05 November 2008

kami putra-putri Indonesia...




Kita tak pernah tahu perasaan apa yang membadai dalam dada pemuda-pemudi itu. Apa yang berkecamuk dalam kepala mereka. Ketika pada akhirnya mereka harus mengucap ikrar. Bersumpah setia pada sebuah nama yang belum nyata. Sebuah nama yang hanya ada dalam benak mereka. Berjanji setia pada sebuah wacana, wacana yang juga belum selesai : Indonesia

Kita mungkin hanya dapat membayangkan mereka dari berbagai organisasi pemuda daerah, mungkin tak semuanya dikenal, berhimpun di sebuah gedung, yang tak terlalu besar, dengan penjagaan ketat tentara Belanda. Acara dibuka. Lalu beberapa pemuda maju ke mimbar bergantian memberikan orasi, selama dua hari sebelum diakhiri dengan sebuah permainan biola dari W.R. Supratman yang membawakan Lagu Indonesia raya...

Tapi kita mungkin tak pernah tahu persis, suasana apa yang melahirkannya. Ketika teks itu dirumuskan lalu disusun kata perkata. Kalimat per kalimat. Kekalahan yang dibalut harapankah? Sebuah optimismekah? Persiapan perlawanankah? Kita tak tahu persisis. Sama seperti kita tak pernah tahu apakah pemuda pemudi itu tak pernah bertanya apa Indonesia itu? Mana batasannya? Yang mana bahasa Indonesia itu?
Tak ada tanya ataukah memang tak ada jawab? Atau memang belum perlu ada jawab.
Sungguh kita tak tahu saat teks itu terumuskan. Bergetarkah tangan yang menuliskannya? Takzimkah mereka ketika berucap Indonesia? Bergemuruhkah dada mereka kita berucap 'Bangsa Indonesia'? Kita tak tahu. Hanya mereka yang diberi keistimewaan oleh sejarah untuk merasakannya.

Mungkin tak ada seorangpun yang bisa menjelaskan kepada kita apa, siapa yang menggerakkan roda nasionalisme -yang kata Soekarno disebut sebuah keinsyafan rakyat untuk satu bangsa - itu. Soegondo kah? Moh. Yamin kah? Ataukah sebenarnya justru mereka sendiri?
Kita hanya bisa melihat sebuah teks yang lurus. Ringkas. Tapi keras. Sekeras granit “...Bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia”.

Teks bersejarah itupun sampai kepada kita terlalu dini, bahkan sebelum duduk di bangku SMP. Pendek. Hanya tiga baris. Satu ideologi, satu kesatuan dan persatuan tentang Indonesia. Kita mengingatnya karena setiap tanggal 28 Oktober ada yang mencetak, ada yang membacakan kembali. Di upacara-upacara, Apel-apel.

Tapi sungguh kata-kata bisa direkam. Tulisan bisa dicetak kembali. Berulang-ulang. Berkali-kali. Tapi apakah emosi yang melatari dan menemani saat pemuda-pemudi itu mengucap sumpah bisa diulang kembali? Bisa dirasakan kembali oleh putra-putri Indonesia- kini. kalau tidak??
Lalu apakah itu berarti bahwa kita tidak akan mampu memahami kecintaan, kerinduan, harapan, dan kepemilikan akan sebuah nama seperti yang dirasakan pemuda-pemudi saat itu?
Tentu tidak. Semoga tidak.

Atau entahlah..
Biarkan itu diserahkan kembali kepada Putra-putri Indonesia. Mereka yang akan lebih tahu untuk menentukan arti separagraf Sumpah itu.

Sekarang saya hanya bisa mencoba membacanya kembali, dengan lirih sahaja : “Kami Putra putri Indonesia...”



:: Mungkin nanti malam saya akan berdo'a : Ya Allah ingatkan terus bahwa hamba ini juga adalah orang Indonesia ::

24 Okt-03 Nov 2008

No comments: