22 November 2008

bahasa Suroboyoan...



bagaimana bahasa Suroboyoan dalam prespektif budaya Jawa?

Beberapa hari yang lalu, saya diberi dua buah film indie pendek oleh seorang teman. Satu berjudul ‘Grammar Suroboyo’ dan satu lagi berjudul ‘Bahasa Suroboyoan’. Kedua film tersebut di produksi oleh Si Ikin, nama dari sebuah komunitas anak muda Surabaya (begitu katanya). Film yang berdurasi tidak lebih dari delapan menit tersebut bercerita tentang percakapan antara dua orang yaitu Suro (ikan hiu) dan Boyo (buaya). Dalam percakapan tersebutlah disisipkan bahasa Suroboyoan. Sebuah bahasa yang kontennya (jika di daerah lain, Malang misalnya) adalah kata-kata yang diperuntukan untuk (maaf) mis*h, marah-marah dan serapah.

Dari judul film tersebut, mungkin dalam hati Anda akan bertanya : “Apakah benar orang Surabaya semua memakai ‘grammar Suroboyoan’ yang diperlihatkan dalam dialog film si Ikin tersebut?” Saya tidak tahu. Mungkin mereka benar orang Surabaya dan benar-benar menggunakan ‘grammar Suroboyoan’. Tapi Andapun tahu, banyak orang Suroboyo tidak menggunakan ‘grammar Suroboyoan’.

Tapi masalahnya tidak sampai disitu. Walaupun tidak semua orang Suroboyo menggunakan grammar Suroboyoan, adanya film tersebut jelas menunjukkan adanya eksistensi dari pengguna bahasa Suroboyoan tersebut. Pertanyaannya adalah bagaimana hubungan ‘bahasa Suroboyoan’ dengan budaya induknya atau bahasa Jawa? Apakah pengguna ‘bahasa Suraboyoan’ dalam hal ini bisa disebut Jawa? Lalu dalam konteks apa seseorang itu di sebut Jawa?

Bagi masyarakt pasca-pertanian, masyarakat yang masih menganggap hirarki sosial sebagai pranata sosial, kerukunan dan keharmonian adalah sesuatu yang sangat penting. Maka, bahasa yang berkembang dan dikembangkan adalah bahasa antara lain untuk menjaga sistem nilai serta memperkukuh nilai-nilai tersebut. Oleh karena itu bahasa yang dianggap cenderung merusakkan kerukunan dan harmoni akan dihindari dan dicegah.

Sayangnya nilai kerukunan dan harmoni yang begitu sentral dalam sistem budaya tersebut ternyata telah menciptakan berbagai sikap yang khas dalam masyarakat. Ia –secara tidak langsung maupun lansung telah menciptakan “budaya malu”, “budaya rikuh”, “segan” atau mungkin juga budaya “enggan”- Ia mendorong tumbuhnya keengganan untuk berkonfrontasi langsung atau memulai suatu konflik. Ia menganjurkan lebih baik menghindari pertengkaran daripada menyambutnya. Ia akan menekankan pada sikap peka terhadap kemungkinan munculnya rasa tersinggung pada orang lain.

Maka (yang saya tahu), orang Jawa sudah dianggap ‘jowo’ apabila telah memiliki kepekaan dalam konteks tersebut. Ukuran ‘halus’, ‘beradab’ dan ‘tahu adat’ sangat ditentukan oleh kepekaan penguasaan jurus kepekaan tersebut. Maka bahasa yang hadir adalah sebuah bahasa pergaulan yang penuh ungkapan pelembut. Walaupun dengan tujuan mengkritik, bahasa yang digunakan adalah bahasa yang semu, bahasa sindir, dan bahasa yang berbunga-bunga. Dan dalam konbteks ini bahasa Suroboyoan tidak mendapat tempat karena sifatnya yang terus terang dan apa adanya serta (diselingi) ‘misuhan’.

Lalu, dari itu semua, di mana ‘Bahasa Suroboyoan’ ini ditempatkan? Masih bisakah disamakan dengan bahasa Jawa? Atau justru ‘grammar Suroboyoan’ adalah antitesis dari bahasa Jawa?

Entahlah...
Yang jelas saya tidak berani untuk menggunakan bahasa-bahasa yang ada dalam film pendek tersebut atau ‘grammar Suroboyoan’. Apalagi ketika hidup dalam lingkungan budaya di mana gestur terkecil pun punya muatan tata krama.

Lalu apa yang diinginkan oleh anak-anak Suroboyoan tersebut? Apa yang bisa dilihat dan dapat diambil dari film buatan si ikin tersebut?

Lagi-lagi entahlah...
Bahasa emang punya aturan gramatik, ‘mood’ dan ‘feeling’ nya sendiri-sendiri sehingga menggunakan bahasa yang ‘bebas’ dalam sebuah masyarakat tidak selalu bisa dibenarkan. Atau justru barangkali ini adalah langkah awal dalam mencari dan merumuskan bahasa baru yang tidak terlalu bergantung pada konteks nilai keselarasan hirarkis. Suatu bahasa yang cukup sopan, elegan, tanpa harus merunduk-runduk kebawah dan sering mendongak ke atas.

Ah...Entahlah?
Tapi barangkali, mungkin konteks orientasi budayanya yang bisa dipetik dari film tersebut. Bahwa ia menawarkan hidup dalam sebuah masyarakat egaliter dan sistem yang sangat terbuka. Masyarakat yang sama hak dan sama derajat yang dilihat dengan penggunaan bahasanya dalam percakapannya.

Ah.....Entahlah... Kang Mas, Mbakyu...
Ini semua hanya memaksa saya untuk terus belajar lagi hidup di sebuah budaya dengan tradisi, cara hidup, yang padat dengan tata krama dan petatah-petitih ini.

No comments: