16 March 2009

Presiden Guyonan : Guyonan sebagai aksi perlawanan.



Tak mudah memang membuat guyonan. Apalagi guyonan yang cerdas bernas. Televisi bisa saja berlomba menyajikan humor secara maraton di jam-jam laris. Radio bisa saja memperdengarkan penyiar yang ngocol habis-habisan dengan ber-hi..guys selama berjam-jam. Tapi, tak ada yang didapat setelah mendengar humor-humor itu selain kelelahan. Hunor kering buat jiwa kering. Humor yang tersaji ke kebanyakan kita adalah humor yang direpitisi. Humor yang terlalu banyak improvisasi, sehingga terkesan berlebihan dan dibuat-buat.

Mau tak mau, humor, guyon, memang dibutuhkan untuk penyeimbang kehidupan manusia. Bagi sebagian orang humor memang dinikmati hanya sekedar untuk mereduksi segala beban dan masalah yang menghimpitnya seharian penuh. Sebagai pengisi waktu luang, hiburan di kala senggang. Tapi humor ternyata tak selalu tentang melepas tawa tapi ia juga jadi cermin budaya, sebagian lagi humor ternyata bisa dijadikan media perlawanan. Sebagai kritikan. Aksi pembangkangan.. Nah, di dalam “Presiden Guyonan” Butet saya menemukan humor seperti itu.

***
Sampai saya menemukan Presiden Guyonan, saya tak pernah sekalipun membca tulisan dari seorang Butet Kertaradjasa. Saya mengenal Butet memang bukan sebagai penulis kolom tapi sebagai aktor teater. Aktor monolog kawakan (Yang tentu masih saya ingat adalah monolognya berjudul sarimin). Bukan, bukan karena saya tak tertarik dengan tulisannya. Tapi karena saya tak pernah menemukan satupun tulisannya di koran. Saya luput. Mungkin. (Lha ternyata beliau ini saban Minggu nulis di Suara Merdeka... mana saya tau. Lha wong bacaan koran saya di sini cuma Jawa Pos dan Kompas).

Butet Kertaredjasa. Jauhnya bentagan umur, kemampuan dan pengalaman, saya seharusnya memanggil beliau dengan panggilan Bapak, Pak Butet. Baru seminggu saya membaca Presiden Guyonan, di tengah aktifitas belajar ala sisifus. Tak lama memang, namun terlihat bahwa Presiden Guyonan adalah guyonan yang diolah dari pengamatan dan pengembangan pengalaman dalam menghayati kehidupan sehari-hari secara detail. Butet dengan penglihatan dan penciumannya yang tajam mampu melihat hal remeh temeh dalam kehidupan, yang sering tersisih dan terlupakan oleh sebagian kita, dan dengan jenaka ia sampaikan dalam tulisan ringan dengan tokoh sentral Mas Celathu di dalamnya.

Cara Butet memandang persoalan, dengan kenakalan yang disengaja, kekritisan yang disampaikan secara ringan, ternyata bisa menjadikan tulisannya sebagai senjata perlawanan yang serius. Bukan karena ia bicara dengan tajam menyengat ke arah penguasa atau ke siapapun yang pantas dilawan. Tapi terlebih karena ia mampu membukakan jalan alternatif (dengan cara guyon) namun tetap cerdas. Tajam namun tetap lucu. Mengejek namun tetap santun. Kritis namun tetap tanpa pretensi untuk menjadi orang yang sok serba tahu.

Dari semua itu, buat saya Pak Butet adalah antitesis dari segala yang formal, prosedural, dan protokoler. Bahwa protes tak perlu disampaikan dengan bahasa yang tajam, bahwa kritik tak perlu dituliskan dengan lipatan argumentasi yang rapi tertata. Namun semua tulisannya toh tetap sahih. Sahih dalam protesnya. Sahih dalam guyonnya. Sahih dalam teriaknya.

Dalam kata pengantar bukunya oleh Mohammad Sobary diceritakan suatu ketika, setelah sukses dengan pertunjukan peniruan gaya bicara dan gaya suara Pak Soeharto di televisi, Butet diminta untuk menirukan suara Baramuli. Lalu, dengan santainya Butet menjawab “Aku hanya mau menirukan suara manusia”.
Lucu.
Lelucon di atas jelas menunjukan semangat pembangkangan yang bukan hanya cerdas namun juga lucu terhadap penguasa yang refresif.

Guyon, lawak, ternyata bukan sekedar urusan melepas tawa. Pada banyak kesempatan, ia adalah aksi perlawanan, pernyataan resistensi, sebuah pembangkangan. Dan tulisan ini dibuat sebagai ucapan terima kasih untuk Butet karena telah menunjukan dunia alternatif itu. Dunia segar.

===================
Mbang..mbang.... lah sesok bukannya mau seminar hasil toh! Yo...pantes ae engko pas seminar disangka guyon... Lha bacaanya masih sing ngono-ngono ko.

Yah gimana lagi. Lha wong nu berseliweran di jero kepala ngan buku itu.

No comments: