03 December 2010

Tentang Rambu dan Polisi Tidur

Saya selalu menganggap jalan itu milik umum. Karena milik umum, tidak ada yang berhak seenaknya membuat polisi tidur. Tidak juga warga sekitar jalan tersebut. Tapi karena pengguna jalan seenaknya memacu kendaraannya, maka orang sekitar juga seenaknya bikin polisi tidur dengan ketinggian dan kerapatan yang tak terkira.

Bukankah jika hanya ingin pengendara mobil atau motor berjalan pelan-pelan, yang dibutuhkan adalah memasang rambu atau tanda dengan arti membatasi kecepatan maksimal. Dengan rambu maksimal 10 km misalnya. Yang artinya batas kecepatan maksimal yang diperkenankan hanya10 km/jam.
Atau jika dikhawatirkan para pengendara tidak mengerti rambu-rambu maka kenapa tidak dipasang tulisan yang berisi “kurangi kecepatan-banyak anak kecil”, misalnya. Disamping lebih murah bukankah dengan rambu terkesan lebih ramah?

Tapi anda tahu, si pengendara mobil atau motor tidak akan memperlambat kendaraanya hanya karena ada rambu atau tulisan tersebut. Dibutuhkan sesuatu yang lebih nyata agar si pengendara tidak memacu kendaraannya lebih dari 10 km/jam. Dibutuhkan sesuatau yang lebih berasa. Yang lebih menghasilkan efek jera jika sipengendara tetap kekeh memacu kendaraannya lebih dari 10 km/jam. Yang lebih menyakitkan. Terjungkal atau jatuh, misalnya. Maka dibuatlah polisi tidur dengan ketinggian tak terkira.

Kondisi ini saya sebut dengan politik polisi tidur. Artinya, orang melanggar batas karena ada orang lain yang pertama kali melanggar batas.

Inilah zaman ketika tanda-tanda sudah tidak diperhatikan oleh manusia. Rambu lalu lintas yang berderet di jalan-jalan hanya menjadi besi bergambar pajangan tanpa pernah benar-benar diperhatikan oleh si pengguna jalan.

Kenapa seperti ini?? Maksudnya, kenapa tanda-tanda tidak diperhatikan? Mungkin karena saat mendapatkan SIM nya pun tidak terlalu memerhatikan arti dari rambu-rambu. Tes hanya formalitas. yang diperhatikan, tentu saja, berapa uang yang bisa diberikan.

Kenapa rambu-rambu diabaikan? Karena manusia tidak lagi peka terhadap tanda-tanda. Padahal orang tua-orang tua kita sangat begitu peka terhadap tanda-tanda.
Entahlah.

Dulu, ketika masih kecil, saya ingat ketika tanda-tanda sangat begitu diperhatikan. Kejadian alam adalah pertanda. Ada kupu-kupu masuk rumah, pertanda bahwa akan ada tamu datang. Tamu yang tak biasa. Tamu besar. dan banyak tanda-tanda lain. Seperti suara burung gagak yang terdengar tengah malam, berarti ada orang yang mati. dan lain sebagainya dan lain sebagainya.

Dan banyak pamali-pamali lain yang berhubungan dengan tanda-tanda. Orang Sunda yang di kampung mungkin mengerti betul apa yang saya maksud.

Dan saya tumbuh dilingkungan dengan kepercayaan seperti itu. Mungkin ada yang menyebutnya dengan takhayul. Namun, seperti kata Parang Jati, membaca takhayul tidak bisa dengan cara pandang seorang modernis. Fakta bahwa takhayul lebih bisa menyelamatkan dan melestarikan bumi memang tidak terbantahkan. Namun melihat takhayul untuk menyebarkan ketakutan dan teror juga tak bisa dibantah.

Terlepas dari itu, bukankah Allah juga selalu mengingatkan manusia tentang kebesaran dan kekuatanNya dengan cara agar memperhatikan tanda-tanda kebesaranNya.
Tengoklah ayat-ayat Al-Qur’an. Pasti akan kita temui potongan ayat “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan,” di lain surat disebut “bagi orang-orang yang beriman”.

Itulah peringatan dari Allah. Bahwa setiap peristiwa alam merupakan pertanda. Tanda-tanda kebesaranNya yang harus diperhatikan.

Jadi, seperti kata guru sekolah saya, Pak Kas, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang ketika diperlihatkan tanda kebesaran Allah ia akan mengajak rakyatnya mendekat dan memohon ampun. Jika ada gerhana matahari misalnya, pemimpin yang baik tidak akan berkomentar ini merupakan fenomena alam. Tapi mengajak rakyatnya untuk melakukan sholat gerhana.

Dan bukan hanya berkomentar tentang sebuah fenomena alam semata.
Karena setiap ilmu pengetahuan hanya menjawab cara kerja alam. Namun mengapa terjadi “seperti itu” tak kan bisa terjawab. Kenapa? Karena seperti setiap penjelasan tentang fenomena apapun, selalu akan menyisakan sepotong pertanyaan kembali.
Yang sudah nonton film Knowing atau The Day The Earth Stood Still, pasti tahu, orang yang tak percaya tuhan meletakkan yang tak terjawab yang misterius tersebut pada sesuatu Supranatural. Alam dengan A besar. Gaia, atau Alien.

Entahlah..
Mungkin inilah kritik buat kita. yang tak lagi peka terhadap tanda-tanda.

*Nah, itu solilokui ibukota kali ini. Seperti mengada-ngada? Atau mengerti yang saya omongin? Kalau belum mengerti jangan kaget. Lha, saya juga belum sepenuhnya mengerti kok. Saya cuma kaget aja lantaran tiba-tiba ada dua polisi tidur yang tingginya setinggi gunung di jalan besar yang biasa saya lewati.

Kenapa tidak menggunakan tanda yang di bawah ini saja kan?? Bukan kah biaya pembuatannya lebih murah??

2 comments:

krupuk said...

jempol untuk tulisan ini

mbah jiwo said...

suwene lek apdet rek...