29 March 2009

Olga jadi pelawak Tervaporit?? plis deh...

Sudah lama saya tidak tertarik dengan ajang Panasonic Award (PA). Disamping menebarkan aroma promosi, kenetralannya terhadap stasiun televisi pun masih sering dipertanyakan. Namun hari ini tiba-tiba saja saya tergelitik dengan koran Jawa Pos yang menampilkan foto Olga Syahputera sebagai seorang pelawak tervaporit di ajang PA tersebut.

Lho!! Bagaimana mungkin dan bagaimana bisa??

Seharusnya saya tidak bertanya seperti itu. Toh saya tahu persis bahwa tidak ada kriteria dan penilaian yang jelas dalam pemilihan nominasi. Semua hanya berdasarkan sms pemirsa, yang jumlah pengirimnya pun kita tidak tahu. Pemirsapun tidak tahu siapa dan apa yang ada di balik pengaturan jumlah SMS tersebut.

***
Kesusasteraan, konon, mengajar kita untuk selalu mempertimbangkan kemungkinan yang banyak dari kemungkinan manusia. Sedang pelawak mengajar kita untuk mempertimbangkan kekonyolan dan kebodohan kita. Keduanya berfungsi untuk menyeimbangkan kehidupan kita. Disinilah... saya tergelitik. Bagaimana akan menyeimbangkan kehidupan manusia bila pelawaknya adalah seorang yang tidak dapat menunjukkan letak kekonyolan dan kebodohan kita.

Saya tahu Olga. Bagaimana ia bicara saat menjadi presenter, ataupun ketika berakting di sinetron. Gayanya yang supel dan sedikit terseok-seok gemulai kadang membuat saya juga tersenyum melihat polahnya. Tapi itu bukan berarti saya bersetuju jika ia disebut pelawak. Bukan berarti itu jaminan ia layak menyandang nama pelawak. Alasannya tentu bukan karena masalah pendidikan. Saya tahu kemampuan melawak itu hampir tidak ada hubungannya dengan pendidikan formal. kemampuan melawak lebih banyak didapatkan dari pengembangan kepekaan menghayati kehidupan sehari-hari secara mendetail.

Seorang pelawak adalah Ia yang mengamati rutinitas manusia sehari-hari, sebuah cerita manusia yang panjang berulang-ulang dan membosankan. Lalu dengan cermat dan tekun seorang pelawak mengais dan memungut mutiara-mutiara yang berserak bersama rutinitas itu, dan dengan kemampuannya ia suguhkan menjadi fenomena yang istimewa pada kita. Pelawak seperti editor juga sensor. Editor rutinitas kehidupan. Ia menunjukkan bahwa rutinitas tidak selalu membosankan, tapi ada yang lucu di sana. Meskipun yang lucu itu adalah kekonyolan, kebodohan, dan keabsurditas-an kita sebagai manusia..

Hal yang paling sulit saat seseorang menjadi pelawak adalah ketika dia berpantang untuk tidak terperosok dalam rutinitas. Sebab sekali ia terjerembab dalam rutinitas maka ia akan kehilangan kepekaannya dalam mendeteksi berbagai fenomena kehidupan yang menarik. Sekali terjatuh dalam rutinitas ia akan kembali menjadi manusia biasa. Hasilnya, bila ia melucu, maka guyonannya akan menjadi lucu yang garing, dan rutin yang membosankan. Guyon yang direpitisi. Dan itu sebenarnya dapat kita lihat pada Olga.

No comments: