26 December 2010

perjalanan di ibukota

Menjelang tengah malam, aku menulis catatan ini di kantor. Tentunya setelah menuntaskan kewajiban seorang kuli tinta: membuat dua-tiga naskah berita agar bisa tayang di koran besok.

Ah, garis hidup seseorang memang selalu menyimpan rahasianya sendiri. Tak terlalu bisa diprediksi. Aku, misalnya. Meski tak pernah mengikuti pendidikan formal kejurnalistikkan, sekarang aku duduk di kantor salah satu media koran politik nasional: jadi kuli tinta.

Ndeso memang. Bagaimana juga ceritanya seorang yang lahir disebuah desa di Kecamatan Cikembar yang belajar teknik semasa sekolah menengah, diteruskan belajar Perikanan di Malang, lalu tiba-tiba saja menjadi seorang junior jurnalis.
zig-zag boy, kata seniorku dulu semasa kuliah.

Yap.. kau benar. Hidup memang penuh rahasia. Seperti melewati hutan yang tak ada rambu da petunjuk. yang meski dalam perjalanan itu gelap dan tak terlalu banyak petunjuk, aku merasa selalu ada tangan Tuhan yang selalu hadir tiba-tiba tanpa pernah dinyana mengatur jalannya hidupku. Di luar kuasaku. Mengejutkan. Tak jarang Mengagetkan.

Seperti sekarang. Aku masih terheran-heran melihat jalan yang sudah kulalui. Hampir 8 bulan di ibukota. Tergagap-gagap di hadapan kenyataan yang tak pernah terbersit sedikitpun dalam pikiranku. Dan malam ini, aku masih duduk di depan monitor yang berkedip. Tercenung sendirian. Mencoba memahami rahasia Allah yang telah terbuka satu persatu dalam perjalan hidupku.

Perjalanan di depan sana masih saja gelap. Namun keyakinan bahwa ada istana yang menunggu di balik hutan sana masih ada.
Kali ini do’aku jadi lebih sederhana:

Ya Allah, berikanlah aku kekuatan agar senantiasa bisa melangkah menuju ridhaMu. Dan jangan kau beri beban yang tak sanggup kutanggung. Amin.

21 December 2010

Percakapan akhir tahun



Sepatu Kiri:

Tak ada yang bisa dibanggakan dari tuanku sekarang ini.
Apa coba?? Tinggal masih numpang.
Status pekerjaan masih belum jelas
Tentang sekolahnya? Heh? Lupa tampaknya!

Setahun ini, kulihat ia masih belum bisa melewati hari-harinya dengan bijak.
Masih belum bisa menghargai jatuh-bangun usahanya sendiri.
Masih belum bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang hidup- yang ia catat dulu-.

Ah, kutebak sudah lupa ia sama mimpi-mimpinya.
Mimpi yang selalu ia gumamkan saat melepas kita dari kakinya
Menjauh dari Tuhan-nya. Duh..

Payah benar aku mengikuti langkahnya sekarang.
membelah Jakarta. Pagi, siang, malam
Dan mimpinya, kau lihat?
Serangkaian mimpi yang ia ceritakan pada kita dulu.
Kini, berhenti di Jakarta.


Sepatu Kanan:

Benar, kawan ku. Memang itulah faktanya.
Tapi tunggulah barang sebentar.
Kenapa kau tak pernah mensyukuri apa yang didapat majikan-mu. Majikan kita. Kenapa kau selalu bilang baru, baru sampai, dan tidak bilang, sudah sampai.
Kenapa kau selalu sibuk dengan apa yang belum didapatkan.
Bukannya mensyukuri apa yang didapat.

Memang ada banyak mimpi yang tidak kesampaian.
Tapi bukankah semua posisi majkan kita hari ini tak lain dan tak bukan adalah pilihan dan keputusan Allah.
Allah yang telah memutuskan di posisi mana dan apa yang sedang majikan kita kerjakan.
Adakah yang lebih baik dari keputusan Allah?

Sepatu Kiri :

Hemm… entahlah.
Menurutmu?

Sepatu Kanan :
Tentang mimpi yang belum tercapai. Kukira ia hanya belum mejadi bagian takdir dari majikan kita hari ini. Itu saja.
Lagipula, siapa yang lebih tahu apa yang terbaik untuk majikan kita hari ini?

Sepatu Kiri:


Entahlah..
Tuhan mungkin?


Kubiarkan mereka terus bercakap. Aku hanya menguping lewat mimpi dalam tidurku.
Seperti seorang majikan yang menguping para pembantunya. Dalam hati aku hanya berkata.

Sepatuku, kau benar.
Aku belum menjadi apa-apa.
Belum bisa berbuat apa-apa.
Belum bermakna.
Untuk siapa-siapa.
Belum melangkah kemana-mana.
Tapi setidaknya aku masih bisa berkeluh kesah.
Masih bisa menulis sajak picisan.
Tdak cukup bermakna memang.
tapi apakah bermakana itu pula


akupun terbangun.


Jakarta, Desember
Catatan akhir tahun.

19 December 2010

duh, kangen ini

duh, kangen ini
kangen untukmu, cah ayu..
kangen yang senantiasa
kangen yang selalu
masih kangen yang dulu.

mungkin suatu nanti aku akan datang ke rumahmu
dengan kaos yang hampir usang
masih dengan rambut yang acak-acakan.

kau buka pintu
tak kaget
tersenyum lalu mengundangku masuk.
meski iri, kusalami juga suamimu
lalu kukecup anak-anakmu.

bahagianya aku melihatmu
punya suami, punya rumah dan anak-anak
lenkap sudah.

dan anakmu itu, mirip benar denganmu
kenes, tawa yang renyah
manja dan mata yang menenggelamkan.

sudah lama di sini?
memang tak pernah kemana-mana
kok, tak bilang kalau mau datang?
memang tak pernah pergi, kok
jadi, kapan mau kawin?
belum bertemu yang sepertimu

tiba-tiba aku merasa harus pergi
berjalan sendiri
pergi dari kotamu
entah kemana..

15 December 2010

Tentang Salah Ucap

Kalau tak salah, beberapa minggu yang lalu majalah Forbes Indonesia kembali merilis orang-orang terkaya di negeri ini.

Walaupun menurut saya, hasil reportase majalah yang berkantor pusat di New York ini tak terlalu mencengangkan. Karena daftar nama yang dirilis masih didominasi orang itu-itu juga. (Saya heran, kenapa yang kaya masih yang itu-itu juga. Ah, mungkin karena yang miskin masih yang itu-itu juga. :-) )

Orang terkaya vesri majalah yang didirikan oleh Bertie Charles Forbes ini, menempatkan dua bersaudara pengusaha rokok, Budi dan Michael Hartono, sebagai orang terkaya dengan mengantongi kekayaan sebesar Rp 100 triliun.

Wuih! Seratus triliun, bayangkan, boi.

Pasar luar biasa besar, regulasi antirokok yang mandul, cukai murah, tak heran memang jika para pemilik rokok bisa menjadi miliarder di negeri ini.

Saya sebenarnya lagi gak ingin ngomongin bagaimana nikmatnya punya perusahaan rokok di Indonesia. Hingga para pemiliknya bisa masuk daftar orang-orang terkaya. Apalagi ngomongin kepedulian karena makin mudanya usia perokok di Indonesia. Lupakan itu.

Kali ini, saya lagi ingin ngomongin masalah sepele yang sedikit ada hubungannya dengan majalah Forbes tadi. Majalah yang memang terkenal karena rutin memuat daftar perusahaan dan orang-orang terkaya di dunia itu.

Suatu kali, ada ‘Teman saya’ yang tiba-tiba menjadi sensi karena ada ‘Temen saya yang lain yang juga temennya’ menyebut Forbes dengan ‘forbes’ (dengan ‘e’ pada elang). Padahal, menurut ‘temen saya’, Forbes itu dibaca ‘forbs’. (sebenarnya saya juga menyebut forbes sama seperti bagaimana ‘Temen saya yang lain yang juga temennya’ menyebut forbes)

‘Temen saya yang lain yang juga temennya’ itu, kekeuh melafalkan Forbes dengan ‘forbes’ dan bukannya ‘forbs’.

Lucu? Menarik, malah.

Karena betapa Indonesiawi sekali sebenarnya kejadian macam ini. Indonesiawi sekali, karena jika kita tekun mengamati perbincangan sesehari, kejadian salah sebut macam gini adalah perkara sesehari di sekitar kita.

Ada banyak contoh bila memang mau dirunut. Misalnya, bila naik bis kota di Bandung dan daerah sekitarnya, maka akan ada pengasong yang tiba-tiba menawarkan ‘mijon’.

“Mijon..mijon..mijonnya, Pak,”

Tentu saja, maksud si pengasong itu, ia lagi menawarkan minuman yang katanya berenergi, Mizone. :-)

Apakah hanya orang Sunda saja yang memonopoli kejadian salah sebut yang memang agak kesulitan melafal huruf ‘f’, ‘v’, ‘z’? Ah, tidak juga.

Di Malang, Jawa Timur, ada gunung bernama Panderman yang tingginya kurang lebih 2000 meter di atas permukan laut. Konon, kata yang si empunya cerita, gunung ini dulu dikuasai (di kuasai, bukan dimiliki) seorang londo bernama Van der Man. Saya gak tahu apakah si londo ini masih ada hubungan darah dengan kiper jangkung MU Van der Sar atau pemain lain Van der Vart. Tapi yang jelas, karena kuasa pemerintah kota akhirnya mengubah dan meresmikan nama gunung ini menjadi Panderman. :-)

Masih banyak contoh lain sebenarnya. Sebut saja nama tokoh dongeng rekaan JK Rowling, Harry Potter. Pasti akan banyak lidah Indonesia menyebut Harry Potter dengan ‘heri poter’. Padahal Harry Potter dibaca “harri potte’”. Sebagaimana profesor McGonnagal yang dengan logat Inggrisnya yang kental memanggil Harry dengan ‘harri potte’.

Bagi orang Inggris, yang mungkin karena lidahnya pendek jadi susah muntir, menyebut ‘harri potte’ adalah perkara gampang. Tapi bagi orang Indonesia, yang (mungkin karena) lidahnya panjang, menyebut ‘harri potte’ butuh keahlian.

Jadi, apakah hanya monopoli orang Indosesia saja kejadian salah baca macam begini? Tentu saja tidak. Saya rasa fenomena macam ini hampir bisa di temukan di setiap negara. Namun mungkin karena keterbatasan pengetahuan saya saja (atau saya saja yang malas cari) hingga kejadian macam gini cuma hanya terjadi di Indonesia.

Orang daratan Eropa, mereka juga toh sering kesulitan menyebut nama-nama tempat di nusantara. Sebut saja, Bogor salah satunya. Dulu, ketika Herman Willem Daendles memboyong pusat pemerintahan dari Batavia ke Bogor, ia pun menamai kota barunya dengan Buitenzorg yan artinya "tanpa kecemasan" atau "aman tenteram". (cat: Batavia pada abad 19 sudah masuk kota yang jorok, kumuh, bobrok dan sering banjir. bahwa pada abad 21 batavia belum tenggelam termasuk prestasi saya kira. he.) Saya tak tahu, kenapa tiba-tiba para londo itu kemudian menamai kota hujan ini dengan Buitenzorg (dibaca boit'n-zĂ´rkh"). Bisa jadi karena londo-londo itu kesulitan melafalkan ‘bogor’ yang artinya enau itu.

sekarang kita tahu, terlepas dari masalah nasionalisme, orang Indonesia lebih memilih bogor dari pada Buitenzorg. Meskipun londo-londo menyayangkan karena katanya namanya tak lagi eksotik. Heleh.. :-)

Masih ada lagi, yaitu nama gunung yang meledak 27 Agustus 1883: Krakatau. Di eropa gunung ini dikenal dengan nama Krakatoa. Kesalahan ketik saat berkirim telegram, sehingga nama krakatau menjadi krakatoa rupanya tak banyak berpengaruh untuk mengembalikan nama Krakatau menjadi 'krakatau'. Mereka lebih memilih krakatoa yang biarpun salah tapi enak diucapkan. Kita paham lidah mereka tidak biasa melafalkan ‘au’ yang dalam bahasa kita bertebaran. atau, enau, kalau, kacau, balau, parau sengau, dan lain sebagainya.

Ah, mungkin memang pada akhirnya bahasa juga seperti masakan. Punya ‘cita rasa’ nya sendiri. Punya 'resep'nya sendiri-sendiri. Punya aturan 'gramatik', 'mood', dan 'feeling'nya sendiri-sendiri. Jadi, melafalkan kata asing semaunya sendiri dalam sebuah obrolah memang tidak selalu bisa dibenarkan.

Tapi barangkali ada konteks orientasi budaya yang bisa dipetik dari kejadian salah sebut macam di atas. Kepekaan untuk mengadaptasi satu lema menjadi bahasa kita yang disesuaikan dengan lidah, rasa Indonesia. Jadi kita tak perlu lagi seperti para mbak-mbak pembaca berita Metro TV yang cantik itu, yang meskipun berbahasa indonesia tapi berlogat Inggris.

Entahlah..

*Saya panjang lebar nulis macam ini cuma minta komentar untuk nama mengganti panggilan saya jika suatau kali saya mampir ke Eropa. Biar mereka yang lidahnya susah muntir itu tidak kesulitan menyebut nama saya.

Saya kepikir untuk memakai nama panggilan 'Bit'.

Gimana, sudah 'terasa' seperti nama eropa kah??

haha..

**buat yang dari sastra Inggris mohon maaf jika lanturan saya memang melantur terlalu jauh.

salam lanturan.

03 December 2010

Tentang Rambu dan Polisi Tidur

Saya selalu menganggap jalan itu milik umum. Karena milik umum, tidak ada yang berhak seenaknya membuat polisi tidur. Tidak juga warga sekitar jalan tersebut. Tapi karena pengguna jalan seenaknya memacu kendaraannya, maka orang sekitar juga seenaknya bikin polisi tidur dengan ketinggian dan kerapatan yang tak terkira.

Bukankah jika hanya ingin pengendara mobil atau motor berjalan pelan-pelan, yang dibutuhkan adalah memasang rambu atau tanda dengan arti membatasi kecepatan maksimal. Dengan rambu maksimal 10 km misalnya. Yang artinya batas kecepatan maksimal yang diperkenankan hanya10 km/jam.
Atau jika dikhawatirkan para pengendara tidak mengerti rambu-rambu maka kenapa tidak dipasang tulisan yang berisi “kurangi kecepatan-banyak anak kecil”, misalnya. Disamping lebih murah bukankah dengan rambu terkesan lebih ramah?

Tapi anda tahu, si pengendara mobil atau motor tidak akan memperlambat kendaraanya hanya karena ada rambu atau tulisan tersebut. Dibutuhkan sesuatu yang lebih nyata agar si pengendara tidak memacu kendaraannya lebih dari 10 km/jam. Dibutuhkan sesuatau yang lebih berasa. Yang lebih menghasilkan efek jera jika sipengendara tetap kekeh memacu kendaraannya lebih dari 10 km/jam. Yang lebih menyakitkan. Terjungkal atau jatuh, misalnya. Maka dibuatlah polisi tidur dengan ketinggian tak terkira.

Kondisi ini saya sebut dengan politik polisi tidur. Artinya, orang melanggar batas karena ada orang lain yang pertama kali melanggar batas.

Inilah zaman ketika tanda-tanda sudah tidak diperhatikan oleh manusia. Rambu lalu lintas yang berderet di jalan-jalan hanya menjadi besi bergambar pajangan tanpa pernah benar-benar diperhatikan oleh si pengguna jalan.

Kenapa seperti ini?? Maksudnya, kenapa tanda-tanda tidak diperhatikan? Mungkin karena saat mendapatkan SIM nya pun tidak terlalu memerhatikan arti dari rambu-rambu. Tes hanya formalitas. yang diperhatikan, tentu saja, berapa uang yang bisa diberikan.

Kenapa rambu-rambu diabaikan? Karena manusia tidak lagi peka terhadap tanda-tanda. Padahal orang tua-orang tua kita sangat begitu peka terhadap tanda-tanda.
Entahlah.

Dulu, ketika masih kecil, saya ingat ketika tanda-tanda sangat begitu diperhatikan. Kejadian alam adalah pertanda. Ada kupu-kupu masuk rumah, pertanda bahwa akan ada tamu datang. Tamu yang tak biasa. Tamu besar. dan banyak tanda-tanda lain. Seperti suara burung gagak yang terdengar tengah malam, berarti ada orang yang mati. dan lain sebagainya dan lain sebagainya.

Dan banyak pamali-pamali lain yang berhubungan dengan tanda-tanda. Orang Sunda yang di kampung mungkin mengerti betul apa yang saya maksud.

Dan saya tumbuh dilingkungan dengan kepercayaan seperti itu. Mungkin ada yang menyebutnya dengan takhayul. Namun, seperti kata Parang Jati, membaca takhayul tidak bisa dengan cara pandang seorang modernis. Fakta bahwa takhayul lebih bisa menyelamatkan dan melestarikan bumi memang tidak terbantahkan. Namun melihat takhayul untuk menyebarkan ketakutan dan teror juga tak bisa dibantah.

Terlepas dari itu, bukankah Allah juga selalu mengingatkan manusia tentang kebesaran dan kekuatanNya dengan cara agar memperhatikan tanda-tanda kebesaranNya.
Tengoklah ayat-ayat Al-Qur’an. Pasti akan kita temui potongan ayat “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan,” di lain surat disebut “bagi orang-orang yang beriman”.

Itulah peringatan dari Allah. Bahwa setiap peristiwa alam merupakan pertanda. Tanda-tanda kebesaranNya yang harus diperhatikan.

Jadi, seperti kata guru sekolah saya, Pak Kas, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang ketika diperlihatkan tanda kebesaran Allah ia akan mengajak rakyatnya mendekat dan memohon ampun. Jika ada gerhana matahari misalnya, pemimpin yang baik tidak akan berkomentar ini merupakan fenomena alam. Tapi mengajak rakyatnya untuk melakukan sholat gerhana.

Dan bukan hanya berkomentar tentang sebuah fenomena alam semata.
Karena setiap ilmu pengetahuan hanya menjawab cara kerja alam. Namun mengapa terjadi “seperti itu” tak kan bisa terjawab. Kenapa? Karena seperti setiap penjelasan tentang fenomena apapun, selalu akan menyisakan sepotong pertanyaan kembali.
Yang sudah nonton film Knowing atau The Day The Earth Stood Still, pasti tahu, orang yang tak percaya tuhan meletakkan yang tak terjawab yang misterius tersebut pada sesuatu Supranatural. Alam dengan A besar. Gaia, atau Alien.

Entahlah..
Mungkin inilah kritik buat kita. yang tak lagi peka terhadap tanda-tanda.

*Nah, itu solilokui ibukota kali ini. Seperti mengada-ngada? Atau mengerti yang saya omongin? Kalau belum mengerti jangan kaget. Lha, saya juga belum sepenuhnya mengerti kok. Saya cuma kaget aja lantaran tiba-tiba ada dua polisi tidur yang tingginya setinggi gunung di jalan besar yang biasa saya lewati.

Kenapa tidak menggunakan tanda yang di bawah ini saja kan?? Bukan kah biaya pembuatannya lebih murah??

07 October 2010

Rahasia Uang dari orang terkaya

Dalam cerita Babylon, terkisahlah seorang pemuda bernama Arkad.

Arkad berasal dari keluarga miskin. Ketika tumbuh besar, ia sadar bahwa ia tidak memiliki orang tua yang memiliki harta yang banyak yang akan diwariskan kepadanya.
Sebab itu, setiap hari Arkad bekerja dan berusaha keras untuk menjadi seorang yang kaya raya.

Tekadnya untuk menjadi seorang kaya bukan tumbuh begitu saja. Tekadnya dilatari kesadaran akan kekayaan : kekayaan memang tak selalu menciptakan kebahagiaan, tapi pasti meningkatkan kualitas hidup.

Seorang yang kaya memungkinkan seseorang menjadi “tamu di sebuah perjamuan kenikmatan.”

Arkad pun mulai bekerja menjadi seorang juru tulis, menyalin undang-undang, catatan keuangan, atau apapun sesuai pesanan kliennya ke atas lempengan batu.

Namun hasil kerja kerasnya seperti tidak ada artinya sama sekali. Rasanya pendapatannya tak pernah tersisa. Pendapatannya sekedar cukup untuk kebutuhan sehari-hari seperti makan minum dan pakaian sederhana.

Sampai suatu hari, setelah bekerja lembur dua hari dua malam, Arkad tidak bisa menyelesaikan pekerjaan yang ia janjikan kepada seorang rentenir, Algamish. Algamish marah-marah. Arkad pun memberinya tawaran.

"Algamish, engkau seorang kaya raya, beritahu aku rahasia bagaimana caranya kau menjadi kaya-raya, sebagai gantinya aku akan ukir lempengan batu salinan hukum ke sembilan ini sepanjang malam. Dan besok pagi-pagi akan ku serahkan padamu," kata Arkad.

Algamish setuju, dan di pagi harinya menjawab dengan sebuah kalimat “sebagian pendapatanmu harus menjadi milikmu”
Arkad, bingung dengan singkatnya jawaban Algamish.

"Tetapi bukankan aku telah gunakan seluruh pendapatanku untuk diriku sendiri ?" tanya Arkad.

“Biaya makan dan tetek bengek hidup dengan cepat menghabiskan pendapatanmu selama ini, membuatmu menjadi budak pekerjaan dan mendapat penghasilan hanya untuk bertahan hidup,” jelas Algamis.

Akan tetapi, lanjut dia, jika kau menyisihkan paling tidak 10% dari pendapatan dan menandainya “bukan untuk pengeluaran”, seiring waktu jumlah itu akan membesar, dan membuatmu mendapatkan uang tanpa perlu bekerja.

Mengikuti nasihat itu, Arkad mulai menabung dan menabung. Tak terasa jumlah simpanannya semkain besar. Algamish yang mendengar cerita sukses Arkad akhirnya mengajaknya untuk menjadi partner bisnis dan berbagi keuntungan dengannya.

Itulah cerita Arkad, yang kemudian terkenal sebagai orang terkaya dari Babylon. Seorang yang memiliki kunci emas untuk membuka gerbang kekayaan yang diimpikannya, yaitu : menyisihkan sebagian pendapatan untuk dirinya sendiri.

Cerita di atas disarikan secara bebas dari buku : The Richest Man In Babylon karya George S. Clason

Baca cerita di atas jadi kaget liat sisa hasil gajian kemarin..

05 October 2010

pidato sang penguasa kota

Suatu pagi, tergesa-gesa sang penguasa kota keluar dari istananya. Ia perintahkan para pengawalnya untuk segera mengumpulkan rakyatnya di alun-alun kota.

”Kumpulkan semua rakyatku di alun-alun jam sepuluh nanti,” titahnya.

Di alun-alun, sang penguasa kota naik ke atas mimbar. Ia tanggalkan mahkota dan baju kebesaran yang biasa ia pakai sehari-hari.
Di atas mimbar ia kuatkan agar bisa berdiri tegak menghadap rakyatnya. Namun, kali ini wajahnya sayu, tak ada lagi kelicikan dikilatan matanya. Tatapnya meredup melemah. Wajahnya pucat seperti wajah manusia di altar pengakuan dosa.

“Saudara-saudara..”
”Rakyatku semuanya..,”
Lantang suaranya menyapa lautan manusia yang berkumpul di lapangan.
Tiba-tiba suara riuh lautan manusia diam.

Kemudian dengan lancar sang penguasa berbicara:

Saudaraku,
Hari ini, kota kita hampir sempurna terkoyak-koyak.
Gedung-gedung kita terendam air banjir
Jalanan kita macet bukan main
Tawuran hampir di setiap kampung
Sampah kita menggunung
Jalan rusak bertambah tiap hari sementara jalan baru tak rampung-rampung
Sementara korupsi tak terbendung

Sadaraku, berpuluh tahun yang lalu aku berdiri persis di sini. Di hadapan kalian semua. Waktu itu, Aku mengaku sebagai ahli. Ahli dari segala ahli. Lalu aku berjanji bahwa aku bisa membenahi semrawut kota yang tercinta ini.
Akan memperbaiki semua yang rusak.

Namun, hari ini. Kalian pasti lebih teliti dengan apa yang aku capai hari ini. Karena memang tak ada kemajuan dari kota ini yang aku perbaiki, meski satu inci.
Aku Gagal sepenuh-penuhnya gagal..

Sekarang mesti aku akui. Aku memang bukan ahlinya
Keahlian saya sama seperti keahlian kalian semua
menghabiskan uang untuk bersenang-senang.

Jadi, sekarang tergantung kalian. Kalian lah hakimku hari ini. Nasibku penuh di tangan kalian.

Begitu pidato Sang Penguasa. Tidak seperti biasa yang berkhutbah panjang dan bersilat lidah mengelak tudingan.
wajah Sang Penguasa kota terlihat pasrah. Tak ada lagi yang bisa dilakukan, menyerah bahkan bila harus di amuk.

Namun anehnya tak ada yang protes. Tak ada yang teriak rakyatnya diam memaklumi.

Lalu terdengar bisik di ujung lapangan. Lalu riuh bisik-bisik bergeser ke tengah, ke samping ke seluruh lautan manusia di lapangan. Dari belakang sayup-sayup terdengar teriakan.
Lalu lantang menggema di lapangan serempak mereka bersepakat memberikan restu.
Satu restu:
”Lanjutkan..”
”Lanjutkan...!!”

Manusia berputar mengelilingi podium, sambil melafalkan mantra

Lanjutkan..
Lanjutkan...!!
ram ram ra ra ra ram
ca ca caca ra ram

01 October 2010

Telinga Wakil Rakyat

Entah terbuat dari apa sebenarnya telinga wakil rakyat kita itu?
Dari kuping wajan? Tidak mungkin.
Dari kuping panci? Ah, jawaban ngawur.

Saya yakin telinga para wakil rakyat bukan dari kuping wajan ataupun kuping panci. Saya yakin, karena saya pernah melihat telinga para wakil rakyat dengan mata kepala sendiri. Baik di teve maupun langsung di Senayan sana.

Dari hasil ketemuan tersebut, saya yakin tidak ada wakil rakyat yang kupingnya seperti kuping wajan atau kuping panci. Kuping mereka seperti kuping saya dan juga anda. Memang ada yang bentuknya kecil kayak kuping cupang, ada juga yang lebar kayak gajah. Namun semuanya normal. senormal-normalnya telinga manusia normal.

Tapi entah kenapa wakil rakyat seolah tidak pernah mendengar suara dari rakyat yang diwakilinya. Contohnya, meskipun sudah dikritik habis-habisan terkait studi banding ke luar negeri, misalnya, mereka nekat juga pergi ke Afrika Selatan. Meskipun sudah di kritik di Koran dan teve karena menghamburkan uang rakyat, mereka dengan pede nya berkelit:

“Ini merupakan tugas dari Negara yang harus dilakukan. Jika mundur atau tidak jadi berangka, berarti telah lalai dari tugas. Dan itu berarti telah mengkhianati amanah dari rakyat yang telah memilih kita,” katanya.

Aih, padahal saya gak pernah tuh mengamanahi mereka untuk pelesiran gak jelas pake uang rakyat.
belum selesai teriakkan kemarin. eh, sudah berjajar agenda wakil rakyat kita untuk pelesiran ke luar negeri.
denger-denger Swiss, China dan India negara yang akan dituju sampai akhir tahun ini.

***
Lalu, kalau bukan dari kuping panci dan kuping wajan, kenapa seolah menreka tidak bisa mendengar suara rakyat? Atau mungkin mereka itu tuli atau budek?

Saya ragu jika mereka budek.
Pasalnya, setiap saya ngobrol dengan mereka, para wakil rakyat, mereka ini bisa menjawab dengan baik pertanyaan dari saya. Jadi tentu tidak budek kan. Begitupun kalau ngobrol. mereka bercakap-cakap layaknya orang normal.
Lagian kalau budek, gak mungkin kan para wakil rakyat ini bisa lolos ke senayan. Pasti KPU sudah mendiskualifikasi caleg-caleg yang budek. Soalnya, bagaimana mereka bisa bekerja jika budek.

Padahal pekerjaan utama wakil rakyat adalah mendengarkan aspirasi rakyat yang diwakilinya.

Orang bijak selalu bilang manusia dianugerahi dua telinga dan satu lidah agar manusia lebih banyak mendengar dari pada berbicara.

Namun si pandir selalu berkelit. Manusia diberi dua telinga tujuannya cuma satu, katanya. Tujuannya tak lain agar mereka mengacuhkan apa yang mereka dengar. Karena Sebelah telinga untuk mendengarkan, sebelah lagi untuk mengeluarkan apa yang baru didengarnya.

Selamat berakhir pekan. :)

29 September 2010

beasiswa S2



yang menyemai angin akan mendapatkan badai.
yang menanam kebaikan akan memanen kebaikan..

kita lihat apa hasilnya setahun atau dua tahun ke depan.

16 September 2010

nasihat si buta tentang lafadz Allah yang menggantung di langit




Malam itu, terjadi keajaiban. Ketika malam mulai menyelimutkan gelapnya, tiba-tiba di langit yang biru, gumpalan awan putih, membentuk lafadz Allah.

Hanya satu lafadz. Lafadz yang kadang, demi toleransi hidup bersama, sering berganti nama menjadi ‘tuhan’ atau ‘yang di atas’. Kini lafadz tersebut menggantung tepat di atas bulan sabit langit Sumatera.

Manusia terpana. Ternganga.

Malam berikutnya keajaiban kembali terjadi. Lafadz Allah kembali terukir tepat di tempat sebelumnya.

Manusia terpana. Ternganga. Gempar.

Meteorolog dari berbagai penjuru negeri memeriksa fenomena tersebut. Prakiraan dipaparkan. Perhitungan dirumusakan. Model X, Y, Z dikontruksi. Namun tak ada yang bisa menjelaskan keajaiban tersebut.

Tergesa-gesa diskusi digelar, talk show diadakan, foto dan video didokumentasikan dan di upload ke ranah maya. Di koran-koran menjadi berita utama. D twitter menjadi trending topics. Gempita.

Di masjid, mereka yang telah lama beriman pada seutas rambut dibelah tujuh bersyukur. Bersujud. Allah?

Di jalan-jalan, orang berkerumun takjub menyaksikan keajaiban tersebut. Di tanah lapang mereka berkumpul membagikan Al-Qur’an.

Malam demi malam keajaiban tersebut terjadi. Tiap malam, awan putih seolah mengerti tugas mereka : membentuk lafadz Allah.

Sampai suatu malam seorang buta yang hanya berjalan lewat tuntunan tongkat melewati mereka yang berkerumun. Ia menyeret kakinya dan mengacuhkan segala decak kagum manusia di sekitarnya.

Orang-orang heran. Melihat si buta tak menjadi bagian dari mereka yang terkagum-kagum.

“Hai buta, tidakkah kau rasakan keajaiban ini?” tukas seorang.

“Ada lafadz Allah di langit sana. Tidakkah kau rasakan,” sahut yang lain.

“Berhentilah di sini. Biar kuceritakan padamu bagaimana indahnya lafadz Allah yang terlukis di langit sana,” tambah yang lain di antara kerumunan.

Si buta yang tak pernah terperdaya oleh indah warna-warna dan tak pernah terpukau oleh rupa, menjawab.

“Emang kenapa kalau Allah ada. Terus kenapa kalau Allah hidup dan menciptakan langit bumi dan seisinya”.

“Tapi, sudahkah kita menjalani hidup sehari-hari seolah Allah ada?” tandasnya.

Semua diam.



Selamat I’dul Fitri semuanya.

Mohon maaf lahir dan batin.

::

cerita di atas terinspirasi dari berita tentang lafadz Allah.

Beritanya ada di sini: http://www.jpnn.com/read/2010/09/15/72220/Lafadz-Allah-Muncul-di-Langit

04 September 2010

Wawancara Imajiner dengan Sang Wakil Rakyat


Kemarin, saya terlambat datang pada acara sosialisasi gedung DPR yang baru. Maklum saja, saya bangunnya kesiangan. Sampe DPR baru jam satu siang. Akhirnya gak dapat apa-apa. Untunglah secara gak sengaja saya ketemu dengan wakil rakyat. Gak pikir panjang saya minta waktunya sebentar untuk wawancara mengenai gedung DPR yang baru.

Karena bingung saya gak sempat bikin beritanya. Cuma ada data mentahnya saja. Berikut rekaman wawancaranya:


Saya tuh heran, kenapa kok wartawan dan media itu terlalu membesar-besarkan gedung DPR yang cuma Rp 1.6 triliun ini. Padahal kan, banyak kantor media apalagi kantor BUMN yang lebih bagus dan lebih mahal dari gedung DPR yang masih dalam tahap pembangunan ini.

Lagian kan tingginya cuma 36 lantai. Cobalah anda main-main ke kawasan Sudirman sana. Di sana, malah banyak gedung yang lebih tinggi. Hampir semuanya 30 lantai ke atas. Masa gedung DPR yang namanya wakil rakyat gedungnya kalah tinggi. Padahal sudah jelas-jelas kalau di negeri ini disebutkan bahwa suara rakyat adalah suara tertinggi. Bukannya suara pengusaha atau suara pedagang kayak di kawasan Sudirman sana.

Jadi, menurut saya, langkah membangun gedung yang tinggi itu langkah yang tepat. Sehingga dalam gedung tersebut tercermin bahwa suara rakyat adalah suara tertinggi di negeri ini.

Mangkanya itu, rakyat seharusnya bangga. Karena cuma di negeri ini suara rakyat dijungjung tinggi dan termanifestasikan dalam betuk sebuah gedung.

Lagian kalau masyarakat belum bisa memperlihatkan kesejahteraannya jangan banyak ngoceh. Diam saja. Kita bantu masyarakat untuk memperlihatkan kesejahteraan negeri ini kepada dunia. Caranya tak usah repot-repot. Simpel saja, cukup dengan menunjukkan kesejahteraan wakil-wakil rakyatnya kepada dunia. Salah satunya yah memperbagus tempat bekerja para wakil rakyat.

Kalau wakilnya sejahtera, otomatis kan pandangan dunia menganggap orang-orang yang diwakilinya juga sudah sejahtera.

Makanya itu, untuk memperlihatkan kesejahteraan para wakilnya, saya berharap di Gedung DPR yang baru itu nanti ada kolam renang, tempat lobi antar fraksi. Tempat rekreasi, ada karaoke. Tempat spa. Ruang kerjanya diperluas.

Dikira enak apa kerja di DPR. Duduk lama-lama tanpa ngomong, kayak kambing congek. Gaji gak seberapa. Capek tau!
Lagian kan dari pada uangnya habis buat spa dan renang di hotel mendingan uangnya dikelola sama koprasi DPR. Jadi uangnya kembali ke kita-kita juga.

Makanya wartawan dan masyarakat jangan asal ngomong. Jangan asal tuduh. Jangan banyak mengeluh. Bilang kita keterlaluan lah. Kerja gak bener. Korupsilah. Padahal uang Rp 1.6 triliun ini buat bangsa dan negara juga.

Menurut saya, orang-orang yang menolak gedung baru DPR harus dicurigai sebagai anti pembangunan. Bisa jadi menolak ideologi pancasila juga. Berbahaya kalau terus dibiarkan. Kita nanti akan desak polri untuk menindak orang-orang yang anti pembangunan.

Berbahaya jika dibiarkan berkeliaran. Bisa mengancam disintegrasi bangsa.
Ya sudah, gituh ajah dulu yah. Udah lapar nih. Belum makan. Mau makan dulu.

*saya baru nyadar inikan belum waktunya berbuka.



Anda liat baik-baik fotonya. Megah bukan?

28 August 2010

Kamu adalah Stiker di Sepakbor motormu

Selalu saja ada cara untuk berkomunikasi dengan liyan. Mulai dari update status di facebook, berkicau di twitter, pakai pin di baju, pasang atribut, atau cuma sekedar pasang stiker di spakbor belakang atau kaca belakang mobil (jika anda punya mobil tentunya).

Pesan yang terkandung dari komunikasi tersebut pun beragam adanya. Dari satu pernyataan pribadi akan sesuatu yang dianggap penting, cara bilang bahwa kita adalah bagian dari satu komunitas yang lebih besar sampai sekedar mengutarakan simpati (atau antipati) terhadap satu ide.

Dunia tempat kita hidup memang sudah serba bising. Semua bersama-sama berebut corong bicara ke khalayak ramai. Hidup di dunia yang semacam ini, punya satu cara untuk menyatakan diri mungkin memang jadi penting.

Satu hal yang sering saya catat dan sengaja saya catat adalah cara komunikasi manusia lewat stiker yang menempel di spakbor belakang. Di Jakarta, juga di kota-kota lain yang sering macet, stiker yang menempel di spakbor belakang memang cara efektif untuk berkomunikasi. Sebab, kemacetan dan antrian yang mengular bisa dengan mudah pengendara motor dibelakang untuk melihat stiker yang ada didepannya.

Dari hasil penyelusuran, saya golongkan beberapa stiker yang menempel di kendaraan yang saya temui.

Pertama, stiker yang isinya bilang bahwa si empunya motor adalah bagian dari satu komunitas besar. Biasanya tertempel nama universitas tempat dia kuliah, tempat perusahaan dia bekerja, atau profesi si empunya motor. Biasanya isi stiker ini bunyinya, Universitas Indonesia, Bank Indonesia, atau Press.

Kedua, stiker yang isinya peringatan atau warning untuk hati-hati. Stiker ini isinya mewanti-wanti pengendara yang ada dibelakangnya. Misalnya: Awas Nabrak, Hati-Hati Jangan Ngebut, Kau Aman di Belakangku, Motor Aparat- Jangan di Maling. Atau kadang isinya seruan untuk beribadah. Sholat dan Tilawah. Dll..

Yang ketiga, saya masukkan dalam kategori provokasi. Stiker ini lebih keras isinya karena berani mengutarakan antipati terhadap satu ide

Misalnya, Yang Lambat Pasti Ketinggalan.
Atau yang punya motor matik: Hari Gini Oper Gigi- Cape Deh, atau sengaja bermain pantun. tapi isinya tetap saja kebanggaan naik matik: Kain Batik Burung Gelatik Motor Matik Pacar Cantik.

Balasannya pun tak kalah sengit. Lelaki Sejati Pasti Oper Gigi,atau sindiran halus: Motor Gak Pake Gigi-Nenek Gue Kali.
Ada juga yang lebih mawas diri. Lebih Baik Oper Gigi Dari Pada Oper Kredit. Haha..

Namun, dari semua itu, yang bikin saya terkagum-kagum adalah isi gantungan yang ada di bawah ini:

17 August 2010

Terjajah di momen kemerdekaan

Hari Selasa. 17 Agustus. Perempatan belakang Kejagung tampak begitu tenang hari ini. Tak terlalu macet. Mungkin karena hari libur batinku.

Tapi, tiba-tiba raungan serine memecah kesunyian jalanan. Satu motor menghadang lalu lintas di lajurku. Lalu dengan cepat belasan mobil melintas dengan kecepatan tinggi. dengan klakson menghentak dan menghardik. dengan seenaknya menerobos lampu merah yang sedari tadi menyala.

Saya coba ikuti. Ingin tahu siapa punya ulah di hari kemerdekaan sekarang ini. tak ada identitas. Namun dari beberapa mobil terpasang sticker yang sama di kaca belakangnya. Selintas terbaca Low Brain. Siapa pula low brain ini, pikirku.

Sampai di Jalan Asia-Afrika konvoi mobil bergabung dengan puluhan konvoi sepeda motor. Beberapa pemuda berseragam sekolah SMA terlihat menghentikan arus lalu lintas dengan kibaran bendera.

Serine terus meraung dari beberapa mobil. Klakson-klakson terus menghardik motor atau mobil yang menghalangi jalan mereka. Puluhan motor dengan penumpang berpenampilan seragam tampak sumringah sembari mengibar-ngibar bendera. Tak ada helm. Hanya berbekal atribut merah putih dan bendera. Merah putih begitu semarak. Terus dikibarkan untuk menghadang laju mobil dari simpang yang lain.

Inikah saat yang tepat untuk merasa bangga? Momen kemerdekaan yang nyata? Ketika sang saka begitu digdaya ditinggikan? Lalu kenapa perasaan yang spontan muncul dalam benakku justru umpat dan despise?

16 August 2010

Gegar Budaya di Jakarta

Kalervo Oberg, ekonom Kanada yang kemudian hari jadi anthropolog, suatu kali bikin istilah 'culture shock', atau 'gegar budaya'. Istilah tersebut ia gunakan untuk membahasakan kekagetan dan kekikukan seseorang dari satu budaya kemudian bersua atau hijrah ke tempat dengan budaya berbeda.

Gegar budaya. Culture shock. Itulah kata yang mewakili keadaan saya beberapa waktu belakang ini. keadaan yang menggambarkan keadaan saya yang tergagap-gagap dalam menjalani hidup sesehari di Jakarta.

Untungnya, tak hanya saya yang pernah mengalami gegar budaya seperti ini. Jutaan orang yang tinggal di Jakarta tapi berasal dari ruang budaya lain pun mungkin pernah mengalami hal yang saya alami. Maklum saja, menurut saya, Jakarta memang menyimpan auranya sendiri. Menawarkan kemewahannya sendiri. Kesemrawutannya sendiri. Tantangannya sendiri. Dan, tentu saja, menampilkan kekumuhannya yang khas juga.
Sebab itu, orang dari berbagai sudut negeri ini, akan dengan mudah tergagap-gagap begitu pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta.

Karena itu, saya sering mendapatkan diri ini terngugun sendirian di hadapan kesemrawutan Jakarta. Tercenung di kemewahan Jakarta. Terheran-heran dengan logika yang digunakan dalam interaksi dengan yang liyan. Logika dingin yang terkadang tak kenal pertimbangan familial. Hubungan antar sesama yang terasa asing. Dengan mudah bertemu orang dari berbagai tempat di negeri ini untuk kemudian hilang entah ke mana.

Satu gegar budaya yang menarik yang saya alami adalah tersesat di belantara Jakarta. Untuk dua minggu atau tiga minggu pertama saya di Jakarta, hampir setiap hari saya kesasar, tersesat. Muter-muter di sepanjang jalan Sudirman-Thamrin. Maksud hati ke Kebayoran Lama, tiba-tiba saya temukan diri ini sudah di jalan menuju Tangerang. Mau pulang ke Depok, eh, sudah mau ke Banten. Mau ke Liga Mas Pancoran.. tiba-tiba sudah ada ada di semrawut Pasar Minggu. Fiuh.. dan lain-lain dan lain-lain. Padahal saya sudah sedia dengan peta Jakarta yang saya persiapkan jauh-jauh hari. Peta tetap saja peta. Tidak mengaggambarkan suasana bumi yang sebenaranya.

Gegar budaya yang menarik lainnya adalah ketika memasuki Sudirman Central Business District (SCBD). Di sana, saya bukan saja merasa menjadi alien. Tapi saya merasa datang ke tempat yang asing sama sekali. Bukan hanya dengan teknologi yang ada di sana. Tapi juga manusia yang berulang-aling, keluar masuk gedung pencakar langit, Bertemu manusia dengan pakaian yang hampir sama..

Pekerjaan saya memang memungkinkan saya untuk menghadiri undangan-undangan dari kantor yang berada diperumahan yang biasa-biasa sampai diskusi di hotel berbintang-bintang. (Untunglah pekerjaan saya tak menuntut saya untuk bangun pagi-pagi. Tidak menuntut pakaian yang resmi. Celana jeans dan kaos oblong pun jadi  ).

Yang menarik, dari pengalaman keterasingan serta kegagapan budaya macam di atas tadi adalah kesadaran bahwa lama-kelamaan makin mirip siputlah saya ini: ternyata rumah saya menempel di punggung sendiri dan terus menerus dibawa kemana-mana.
Apalagi kalau bukan disebut siput namanya. Ketika saya datang ke suatu tempat namun tak bisa untuk berbagi sepenuh asumsi akan hidup dan kehidupan dengan sebagian masyarakatnya. Masih pantaskah tempat tadi disebut tempat tinggal? Jika masih terasa terasing dengan dera putar kota beserta nilai, rasa, norma dan pemikiran di dalamnya.

Ah, mungkin pada tingkat tertentu kita adalah siput-siput yang membangun rumah di punggungnya sendiri. Rumah yang dindingnya adalah asumsi akan makna. Asumsi sendiri terhadap manusia dan komunitas. Asumsi yang terus menerus kita bolak-balik dan putar-sesuaikan dengan budaya asal-asul.

12 August 2010

Interview With Keong Racun

Wawancara dengan pejabat dinegeri ini sungguh merepotkan. Sebab yang dibicarakan adalah ideologi politik yang seakan-akan maha penting. Padahal, omongan mereka sungguh tidak menggerakkan negeri ini ke tempat yang lebih baik sedikitpun. Bagaimana mau lebih baik jika kata-kata yang keluar dari mulutnya sampah semua. Kebohongan melulu.

Jadi, bisakah wartawan menjadi jujur padahal sumber beritanya jelas-jelas ngibul?

Tentu susah. Maka dituliskanlah kebohongan tadi dengan dipotong sana-sini. Dimodif bahasanya yang carut marut. Diperbaiki lalu dipoles hingga terbaca sebagai sesuatu yang penting. Karena sungguh, jika tidak diperbaiki di sana-sini, pasti dengan mudah pembaca mengenali tulisan omongan tersebut sebagai sampah.

Setelah laik baca, maka kebohongan dicetak dan simsalabim sampailah kebohongan tadi di meja anda. Lalu Anda membacanya dengan semangat seakan membaca sesuatu yang penting. (siapa yang menyedihkan sebenarnya? hehe)

Ah, Sungguh melelahkan.. membosankan wawancara seperti itu.

Untunglah saya mempunyai hari libur. Hari yang bisa digunakan untuk otak saya berpikir tentang kejujuran. Berjalan-berkeliling untuk bertemu dengan senja yang tak pernah mungkin berbohong.

Sampai suatu hari, dihari libur, tak sengaja saya bertemu dengan Keong Racun. Anda pasti sudah kenalhewan ini. Hewan yang namanya mendadak terkenal seantaro jagad karena jadi judul sebuh lagu.

Setelah meminta izin untuk wawancara, tanpa basa-basi saya berondong si Keong Racun dengan pertanyaan-pertanyaan.Saya senang wawancara dengan si Keong Racun, karena saya tahu jawabannya bukan sampah.Si Keong Racun tak punya otak. Tak mungkin ia berbohong.

Berikut kutipan wawancaradengan Keong Racun:

"Bung Keong Racun, bagaimana kabarnya sekarang?"
"Iya.. baik-baik saja. Meski gak sebaik dulu."
"Lho..memang keadaannya sekarang seperti apa?"
"Sekarang sungguh repot. Menjadi terkenal sungguh gak nyaman."

"Maksudnya?"

"Sekarang hidup tidak tenang. Karena banyak yang nyari. Denger-denger katanya mau untuk dijadiin menu makanan baru di restoran Cina dan Jepang. Belum lagi yang nyari-nyari karena mau balas dendam."


"Dijadiin makanan?"

"Iya. Kami sekarang diburu di mana-mana. Yang di laut, lautnya dikeringin. Yang sembunyi di sungai, sungainya dikuras. Yang hidup di hutan. Hutannya digunduli. Sekarang populasi kami tinggal beberapa ratus ribu lagi."

"Kalau yang mau balas dendam karena apa?"

"Iya.. Manusia-manusia yang ada di lirik lagu keong racun itu, denger-denger mereka terhina dan tak terima karena disamain dengan kaum keong racun. Padahal yang sungguh terhina itu saya, kaum keong racun. Masa disamain sama manusia bejat. Masa dijadikan istilah lelaki gituan."

"Apakah Bung Keong Racun kecewa?"

"Kecewa sih iya. Ko ya..bisa disamain sama gituan. Kalau yang baik-baik saya pasti senang. Saya kok heran. Manusia itu kok bisa-bisanya nyari kambing hitam."

"Lalu kalau merasa jadikambing hitam, apa tindakan Bung KeongRacun?"

"Yaa.. gimana lagi. Mau demo kan gak gak mungkin. Mau lapor ke Komnas HAM juga gak mungkin. Mau nuntut karena pencemaran nama baik, pasti diketawain. Yah.. sudah. Kami nerimo ae. Terima saja. Pasrah. barangkali saja ini sudah kehendaknya gusti. Padahal meski kami gak berotak kami kan masih sama-sama ciptaanTuhan."

"Anda kok baik Bung Keong Racun?"

"Yaaa.. mungkin karena cita-cita saya dulu pengen jadi wartawan."

14 July 2010

Don't Judge The Book From It's Price (hehe)

Punya teman aktivis kadang memang membosankan. Bukan karena ia pelit atau sombong. Namun mereka ini saya sebut termasuk kaum yang rada-rada susah banget kalau diajak jalan-jalan apalagi janjian buat senang-senang. Saya ingat betul betapa susahnya jika mau ngajak teman aktivis ke toko buku, pasar minggu, futsalan, kemping, atau nonton.

Ketika tawaran diajukan spontan teman-teman saya ini mikir atau melirik agenda.
“Entar yah liat dulu agenda.”
“Besok bisa sih. Tapi cuma bisa datang sebentar. Soalnya jam 9 sampai jam 12 ada acara.”

Saya maklum, jadwal kuliah yang padat ditambah bejibun masalah organisasi tampaknya tak bisa membiarkan sedikitpun waktu terluang untuk mikirin orang lain apalagi hepi-hepi.
Makanya sedari itu saya selalu bersiap sedia jika ada orang mengajak jalan –kemanapun itu- walaupun mendadak. Buat saya spontanitas adalah sisi humanisme manusia yang harus dipertahankan. Karena kita bukan robot yang selalu tertataagendakan dengan program.

Namun pandangan miringku tentang betapa membosankannya aktivis kini berubah. Satu siang di panasnya Jakarta telepon genggamku bergetar lirih. Pesan singkat dari sahabatku di Malang rupanya. “Bang, ada buku keren bgt di gramed...”, katanya. Saya balas. Tak lama berselang handpon saya berkedip kembali. “Jakarta-Paris via French Kiss Syahmedi Dean. Ttg wartawan n fashion editor. Di lelang Cuma 10 rb,” lalu katanya, akan dibelikannya satu buku itu buatku. Ah, jarak 800 kilometer tampaknya bukan apa-apa lagi. Berita hangat, sapa akrab, salam kangen, toh masih bisa dipertukarkan.

Namun yang bikin terngungun adalah karena teman saya ini ingat apa yang saya suka. Tentang buku, wartawan, dan dibelikannya satu buku itu. Saya berterima kasih benar karena dia sudah mengingatku, mengingat apa yang ku suka, dan mau direpoti tentang remeh temeh pengiriman.

“U r welcome,” katanya lewat sms.

Ah, kita memang selalu punya cara-cara tersendiri untuk mengekspresikan kedekatan dan persahabatan kepada orang-orang di sekeliling. Seperti temanku satu ini, yang mau menyempatkan diri melakukan sesuatu yang sederhana buat seseorang lain di kesibukannya yang padat. Sekedar bilang ‘hai’, sekedar menawarkan “ada buku bagus di gramed nih, cocok banget buat lu. Mo dibeliin?’.
Aih..

Hal sederhana apapun itu memang tak pernah gagal jika dilakukan sepenuh hati.

_______
untuk Erik Marangga.

09 July 2010

Jurnalis dan Sainstis

Apa persamaan wartawan dengan saintis?

Jawabannya memang bisa apa saja. Tapi saya memilih jawaban dari wartawan senior Tempo, Amarzan Lubis, yang menurut saya agak-agak filosofis. ”Keduanya sama-sama hidup dari pertanyaan,” ucapnya.

Pertanyaan seperti apa? Inilah pencarian saya tentang tanya menanya tersebut.

Karl Popper, seorang filsup ilmu asal Vienna pengusung teori deduktivisme, menilai bahwa yang bikin sains spesial adalah karena sains berasal dari serangkaian proses pertanyaan yang kritis. Maka, tidak bisa tidak, seorang saintis harus selalu kritis. Artinya harus selalu meragukan dan mempertanyakan segala asumsi. ”Criticism is heart of scince,” kata Karl.

Namun akibatnya, sains deduktivitas adalah perjalanan menggelisahkan tanpa akhir. Karena semua harus dikritisi, diselidik ulang, dan dinyinyiri kembali. Lantas, kapan akan membuat alat pendeteksi ikan di laut misalnya, jika ilmu tentang ikan (ikhtiologi) dan tingkah laku ikan saja, masih dipertanyakan. Inilah yang menyebabkan sains-nya deduktivisme minim akan guna praktis.

Setelah Popper, datanglah Kuhn. Ia datang dengan paradigma baru akan sains. Bahwa sains, kata dia, adalah perjalanan dengan beberapa fase. Ada saatnya satu asumsi meski terus dipertanyakan dan terus diusik. Tapi, ketika asumsi sudah ditetapkan maka sains tidak boleh lagi tanya-tanya apalagi megusik asumsi yang sudah ditetapkan.

Sains harus berjalan melanjutkan ketataran praktis untuk membuat produk praktis dari teori yang sudah diterima. Disinilah seorang yang bekerja dalam sains mesti punya intuisi dan logika yang tanggap kapan ia berhenti bertanya kapan ia terus menerus menelisik.
“Science is self evolving,” meurut Kuhn. Tapi di sini juga orang menjadi semi dogmatis. menerima apa yang sudah ditetapkan tanpa bertanya-tanya kembali.

Lalu apa hubunganya dengan seorang jurnalis?
Jurnalis rada-rada mirip dengan seorang saintis dalam hal tanya menanya. Malah yang dibutuhkan seorang jurnalis bukan hanya kritis, tapi ia juga harus memandang skeptis terhadap sesuatu. Nah lho?!

Tom Friedman, seorang jurnalis New York Times, mengartikan skeptis dengan sikap mempertanyakan segala sesuatu, ragu atas yang diterima, dan mewaspadai segala kepastian supaya tak mudah ditipu. Berbeda dengan sinis. Sinis adalah penolakan karena seseorang sudah yakin atas jawaban yang dimilikinya terhadap sebuah kejadian.

Tapi masalahnya saya belum tahu kapan seorang wartawan harus terus bertanya dan berhenti bertanya. Kapan harus terus menggali dan kapan kudu berhenti.

Kenapa ini penting? Karena terlalu lama dalam sikap sekeptisme bisa dilihat sebagai bentuk kepengecutan. Karena seorang skeptik senantiasa berani bertanya, tanpa pernah berani melempar jawab final. Jawaban final adalah tabu bagi seorang skeptik. Namun justru di sanalah ia jadi seorang pengecut.

30 June 2010

Tak Ada Puisi Di Jakarta

Jika disuruh memilih tempat kerja. Saya pastinya tidak akan memilih Jakarta sebagai tempat kerja. Malang pasti jadi prioritas, selanjutnya mungkin Jogja. Surabaya masih mungkin, tapi tidak Jakarta. Jakarta tak pernah benar-benar saya rencanakan.

Tapi ujian hidup kadang adalah hal yang paling dekat dengan apa yang diinginkan atau tidak diinginkan seseorang. Misalnya saja, Ibu saya adalah orang yang benci sama wartawan. Saya pun memaklumi kebenciannya. Meskipun yang ia benci adalah wartawan amplop. Wartawan yang datang ke rumah-rumah atau kantor hanya untuk minta disangoni. Tapi anggapan ibu saya terlanjur digeneralisir: Semua wartawan sama saja. Ia pun benci. Tapi, kini justru anaknya yang menjadi batu ujian hidupnya: anaknya seorang jurnalis.

Manusia memang hanya bisa berencana, sedang tak ada kuasa apa-apa untuk memutuskan hasilnya.

Kenapa saya tak berniat kerja di Jakarta?
Banyak alasan yang bisa saya masukkan dalam daftar tersebut. Mulai dari cuaca, keamanan, biaya hidup sampai ancaman banjir dan lain sebagainya dan lain sebagainya. Tapi kiranya yang paling menjadi urutan nomor satu adalah karena saya menganggap Tak Ada Puisi di Jakarta.

Tak ada puisi di Jakarta.
Itu kesimpulan pertama yang saya alami ketika beberapa kali mengunjungi ibu kota dan kemudian menjadi keyakinan. Manusia yang selalu tergesa, terdera jadwal kehidupan yang ketat. Terburu-buru nyaris monoton. Beton, gedung hanya menjanji beku tak bersahabat. Kursi besi halte yang mengkilat menawarkan sepi. Tiap hari terjadwalagendakan pasti. Hilang sudah keterkejutan. Di Jakarta lah kiranya tempat yang tepat untuk mengasingkan diri dari diri sendiri.

Untunglah manusia mempunyai kemampuan untuk beradapatasi. Untuk menyesuaikan diri. Seperti selalu ada kemungkinan untuk mengeraskan kulit ari. Tapi kulit ari yang keras kadang kehilangan sensitifitasnya jika tidak dilatih.

***
Tiga hari yang lalu saya sengaja menatap mentari senja. Saya baru sadar kalau dari atas sini senja bisa begitu indah dinikmati. Hampir tiap hari saya di ruangan ini namun baru saya sadari hari itu. Dari lantai sembilan, matahari terbenam adalah bukan sesuatu yang sulit ditemui.

Saat menatap senja itu. Lama-lama. Lekatlekat. Hati saya bergumam, betapa hal-hal yang kecil bisa membangkitkan kenangan-kenangan besar dalam dirimu. Saya ingat Malang, ingat rumah, dan perjalanan hidup.

Tiba-tiba seorang teman kerja menghampiri. Heran tampaknya melihat saya bengong.
"Ngapain lo?," katanya.
"Bengong ajah kayak gak ada kerjaan?," vonisnya .
Aih... Jakarta. pikir saya.
Untunglah teman saya kemudian melanjutkan sebuah pertanyaan yang merubah pandangan saya itu.
“Udah makan belum lo? makan yuk!”

Singkat dan sederhana. Hanya bertanya sudah makan apa belum.
Tapi mungkin inilah cara sederhana orang Jakarta dan mungkin orang lain diseluruh jagad untuk mengekspresikan afeksi di dera putar hidup yang ketat. Sekedar bertanya “udah makan belum? Makan bareng yuk!”

Entahlah. Mungkin saya saja yang sedang ke-ge-er-an.

22 June 2010

Ehsan

Namanya Ehsan, bukan nama asli, tapi sebut saja begitu. Saya gak kenal Ehsan secara pribadi. Ia pun gak kenal saya. Ia saudara, entah apa, dari iparnya paman saya.
Ehsan remaja sekolah menengah di pondok pesantren Gontor. Setelah lulus Ehsan mendapat beasiswa untuk melanjutkan sekolah di LIPIA. Tak sampai di sana, setelah meraih gelar LC pun ia mendapat kesempatan beasiswa untuk belajar S2 di Pakistan. Ketika akan belajar ke Pakistan sana decak kagum dari teman-temannya menyertai keberangkatannya. ”Wah hebat.. terjamin sudah masa depannya”, ”Beruntungnya dia” timpal yang lain.

Konon kabarnya lulusan LIPIA saja sudah jadi rebutan instansi dam universitas-universitas Islam di Indonesia. Ditambah S2 di Pakistan dengan lancar berbahasa Inggris dan Fasih bahasa arab pastilah mudah untuk mendapat gaji berbandrol tinggi di lembaga pendidikan bergengsi.

Memang benar, setelah mendapatkan gelar MA-nya, Ehsan menjadi pengajar di salah satu universitas terkemuka di Malaysia. Namun tak lama mengajar di sana, Ehsan pulang ke Indonesia. Ayahnya sakit. Setelah sembuh Ehsan tak kembali ke Malaysia atau mengajar di universitas terkemuka lain di Indonesia. Ia memilih untuk mengajar sekolah agama di kampungnya dan terlibat memajukan pendidikan di kotanya. Tak ada gengsi yang mentereng, gaji pun kecil. Banyak yang terbengong. ”Kalau cuma untuk ngajar di sekolah agama mah gak usah harus ke LIPIA, pesantren lokal saja juga bisa, malah bisa lebih tinggi” celetuk yang satu, ”Ngapain sekolah tinggi-tinggi sampai jauh-jauh kalo jadi guru agama?” celetuk yang lain.

Komentar sinis, cemooh, bahkan simpati yang seperti bela sungkawa terdengar menyertai keputusannya. Seolah Ehsan telah membuang waktu percuma untuk ”belajar jauh-jauh dan tinggi-tinggi” cuma untuk mengajar sekolah agama di kampungnya.

”Merawat ayah dan ingin berkontribusi lebih banyak untuk memajukan kampung” komentar Ehsan melatari keputusannya. ”..soalnya ayah dulu sudah berpesan untuk bisa memajukan kampung”.

Kontribusi ke kominatas yang lebih luas, dibanding masa depan dan kantong pribadi. saya pikir layak memang untuk lulusan seorang yang berpendidikan tinggi mengambil keputusan yang tak bisa dinalar oleh logika kebanyakan. Pada akhirnya, banyak dari kita ”sekolah jauh-jauh dan tinggi-tinggi” cuma untuk meluaskan pandang macam ini. Melepaskan diri dari belenggu kepentingan sempit sesaat.
Go!! Ehsan!!

27 May 2010

jurnalis


Esai di bawah ini saya tulis sebagai syarat kelengkapan lamaran reporter Republika. Tapi berhubung gak jadi ngelamar, saya pajang saja di sini. Esainya sendiri bertemakan alasan kenapa ingin jadi reporter dengan tak lebih dari 2000 karakter. monggo disimak.

Jurnalis: Keberanian Menyuarakan Kebenaran

Seingatku, waktu kecil, tak ada entry jurnalis dalam cita-cita hidupku. Impian saya saat itu simpel saja: ingin menjadi seorang Insinyur. Cita-cita yang lumrah bagi anak-anak di desa saya. Kalau tak dokter, ya insinyur. Meski sebenarnya, kala itu, saya tidak tahu apa artinya insinyur.

Namun perjalanan hidup bercerita lain. Di usia 18 saya hijrah ke Malang. Masuk ke Fakultas Perikanan di Universitas Brawijaya. Di sana saya untuk pertama kali bersentuhan dengan organisasi. Saya pun jadi salah satu roda penggerak di KAMMI. Di situlah saya kemudian terlibat pada bidang media jurnalis. Profesi yang berbeda jauh dengan bidang studi yang saya geluti saat itu: Perikanan.

Tapi buat saya, belajar pada satu bidang tertentu di universitas tidak berarti mesti mengikatkan diri pada bidang tersebut selamanya. Pendidikan yang diperoleh saat kuliah adalah disiplin belajar dan metode berpikir kreatif serta kesempatan menimba pengalaman seluas-luasnya. Pendidikan yang sebenarnya bisa juga dipelajari di luar universitas. Bedanya cuma satu, kalau dulu saya belajar di luar kuliah saya tak yakin bisa bertemu dengan orang –orang (lingkungan) yang mengantarkan saya terlibat menjadi seorang jurnalis.

Dulu, saya kira menjadi jurnalis adalah tentang bagaimana mencari berita, mengorek keterangan, kemudian menyuguhkannya ke sidang pembaca dalam bahasa yang singkat dan menarik. Begitu mudah. Saya keliru, meski tak sepenuhnya salah. Menjadi jurnalis adalah tentang sikap dan perjuangan.

Seorang jurnalis harus sadar di pihak mana ia berdiri. Karena salah satu tugas jurnalis adalah menyambungkan lidah rakyat ke telinga penguasa. Agar dapat berimbang rasa dan keadilan mereka. Sehingga bukan hanya catatan data saja yang disampaikan oleh jurnalis. Tapi juga cerita, harapan, kerja keras, air mata, keringat, harapan, dan hidup penuh kepasrahan yang ada di balik data dan angka itu semua. Cerita yang biasa luput tersaji di laporan-laporan kerja para abdi negara. Maka itu, integritas adalah syarat mutlak yang harus dimiliki bagi seorang jurnaslis. Tanpa itu, jurnalis seperti speaker tanpa suara: senyap dan mati.

Keberpihakkannya pada kemanusiaan, keberanian dalam menyuarakan kebenaran, dan kegigihannya dalam menyampaikan berita ke sidang pembaca, yang kemudian menandai entry jurnalis dalam cita-cita hidupku saat ini.

14 May 2010

Pencarian Arti Nama


Beruntunglah mereka yang sudah mengetahui apa arti namanya sejak kecil. Paling tidak mereka sudah selesai dengan pencarian atau peng-identifikasi diri melelui namanya. Sehingga tak perlulah lagi melakukan pencarian arti atau makna dari namanya itu. Dan yang penting dari pencarian arti nama adalah kita akan tau apa yang diharapkan (atau apa yang tidak diharapkan) oleh orang tua mereka dengan memberikan nama tersebut. Alasannya sederhana. Karena sebagian dari kita menganggap nama adalah bagian dari do’a orang tua untuk anak-anaknya. Di dalam nama tersebutlah tersimpan harapan orang tua harus jadi apa anak-anaknya ketika besar kelak.

