22 June 2010

Ehsan

Namanya Ehsan, bukan nama asli, tapi sebut saja begitu. Saya gak kenal Ehsan secara pribadi. Ia pun gak kenal saya. Ia saudara, entah apa, dari iparnya paman saya.
Ehsan remaja sekolah menengah di pondok pesantren Gontor. Setelah lulus Ehsan mendapat beasiswa untuk melanjutkan sekolah di LIPIA. Tak sampai di sana, setelah meraih gelar LC pun ia mendapat kesempatan beasiswa untuk belajar S2 di Pakistan. Ketika akan belajar ke Pakistan sana decak kagum dari teman-temannya menyertai keberangkatannya. ”Wah hebat.. terjamin sudah masa depannya”, ”Beruntungnya dia” timpal yang lain.

Konon kabarnya lulusan LIPIA saja sudah jadi rebutan instansi dam universitas-universitas Islam di Indonesia. Ditambah S2 di Pakistan dengan lancar berbahasa Inggris dan Fasih bahasa arab pastilah mudah untuk mendapat gaji berbandrol tinggi di lembaga pendidikan bergengsi.

Memang benar, setelah mendapatkan gelar MA-nya, Ehsan menjadi pengajar di salah satu universitas terkemuka di Malaysia. Namun tak lama mengajar di sana, Ehsan pulang ke Indonesia. Ayahnya sakit. Setelah sembuh Ehsan tak kembali ke Malaysia atau mengajar di universitas terkemuka lain di Indonesia. Ia memilih untuk mengajar sekolah agama di kampungnya dan terlibat memajukan pendidikan di kotanya. Tak ada gengsi yang mentereng, gaji pun kecil. Banyak yang terbengong. ”Kalau cuma untuk ngajar di sekolah agama mah gak usah harus ke LIPIA, pesantren lokal saja juga bisa, malah bisa lebih tinggi” celetuk yang satu, ”Ngapain sekolah tinggi-tinggi sampai jauh-jauh kalo jadi guru agama?” celetuk yang lain.

Komentar sinis, cemooh, bahkan simpati yang seperti bela sungkawa terdengar menyertai keputusannya. Seolah Ehsan telah membuang waktu percuma untuk ”belajar jauh-jauh dan tinggi-tinggi” cuma untuk mengajar sekolah agama di kampungnya.

”Merawat ayah dan ingin berkontribusi lebih banyak untuk memajukan kampung” komentar Ehsan melatari keputusannya. ”..soalnya ayah dulu sudah berpesan untuk bisa memajukan kampung”.

Kontribusi ke kominatas yang lebih luas, dibanding masa depan dan kantong pribadi. saya pikir layak memang untuk lulusan seorang yang berpendidikan tinggi mengambil keputusan yang tak bisa dinalar oleh logika kebanyakan. Pada akhirnya, banyak dari kita ”sekolah jauh-jauh dan tinggi-tinggi” cuma untuk meluaskan pandang macam ini. Melepaskan diri dari belenggu kepentingan sempit sesaat.
Go!! Ehsan!!

1 comment:

mbah jiwo said...

ironi2 hidup mbang...you know lah...

jadi inget ehsan nya upin ipin...