bapak; ya, mengasih semua orang.
Lebih dari itu Dia mengasih kita bulan, matahari, gunung, pohon, awan, sungai, dan lain-lain.
Dia yang mengasih kita mata, mulut, telinga.

Kiki : Kalau gitu Allah kaya, dong, Pak. Banyak uangnya?
Bpk : Hus, (tersenyum dan mencium kening si Kiki) Allah tidak memerlukan uang sayang.
Yang memerlukan uang itu manusia. Allah membuat semuanya sendiri.

Kiki : Tapi Pak, kalau minta uang sama Allah di kasih ga Pak?

Bapak : Pasti di kasih..tapi sebaiknya Kiki jangan minta uang. Kiki mintanya...agar dimudahkan rezekinya...
Nah..uang itu salah satu rizki..

Kiki : Emmmmhh.....mmhh (masih bingung)
Jadi Pak, kalau Kiki minta apapun sama Allah pasti di kasih, Pak?
Kalau Kiki minta eeeu.. (berpikir..matanya ke atas berusaha mengingat keiginannya)... minta...sepeda juga, Pak?
Minta ikut ke Dufan Pak?

Bpk : Iyah.. insya Allah. Di kasih. Asal Kiki rajin belajarnya dan berdo’a yah...?

Kiki : Tapi nggak jadi Pak ah minta sepedanya...
Bapk : Loh....kok ga jadi?? Kenapa??
Kiki : Kiki mau minta supaya Allah ngasih uang ke bapak ajah.
Biar bapak bisa bayar utang. Biar bisa masuk surga.

Bpk : (mata Bapak berkaca-kaca. Terharu. Di usapnya kembali rambut anaknya)
sudah ya sayang...
sekarang Kiki pergi sama Ibu, ya?
Cuci kaki, cuci tangan, gosok gigi, lalu bobok, ya??

Kiki : (tersenyum dan mengangguk-ngangguk dengan antusias)
Bapak : (bapak terpekur sendirian lalu berdo’a.)
Ya Allah, tentangMu itu benar. Maha Pengasih. Maha Penyanyang.
Dekatkanlah kami selalu kepada kasihMu Ya Allah...

28 July 2009

Entah Apa..

karena tak ada tulisan yang bisa diposting selama beberapa waktu ini, maka untuk beberapa waktu ke depan akan diposting beberapa cerita lama... sekalian latihan menulis cerita. Monggo silahkan dinikmati. dan mohon komentarnya yah!?

Entah apa yang sedang bermain dibenakku waktu itu.
Mungkin tentang deadline laporan, atau appointment dengan dosen. Atau mungkin tentang judul film yang akan kutonton nanti malam.
Atau juga tentang jadwal pertandingan liga Champion.
Entahlah. Yang pasti aku tiba-tiba tersadar. Dari sudutku berdiri kulihat dia berjalan sendiri. Tidak ke arahku. Hendak pulang rupanya.
Ah, benar-benar kebetulan bisa bertemu dia.
Nggak bisa juga kalo disebut kebetulan. Bisa dibilang kebetulannya 75% dan kesengajaannya 20%.
aku sengaja datang ke arahnya. Menunggunya sebentar. Ia masih mengobrol dengan orang lain. Mungkin temannya. Mungkin fans-nya. Aku berdiri menunggu. Membisu. Membatu.

Dia sekarang di sana. Tak jauh dari tempatku berdiri, hampir berhadapan. Nggak seperti biasanya. Rambut panjangnya sekarang terikat kebelakang. Dan beberapa helai rambutnya di bagian depan dibiarkannya tergerai bebas dipermainkan angin hingga menerpa-nerpa wajahnya.
Dia tersenyum. Dimataku ia selalu tersenyum. Senyum yang renyah.

“Apa kabar?” aku mencoba mengawali percakapan.
aku tahu aku cuma basa-basi
“Dari mana?” lanjutku
ah..basa-basi lagi.
“Gimana skripsinya?” “udah selesai?”
rggghhh....basa-basi lagi
...
“Mau ke mana sekarang?”
Shit.! .masih basa-basi... tak bisakah aku berkata selain basa-basi.
“Ada acara abis ini?”
Dan tiba-tiba saja dadaku yang berdebar terasa berhenti.
Sesak. Rasa yang selalu muncul ketika mengingatnya...

“Nggak, nggak kemana-mana” jawabnya.
Dengan senyum yang mengembang, seperti yang selalu tersimpul dari bibirnya.

Sekarang aku yang bingung...
Cari kata yang pas. Yang tepat. Sedang semua basa-basi yang aku punya sudah keluar.
Tinggal satu pertanyaan lagi untuk menjawab penasaranku. Penasaranku bertahun-tahun..
Masih ragu. Tak ada keberanian. Ia tampak tergesa.

“Eeuu..ee...mau minum kopi dulu sebentar?”

Hampir terucap oleh ku. Tertahan dalam benak.
Atau sudah menggantung di ujung lidah.
Atau sudah cukup mataku untuk mengungkapkan semuanya.
Aku tahu itu cuma alasan untuk membahagiakan diri sendiri. Huh?.

Ia masih berdiri di depanku. Tak terlalu jauh. Juga tak dekat.
Cukup untuk dapat melihat parasnya dengan jelas.
Masih belum kutemukan kata-kata.
kutelan ludah. Aku menunggu.
I know. I think too much.
Confuse. Feel stupid. Foolish. Numb. Happy. Sad.

Akhirnya aku hanya tersenyum dan bilang “sukses terus” padanya.
Dia membalas dengan sedikit “terima kasih”.
Oh..God, aku sudah tak objektif lagi.
Tentang dia, aku tak pernah objektif.
Dia terlalu..manis. Terlalu sederhana
.

Entahlah, tak ada yang kuingat benar setelahnya.
Bahkan ketika aku sampai di kamarku masih tersisa “rasa”, yang mesti bisa aku rasakan, namun tak bisa aku identifikasi dimana letaknya.
Mungkin lubang yang tertutupi. Atau justru lubang baru. Atau keduanya.
Entahlah...

Aku tahu, saat aku berbaring dan mengecek handphone tak akan ada sms yang aku terima. Tak akan ada siapa-siapa yang menyapa. Aku tahu itu. Dan juga pengetahuan bahwa besok tak akan ada yang berubah, begitu juga dengan besoknya. Dan besoknya lagi. seperti pudar warna senja tertelan malam.

Bagiku hari ini seperti hidup dari kematian dan lalu mati kembali.
Sungguh.




April 2009

21 July 2009

catatan sarjana bag. 3 (Episode terakhir )

inilah beberapa jepretan yang sempet terabadikan selama jalannya episode terakhir kemaren...untuk versi tulisannya...tunggu beberapa waktu lagi... sedang di edit dulu soalnya :)

dasar cah cilik... ga di rumah ga di mana... Monopoli ituh ko akrab banget yak?? ga apa-apa... lagian kan jarang-jarang maen monopoli bareng lagi...
mereka sebenarnya sedang bales dendam... soalnya mereka ga pernah menang kalo lawan kakaknya hihihi...
bareng Hendra... ah..sama orang gila jadi kebawa gila deh...:)

My Parent... emak dan abah (sebelum berangkat ke Sakri) mau nganterin anaknya diwisuda..hehehehe.. kayak jadi pengantin baru... (emang rasanya jadi pengantin gimana yah?? ah.. paling ga beda-beda jauh kayak ginih nih.. :))

My Little Sister....
My Family... senyum semuanya...cheeeessee *sambil dengerin soundtracknya keluarga cemara*
## harta yg paling berharga,
adalah kluarga…
istana yg paling indah,
adalah kluarga…
puisi yg paling bermakna,
adalah kluarga…
mutiara, tiada tara,
adalah kluarga..’##

my Little bro and sist. makacih Ade dan Hani... entar-entar tak traktir lagi deh... hehehehe...

emak dan abah sedang menunggu.... mau melihat anaknya di wisuda.. entar-entar anterin nikah ya.. :)
##terima kasih abah..
terima kasih emak...##

temen-temen... makacih cemuanya udah mau datang!! love u all.....
kalo ini temen-temen seperikanan... se kolam dan se empang....hahahaha....


itu dulu....
ntar-ntar tak tambahin :)

20 July 2009

Tuhan, maafkan aku.

Tuhan, misscall aku lagi.
Nuraniku sudah lama tak bergetar
Oleh panggilanMu

Atau SMS-i aku kembali, Tuhan
Karena pesan dari suratMu yang kubaca semalam
(dengan sepenggal-sepenggal tentunya)
Sudah hilang oleh berita koran tadi pagi.

Tuhan, Kirimi aku lagi satu alamat namamu
Karena 99 namaMu yang kuingat tadi Subuh
(sambil tekantuk-kantuk pastinya)
Sudah terhapus bahkan sebelum siang.

Tuhan, misscall aku lagi.
Nuraniku sudah lama tak bergetar
Oleh panggilanMu.
Atau nuraniku sudah lama hilang entah di mana ?

13 July 2009

Tetes embun terakhir


Tetes embun terakhir
yang bercampur air hujan semalam,
akhirnya jatuh jua dari hati.
menguap sebelum menimpa bumi
terlupa sebelum menjadi puisi

28 June 2009

Knowing dan The Day The Earth Stood Still : Pergulatan dua entitas.



(sekali sekala ngomongin film ah… mumpung sempat).

Beberapa hari yang lalu saya nonton film baru Knowing yang baru-baru saja diliris (directed : Alex Proyas). Dan hal yang teringat pertama kali oleh saya ketika sedang menonton film tersebut adalah film yang sudah diliris setahun sebelumnya, 2008, The Day the Earth Stood Still (directed : Scott Derrickson).

Kenapa teringat dengan film tersebut?? karena kedua film tersebut kisahnya begitu sangat mirip. baik tema yang diusung maupun tokoh-tokoh yang bermain. Kedua film tersebut bertema antaralain: akhir dunia, alien (dengan kekuatan supranautalnya), ilmu pengetahuan, dan pergulatan antara keduanya. Saya amati, tokoh-tokoh yang bermainpun hampir sama: seorang saintis, singgle parents dengan satu anak. (Duh, kenapa yah..singgle parents dengan film hollywood ini ko terasa begitu akrab??)

***
Yang menarik dari kedua film tersebut adalah bagaimana menghadirkan gambaran dimana nilai-nilai modernitas, ilmu pengetahuan, misalnya, yang terus mendongkel-dongkel dan memojokkan segala yang “nggak ilmiah” dalam kehidupan namun pada akhirnya yang “primitif” tak bisa dihindari juga.

Ilmu pengetahuan bagi kultur Barat (mungkin juga Timur?) seringkali tertampilkan sebagai ancaman atau minimal kontestan akan kemampuan atau bahkan eksistensi Tuhan. Seperti apa yang disampaikan oleh Professor Kostler (Knowing), yang diperankan oleh Nicholas Cage, di awal-awal film, ketika sedang mengisi kuliah dan menjelaskan tentang gerangan penciptaan. Dan simak kata-katanya :
the theory of randomness, which says it's all simply coincidence. The very fact we exist is nothing but the result of a complex yet inevitable string of chemical accidents and biological mutations.. There is no grand meaning. There's no purpose

Bukan, bukan saya bersetuju dengan dengan premis tersebut. Namun 'bukti' material apapun yang mampir di mata dan benak manusia, sangat terbuka untuk dimaknai ganda: bahwa Allah ada dan berkuasa, atau malah sebaliknya: bahwa semesta ini tak lebih dari serangkaian kebetulan tanpa maksud besar, Seperti yang disampaikan oleh prof. Kostler. “There is no grand meaning. There's no purpose”.

Dan di film inilah pergulatan antara dua entitas tersebut dapat terceritakan dengan apik. Pergulatan antara kepercayaan akan adanya yang supranatural (sebutlah ide keberadaan Tuhan) di satu sisi, dengan panji ilmu pengetahuan – yang kadang berbentur, terutama dengan naturalisme, yang menyatakan sesuatu yang terjadi pasti punya penjelasan natural, dan atau materialisme; di mana semua yang immaterial dianggap tak eksis- di sisi lain.

Pergulatan dua entitas tersebut tersebut terwakilkan dalam dua tokoh yang berbeda. Pertama Prof. Koesler dalam Knowing atau DR. Helen Benson di TDTESS. Kedua tokoh tersebut tidak hanya mewakili ia sebagai manusia tapi juga sebagai pengejawantahan dari ilmu pengetahuan, the knowledge. (lihat titel yang ada di depan kedua nama tersebut. Sebagai saintis, wah...bukan!!?). Dan di sisi yang lain ada alien (Whispers Men dan Klatoo), ia adalah wakil dari “yang lebih tinggi” the supranatural. Ia adalah wakil dari nilai-nilai spiritual, tradisional, yang dibackup dengan kekuatan supranatural. Katkanlah Alam (dengan A besar), mungkin Gaia, atau mungkin juga Tuhan.

Yang menarik adalah sikap manusia yang tertampilkan dalam sosok Prof. Koestler (baca : sebagai manusia yang selalu percaya diri dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya), terhantam dengan keadaan yang mampir di depannya namun tak bisa dijelaskan semuanya dengan logika. Ia (manusia) kemudian berubah menjadi peragu, bingung, dan nggak yakin dengan apa yang sedang dilakukannya. Dan segala usaha logika yang dikerahkanpun kemudian tak bisa menjelaskan semua fenomena yang menghantam benaknya.
Dan saat itulah manusia “menjerit”.

Kapan manusia yakin akan keberadaan Yang Maha Lebih?
Ketika ia berteriak menjerti karena tidak memahami dan mampu menjawab dari apa yang ada dihadapannya, lantas menerima jawab dari jeritannya itu ternyata datang dari luar materi. Datang dari yang tak masuk logika. Namun untunglah manusia tak sepenuhnya makhluk logis, ia juga makhluk emosi, makhluk spiritual. Dan dari moda logika bersama moda emosi dan spiritual itulah manusia mampu menala dan mendeteksi sesuatu yang di luar logika. Logika semata saya kira tak cukup untuk meyakinkan diri bahwa balas yang ‚terdengar’ dari teriakkannya adalah jawab dari sebuah subyek independen atau sekedar gema suara sendiri ...

Nah, dalam konteks (yang jelas dibuat-buat) inilah film knowing dan TDTESS adalah pergulatan manusia dihadapan dua entitas: antara ambisi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai konvensional, atau agama, yang masih sering melahirkan friksi, namun pada akhirnya manusia tidak bisa menolak.

Dan bagi saya yang cuman masih bisa menikmati dari jauh, film ini mencoba mengingatkan dunia akan dualitas moda kehidupan (bagi kultur manusia, gak Cuma barat saya kira) : pertimbangan murni logika nggak cukup tanpa pertimbangan nurani.

Di akhir cerita saya cukup gembira bahwa manusia yang “berkeyakinan” akan selalu menemukan kedamaian. Saat prof. Koesler sebagai seorang saintis tidak lagi mempertanyakan keanehan yang dihadapinya. Ia berubah menjadi semi dogmatis memang. Namun di saat itulah kedamaian dalam dirinya datang.

Nah..itu. yang terbaca oleh saya dari kedua film tersebut. Mengada-ngada dan sok tau..jelas!! lha wong ini, sekali lagi, cuma ngelantur bertutur ko!!.
Mungkin saya salah dan terlalu sempit pandang. Jika itu kasusnya ya..mohon koreksinya.

gaza

Matahari telah mati
di atas kota Gaza
tapi tak seorangpun yang berkabung

maut yang suram menyelimuti hari
merebak di mana-mana.
menggedor tiap pintu, mengapung di udara
tanpa ada satu saudara yang bisa menghalangi.

maut yang dingin menyelimuti hati
menyelinap lewat lubang kunci, merayap di kisi-kisi.
Menanti di jalan-jalan sampai pagi.
tanpa ada satu dunia yang berani mengusir.

Maut yang gelap hadir di tiap kepala
pucuk senjata menodong tiap jiwa.
tiap mereka yang bernafas
tiap mereka yang berdarah.

O, matahari telah mati
di atas kota gaza
tapi tak seorangpun yang berkabung!


~~
2008-2009

21 June 2009

kalau All Star gak ngatasi, Terancam FC siap beraksi. itupun kalau Manchester United nya berani


Ini berita basi. Tapi lo akan tambah basi jika ga baca ini. :)

Malang, 20 Juni 2009
Adanya rencana klub raksasa sepakbola Inggris, Manchester United, mengadakan tur ke Asia yang salah satunya mengunjungi Indonesia telah membuat publik pecinta sepak bola di Indonesia bersukacita. Karena bukan saja akan berkunjung, tapi juara Liga Champion 2008 ini, di jadwalkan akan melakukan pertandingan persahabatan dengan tim All Star Indonesia.

Beberapa minggu sebelum berlangsungnya pertandingan akbar (ini akbar bagi Indonesia saja tentunya, kalau bagi MU mah, yaaaahh... paling sama kayak latihan lah, cuma kalo latihan yang ini bedanya di lakuinnya di Jakarta,. Itu thok!!) yang rencananya akan dilaksanakan di Stadion gelora Bung Karno, Jakarta, suporter kedua kesebelasan sudah ramai mengantri tiket yang susah di akses. Susahnya untuk mendapatkan tiket antara MU dan all star Indonesia, menurut TS, salah satu skuad terancam FC, karena penjualan telah dimonopoli oleh konco-konco PSSI.

Prediksi siapa yang akan menang dan teaser antara kedua kesebelasan sudah berkeliaran di dunia maya. Selain itu juga perdebatan siapa penyerang yang akan masuk skuad tim merah putih, antara Bambang Pamungkas dan Bambang Trismawan semakin sengit. hehehheee....Wah...bakal jadi pertandingan yang panas!!!

“ini sejarah dalam jagat sepak bola Indonesia, jarang-jarang kita disuguhkan sebuah pertandingan antara tim Indonesia dengan klub besar daratan Eropa” begitu kata pengamat sepakbola bung Karuniawan Dwi Wibawa, pengamat sepakbola, setelah dikonfirmasi di kos-kosan sebelah. :)

Tapi pertanyaannya, mampukah tim all star Indonesia menghadapi salah satu klub raksasa di dunia itu?? Di atas kertas all star Indonesia memang jauh di bawah MU. Baik secara skill individu, stamina, tekhnik permainan, maupun secara kesolidan sebuah tim, all star Indonesia jauh tertinggal di bawah. Tingginya intensitas jadwal pertandingan dan ketatnya kompetisi antar klub di daratan Eropa menjadikan klub-klub di Eropa susah ditaklukan jika bertading dengan kesebelasan dari kawasan Asia. Apalagi jika melihat apa yang terjadi di Indonesia, carut marutnya kompetisi dan amburadulnya pembinaan yang dilakukan PSSI, serta dijadikannya kepengurusan PSSi sebagai ajang koncoisme, tampaknya harapan menang akan semakin tipis saja.

saya pribadi gak akan muluk-muluk membuat prediksi siapa yang akan menang pada pertandingan nanti. Tak perlulah baca prediksi tentang formasi, statistik pertandingan dari komentar para ahli, apalagi harus tanya ke mama Laurent atau ki Gendeng Pamungkas (kalau Bambang Pamungkas bolehlah :)). Cukup pakai “feel” saja. Hehehe... 5-1 untuk Manchester United. Egois dan sok tau emang. Tapi kalo selera gimana donk..??


Tapi bagi pendukung timnas jangan pesimis, kita lihat saja nanti.. masih ada harapan karena masih ada terancam FC. Kalau ternyata all star gak ngatasi, Terancam FC mau tanding sama MU. Di mana saja. Di Jakarta ok... di ajak ke Old Trafford tambah seneng malah. =))
“Terancam FC siap kembali merumput jika tim yang dilawannya adalah MU.
Itupun kalau MU nya berani.” Begitu kata salah satu penyerang andalan Terancam yang tidak lain adalah penulis sendiri.
hahahahah.....
ok...Bravo Indonesia!!


Bambang Trismawan
Penyerang Terancam FC
(yang bermimpi suatu saat timnas bisa bicara banyak di pentas dunia. Bermimpi timnas bisa bertanding di final piala dunia melawan Brazil)

salam hangat buat teman-teman Terancam FC.
sekali-kali kita ngelawan MU yah..?? jgn sama “Sembarang” FC ajah..
hehehehe
kapan yah kita futsalan lagi...

15 June 2009

bersama founding father



Menengok-nengok berita televisi dan membaca koran tentang persaingan para capres kita yang terus muncul di depan publik membuat benak saya yang sering tak teratur ini tergelitik. Dan bila diamati, sungguh mengkuatirkan bila melihat hubungan antar calon pemimpin kita saat ini. Bukan saja sikap antar pasangan capres yang berlangsung sengit, tapi juga sikap yang ikut berimbas... pada tim sukses yang ada di bawahnya. Saling sindir, saling serang, saling kritik.

Yang saya amati jelas bukan terhadap iklan-iklan yang telah di make-up setebal aspal sedemikian rupa, tapi pengamatan terhadap ekspresi-ekspresi paling kecil yang ditampilkan oleh para pasangan capres dalam berbagai acara. Ekspresi-ekspresi yang remeh dan biasanya sering lolos dari pengamatan biasa, namun justru (ekspresi tersebutlah yang) menunjukkan perasaan-perasaan yang disembuyikan dan tidak disembunyikan. Pada acara pengundian nomor urut dan pada saat kampanye damai, misalnya. Bagaimana mimik dan sikap personal bawah sadar yang tertampilkan (bagi saya) tidak menunjukkan sikap kepemimpinan seorang negarawan. Padahal dalam berbagai momen para capres kita sering ingin tertampilkan dan tercitrakan sebagai penerus founding father kita.

Di titik inilah saya tergelitik, bagaimana mengenal founding father kita dan membandingkannya dengan para capres kita saat ini. Dan sungguh disayangkan, bila yang digembor-gemborkan oleh para capres kita, hanya sebatas romantisasi,patron, keturunan, gaya pakaian, alih-alih ideologi dan ajaran perjuangan, atau sikap kenegarawanan.

Dalam buku Mohammad Roem, Bunga Rampai dari Sedjarah’ dan ‘Peladjaran dari Sedjarah’ terceritakan tentang kehidupan keseharian para pemimpin Republik di pembuangan nun di Pulau Bangka semasa agresi militer Belanda ke II. Konon, para pemimpin Republik yang ditangkap di Yogya dan dibuang ke Bangka (Mr. Roem sendiri ada di antaranya. Bersama Bung Hatta, Bung Karno, dan Haji Agus Salim) itu seringkali memakai waktu mereka untuk berdiskusi tentang keadaan mutakhir.

Namun tak sering juga pembicaraan mereka menyentuh “berbagai perkara kehidupan lain, termasuk soal wanita dan sex. Soekarno kelihatan jadi lebih bersemangat kalau pembicaraan berkisar soal yang dua ini. Sebaliknya, Hatta jadi kelihatan agak dingin, sementara Haji Agus Salim menunjukkan kepakarannya di semua pokok pembicaraan.” Demikian tulis Mr. Roem ...

Ketika pertama kali membaca komentar tadi, saya terbahak. terbayanglkan kalau Soekarno jadi tertarik dan lebih bersemangat (mungkin dengan mencondongkan lebih dalam tubuhnya), dan Hatta justru mendingin di hadapan tema eros, tapi Agus Salim .. anda tebak sendiri.

Di buku lain, setelah revolusi tak ada lagi, karangan Goenawan Mohamad, tertulis juga cerita kecil para founding father kita ketika di pembuangan. Syahdan, di pagi buta di tahun 1942, untuk menghindari dampak serangan tentara Jepang yang menyerang Ambon, Hatta, dan Sjahrir di jemput oleh pesawat dari pembuangannya dengan pesawat Catalina di Pulau Banda Neira. Hatta lalu bergegas dan tergopoh mempersiapkan buku-bukunya dalam enam peti . sedangkan Sjahrir sudah mengajak 3 orang anak, temannya bermain yang ia ajari selama di pembuangan.

Saat akan berangkat masalah muncul karena pesawat yang menjemput tidak cukup besar untuk memuat semuanya. Harus ada yang ditinggalkan. Anak-anak yang ikut dengan Sjahrir. Atau enam-peti buku yang dicintai Hatta. Akhir cerita, (mungkin setelah perdebatan) Hatta merelakan bukunya ditinggal dengan kepastian tak akan terambil kembali kelak (mungkin juga ia menyesal).

Membaca cerita-cerita kecil tadi, buat saya sungguh membesarkan hati. Jadi sadar bahwa para founding father kita juga punya sisi preverse-nya. Tapi lihat sisi lainnya! Mereka terasa lebih human. Terasa ke-mausia-biasa-annya. Dan lebih dari itu, betapa antar mereka sangat begitu akrab! (pembicaraan wanita dan seks tentu saja hanya terobrolkan kepada orang terdekat saja, bukan?). Di samping itu bagaimana mereka bisa mengorbankan kepentingan pribadinya. (saya bisa membayangkan bagaimana kecintaan Hatta terhadap buku-bukunya).

Cerita bahwa para founding father kita sering terlibat diskusi (bahkan perdebatan) sengit tentang ideologi dan dan masalah bangsa di meja diskusi namun kembali akrab saat di meja makan ternyata bukan isapan jempol belaka. Dan dari cerita-cerita seperti inilah kembali tertemukan alasan untuk menjadi bangga menyebut diri seorang Indonesia; dan darinya tertemu alasan akan harapan adanya kepemimpinan yang lebih baik. Seorang negarawan!

***
Seseorang pernah bilang, bahwa kepemimpinan adalah produk dari masyarakatnya. Sebagai individu, kita punya kewajiban untuk memastikan suara kita mengangkat pemimpin yang bener dan menjatuhkan pemimpin yang tak layak. Dan juga memulai (lagi) pekerjaan untuk membesarkan kepemimpinan yang ada disekitar kita. Orang-orang yang rame ing gawe sepi ing pamrih. Orang yang berbuat banyak tanpa banyak bicara. Yang tetap semangat dan punya aksi nyata dalam keterbatasan. Yang lebih peduli hasil ketimbang pencitraan. Dan kepada merekalah seharusnya kepemimpinan kita amanahkan.

13 June 2009

Apakah rindu?

adalah senandung lagu
dari seorang yang tak ingin sendiri
menanti, karena ingin bertemu

adalah lantai kuil berbatu, bersama debu,
yang hilang sebelum tersapu.
ciptakan harapan yang pilu

adalah tegak tugu di batas hutan,
bersama rerumput, angin dan dingin,
ciptakan sepi yang sedih

apakah rindu?
adalah ratap lirih
dari seorang yang tak ingin sendiri.
fana tapi sendu.

Sukabumi, juni 2009

28 May 2009

Karena kita Semua Narsis : dari gunung sampai laut

Suatu kali saya pernah bilang (di shoutbox blog ini juga) narsis itu sebagai pemuas dahaga primordial (baca : primitif) kita manusia.
dan inilah hasil beberapa jepretan yang terekam dari kamera teman saya. mau disebut narsis ga lapo-lapo...
ingat : NARSIS not CRIME. hehehe...


namannya juga di gunung, udaranya dingin banget. *brr..brrr... menggigil kelaperan. eh, menggigil kedinginan maksudnya*
so, pagi-pagi banget udah laperrr... ajah. siap-siap sarapan lah kita


dingin tak mengapa...yang penting gayaaa.... hehehe...


jalan capek... naek mobil ajah ah.... (padahal baru jalan lima menit tuh hehehe..)



gaya...terus... (guayaaa never die)



siap-siap ke Sempu... bismillah...



udah nyampe Sendang Biru nih... istirahat bentar... eh, gaya dulu sebentar...hehehe



kalao ini di Sempu nya nih...
sorry..bro! yang di atas yang juara..hahaha...



hidangan terakhir... ikan goreng bumbu pasir empat ikan dimakan bertujuh. cukupkah?? alhamdulilaah cukup. masih laperr kah...?? yah..masih lah...

26 May 2009

Solilokui calon sarjana : Masih belum ketemu juga jawabannya.

Rabu tanggal 27 Mei saya dijadwalkan untuk mengikuti yudisium. Sebuah ritus pengukuhan gelar kesarjanaan dalam kultur akademik. dimana para mahasiswa yang sudah belajar bertahun-tahun dianggap sudah mendapatkan semua ilmu dari bidang yang dipelajari (atau paling tidak, sudah menyelesaikan semua tahapan proses akademik) dan makanya dianggap sudah layak dalam memperoleh gelar kesarjanaannya. bak seorang pendekar yang berlatih di satu padepokan di puncak gunung, yang biasa kita lihat dalam film-film silat, dengan yudisium, maka para pendekar dinyatakan sudah cukup bekal mereka untuk turun gunung dan menyebarluaskan ilmu yang didapatnya (atau juga untuk berbalas dendam. :-) ).

Sudah lama memang saya mempersiapkan diri dan menunggu untuk dapat sampai ke momen ini. Teramat lama bahkan. Namun justru mendekati hari H, mendekati hampir ujung puncak tertinggi akademik yang saya lalui ini, yang terbersit adalah pertanyaan-pertanyaan dalam benak yang sudah lama mengendap. Bagaimana saya bisa menggunakan semua pengetahuan yang didapat selama perjalanan akademik ini? Setelah semua perjalanan akademik yang dilalui dan pengetahuan yang didapat, lalu apa?

”Lalu apa?”
Sebuah pertanyaan yang terkadang bikin hati kelu dan hilang selera; namun toh bisa pula dirasakan sebagai pemacu: bikin diri greget dan ingin bergegas tak sabar mempersiapkan langkah ke depan.

Dan semuanya terjadi di saat menginjak dua puluh sekian. Sebuah rentang usia di mana seseorang (baca:saya) masih belajar mengenal diri sendiri. Siapa bambang ini? Apa kesukaannya? Sudah belajarkah dari jatuh bangunnya selama hidup? Sudah sampai mana perjalanan hidupnya? Apa yang akan ia kerjakan di hari depan? Masih pertanyaan yang sama dengan beberapa tahun yang lalu.
Dua puluh sekian. Ternyata masih banyak yang belum ku mengerti disekelilingku. Tentang manusia, alam, hati, nafsu, cinta, pengorbanan, Tuhan. Begitu banyak pertanyaan yang harus diajukan. Begitu banyak jawaban yang mesti dicari. Tak selalu menarik. Malah sering terasa bodoh.

***
“Welocome to the junggle” begitu ucapan selamat seorang teman ketika mengetahui saya akan lulus.. Saya kira maksud teman saya dengan bilang “welcome to the junggle” itu mahasiswa itu tinggal di istana. Saya keliru.
“Mahasiswa itu kaum borjuis yang tanggung” lanjutnya.
Huh?
Aku cuma ketawa. “Borjuis yang tanggung?? “
Yaa..Mungkin. saja.

Bahwa bila didepanku adalah hutan, benar-benar saya tak punya banyak petunjuk dan tak banyak rambu terlihat untuk melewati semua rintangan dalam hutan tersebut. Harus banyak tanya bila tak ingin tersesat. (Sedangkan ... pendidikan kita menuntut mahasiswa nya untuk sigap menjawab pertanyaan. Tapi kita nggak banyak dilatih untuk bertanya.
Bukankah dengan bertanya justru jawaban tercari dan tertemukan?
Bukankah saintis itu tak lebih dari mereka yang tak pernah berhenti bertanya?)
****
Kembali ke pertanyaan-pertanyaan di atas.
Sekarang, dalam rangka mencari jawaban dari pertanyaan yang aku kemukakan sendiri saya harus meninggalkan status mahasiswa. Tak bisa lagi bersenang-senang dengan tangungan orang tua. Harus mulai berdiri sendiri. Berkeringat dingin karena merasa belum mampu.

Dan tentang Masa depan? Masa depan saya pikir seperti istana di balik hutan sana. Tak terlihat memang dari sini, tapi ia menunggu pasti di balik hutan sana. Bagaimana melewati hutannya? Sekali lagi, tak banyak petunjuk dan tak banyak rambu yang aku punya. Tapi itulah yang disebut petualangan. Bergulat pada momen pencarian. Bukan pada hasil akhir. Karena bila kita kwatir dengan hasil akhir akan begitu banyak hal yang terlewatkan dalam perjalanan hidup. Jadi, nikmati saja yang ada. Syukuri saja yang terjalani. OK, berpikir matang adalah hal baik. Namun berpikir matang dan menimbang-nimbang bukan berarti mengurung diri dalam tempurung kepengecutan karena tak pernah berani mencoba hal baru.

”Saat ini adalah bukan waktunya bercerita tapi untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya bahan cerita”. Begitu kata satu teman saya lagi. Saya setuju.

Hidup memang bisa jadi menakutkan jika kita melulu berkonsentrasi pada ketakmengertian akan apa yang menunggu di depan. Namun bukankah kejutan-kejutan adalah bumbu tersedap dalam hidup??
Sekarang cukuplah meneguhkan hati untuk menyambut apapun yang menanti di depan, dan mencoba mengambil sisi ringan hidup. Menikmati yang terjalani. Dan mensyukuri yang ada.
Nggak selalu berhasil, memang. Tapi setidaknya saya belajar...


::namanya juga bersolilokui dengan diri sendiri jadi maaf-maaf kalau tulisannya terasa kacau::

===================================up to date=================
selasa, 26 Mei 2009 11.30 WIB
dapat berita ga bisa yudisium besok karena belum lengkap persyaratannya.
you see..!?
.
Kejutan?? senangkah saya??
boro-boro!