Sedangkan saya, sampai saat ini kadang saya masih sering bertanya ke diri sendiri apa arti dari nama saya itu. Menurut saya bertanya tentang apa arti dari nama sendiri adalah sesuatu yang wajar. Hampir setiap orang saya kira pernah melakukannya. Karena itu game pencarian arti nama begitu banyak dibuat untuk meredahakan rasa penasaran manusia yang satu ini. Namun yang membedakan dari pencarian-pencarian tersebut adalah hasilnya. Ada yang berhasil menemukan apa arti namanya. Ada yang belum. Dan saya termasuk kategori yang ke dua.

Saya coba mencari kemana-mana apa arti dari nama saya tersebut. Tanya ke teman, cari di buku sampai saya cari di google apa arti nama saya tersebut. Namun hasilnya nihil. Sebenarnya masih ada peluang untuk menemukan apa arti dari nama saya itu.: Tanya orang tua. Tapi sayangnya saya gak berani lagi tanya ke mereka. Meskipun keluarga saya termasuk keluarga demokratis tapi ada hal yang tak bisa dikompromikan. Dan alasan lain, sekarang saya terlanjur menganggap nama itu adalah sesuatu yang given. Terberikan. Takdir. Jadi tak perlulah lagi tanya-tanya ke orang tua. Tinggal si anak sendiri yang memberi arti apa makna dari namanya itu. Walaupun toh sekiranya saya berani bertanya ke orang tua, saya gak yakin orang tua saya akan memberi jawaban yang sebenarnya. Ini sepengalaman saya saat akan memberi nama untuk adik saya.

Dulu, saat adik saya lahir, kami (saya, kakak, dan ibu) berembuk untuk menentukan siapa nama untuk adik saya. Kami di suruh memilih nama yang paling baik dari tiga nama yang dibuatkan oleh ayah saya. Ketiga nama tersebut sekarang sudah lupa. Hasilnya, tak ada suara aklamasi. Perbedaan selera antar jaman masalahnya. Saya lebih memilih nama yang agak modern sedang ibu memilih yang Islami. Deadlock. Tak mungkin voting. Karena tak ada voting dalam tradisi keluarga saya. Akhirnya di hari ke tiga ayah datang dengan solusi jadi: memberi nama adik saya dengan yang sama sekali baru dari ketiga nama sebelumnya. Dan anehnya kami semua menyukainya. Sesudahnya saya tak mempertanyakan apa arti dari nama adik saya itu.

Kembali ke pencarian arti nama saya.
Dulu saya sempat agak malu juga mengetahui begitu banyak orang yang memakai nama yang sama dengan nama saya. Saya malu bukan karena merasa nama saya jelek. Justru sebaliknya, saya melihat orang yang mempunyai nama sesuai dengan saya itu orang yang berhasil. Kalau di pewayangan nama saya itu biasanya dipakai untuk nama-nama pangeran. Meskipun begitu saya gak merasa nama saya adalah nama yang keren juga. Biasa-biasa saja.

Saya malu karena terlalu banyak orang bernama sama dengan nama saya. Jadi saya merasa seperti memakai pakaian yang sama dengan orang lain saat pergi ke pesta. Namun untunglah setelah saya cari di google dan situs jejeraing sosial terkenal, sampai saat ini, belum saya temukan orang yang bernama lengkap plek sama dengan nama lengkap saya. Hufffhh.. untunglah. Ibrat pakaian seperti memakai kain batik namun dengan corak yang berbeda, begitulah pikir saya.

Dulu juga, seorang Rektor universitas tempat saya dulu kuliah, yang namanya sama dengan saya, pernah mengatakan apa arti dari namanya itu. Saya senang mendengarnya, karena arti nama saya, menurut beliau, adalah anak baik. Saya ga tau pasti apakah Rektor saya ini bergurau atau serius. Kalau bergurau, sang Rektor terlihat serius saat mengatakannya dan ditempat dan waktu yang formal. Bayangkan di saat apel penerimaan mahasiswa baru! Tapi kalau serius maka timbul pertanyaan. Apa kalau sudah tua tidak lagi baik? Apakah baiknya cuma pas jadi anak-anak saja...

Entahlah...
Biar si anak sendiri yang menentukan apa arti dari namanya!
Buat teman-teman yang belum mengetahui arti namanya saya ucapkan selamat bertualang dalam pencarian!


Sukabumi-Malang-Sidoarjo.

12 May 2010

Jangan Menyerah, Brother!



Api berkobar menyala terang menerangi langit kota. Fasilitas riset merangkap workshop produksi besar di mana seluruh pekerjaan Edison hingga hari itu terbakar sudah.

Edison berdiri tak berdaya menatap kobaran api yang membakar hampir seluruh kertas kerja, ide-ide dan data penelitiannya. Namun tak keluar sedikitpun komentar penyesalan atau emosi yang meluap-luap dari bibirnya. Yang terucap justru komentar optimisnya di depan api yang menyala tersebut "Semua salah perhitungan dalam ide-ide dan penelitian-penelitian kemarin lenyap bersama api ini. Besok kita bisa mulai lagi dari awal, bebas dari segala beban kesalahan tadi ..."

Cerita yang kemudian terjadi adalah tercatatnya Edison sebagai salah satu inovator terbesar dunia hingga saat ini.

Yang terbayang dalam benak saya adalah jika saja saat itu Edison menyerah di hadapan api yang membakar habis gedungnya. Mungkin bola lampu tak pernah tertemukan.
Pertanyaan saya selanjutnya adalah apa yang membuat Edison tidak menyerah? Sedangkan segala alasan untuk menyerah sudah ada di depan mata. Bahkan orang-orang saat itu akan memaklumi jika ia akhirnya menyerah.

Jawaban yang saat ini saya temukan tentang pertanyaan di atas adalah semata-mata adanya harapan. Karena Edison masih melihat adanya harapan. Harapan untuk melihat segala apa yang ia mimpikan masih mungkin terwujud. Tak peduli seberapa besar harapan itu sehingga kata menyerah tak terucap dari bibirnya.

^^^

Sekarang mari kita berbicara tentang harapan.
Lionel Tiger dalam buku “biologi harapan” mengatakan bahwa manusia adalah “makhluk yang memiliki bakat besar untuk berharap".
Mungkin benar. Namun adakalanya manusia terbentur keadaan hingga tak sanggup lagi untuk berharap. Bak menabrak kaca benggala yang tak mungkin pecah atau retak. Walaupun masih bisa berharap. Kadang harapan mereka adalah sesuatu yang datang dari luar dirinya. Bukan harapan atas keyakinan kepada apa yang ada di dalam dirinya. Seperti mereka yang berharap datangnya Ratu Adil saat tertindas. Semakin mereka tertindas semakin kuat harapan mereka bahwa sang Ratu Adil akan hadir di akhir cerita membawa keadilan. Seperti mereka yang berharap akan keberuntungan angka-angka yang akan mengeluarkannya dari pahitnya kemiskinan.

Maka yang dibutuhkan untuk melengkapi harapan adalah kerja keras, usaha, dan do'a yang tak kenal lelah. setidaknya bilamana harapan pada akhirnya menemukan kegagalan, seorang yang telah sungguh-sungguh berjuang akan dengan kepala tegak menghadapinya. Keadaan seperti ini terekam dengan indah dalam dialog antara Minke adan Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia-Pram, Ketika segala daya upaya mereka untuk mendapatkan Annelis untuk tidak di bawa ke Belanda ternyata gagal.

“Kita kalah, Mak?” kata Minke
“Kita telah melawan, Nak, Nyo. Sebaik-baiknya. Sehormat-hormatnya.”

Begitulah bila segala daya upaya sudah kita usahakan namun toh pada akhirya hanya kegagalan yang ditemui. Di sana kita tetap tegak menerimanya dan siap mengatakan: Apa yang terjadi, terjadilah!

Karena kita sadar ada yang setia mencatat setiap usaha dan kesungguhan menjadi amal.

Sukabumi-Malang-Sidoarjo.

30 April 2010

Foto Jadul

empat hari kemaen di rumah (orang tua) saya lagi beres-beres. beres-beres di sini artinya ganti cat- ganti lay out ganti desain interior. walaupun perabotan yang ada cuma itu-itu ajah. nah, seperti biasa, saat beres-beres tersebut banyak barang lama yang hampir lupa tertemukan. banyak barang yang sudah tertumpuk lupa tiba- tiba menyeruak hadir ke permukaan.
salah satunya buku rapor TK. selama ini saya ga tau saya punya rapor semasa TK. dan selama ini pula saya ga tau apa nama TK tempat dulu saya bermain. ternyata nama TK nya TK PGRI Bina Putera. berhubung rasa kangen dan rasa sentimentil yang tiba-tiba muncul maka terjepretlah beberapa foto. mari..

ini rapot TK. isinya jelimet..



ini foto di rapor TK


nah.. ini foto saya di rapor SD


ini foto teman-teman waktu SD. sayang udah dimakan usia.

27 April 2010

Carita si Ibenk bag. 2

Arek Maen Bola Atawa Naon Ieu Teh?

Palatih : omat euy barudak. Minggu hareup mah lamun bisa, ngadu maen bola ka lembur batur teh kudu digaranti sapatuna.

Ibenk : ganti sapatu kumaha maksudna, Pak?
Palatih : lamun bisa mah diganti ku sapatu anu cang na loba.
Ibenk : naha bet kitu, Pak? Lapangna goreng lain, Pak? Laleueur kitu?
Palatih : ih, lain. Supaya lamun nincak ka suku batur teh, karasa leuwih nyeri euy.
Ibenk : oo.., siap atuh, Pak!
Palatih : tah sakitu pesen ti bapa mah. Sok, ayeuna aya nu ditanyakeun jang persiapan minggu hareup teh?
Ibenk : naros, Pak.
Palatih : arek nanya naon maneh?
Ibenk : perlu di asah heula teu cang na, pak? Meh rada seukeut saeutik!?
Palatih : ih.. ulah atuh. Bahaya.
Ibenk : siap lah, lamun kitu mah.
Palatih : sok, aya deui nu ditanyakeun?
Ibenk : eta, Pak. Euu.. Perlu mawa batu teu, Pak?
Palatih : eeuuh... manehmah! Komo deui mawa batu mah. Ulah!! Matak picilakaeun wae kalakuan teh. Tapi, jang jaga-jaga mah mawa paneunggeul we jeung bedog saurang hiji mah.

=========================================
Obat Tetes
Ibenk : euhh..!! Obat nyamuk teh euweuh nu bener nya!?!. Obat nyamuk-obat nyamuk ngagedur hurung. Reungit-reungit ngagugulung.
Abang : aya naon ieu teh.
Ibenk : eta puguh oge. Obat nyamuk jaman ayeunamah garoreng. euweuh nu mempan. Eta coba tempo. Reungit teh kalangkah ngagugulung obat nyamuk.
Abang : ari teu mempan mah, ganti atuh ku obat nu dibalurkeun.
Ibenk : mahal atuh make nu kitu mah. Bari jeung can puguh paeh reungit na oge.
Abang : ari hayang murah bari jeung ampuh mah, ganti atuh ku obat nyamuk tetes. Dijamin eta mah. Reungitna langsung paraeh. Ngan eta we rada tangeul wungkul make na.
Ibenk : obat tetes? Asa karak ngadenge tah. Nya kumaha kitu makena?
Abang : enya rada tangel saeutik. Carana, reungitna cekelan hiji-hiji ku maneh. Kakarak obatna di teteskeun ka reungitna. Tah dijamin! langsung paraeh rengit teh.

===================================================
Halodo Panjang
(Obrolan Tilu Jelema Gede Rahul)

Jalma 1: di lembur kuring mah ayena teh keur hese cai, euy. Walungan ge tepi ka ngoletrak saat caina teh. Kamari mah lauk oge tepi ka ngiuhan dina handapeun tangkal jamu. Saking ku panas na, meureun.

Jalma 2 : sarua atuh euy. Dilembur kuring oge keur halodo pisan ayeuna teh. Sawah ge tepi ka bareulah. Tepi ka belut oge ngalabring marake cetok. Ceunah mah arek ka girang, neangan cai.

Jalma 3 : euuhh! sarua atuh lamun kitu mah. Da di kota oge keur hese cai ayeunamah. Saking ku euweuh cai, meteran PDAM di imah kuring tepi ka dicabut ku petugas PDAM. Geus arek bangkrut meureun tah PDAM teh.

==================================================
Bisi Gareuring

Eutik Kecil (EK) : arek ka mana, Ibenk?
IK : ka dieu yeuh. Arek meuli obat nyamuk ka warung.
EK : manehmah reungit diobatan.
IK : ngahaja puguh oge, Eutik. Bisi gareuring reungitna.

==================================================
Pikasieuneun Guru BP teh.

Ibenk : bade beberesih sareng sanes, Pak?
Guru BP : ah, moal.
Ibenk : eta geuning nyanyandak kored ka sakola teh?
Guru BP : Ieu mah jang rajiaan. Jang nyukuran budak gondrong di sakola.

==================================================

Isukan mah dibanyur ku Emak Geura
Emak : Ujang! Geura hudang atuh! Geus beurang. Dipacokan ku hayam geura tah rejeki teh.
IK : hoammm. Tong jadi ringrang atuh, Mak. Pan urang mah teu boga hayam hiji-hiji acan.

Sababaraha poe Sa eunggeus Emak meuli hayam.

Emak : heyy.. Ujang! Buru geura hudang! Dipacokan ku hayam geura rejeki maneh teh. Tuh tempo kaluar geura. Hayam mah geus kokoreh wayah kieu teh.
IK : hooaayy... nya alus atuh dipacokan ku hayam mah, Mak! Jadi teu kudu meulian lunte. Pan lain mahal lunte ayeuna teh..?

Kaisukannana

Emak : Ujang. Buru hudang, geus jam lima leuwih!
IK : tunduh keneh atuh, Mak.
Emak : sare we maneh mah. nyaho teu sato nu sarena dalapan jam?
IK : naon kitu, Mak?
Emak : Babi, ari hayang nyaho mah. Tah, maneh hayang disebut babi?
IK : ih.. alim atuh, Mak. Nya lamun kitumah, arek ditambahan dua jam deui we sare na.

======================================================
Nyonyoo Taneh

Keur si Ibenk leutik keneh
Abah : ih, Ujang, Menak. Ulah nyonyoo taneuh bageur. Bilih kotor.
IK : da hoyong atuh, Abah.
Abah : ih, ulah atuh. Mendingan oge jajan, yuk!?!
IK : nya hayu atuh.

Keur Si Ibenk geus gede
Abah : Ujang! Hayo geura indit ka sawah. Paculan sawah teh!
Ibenk : alim atuh, Abah!
Abah : euuhh.. maneh mah! kabisa teh ngan mentaan duit we!
Ibenk : ari itu si Abah. Apan baheula ceuk Abah oge ulah nyonyoo taneuh. Bisi kotor. Ari ayeuna bet ngajurung-jurung bari jeung maksa.

=======================================================
Pibiniheun

Ibenk : Abang. Itu tempo geura awewe teh. Nya bodas nya jangkung. Butuh euy urang kanu kitu teh?
Abang : nya keur naon kitu, Ibenk?
Ibenk : keur pibiniheun euy.
Abang : euhh.. maneh mah!!


sakitu heula we atuh...
upami tiasa mah ninggal keun komentar. komo dui lamun ninggal artos mah. he..

22 April 2010

Cerita Ibenk Kecil

seingat saya, jarang sekali saya buat cerita dalam bahasa Sunda. Menulis dalam bahasa Sunda susah-susah gampang. Padahal waktu dulu kecil, saya termasuk anak yang senang dengerin carita dongeng di radio. mungkin karena kerinduan itu pula saya sempatkan menulis dalam bahasa Sunda. meskipun masih simpel-simpel.
yang gak ngerti bahasa Sunda mohon maaf. entr-entar saya transletkan ke bahasa Indonesia.


Menta Kuahna we atuh, Mang.
(Ibenk Kecil jeung Tukang Somay)

prolog: Tukang Somay (TS) liwat nakolan awi sapotong

TS : tek..tek..tek... (sora awi ditakolan)
IK : mang..mang.. kadieu geura, Mang.
TS : Bade meser, Ujang. Sok atuh. Bade sabarahaeun meser somayna?
IK : somayna sabarahaan kitu, Mang?
TS : saratusan, ujang.
IK : lamun kentangna sabarahaan, Mang?
TS : sami.. saratusan.
IK : lamun engkol na, Mang?
TS : sami ujang saratusan sadayana oge.
IK : ari tahuna, Mang?
TS : sarua, siah teh ujang! Sok buru arek sabaraheun meulina!?
IK : lamun gopeun sabarahahijieun, Mang?
TS : Euuhh.. nya atuh lima, ujang. Can bisa ngitung kitu manehteh!?
IK : acan bisa atuh, Mang. Terus Mang..Mang.. Lamun kuah na sabarahaan, Mang?
TS : kuahnamah gratis, Ujang. Sok atuh gancang. Arek sabaraheun meuli somayna?
IK : ah.. lamun kitumah urang rek menta kuahna wungkul we, Mang.
TS : euuhh..! budak gelo siah!!



Tukang Kiridit Kabaya

IK : emak..mak.. ari Kartini teh saha, Mak?
Emak : Kartini? Kartini anu mana, Ujang?
IK : ah.. duka atuh. Emang aya sabara hiji kitu Kartini teh, Mak?
Emak : Ah, teuing atuh. Teu apal Emak oge. Kunaon tatanya kitu, Jang?
IK : eta we kamari pas poe Kartini loba nu make kabaya.
Emak : oh, tukang kiridit kabaya meureun Kartini teh, Ujang.


Diinuman Ku lauk

IK : abah, ari wahangan teh tungtungna ka mana, Bah?
Abah : ka laut atuh, Ujang.
IK : ih, anu bener, Abah?
Abah : enya, Ujang. Sakabeh wahanganmah tungtungna aya di laut.
IK : maenya, Abah?
Abah : ih.. bener, Ujang
IK : ari wahangan aya sabaraha hiji kitu, Bah?
Abah : wahangan rea, Ujang. Rebuan. Naha ari kitu, Jang?
IK : asa araraneh we, Abah. lamun cai wahangan loba, naha ari cai laut teh teu pinuh-pinuh, Abah?
Abah : Ke..ke.. keheula..nya. Asa rieut yeuh.
IK : naha nya, Bah? Aneh..
Abah : o, eta we pedah caina sok diinuman ku lauk meureun. Pan lauk di laut mah rea.
IK : ooo..



Elmu mah Hampang Ujang

IK : Emak..emak. Mun geus gede, Ujang mah hayang jadi dokter, Mak.
Emak : naha Ujang teh bet hayang jadi dokter?
IK : eta we.. meh pinter, Mak. Ceuk guru oge tadi di sakolala jelema pinter mah teu raridu. Lantaran elmu mah teu beurat dibabawa.
Emak : enya teu beurat elmu mah, Ujang. Anu beurat mah nyakolakeunnana.

20 April 2010

Pengangguran dilarang makan nasi

Suatu hari Ibenk mendapatkan surat dari temannya, Abang, yang berasal dari Amerika. Dalam surat tersebut Abang menceritakan pengalaman hidupnya kenapa ia yang dulu juga miskin bisa menjadi sukses seperti sekarang. Begini sebagian isi suratnya:

“Dulu, ketika saya tidak punya pekerjaan dan tidak punya uang sepeserpun untuk makan, saya pergi ke depan gerbang Gedung putih. Di sana saya makan jerami sambil berteriak pada presiden bahwa saya tidak punya pekerjaan dan tidak punya uang sepeser pun untuk makan. Tak lama kemudian, Presiden keluar dan memberikan uang yang cukup kepada saya dan memberi saya pekerjaan. . “

Setelah membaca surat tersebut Ibenk merasa mendapat inpirasi dari pengalaman si Abang yang dari Amerika tersebut. Ibenk lalu bertekad bahwa besok ia akan mencoba pengalaman si Abang dan akan pergi ke Istana Merdeka sambil membawa jerami.

Besoknya sesampai di depan Istana Merdeka Ibenk lalu mempraktekkan pengalaman temanya. Sambil makan jerami ia berteriak kencang sampai terdengar Presiden yang lagi istirahat.
“Hai.. Tuan Presiden!”
“Saya tak punya pekerjaan dan tak punya uang sepeser pun untuk makan”. Sambil sesekali mengunyah jerami.
“Hai Tuan Presiden, Keluarlah..!!” Ibenk mengulangi.
“Beri saya uang..!!”
“Beri saya pekerjaan..!!”

Tak lama kemudian Presiden keluar dari Istana tanpa pengawal dan berjalan menghampiri Ibenk yang sedang mengunyah jerami. Melihat Presiden keluar Ibenk senang bukan main. Bayangan bahwa ia akan menjadi kaya kini akan jadi kenyataan. Ibenk lalu berhenti berteriak ketika Presiden sudah ada di hadapannya.
Lalu di depan Ibenk presiden berkata.
“Sekarang masih musim hujan. Masih banyak rumput hijau. Simpanlah jeramimu untuk persiapan musim kemarau nanti”

Eng ing engggg…

Ulasan cerita.

Di negara-negara yang menganut paham welfare state memang berlaku semacam prinsip bahwa seseorang yang datang ke pemerintahannya dan mengatakan bahwa dia tidak punya sesuatu pun untuk dimakan, tidak bisa dikirim pulang ke rumahnya dengan tangan hampa. Dalam hal ini departemen sosial akan memberi dia uang pengangguran yang cukup besar untuk biaya hidupnya setiap bulan, sampai departemen tenaga kerja bisa mendapatkan suatu pekerjaan yang cocok bagi dia.

Hal semacam itu mungkin masih sulit di negara kita. Di satu pihak pendapatan negara kita belum setinggi pendapatan negara-negara maju, di phak lain pertumbuhan angkatan kerja kita semakin besar, sementara lapangan kerja masih cukup terbatas.

Pengangguran memang menjadi masalah yang kompleks di tiap negara. Bukan saja karena dapat menyebabkan krisis sosial tapi juga menyebabkan pengaruh terhadap citra negara yang bersangkutan. secara umum pengangguran dapat menimbulkan penyimpangan sosial karena dua hal. Pertama, energi dan kepandaian kerja yang ada tidak tersalurkan secara produktif dan cenderung berkembang menjadi destruktif. Kedua, seorang yang menganggur mengalami krisis identitasnya. Atau krisis yang menyangkut status sosialnya.

Oleh karena itu di negara-negara maju, pengangguran adalah semacam status yang diakui dan dibiayai negara, dan sebab itu krisis identitas itu tidak terlalu terasa. Tetapi dalam situasi di mana pengangguran tidak merupakan suatu status secara hukum dan secara administratif, krisis itu akan lebih terasa.

Gak percaya?
Coba saja.

Postingan ke depan akan berputar masalah pekerjaan dan pengangguran.

10 April 2010

30 March 2010

Romeo Juliet



Sebenarnya sudah lama saya nonton film Romeo Juliet (RJ) yang disutradarai oleh Andi Bachtiar Yusuf ini. Saya ingat pertama kali nonton film ini ketika tak sengaja datang ke acaranya nonton film bareng di Perpustakaan Umum Kota Malang. Namun karena satu dan lain hal, baru sekarang-sekarang saya sempat me-review kembali film ini. Tentu di tengah isu akan digelarnya Konggres Sepak bola Nasional (KSN) yang dengar-dengar akan menyumbang perbaikan dalam mengelola sepak bola nasional. Terlambatkah me-review film yang sudah lama? Nggak juga. Tampaknya berlindung pada pepatah ‘lebih baik terlambat dari pada tidak’ sesekali ada gunanya juga.

Secara umum, film yang diluncurkan April 2009 ini sudah termasuk berani dalam menyuguhkan film yang baru dan berbeda dari film yang lain. Di mana tren film saat itu masih berputar di sekitar film horor dan juga komedi yang gak jelas. Walaupun tema yang ditawarkan film ini adalah tema klasik : cinta yang tumbuh di tengah permusuhan, film ini menjadi menarik karena mengambil latar persepakbolaan nasional. Olah raga yang begitu dicintai mayoritas penduduk Indonesia. Menarik, meskipun tidak ada hal baru yang diungkap dari film tersebut. Film RJ sendiri memulai cerita dari satu kekerasan antar suporter yang melahirkan kekerasan baru dan terus menerus melahirkan kekerasan yang seakan tak putus-putus.

Seingat saya, ada dua film sebelumnya yang juga mengangkat atau berlatar sepak bola. Pertama, Garuda di Dadaku yang diproduseri oleh Ari Sihasale dan Gara-Gara Bola film komedi yang dibintangi Wingky Wiryawan. Dari dua film tersebut, Garuda di Dadaku berkisahkan perjuagan seorang bocah, Bayu, dalam seleksi masuk Tim Nasional Anak. Sedang Gara-Gara Bola bercerita tentang dua orang sahabat Ahmad dan Heru yang tercekik hutang akibat kalah dalam judi bola. Film bagus.

Dan jika saja film Romeo Juliet mampu mengangkat lebih dalam masalah persepakbolaan di Indonesia, saya pikir RJ bisa menjadi film yang lebih bagus dari dua film di atas. Tapi sayangnya film ini hanya mengangkat permasalahan permukaan dan (kemudian) mengeksploitasinya tanpa bisa meng-eksplore lebih dalam permasalahan sepak bola yang ada di negeri ini.

Saya sebut hanya mengeksploitasi karena film ini tidak menceritakan apa yang menjadi akar dari kekerasan antar suporter sepakbola itu sendiri. Dalam film ini terceritakan suporter Persija dan Persib adalah dua suporter yang bermusuh-bebuyutan yang tanpa awal (dan dengan ending film ini, permusuhan tersebut mungkin juga tanpa akhir). Seolah permusuhan antara kedua suporter tersebut adalah given. Menghadirkan cerita seperti ini saya pikir berbahaya juga karena bisa mewariskan dan melanggengkan permusuhan yang baru kepada penonton ataupun suporter-suporter yang masih anak-anak.

Kedua, disebut hanya mengangkat masalah permukaan karena bila mau melihat lebih seksama, kekerasan antar suporter pendukung tim sepak bola adalah satu keping bagian dari puzle carut marutnya sepak bola yang ada di negeri ini. Misalnya, permasalahan mafia sepakbola, pengaturan hasil skor pertandingan, dan ketidak keprofesionalan tim penyelenggara liga Indonesia. Karena bila melihat fakta di lapangan, salah satu penyebab kekerasan antar suporter maupun tindak anarki suporter adalah disebabkan oleh ketidak profesionalan pengelola liga sepak bola.

Di sinilah letak ironi yang bisa saja dimunculkan pada film RJ namun gagal dan tidak diangkat sama sekali dalam film ini. Misalnya, di saat para suporter mati-matian membela tim kesayangannya, di jajaran elit pengurus liga dengan mudahnya mengatur skore pertandingan dengan para mafia sambil berkaraoke ria. Atau memanipulasi kesadaran massa suporter untuk kepentingan satu kekuasaan ataupun demi nilai ekonomis satu pihak tertentu. Karena selalu ada logika sederhana: selalu ada yang diuntungkan dari dilanggengkannya sebuah permusuhan.

Namun, sekali lagi, sayangnya Romeo Juliet hanya mampu mensubtitusi latar cerita dan hanya mampu memberi warna-warna lokal agar tampak lebih Indonesiawi, tanpa banyak mampu menghadirkan tragedi dan ironi juga paradoks cerita dari tanah Italia karya Shakespeare itu. Paradoks terhadap olah raga yang begitu dicintai namun ternyata minim prestasi. Meskipun kalau dipikir dalam, agak memaksakan juga mensubtitusi dua keluarga yang bermusuhan pada dua suporter Persib dan Persija. Karena bila permusuhan dua keluarga asal kota Verona itu berhubungan karakter seorang pemimpin keluarga, sedangkan suporter berkaitan erat dengan kesadaran massa.


Jika saja film ini mampu memberikan potret-potret persepakbolaan Indonesia secara komprehensif dan tidak hanya mengeksploitasinya, saya yakin film RJ bukan saja dapat memberikan hiburan tapi juga cermin bagi semua pecinta sepakbola. Cermin untuk melihat wajah sepakbola nasional dan dengan rendah hati segera memulai membenahi segala carut marut sepak bola Indonesia yang minim prestasi ini.



:: beginilah kalau berprofesi sebagai penikmat film. Bisanya cuma berkomentar, mending kalau mutu::

24 March 2010

mendefinisikan diri

Saya sering tak tahu harus menjawab apa jika dalam percakapan ada seorang yang bertanya asli mana? Saya biasanya tak bisa langsung menjawab karena bingung, apa sebenarnya yang dimaksud dengan kata “asli” tersebut?
Apakah kata “asli” tersebut mewakili suku, bahasa, tempat lahir, atau budaya? Ataukah justru kata ‘asli’ tersebut merangkum semua pilihan di atas? Lalu, kalau memang ada yang asli, adakah yang tidak asli?

Sampai sekarang pertanyaan-pertanyaan tersebut selalu muncul dalam pikiran saya. Dan sampai sekarang belum bisa saya jawab dengan jelas.

Pertanyaan ‘asli mana’ sebenarnya bukan pertanyaan yang aneh. Malah pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang lumrah saja terlontarkan dalam setiap obrolan perkenalan di hampir kebanyakan orang. Sepengalaman saya, entah itu kebetulan atau tidak, hampir setiap saya berkenal dengan orang baru, entah itu basa-basi atau bukan, pertanyaan ‘asli mana’ hampir selalu meluncur dari mulut lawan saya bicara. Sepertinya dengan mengetahui lawan bicaranya ‘asli mana’, seseorang punya pengetahuan awal dalam mengenal karakter dan sifat orang tersebut. Dan oleh karena itu, punya cukup pertimbangan untuk memutuskan melanjutkan satu hubungan atau tidak. Entahlah

Kembali ke pertanyaan ‘asli mana’. Bila pertanyaan ‘asli’ itu berhubungan dengan budaya, maka kebingungan saya dalam menjawab pertanyaan ‘asli mana’ adalah mungkin karena saya tidak pernah belajar serius atau tidak pernah mengikuti sampai ke detail-detail akar budaya di mana saya tumbuh.

Misalnya, saya mengaku mempunyai akar budaya Sunda. Dalam artian saya, mempunyai akar budaya Sunda itu berarti, tumbuh besar dalam percakapan dengan bahasa Sunda, punya ikatan emosional sama Si Kabayan dan Si Cepot, pendukung Persib, berasa di rumah bila mendengar degungan Sunda, setidaknya menyukai wayang golek atau calung, dan selintas pernah diperkenalkan dengan seni tari dan karawitan dalam muatan lokal semasa di SMP. Dan lain-lain dan lain-lain. Namun, meskipun mempunyai akar budaya Sunda seperti saya sebutkan di atas, saya merasa akrab juga dengan budaya lain. Kehidupan priyayi kecil ala Umar Kayam, humor-humor celatukan ala Mas Butet, atau tradisi-tradisi Jawa yang diceritakan oleh Kuntowijoyo, yang mereka sepenuhnya adalah Jawa. Seneng juga sama Arema bahkan beberapa kali ikut konvoinya Aremania.

Semua itu terlewati tentunya seiring dengan latar belakang saya. Lahir dari orang tua Sunda asal Sukabumi. Tumbuh besar di Sukabumi, lalu baru pada umur 18 pindah ke Malang untuk bertemu dengan orang-orang dari berbagai penjuru Indonesia. Di Malang itu saya berteman akrab dengan berbagai Suku di Indonesia.

Maka, pertanyaan yang muncul adalah masih bisakan disebut asli bila kenyataannya dalam perjalan hidup mengalami banyak akulturasi budaya dengan budaya luar yang berbeda dengan akar budaya sendiri. Karena setahu saya, kata asli itu selalu mengacu pada kemurniannya. Alias tidak ada campurannya?

Entahlah. Mungkin pada akhirnya, budaya, suku, tempat lahir, keturunan, atau klasifikasi lain apapun itu, terkadang tidak cukup untuk menampung definisi seseorang di dalamnya. Manusia jelas lebih kompleks dari sekedar satu set nilai yang telah dikotak-kotak oleh inspirasi pemikiran manusia. Apalagi tengah hidup di jaman seperti saat ini, di mana begitu deras dan mudahnya pertukaran pemikiran dan nilai antar budaya. Sehingga munculnya seorang yang keluar dari kotak-kotak definisi lama dan mendefinisikan dirinya sebagai seorang berbeda, sebagai seorang ‘antar budaya’, adalah hal yang mungkin saja terjadi.

Mungkin juga tidak. Saya tak tahu pasti. Mungkin sebenarnya tulisan ini adalah bentuk pembelaan diri sendiri karena belum bisa saya menerangkan atau mencerminkan satu sistem nilai atau kelompok budaya di mana saya sebenarnya berdiri. Atau justru tadi itu. mencoba mendefinisikan diri sebagai seorang yang antar budaya.
Ah, entahlah.

Hal yang menarik yang belum terceritakan di atas adalah betapa sederhananya sebagian dari kita memberikan cap tertentu pada satu himpunan manusia. Bahwa yang Makassar itu keras, atau yang Solo sebagai yang halus dan santun... Entah kapan kita akan belajar bahwa keragaman adalah sesuatu yang senantiasa melekat pada manusia di mana saja, entah itu di tanah Papua atau di tatar Sunda.

Entahlah.

Nah, kalau sekarang anda ditanya asli mana, anda akan menjawab apa?

07 March 2010

Suporter Senayan

Ibenk : huuu...! huuuuu... huuu...!
Abang : hey, ngapain!? Berisik tau?!
Ibenk : jangan ganggu deh, Bang. Lagi persiapan nih. Huuu... huuuu...!
Abang : persiapan apa? Mau jadi suporter, ya?
Ibenk : bukan, Bang. Persiapan 2014 nanti nih.
Abang : oo.., persiapan piala dunia 2014. mau jadi suporter mana nih?
Ibenk : ih.. Bukan!
Abang : lha, terus ngapain haha huhu.. haha huhu ga jelas kayak suporter gituh.
Ibenk : ini lagi latihan persiapan untuk jadi caleg ke senayan, Bang.
Abang : &^^*&*(()%.

06 March 2010

Ketombean

Ibenk : obat gatal-gatal di kepala apa ya, Bang?
Abang : emang kenapa kepalanya?
Ibenk : ga tau nih, Bang. udah lama gatal banget.
Abang : kutuan paling?
Ibenk : ih.. bukan. Kayaknya sih ketombe.
Abang : ketombean mah gampah atuh. Keramas ajah yang rutin.
Ibenk : masa sih? Tapi ko masih gatel yah, Bang?
Abang : Ibenk rutin ga keramasnya?
Ibenk : bukan rutin lagi Bang. Tiap kali mandi saya keramas.
Abang : yang bener, ah?
Ibenk : serius, Bang.
Abang : ko aneh ya? emang mandinya berapa hari sekali?
Ibenk : lumayan sering sih, Bang. Rata-rata seminggu sekali lah..
Abang : euuhhh!! Borokokok siahh!!

28 February 2010

Patah Hati

Ibenk : Bang, sedih nih. Bingung!
Abang : Cengeng, ah..!. Masa gara-gara cewek ajah pake acara sedih dan bingung.
Ibenk : Tapi ini serius, Bang.
Abang : Emang bingung kenapa? Cewek kamu hamil?
Ibenk : Bukan..
Abang : Cewek kamu minta kawin?
Ibenk : Bukan.
Abang : Diputisin?
Ibenk : Bukan eh, belum, Bang..
Abang : Apa terusan? Kok kayaknya serius banget.
Ibenk : Itu, Bang. Dian Sastro, Bang?
Abang : Oo, ga punya duit buat nonton film terbaru Dian, yah? Ayo, saya traktir nonton kalo gituh.
Ibenk : Bukan! Bukan itu, Bang
Abang : Terus kenapa dengan Dian Sastro!?
Ibenk : Dian Sastro, Bang!! Dian Sastro udah tunangan kemaren, Bang.
Abang : Yang bener, Benk!?
Ibenk : Iyah!
Abang : HuaaaaaaaAA.. huAAAAA..!!!

27 February 2010

Ronda Malam

Abang : Kebetulan Ibenk ke sini. Besok malam kan bagian jaga ronda, Benk. Grup kita masih kurang dua orang nih. Enaknya ngajak siapa yah?
Ibenk : Banyak, Bang. Tinggal pilih ajah. gituh ajah susah.

Abang : Bagaimana kalau ngajak si Duren.
Ibenk : Jangan, Bang. Jangan si Duren! Dia mah ga enak kalau di ajak ngomong. Omonganya tajem. Kedengarannya ajah halus tapi menusuk. Kromo inggil tapi berduri. Jangan dia, Bang. Ngeronda enggak, malah berantem lagi.

Abang : Kalau gitu si Manggis ajah. Dia kan jujur.
Ibenk : Jujur sih jujur, Bang. Tapi orangnya sering gak lihat-lihat situasi kalau ngomong. Dulu, pas saya mau jual HP ke si Keledai 500 ribu, ga jadi gara-gara dia. Masa datang-datang langsung ngomong “HP gini mah di Glodok juga 75 rebuan nih”. Sialan tuh kan, Bang.

Abang : Kalau si Kebo, gimana? Dia kan lumyan kuat tuh.
Ibenk : Ihh.. jangan dia. Dia mah perut karet, Bang. Kerjaannya makan terus. Mulutnya itu ga bisa diem, Bang. Harus diisi makanan terus. Kentongan kalau ga dijagain bisa di makan juga, Bang. Jangan. Jangan dia ah..!! yang lain ajah. Nanti Pos ronda, kalau di lalap sama dia kan berabe, Bang.

Abang : Kalau si Kuda Nil?
Ibenk : Tukang tidur. Percuma negronda bareng sama dia, Bang. Di pos paling cuman tidur.
Abang : Kalau si Macan?
Ibenk : Apalagi dia, Bang. Dia mah tukang berantem. Ga bisa diatur. Keras kepala. Lha kemaren tukang sate lewat, ga mendung ga ujan langsung ditonjok. Cuma gara-gara tuh tukang sate kakinya agak pincang. Disangkain si Macan tuh tukang sate jalannya ngejago gituh.
Abang : Si Semut?
Ibenk : Ha! Semut!? Mendingan jaga ronda sendirian deh, Bang. Daripada ngajak dia. Disuruh pukulin tiang listrik, minta dianter. Disuruh beli rokok, harus bareng. Minta buatin kopi, kudu ada yang nemenin. Mendingan sendiri, Bang.

Abang : Ya udah, Ginih ajah. Kamu cari satu orang. Saya cari satu. Besok malam udah beres, Gimana?
Ibenk : Nah. Gitu ajah, Bang.
Abang : O, iya. Ngomong-ngomong ada keperluan apa nih Ibenk ke sini?
Ibenk : Itu, Bang. Anu.. Saya mau ijin lagi gak bisa ngeronda besok malam.
Abang : Lho, kenapa? Ada lembur?
Ibenk : Bukan, Bang. Itu..anu.. Mau nonton liga Champion. MU sama Milan, Bang.
Abang : Euuuhhh... Borokokok siah..!!