02 September 2009

Menyikap Friksi RI-Malaysia

Kembali, Indonesia dan Malaysia bersitegang. Pemicunya pun tak jauh berbeda degan yang terdahulu. Kali ini gara-gara dimasukkannya tari Pendet dalam sebuah promosi wisata Malaysia yang ditayangkan luas ke manca negara. Dan kembali lagi, sebagian dari kita, cepat bereaksi, merasa tersinggung, protes, turun ke jalan, dan dengan segera memasang badan menantang. Bahkan menteri kebudayaan dan Pariwisata tak lepas dari masalah klaim-mengklaim ini, dan konon sudah melayangkan nota protes kepada negara Jiran itu.

Saya masih ingat ketika beberapa kala yang lalu, ketika Malaysia mengklaim --meskipun saya tak pernah menyaksikan atau mendengar langsung klaim tersebut keluar dari pihak Malaysia- produk budaya kita seperti lagu rasa sayange, batik, reog, dan angklung, dengan mudah sebagian dari kita marah, dan lalu turun ke jalan melakukan aksi protes. group anti Malaysia pun dengan cepat segera beredar di situs jejaring sosial. dalam beberapa tayangan berita bahkan beberapa orang berlatih bela diri untuk mempersiapkan melawan Malaysia jika dibutuhkan.

Saya sebenarnya tak mengerti, dari mana datangnya semangat memprotes tersebut. Dari semangat nasionalismekah?

Seperti biasa, bila ada friksi atau isu yang menjadi polemik, saya selalu menyempatkan untuk jalan-jalan membaca komentar-komentar online di surat kabar, forum kas-kus, atau forum-forum lainnya. (Kenapa forum Kas-Kus? Karena menurut saya apa yang dikatakan orang kebanyakan itu menjadi penting, meskipun tidak selalu berarti menjadi yang paling benar). Dan selalu saja yang terkecap oleh lidah saya ketika membaca komentar-komentar tersebut adalah nada-nada tajam: mengancam, mencibir, menantang. Tak sedikit pula dari komentar-komentar tersebut yang menyuarakan kembali ide Soekarno dahulu : Ganyang Malaysia! (bahkan teman saya mengundang saya untuk ikut dalam grup ganyang Malasyia)

Meski mungkin yang tengah diperjuangkan dalam forum-forum tersebut adalah hak untuk dihormati sebagai manusia atau komunitas, atau bangsa, yang berasal dari semangat nasionalisme, namun selalu ada yang timpang dengan cara memperjuangkannya. Yang justru terbaca dari komentar-komentar tersebut adalah penegasan sikap nasionalisme kita yang lebih mirip sebagai gengsi jawara, daripada nasionalisme yang berakar pada nilai universal macam hak asasi ataupun harga diri manusia. Dahulu, imperialismelah yang melahirkan nasionalisme. Dan oleh karena itu, sangat tidak mungkin nasionalisme, yang menentang imperialisme, melahirkan imperialisme.

Tentang Budaya.
kembali kepada pertanyaan awal. dari mana datangnya semangat memprotes tersebut??
Bila klaim itu berkenaan dengan masalah teritori wilayah, klaim Malaysia atas blok Ambalat misalnya, saya bisa mengerti bila kita protes. Dan saya kira pantaslah kita marah dan sudah sepatutnya pula surat keras kita layangkan kepada negara tetangga kita itu. Tapi bila berkenaan dengan klaim produk budaya, patutkah sebenarnya kita marah dan berkoar menantang? Bukankah justru sikap kita harusnya sebaliknya, berbangga? Bangga karena budaya kita telah mempengaruhi dan diakui oleh negeri sebrang tersebut? karena budaya yang kuat akan mempengaruhi budaya lain terutama di zaman globalisme sekarang ini.

Banyaknya penggemar acara “Country” Tantowi Yahya dengan pakaian khas koboinya bukankah berasal produk dari budaya Amerika? Aliran seniman nyentrik Mbah Surip dengan model rambut gimbal dan kostum nyentrik bukankah berasal dari penyanyi Jamaika, Bob Marley? Seni bela diri macam kapulera dan kungfu bukankah bukan berasal dari negeri kita? Dan sepertinya masih banyak lagi produk budaya asing yang kemudian diadopsi oleh sebagian masyarakat kita. Lalu marahkah mereka, negara produk budaya yang kita tiru berasal, ketika produk budayanya kita mainkan? Saya kira tidak. Malah sebaliknya.

Budaya adalah produk suatu masyarakat. Berkembang dan dikembangkan oleh masyarakat melalui proses yang panjang. berkembangnyapun karena mendapat perhatian dan penghargaan yang intens dari masyarakat itu sendiri. Oleh sebab itu, saya merasa tidak ada alasan untuk marah ketika tari pendet masuk dalam promosi wisata Malaysia. Karena, saya yakin, orang Malaysia tak akan mampu memahami dan menguasai arti tari pendet sebagaimana orang Bali memahami tari pendet. Karena produk budaya bukan kaset pita atau makanan kalengan yang bisa diproduksi pabrikan secara massal ketika mendapatkan master lagu atau resepnya. Budaya membutuhkan proses penghayatan yang intens dari masyarakat.

Sebab itu pula, ketika lagu Rasa Sayange -(terkesan) diklaim oleh pihak Malaysia karena sering dinyanyikan di negeri Jiran sana. saya tak mendapat alaan untuk marah. Karena lagu tersebut begitu dihargai di sana bahkan sering dinyanyikan dalam keseharian masarakat Malaysia. Sedangkan di Indonesia? Ah, Terus terang saya sendiri tidak hafal lagu tersebut.

mungkin itu...
Mungkin yang harus kembali dilakukan oleh kita. kembali memahami dan belajar lebih dalam kebudayaan kita dan mencoba mempromosikannya dengan lebih elegan. Dan tentu saja, kembali belajar akan semangat nasionalisme yang bukan hanya santun namun betul-betul mampu menghargai bangsa tetangga sebagai entitas yang sejajar.

masih bisakah kita berharap?

No comments: