09 May 2012

Buruh

Seorang karyawan pabrik sepatu bertanya pada saya, kenapa selama bertahun-tahun ia bekerja banting tulang, hidupnya tak kunjung membaik.

Saya, juga anda, mungkin akan kebingungan menjawab pertanyaan tersebut. Tapi tidak untuk para juragan. Seperti para motivator, seorang juragan terlatih untuk mengantisipasi pertanyaan-pertanyaan macam di atas.

Para juragan pasti akan menjawab dengan jawaban yang terdengar melegakan, “sabarlah, dan tetap fokus untuk terus kerja, kerja, dan kerja.”

Yah, begitulah ajaran para juragan. Segala jawaban telah dikondisikan agar dalam batok kepala para buruh, yang harus bangun sedari subuh dan kemudian kerja 8 jam sehari, tak terbersit pertanyaan yang aneh-aneh. Agar mereka tetap bisa “positif thingking”.

Akan sangat berbahaya jika dalam kepala buruh terbersit pertanyaan yang aneh-aneh. Mempertanyakan dari mana para juragan memperoleh gaya hidup yang jetset, yang bisa mempraktekkan ajaran majalah-majalah gaya hidup seperti bersantap di kafe mewah, makan di restoran mahal, mengoleksi apartemen atau pelesiran ke luar negeri, misalnya.

Begitulah, kibul, berita, petuah, hiburan dicampur aduk dan ditebar di sekitar kita untuk menjaga motivasi para buruh. Sebab sekali motivasi bekerja buruh hilang, gantinya hanya pemogokkan massal menuntut kenaikkan upah. Kalau tetap menuntut, maka dinaikkanlah upah sedikit-sedikit. Tak bisa sembarangan, sebab jarak ongkos produksi dengan harga pasaran tetap harus tinggi.

“Gaji tak bisa sama rata. Gaji diberikan sesuai dengan tanggung jawab. Sampai sekarang karyawan sudah dibayar sesuai dengan upah minimun,” kata juragan.
Ya, upah minimum. Kalau bisa minimumlah seterus-terunya.

Begitulah, nasib para pekerja yang mengandalkan gaji. Nasib di negeri pat-gulipat memang seperti tidak ditakdirkan oleh Tuhan, tapi ditentukan di meja-meja perundingan penguasa dan pengusaha.

Jadi apalagi yang menarik dari Hari Buruh kemarin selain jalan barengnya? blokir jalannya? Panas-panasannya? Parkir bisnya?

Hari buruh memang dirayakan. Meriah, begitulah. Bahkan difasilitasi. Pejabat, anggota DPR ikut turun ke jalan. Sesekali olah raga tak apalah, begitu pikirnya.

Setelah itu, para buruh kembali pulang dengan lesu kembali masuk roda hamster. Seperti kembang api yang diledakkan di langit malam, meriah dalam ketersekejapan. Setelah itu langit kembali kelam dan kembang api, meminjam istilah Goenawan Mohamad, jatuh menjadi arang yang getas. :p