31 March 2009

Minggu yang panjang


Minggu ini sepertinya akan jadi minggu yang panjang dan minggu yang sibuk.
Mulai dari Senin kemarin tanda-tandanya sudah mulai terasa. Kemarin, sepagian cuma dihabisin untuk mondar-mandir dari lab kimia, lab biologi, perpustakaan, Kopma, ruang baca fakultas, bank, pengajaran, tanpa hasil yang memuaskan. Siangnya pergi ke kota bentar, ke perpus kota lihat pameran foto. Sorenya saya masih menemukan diri terperangkap di fakultas.

Tadi pagi, saya kembali lagi ke lab biologi untuk mengurus surat bebas lab. (tapi ternyata belum selesai juga suratnya). Jadi moderator seminarnya teman untuk menggugurkan kewajiban dan syarat untuk sidang akhir. menunggu keluar nilai seminar yang tertahan, minta rekap nilai ke pengajaran, yang tenyata baru bisa besok saya ambil. Dan seperti biasa saya harus berusaha ngejar-ngejar dosen yang jadi kepala lab.

Dan besok?? Besok saya janjian sama Kajur tuk minta dosen penguji, syukur-syukur bisa langsung janjian ketemuan sama dosen pengujinya besok Kamisnya. Sebelumnya saya harus ketemu dosen pembingbing dulu tuk nentuin jadwal hari ujian. Nyelesaian surat bebas Lab yang masih kurang tujuh. Kamis nya pasti penuh. Mulai memfoto kopi skripsi buwat para penguji, dan tetek bengek surat lain. (bikin suaratnya sih gampang, tapi cari tandatangannya itu loh!!). Kamis malem ketemuan ama prof. Suryadi di rumahnya tuk minta wejangan. Jum’at coba ngurus TOEFL, lalu ketemu sama DR. Hardoko, yang emang Cuma hari Jum’at siang ajah beliau ngenger di Fakultas (yang mana orangnya saya ga tau). Emhh...

Begitu padat, begitu penuh, begitu prosedural, begitu detail. Hasilnya? Serba tergesa-gesa. Gurung-gusuh, ke-ping-pong dari satu prosedur ke prosedur lain. Kesasak-kesusuk dari satu janji ke janji selanjutnya. Ketarik-tarik dari komitment ke komitmen lain. Jadilah waktu terasa begitu singkat dan sedikit.
Mungkin karena grusa-grusu itu pula, siang tadi, pas secara gak sengaja ketemu teman yang udah luaama ga ketemu, yang ketemu kebetulan (wah ini kebetulan bgt!, kebetulan dan emang ga disengaja. Eh,..kebetulannya sekitar 85% dan sengajanya 13% lah), mau ngajak tuk duduk sebentar sambil minum kopi, sambil sharing pengalaman ajah, ga kesampaian. Huffhh.... (nyesel deh sekarang! jarang-jarang lo ketemu).

Tapi di sisi lain, ada bahagia tersisip karena banyak hal terlalui. Karena banyak hal baru teralami. Mungkin di sanalah juga letak salah satu seni dalam menjalani hidup. Bahwa hidup juga dilalui untuk melewati hal-hal detil, melalui nada yang bermacam-macam, dan tentunya untuk terus tanpa henti belajar mensyukuri kurangnya waktu untuk menyelesaikan tugas, dan waktu yang sudah terlalui. Karena ternyata begitu sedikit waktu yang kita punya dibandingkan kewajiban yang harus kita laksanakan. Dan perlahan mencoba belajar memasrahkan diri yang serba lemah dan tak sempurna ini kedalam lindungan Yang Maha Melindungi. Allah SWT.

29 March 2009

Olga jadi pelawak Tervaporit?? plis deh...

Sudah lama saya tidak tertarik dengan ajang Panasonic Award (PA). Disamping menebarkan aroma promosi, kenetralannya terhadap stasiun televisi pun masih sering dipertanyakan. Namun hari ini tiba-tiba saja saya tergelitik dengan koran Jawa Pos yang menampilkan foto Olga Syahputera sebagai seorang pelawak tervaporit di ajang PA tersebut.

Lho!! Bagaimana mungkin dan bagaimana bisa??

Seharusnya saya tidak bertanya seperti itu. Toh saya tahu persis bahwa tidak ada kriteria dan penilaian yang jelas dalam pemilihan nominasi. Semua hanya berdasarkan sms pemirsa, yang jumlah pengirimnya pun kita tidak tahu. Pemirsapun tidak tahu siapa dan apa yang ada di balik pengaturan jumlah SMS tersebut.

***
Kesusasteraan, konon, mengajar kita untuk selalu mempertimbangkan kemungkinan yang banyak dari kemungkinan manusia. Sedang pelawak mengajar kita untuk mempertimbangkan kekonyolan dan kebodohan kita. Keduanya berfungsi untuk menyeimbangkan kehidupan kita. Disinilah... saya tergelitik. Bagaimana akan menyeimbangkan kehidupan manusia bila pelawaknya adalah seorang yang tidak dapat menunjukkan letak kekonyolan dan kebodohan kita.

Saya tahu Olga. Bagaimana ia bicara saat menjadi presenter, ataupun ketika berakting di sinetron. Gayanya yang supel dan sedikit terseok-seok gemulai kadang membuat saya juga tersenyum melihat polahnya. Tapi itu bukan berarti saya bersetuju jika ia disebut pelawak. Bukan berarti itu jaminan ia layak menyandang nama pelawak. Alasannya tentu bukan karena masalah pendidikan. Saya tahu kemampuan melawak itu hampir tidak ada hubungannya dengan pendidikan formal. kemampuan melawak lebih banyak didapatkan dari pengembangan kepekaan menghayati kehidupan sehari-hari secara mendetail.

Seorang pelawak adalah Ia yang mengamati rutinitas manusia sehari-hari, sebuah cerita manusia yang panjang berulang-ulang dan membosankan. Lalu dengan cermat dan tekun seorang pelawak mengais dan memungut mutiara-mutiara yang berserak bersama rutinitas itu, dan dengan kemampuannya ia suguhkan menjadi fenomena yang istimewa pada kita. Pelawak seperti editor juga sensor. Editor rutinitas kehidupan. Ia menunjukkan bahwa rutinitas tidak selalu membosankan, tapi ada yang lucu di sana. Meskipun yang lucu itu adalah kekonyolan, kebodohan, dan keabsurditas-an kita sebagai manusia..

Hal yang paling sulit saat seseorang menjadi pelawak adalah ketika dia berpantang untuk tidak terperosok dalam rutinitas. Sebab sekali ia terjerembab dalam rutinitas maka ia akan kehilangan kepekaannya dalam mendeteksi berbagai fenomena kehidupan yang menarik. Sekali terjatuh dalam rutinitas ia akan kembali menjadi manusia biasa. Hasilnya, bila ia melucu, maka guyonannya akan menjadi lucu yang garing, dan rutin yang membosankan. Guyon yang direpitisi. Dan itu sebenarnya dapat kita lihat pada Olga.

Fajar Abdillah

Pernah punya roommate?? Atau housemate?? Saya punya, tak banyak, Fajar Abdillah salah satunya. Ia salah satu teman yang satu kosan di tahun awal kuliah dan akhirnya bisa satu kos lagi di masa-masa penghabisan kuliah.

Kalem, tenang, tak banyak bicara, tak terlalu senang baca buku, tapi cerdas, cermat, dan berwawasan luas. Kami berdua sama-sama suka tulisannya Dahlan Iskan di Jawa Pos, dan selalu menunggu Catatan Pinggir-nya Goenawan Mohamad di Majalah Tempo. Tiap tulisannya Dahlan Iskan atau Goen yang terbit, pasti langsung jadi bahan diskusi kami hari itu pula. Kadang terbawa kesepanjang minggu. Kami bicara macam-macam ke mana-mana. Agama, pindah ke film, lalu sejarah, beralih ke penulis, geser ke koran, naik ke Indonesia dll.dll. seingatku, cuma pelajaran mata kuliah yang tak pernah jadi topik serius obrolan kami. Mungkin karena perbedaan jurusan, saya tukang ikan dia tukang elektro. Tak nyambung. Entahlah..

Fajar inilah salah satu teman debat yang paling asyik. Tiap debat lawan Fajar, segala tumpukan retorika nggak mempan, lipatan logika tertata gak ngaruh sama dia. Fajar nggak terlalu terkesan dengan retorika, ia lebih menghargai kesederhanaan ide, keterjelasan sistematika penyampaian. Ia lebih terkesan pada amal nyata. Teori iyalah, tapi bukan yang utama. Dari dialah aku belajar menghargai kesederhanaan satu pokok pikiran. Belajar tentang perbuatan yang lebih konkrit, apalagi bagi saya yang suka banyak berteori dan berakhir hanya pada sebatas cerita.

Tiap hari Minggu, jika saya kesulitan mengisi TTS Kompas, terutama bila menyangkut pertanyaan nama tokoh, maka Fajar ini jawabannya. Aku akan dengan sangat hormat meminta petunjuk darinya. Karena saya tahu ia hafal begitu banyak nama dan peristiwa: politikus, birokrat, bangsawan, aktor, aktris, film, pahlawan, olahragawan, bursa efek, dll.dll. Kadang saya heran dari mana ia menghafal nama-nama yang begitu banyak. buku? Koran? Entahlah...tapi yang saya tahu, Ia menyimak, menyerap dan meyimpan begitu banyak informasi dari tiap apa yang dibacanya.

Ia salah satu temam ter-dekat ku, tempat sharing pengalaman baru. Fajar tahu kebiasaan burukku, mengerti beberapa harapan kecil, remeh temeh, yang terlontar, yang sepertinya tak mungkin terceritakan kepada orang lain. Dan beberapa khayalan-khayalan kecil tentang bisnis dan mimpi-mimpi...

Tanggal 7 Maret kemaren ia wisuda, tepat satu hari setelah hari ulang tahunnya. Kami makan-makan. Bareng-bareng. Sama-sama. Ramai-ramai. Semoga bukan untuk yang terkhir kalinya. Kini ia sudah terbang lebih dulu mengepak sayap mengejar mimpi selanjutnya. Kemarin ia suduah resmi jadi wartawan Jawa Pos (salah satu pilihan pekerjaan yang masuk daftarku juga) walaupun akhirnya ia memilih untuk konsentrasi pada pekerjaan yang lain.

Well ..,whatever your choice, may you happy and comfort with your choice.
Tak ada ucapan apapun saat ia pergi menjelajah mimpi baru. Aku tahu. Ia tahu. Aku mafhum. Ia mafhum.
Aku hanya berdoa semoga Allah memberikan yang terbaik pada tiap perjalanannya.
Dikuatkan pada tiap langkahnya. Ditabahkan pada setiap cobaannya. Disabarkan pada setiap ujiannya. Selamanya.

Sayap baru sudah kau rentangkan
Siap kau kepakkan
Selamat bertualang teman


catatan yang terlambat

28 March 2009

Nonton Film (lagi)

Baru tiga minggu yang lalu, tepatnya ketika saya masih terjebak dalam tetek bengek persiapan seminar hasil, teman saya berkomentar bahwa betapa banyak waktunya terbuang gara-gara banyak nonton film sehingga skripsinya sering terabaikan. Karena merasa ada teman yang senasib (walau tidak sepenanggungan) saya pun mengomentari, menyemangati dan bersepakat pula: “iya, saya juga sekarang dalam program puasa nonton film dan (saya tambahkan pula dengan) mengurangi keterlibatan saya di ranah maya”.

Itu tiga minggu yang lalu. Yang saya berharap rencana program tersebut akan berjalan minimal sampai sidang akhir.
Tapi seperti pada setiap omong besar, seseorang selalu dipaksa untuk menjilat ludahnya sendiri. Membalik lidahnya sendiri. Tak terkecuali saya. Belum dua hari setelah seminar hasil selesai saya sudah asyik nonton film lagi. Mencoba merayakan lagi kata dalam cetakan atau layar lebar, mendefinisikan diri sendiri lagi lewat cerita orang lain. (Aduh...betapa maya-nya diri sendiri ini sebenarnya).

Dari dulu, saya selalu mencoba mengurangi porsi nonton film bukan karena banyak pekerjaan, tapi karena saya tahu, saya selalu mengumbar waktu berlama-lama, berjam-jam, duduk menonton di depannya. Abis waktu berjam-jam hanya untuk duduk tanpa melakukan apa-apa. Dan karena hal itu juga, terkadang saya selalu muak pada diri sendiri. Merasa bersalah. Melakukan sesuatu berlebihan memang terkadang menjadi resep yang manjur untuk merubah apapun yang tadinya mengasyikkan jadi tidak menyenangkan. Walau kadang rasa bersalah itu tak bertahan lama juga.

Dan akhirnya, saya mengaku kalah lagi pada diri sendiri. Melanggar program yang dibuat sendiri karena sebuah alasan yang tentunya saya buat-buat agar bisa dimaklumi dan terkesan rasional.

Buat apa saya nonton film kembali di tengah program sidang akhir...?
Yah..mungkin untuk kembali mengidentifikasi diri sendiri sebagai bagian dari sebuah lakon besar yang sedang berjalan? Atau ingin menikmati konflik dan dilema kehidupan manusia dan mencoba bercermin darinya? Atau kebutuhan mengapresiasi seni, seperti apapun seni itu di apresiasi? Atau memang benar (jangan-jangan) hanya untuk hiburan semata? Entahlah, yang jelas ada kebutuhan, yang mungkin berbeda-beda pada tiap orang. Dan demi kebutuhan itu pula saya nonton film lagi ditengah persiapan sidang akhir. (yah...lumayan cukup rasionallah alasannya).

Praktis, selama seminggu kemarin saya pun menyisipkan waktu, diberbagai persiapan menghadapi sidang, untuk nonton beberapa film, diantaranya: beat the drum, when did you last see your father, YUI, dirty pretty things, the ant bully, flash of genius, love (ini film korea judul aslinya saya ga tau..tapi cuma gara-gara foldernya saja berjudul love ya saya tulis juga dengan judul yang sama- entarlah saya updet lagi kalau ketemu), DOA, Rescue Dawn, Eagle Eye, Mirror, lion, death race, dan beberapa lagi. Mana yang menarik?? Beat the drum, YUI (soundtracknya keren pula), Love, dan film lama Dirty pretty thing’s.

Dan agar tidak semuanya dikatakan sia-sia, maka saya tulis dikit dari hasil menononton film yang lumyan menarik itu. Dari nonoton film itu pula saya berani bilang sekarang.

Bahwa selalu ada manusia yang akan berusaha dan berjanji untuk berada di sisi manusia lain yang membutuhkan tempat bersandar. Bukan, bukan karena sok kuat, bahkan bukan karena merasa diri mampu memberi tumpangan sandaran yang nyaman. Bukan pula karena ia telah selesai dan beres dengan masalah dirinya sendiri. Tapi semata karena sadar bahwa hidup emang paling pas dijalani dengan saling bersandar satu sama lain, saling melengkapi. Saling menolong. kalau kata Einstein "Only a life lived for others is worth living."

Karena hidup, seperti apapun terjalaninya, tidak bisa dilihat secara ekstreem: banyak problem tapi kita masih bisa selalu betah, sebab hidup tak pernah menjadi proses yang soliter. Banyak kesulitan, namun kita selalu berusaha menyimpan getir dan pahit untuk ditelan sendiri, sebab masih banyak orang menyenangkan di sekitar kita.

Dan di soundtracknya YUI saya temukan lirik ini. Mungkin gak nyambung dengan pokok yang di atas, tapi saya ingin mengutipnya saja.

Tomorrow never knows
It’s happy line

A song in the sun


::saya banyak ngelamun dan mengada-ngada?? Bisa jadi. Dan tak apa-apa toh. Lha wong kata Mas Celathu salah satu pekerjaan pengarang itu ngelamun dan mengada-ngada ko. Nah inilah hasil latihan melamun dan mengada-ngada itu.... he he he::

Sekedarnya Tentang Ranah Maya

Kadang aneh memang hidup di dunia saat ini. Di dunia canggih yang hampir tak bisa terlepas dari media internet. Mungkin karena mudah dan murahnya untuk tersambung ke ranah maya itu pula maka internet seolah tak dapat dipisahkan. Tinggal langganan s****, atau kalau pengen lebih murah cari wifi atau hot spot atau pergi ke warnet, maka terhubunglah sudah manusia ke dunia yang seolah–olah nyata- tersebut. Dan terjunlah kita ke pasar ide dan absurditas.

Keberbedaan dan kekhasan yang jadi salah satu banner utama dunia maya, diusung tinggi-tinggi. Begitu banyak tempat yang disediakan ranah maya untuk mengekspresikan diri. Lewat milis, blog, facebook, fordis, dan semua tempat yang akan mungkin dan segera mungkin. Lewat template gratis, kemungkinan bikin template sendiri, seribu satu avatar, seribu satu cara untuk mengekspresikan diri.

Lalu apa yang aneh?
Yang aneh adalah seperti pada semua arti menghubungkan, ia selalu berdampak ganda.
terghubungkan sekaligus terpisahkan. Seperti selat-selat di antara pulau-pulau nusantara. Menghubungkan tapi di sisi lain ia memisahkan manusia. Dan, yang lebih dari itu, sedikit demi sedikit media internet telah membuyarkan ikatan primordial puak. Mangan ora mangan asal kumpul. Ngumpul ngariung babarengan.

Mungkin inilah gejala yang diramalkan oleh Marshall McLuhan tentang Gutenberg Galaxy. Ekses dari revolusi gutenberg, revolusi mesin cetak, dimana kata Mc Luhan, sesama anggota masyarakat akan disibukkan dengan tulis menulis, bukan hanya menulis lagi tampaknya, dengan facebook-an atau blogging, misalnya. Hingga mereka tidak mau mengobrol lagi dalam arti kata mengobrol yang sebenaranya. Sudah susah untuk diajak mengobrol, mengobrol apapun yang bisa diobrolkan sambil minum kopi. Sudah tidak mau ngumpul lagi walaupun sambil makan, misalnya.

apa yang aneh seterusnya..
mengekspresikan diri sendiri di ranah maya sebagai satu cara memanusiakan manusia dalam diri kita memang baik. Tapi disini pula ia menyimpan ironi kemanusiaan itu sendiri. Karena menunjukkan kurang menariknya manusia disekitar kita, karena begitu terpusatnya kita ke ranah maya. Barangkali karena situasi manusia disekitar kita yang sudah tidak bisa diharapkan. Hopeless. Mungkin itulah yang menjelaskan kita lebih senang memelototi handphone dari pada mengobrol dengan orang disekitar kita saat di ranah publik yang nyata.
***

maka, sepertinya obrol-mengobrol harus dikembalikan. Makna kata-kata secara verbal mesti dikukuhkan kembali dalam interaksi manusia. Minta, ngomel, grundel..tak usahlah harus terus tertulis lagi... milis tak usahlah membahas obrol-mengobrol yang remeh...
Sungguh saya tak bisa membayangkan kelanjutan dari sebuah masyarakat yang terdiri dari anggotanya yang berkomunikasi hanya dengan tulis menulis dan berinteraksi hanya lewat ranah maya!



Tentu saja imaji saya di atas ini nggak cocok diterapkan ke manusia lain.

24 March 2009

Minggu malam Bersama Slamet Rahardjo




Kenapa acara di TVRI tidak ada yang berkualitas? Tidak ada yang bagus? Tak ada yang laik tonton?

Tak ada yang aneh sepertinya jika setiap orang juga memendam pertanyaan yang sama seperti di atas. Saya sendiri nonton TVRI hanya karena beberapa alasan. Pertama, saya menonton TVRI jika sudah bosan dengan borbardir iklan yang bertumpuk di tv swasta. Karena saya tahu di TVRI tak terlalu banyak iklan, maka saya beralih ke TVRI. (Kenapa di TVRI tak banyak iklan ? mungkin jika ada iklan takut tersaingi. Ini ko iklannya lebih bagus dari acaranya. hehehe)
Alasan kedua, saya nonton TVRI ketika saya sulit tidur. Nonton TVRI bikin ngantuk!

Tapi tunggu dulu. Ternyata tidak semua acara di TVRI jelek ko. Ada yang bagus bahkan (menurut saya) wajib tonton. Diantaranya Oshin dan Minggu Malam Bersama Slamet Raharjo (MMBSR). Berbeda dengan MMBSR saya terkadang nonton Oshin hanya untuk romantika masa kecil saja.

Sebelum menikmati acara MMBSR, harap diingat bahwa acara ini diproduksi oleh TVRI. Oleh karena itu, harap beberapa maklum, misalnya, apabila panggung dan latar panggung yang kurang menarik dan cerah, apabila penataan lampu yang, entah kenapa, cahayanya membuat suasana dingin dan pucat, atau apabila suara yang tidak stabil dan bahkan terkadang tidak terkendali, atau gambar yang kadang bergoyang. Tambahan juga slide opening dan jeda yang kaku, dan lain-lain dan lain-lain.. (Anda bisa menambahkan daftar tersebut jika sudah nonton...). Jadi, setelah memaklumi hal-hal diatas tadi maka barulah anda bisa menikmati acara ini.

Sesuai dengan judulnya acara ini memang dibawakan oleh Slamet Raharjo, Seorang aktor senior dan sutradara kawakan. Acara ini adalah acara dialog dengan membahas tema-tema kontemporer yang berada di sekitar kita. Dengan menghadirkan berbagai narasumber yang kompeten namun tetap diformat dalam sebuah obrolan ringan. Obrolan warung kopi. Dan dengan kapasitas sebagai seorang sutradara, Slamet Raharjo mampu mengkolaborasikan tiap narasumber agar tetap berjalan sesuai dengan tema.
acara menjadi lebih segar karena Mas Slamet raharjo ditemani seorang seniman, penulis, Arswendo Atmowiloto. maka semakin riuhlah obrolan Minggu Malem bersama Slamet Raharjo.

Dari semua itu sehabis nonton MMBSR saya selalu dibuat optimis.
Sebab hidup dinegeri ini, seperti yang selalu tersirat dalam setiap acara dan dialognya, banyak noda namun toh pada akhirnya harus kita sadari bahwa coreng-moreng ini juga adalah muka kita sendiri. Yah..wajah Indonesia. Hujan batu dinegeri sendiri itu lebih baik...
Banyak masalah namun toh pada akhirnya akan selalu kita trima dengan lapang dada, sebagai bagian proses dalam menjadi sebuah bangsa yang lebih baik.

Seperti potongan puisi Goenawan Muhamad yang suatu kali pernah dikutip oleh Slamet Raharjo.

Bersiap kecewa
bersedih tanpa kata-kata


Bravo Indonesia!!

dari catatan lama.

Ketika langit mendung

Ketika langit mendung, sebelum hujan turun, seekor kupu-kupu masuk ke dalam kamar, terbang berkeliling dalam ruangan, hinggap di lampu neon lalu menempel di kaca jendela. Memamerkan kedua sayapnya yang indah dan kepakannya yang tenang.

Di dalam kamar itu, di bawah lampu, seorang laki-laki terbaring, menerawang kaca jendela, memandang langit mendung. Ia ingin terbang, meminjam sayap kupu-kupu dan pergi menerobos awan menyongsong hujan.

Seorang laki-laki dan seekor kupu-kupu terperangkap dalam sepi. Yang satu tenggelam dalam lamunan yang satu sibuk dalam kepakan. Keduanya hanya bicara dalam diam.

-kenapa tak kau sambut kehadiranku?

di tumpukan kertas

Di tumpukan lembar penelitian
aku terbenam dalam hitungan
tenggelam di lautan huruf
tersesat di antara paragraf

Ya Allah, adakah kau dengar ini suara
ketika kususun tiap aksara
menjadi lantunan do’a
antara khouf dan raja

ya Allah, adakah restumu di ini kertas-kertas,
di tiap jeda. Di serakan aksara.
Jika kau restui ya Allah, kenapa semakin bertumpuk ini kertas
Semakin sulit kurasakan kehadiranmu.

Awal Maret 2009

bulan biru



Di bumi terkapar hati yang gulita
Tersaput rindu yang mendera
Hangus terbakar api matahari
Cedera oleh sepi dini hari

***
Duh, bulan biru yang mencium hatiku
penabur cahaya hati yang sunyi
entah kapan kau bisa kurebut

Jika malam ini
bulan biru menggantung sampai pagi
terpaku memandang bumi
lalu pergi dan membiarkanku sendiri
dalam sepi.
tanpa bisa kumiliki.
itulah berati
Aku pelangi
tanpa warna-warni


Maret 2009

21 March 2009

Hatur nuhun

Hatur nuhun pisan, banyak terima kasih, mochi-mochi, danke schoen, syukron, thank you very much, matur nuwun sanget buat yang sudah memberi dukungan dan memberi restu, dan yang rela meluangkan waktunya untuk datang di seminar hasil hari Kamis kemarin. Di satu episode kecil seorang bambang trismawan.

Hasil presentasinya kemarin, lumayanlah untuk bisa disebut sebuah presentasi ilmiah. Gak mengecewakan. Walaupun ada beberapa lubang yang sama sekali tak terduga dari awal. “petanya kurang nih, wah...pembahasannya kurang mendalam di bagian yang peta...trus foto-fotonya.., yah kurang ini nih..kurang itu tuh.....agak terlambat tadi” itu beberapa evaluasi yang mengetuk-mengetuk kepala..
yah.. mau gimana lagi iku wes sakisone wes sakmampune.... namun dari semua kekuragan itu terobati juga dengan sebuh kalimat pendek dari bapak pembimbing skripsiku: tetap pertahankan seperti itu saat nanti ujian.
yes! Yaaa...bedabeduu....!
(gak sia-sia juga rupanya belajar sampe puasa internetan hehehe... eh, tapi entar dulu.. ngomong-ngomong apanya yang dipertahankan yah...??)

Terimakasih buat Iwan yang bantu wara-wiri, ipunk yang banting tulang mempersiapkan panggung, sarana dan prasarana, Wahyu yang sengaja datang di tengah kesibukkannya. buat mbak Auliya yang sudah mengingatkan sebuah do'a menghadapi seminar : “Wahai Tuhanku lapangkanlah dadaku, mudahkanlah untukku urusanku dan lepaskanlah kekakuan lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku (QS. Thaha 25-28).

Buat yang lain sengaja ingin saya sebut dalam hati saja.

Syukur kepada Allah SWT, yang sudah membuat rencana hidup dan mengijinkan sebuah momen membahagiakan ini lahir di sebuah episode berjudul Mahasiswa. Di sebuah episode yang hampir selesai inih. Mudah-mudahan diberikan sebuah ending yang bahagia. amin.

________________________
Yah... akhirnya tinggal beberapa langkah lagi dan 5,7 eh 5,8 tahun kebelakang akan terbayarkan.

fotonya entardeh di apdet.

16 March 2009

Presiden Guyonan : Guyonan sebagai aksi perlawanan.



Tak mudah memang membuat guyonan. Apalagi guyonan yang cerdas bernas. Televisi bisa saja berlomba menyajikan humor secara maraton di jam-jam laris. Radio bisa saja memperdengarkan penyiar yang ngocol habis-habisan dengan ber-hi..guys selama berjam-jam. Tapi, tak ada yang didapat setelah mendengar humor-humor itu selain kelelahan. Hunor kering buat jiwa kering. Humor yang tersaji ke kebanyakan kita adalah humor yang direpitisi. Humor yang terlalu banyak improvisasi, sehingga terkesan berlebihan dan dibuat-buat.

Mau tak mau, humor, guyon, memang dibutuhkan untuk penyeimbang kehidupan manusia. Bagi sebagian orang humor memang dinikmati hanya sekedar untuk mereduksi segala beban dan masalah yang menghimpitnya seharian penuh. Sebagai pengisi waktu luang, hiburan di kala senggang. Tapi humor ternyata tak selalu tentang melepas tawa tapi ia juga jadi cermin budaya, sebagian lagi humor ternyata bisa dijadikan media perlawanan. Sebagai kritikan. Aksi pembangkangan.. Nah, di dalam “Presiden Guyonan” Butet saya menemukan humor seperti itu.

***
Sampai saya menemukan Presiden Guyonan, saya tak pernah sekalipun membca tulisan dari seorang Butet Kertaradjasa. Saya mengenal Butet memang bukan sebagai penulis kolom tapi sebagai aktor teater. Aktor monolog kawakan (Yang tentu masih saya ingat adalah monolognya berjudul sarimin). Bukan, bukan karena saya tak tertarik dengan tulisannya. Tapi karena saya tak pernah menemukan satupun tulisannya di koran. Saya luput. Mungkin. (Lha ternyata beliau ini saban Minggu nulis di Suara Merdeka... mana saya tau. Lha wong bacaan koran saya di sini cuma Jawa Pos dan Kompas).

Butet Kertaredjasa. Jauhnya bentagan umur, kemampuan dan pengalaman, saya seharusnya memanggil beliau dengan panggilan Bapak, Pak Butet. Baru seminggu saya membaca Presiden Guyonan, di tengah aktifitas belajar ala sisifus. Tak lama memang, namun terlihat bahwa Presiden Guyonan adalah guyonan yang diolah dari pengamatan dan pengembangan pengalaman dalam menghayati kehidupan sehari-hari secara detail. Butet dengan penglihatan dan penciumannya yang tajam mampu melihat hal remeh temeh dalam kehidupan, yang sering tersisih dan terlupakan oleh sebagian kita, dan dengan jenaka ia sampaikan dalam tulisan ringan dengan tokoh sentral Mas Celathu di dalamnya.

Cara Butet memandang persoalan, dengan kenakalan yang disengaja, kekritisan yang disampaikan secara ringan, ternyata bisa menjadikan tulisannya sebagai senjata perlawanan yang serius. Bukan karena ia bicara dengan tajam menyengat ke arah penguasa atau ke siapapun yang pantas dilawan. Tapi terlebih karena ia mampu membukakan jalan alternatif (dengan cara guyon) namun tetap cerdas. Tajam namun tetap lucu. Mengejek namun tetap santun. Kritis namun tetap tanpa pretensi untuk menjadi orang yang sok serba tahu.

Dari semua itu, buat saya Pak Butet adalah antitesis dari segala yang formal, prosedural, dan protokoler. Bahwa protes tak perlu disampaikan dengan bahasa yang tajam, bahwa kritik tak perlu dituliskan dengan lipatan argumentasi yang rapi tertata. Namun semua tulisannya toh tetap sahih. Sahih dalam protesnya. Sahih dalam guyonnya. Sahih dalam teriaknya.

Dalam kata pengantar bukunya oleh Mohammad Sobary diceritakan suatu ketika, setelah sukses dengan pertunjukan peniruan gaya bicara dan gaya suara Pak Soeharto di televisi, Butet diminta untuk menirukan suara Baramuli. Lalu, dengan santainya Butet menjawab “Aku hanya mau menirukan suara manusia”.
Lucu.
Lelucon di atas jelas menunjukan semangat pembangkangan yang bukan hanya cerdas namun juga lucu terhadap penguasa yang refresif.

Guyon, lawak, ternyata bukan sekedar urusan melepas tawa. Pada banyak kesempatan, ia adalah aksi perlawanan, pernyataan resistensi, sebuah pembangkangan. Dan tulisan ini dibuat sebagai ucapan terima kasih untuk Butet karena telah menunjukan dunia alternatif itu. Dunia segar.

===================
Mbang..mbang.... lah sesok bukannya mau seminar hasil toh! Yo...pantes ae engko pas seminar disangka guyon... Lha bacaanya masih sing ngono-ngono ko.

Yah gimana lagi. Lha wong nu berseliweran di jero kepala ngan buku itu.

14 March 2009

Seminar Hasil : catatan meraih Sarjana (Bag 2)


Tulisan ini lanjutan dari tulisan yang berjudul sarjana beberapa bulan yang lalu.


Kamis depan, tanggal 19 Maret, saya dijadwalkan untuk berdiri di muka kelas untuk menjadi pembicara dalam sebuah seminar tingkat sarjana. Fakultas tempat saya menimba ilmu sekarang memang punya dua “ujian” bagi seorang mahasiswa untuk memperoleh gelar sarjana mereka. Ujian tersebut adalah arena dimana para mahasiswa menyampaikan dan mempertanggung jawabkan hasil tugas akhirnya di sidang para akademisi.

Ujian yang pertama biasa disebut seminar hasil. Di seminar hasil inilah para calon sarjana diuji untuk menyampaikan hasil penelitiannya, dengan bahasa yang sederhana, di hadapan para akademisi secara umum. Kesulitannya ialah para calon sarjana harus menyampaikan hasil penelitian, dalam kasus saya berarti tentang pemetaan ikan tuna di Samudera Hindia, kepada audiens dengan basic subyek ilmu yang kadang berbeda sama sekali dengan subyek ilmu yang calon sarjana geluti. (Nah... jika para audiens yang datang itu satu jurusan dengan saya, mungkin akan gampang sajah saya jelasin longline dan ngomongin ikan dan pemetaan. Tapi jika audiens yang hadir datang dari jurusan atau bahkan fakultas lain.... emhhh capek dehh).

Ujian kedua disebut ujian pamungkas. Final examination. Di ujian ini, para calon sarjana harus mempertahankan dan mempertanggung-jawabkan secara penuh hasil karya tulis mereka dihadapan para pakar di bidang ilmu yang sama dengan bidang ilmu yang para calon sarjana geluti. Di sidang inilah hasil karya ilmiah para calon sarjana ditelaah lebih ketat, lebih fokus, dan lebih mendalam oleh para pakar. hanya subyek-subyek yang terkait dengan materi penelitian sang calon sarjana saja. Dalam kasus saya, berati saya akan diuji lebih dalam tentang pengetahuan longline, daerah penangkapan, produksi tangkapan ikan tuna, pemetaan, pelabuhan perikanan. (beh... sebegitu banyaknya....! mana saya inget semuanya..!).

Final examination inilah palang uji terakhir bagi para calon sarjana. Jika para pakar, “sang penguji”, menganggap bahwa karya para calon sarjana layak dan pantas disebut sebagai hasil karya ilmiah, maka ia lulus. Ia layak dan pantas memperoleh gelar Sarjana. Dan hasil karya ilmiahnya akan berakhir di rak perpustakaan akademik. Tapi jika tidak.... emh..maka, hasil karya ilmiahnya akan berakhir di tangan pengepul...

Anyway...kamis depan saya akan memulai dengan ujian pertama. Dan di beberapa minggu kebelakang ini, saya berada di tengah usaha mempersiapkan diri untuk “ujian” menghadapi Seminar Hasil itu. Berusaha baca jurnal kembali... baca paper lagi. Buka-buka data yang sudah tertimbun lama. Buat catatan lagi.. bikin presentasi. Menambah masa aktif puasa internet, khusunya ngeblog.

Tapi entah kenapa di tengah segala usaha persiapan itu, benak ini susyah sekali untuk bisa konsentrasi pada apa yang tengah dikerjakan. Susah sekali untuk dapat ilham agar bisa duduk di depan meja lalu membaca kembali hasil skripsi, paper, atau baca presentasi. Malah justru yang terjadi adalah sering tergoda untuk melirik dan menelaah penghuni baru kamarku: Pohon-Pohon Sesawi, Presiden Guyonan, dan Karangan STA. Hufffhh.... emang sepertinya saya nggak bakat jadi pekerja sains. Baca buku ilmiah kalau ada butuhnya saja atau pas lagi kepeet seperti sekarang ini.

Ditengah belajar mempersiapkan menghadapi ujian itu pula sering terjadi refleksi, tentu saja refleksi kacau ala bambang, refleksi dari orang yang lagi gerogi, refleksi dari orang yang sedang mencoba mengenal diri sendiri. Saya menimbang tentang masa depan. Masa depan dan segenap keraguan serta segala misteri yang ada di balik tirainya. Bahwa akhir dari satu episode adalah awal episode lain. Menimbang masa depan yang masih tak jelas jalan dan arahnya serta tak banyak petunjuk terlihat di sana. Tapi saya tahu ia menunggu pasti di ujung sana. Yah...mungkin itulah yang disebut petualangan, berguru pada proses pencarian. Dan rintangan serta ujian yang ada didepan, ia mengada untuk dinikmati.

====================
Tentang hasil persiapan hari-H-nya? Yah..lumayanlah walau belum semuanya lancar dan belum semuanya benar. Di beberapa tempat masih banyak celah, di sebagian lagi banyak yang bertumpuk, sehingga terasa janggal jika disebut sebuah presentasi ilmiah. Mau gimana lagi...wes sakmampune iku...wes sakuate
Yah, semoga saja kamis depan para audiens ngerti benar apa yang sedang saya presentasikan adalah sebuah karya ilmiah.... bukan cerita fiksi atau drama atau dongeng apalagi guyonan.

___________________
Semoga diberi kemudahan oleh-Nya dalam melewati semua.
Dalam menaiki satu anak tangga yang lebih tinggi untuk menjadi seorang Bambang.


::
Nah...kepada pengunjung yang tersasar keblog ini terutama yang berada di wilayah Indonesia, terkhusus wilayah Malang dan sekitarnya saya undang saudara/i untuk hadir di seminar saya pada hari kamis. Dan Mohon do’anya juga.

Tolong ajak adik, kakak, nenek, kakek, pak dek, buk dek, pak lek, buk lek, bapak, emak, sanak untuk ikut hadir.... biar kuorum...(halah)
::

04 March 2009

Nasionalisme olahraga itu...

Melihat dan membaca begitu banyak koran dan televisi nasional yang meliput duel tinju Chris John versus Rocky Juarez yang dihubungkan dengan nasionalisme saya teringat obrolan dengan seorang sahabat beberapa tahun lalu. Mungkin ketika timnas Indonesia di perempat final piala Asia atau saat kejuaran badminton all england. Entahlah, persisnya saya lupa.

Tapi yang jelas teringat dalam obrolan tersebut bahwa hanya negara-negara berkembanglah (kata lain dari tertinggal-penghalus dari negara belum sejahtera) yang membutuhkan olahragawan sebagai pahlawan nasional, sebagai duta bangsa dihadapan dunia internasional. Yang dihubung-hubungkan dengan nasionalisme.

Kenapa?
Entahlah...
Mungkin karena macam negara ketiga lah yang membutuhkan simbol kebanggaan seperti itu. Simbol dari sedikit orang untuk berdiri sebagai wakil bangsa dihadapan warga dunia. Karena memang negara ketiga belum mampu memfasilitasi seluruh warganya untuk dapat menikmati fasilitas-fasilitas olahraga. Negara hanya mampu membiayai sedikit orang untuk tampil di kancah dunia.

Mungkin itulah sebabnya kita (sebagian orang Indonesia) bangga, dengan kebanggaan yang hampir sama seperti ketika akan melepas seorang utusan untuk mempertahankan tegak runtuhnya sebuah bangsa, ketika Chris John tampil di Texas. Mungkin itu pula yang menyebabkan kita bangga terhadap Ananda Mikola dan Moreno jika tampil di balapan internasional, walaupun kita tahu mereka berdua miskin gelar.

Kontras sekali dengan negara-negara yang sudah maju, Inggris misalnya. Disana olahraga –sepertinya- hanya dipandang sebagai penyemarak kehidupan manusia. Bukan lagi ajang buat menunjukkan diri dihadapan dunia. Di Amerika misalnya, pada pertarungan Chris John kemarin tidak dipandang sebagai ajang mempertaruhkan nasionalisme seperti kita di Indonesia. Disana –entah mungkin masyarakat sana yang kelewat matre- (mungkin, karena saya belum ke Amerika sana lho) duel tersebut hanya dipandang sebagai ajang taruhan saja. Bisnis. Tidak lebih. Nasionalisme...wah kejauhan itu..

Dan di negara-negara seperti ini yang menjadi kebanggaan justru adalah sistem fasilitas olahraganya. Bangga karena negara mampu menyediakan fasilitas olah raga fisik dan non fisik untuk masyarakat luas.

Sekali lagi entahlah...
Disatu sisi kita jadi harus sadar pembangunan olahraga di negara ini memang lebih mengerucut terhadap performa sedikit atlet untuk tampil di arena Internasional. penyediaan sarana olahraga yang lengkap dan terjangkau bagi masyarakat luas. Ah...masih mimpi kali yee...

Mau putsal-an ajah sekarang bingung. Parkiran dilarang. Lapang nggak ada. Depan rektorat dikejar-kejar satpam. Yah..terpaksa harus bayar.... lumayan mahal untuk hanya sekedar olah raga.

_____________________
Sudahlah... lek jangan kuatir. Suatu saat nanti juga kita akan seperti negar-negara maju itu. Fasilitas akan (hampir) gratis. Trus kita juga akan banyak melahirkan CR7- CR7 Indonesia. Lha wong jumlah penduduk Indonesia banyak ko. Anak-anak yang senang sepak bola, dan olah raga macam lain juga banyak di Indonesia. Tapi cuma karena kita belum makmur saja, jadinya bakat-bakat CR7 cuma terlahir tanpa sempat diasah, dilatih dan diliput oleh dunia.
Ndak apa-apa...
kita toh memang belum makmur-sejahtera benar ko.

Jadi...nasionalisme olahraga itu....ehmmm tampaknya memang milik negara berkembang.
ndak apa-apa juga...
kita toh memang belum benar-benar makmur.