16 August 2010

Gegar Budaya di Jakarta

Kalervo Oberg, ekonom Kanada yang kemudian hari jadi anthropolog, suatu kali bikin istilah 'culture shock', atau 'gegar budaya'. Istilah tersebut ia gunakan untuk membahasakan kekagetan dan kekikukan seseorang dari satu budaya kemudian bersua atau hijrah ke tempat dengan budaya berbeda.

Gegar budaya. Culture shock. Itulah kata yang mewakili keadaan saya beberapa waktu belakang ini. keadaan yang menggambarkan keadaan saya yang tergagap-gagap dalam menjalani hidup sesehari di Jakarta.

Untungnya, tak hanya saya yang pernah mengalami gegar budaya seperti ini. Jutaan orang yang tinggal di Jakarta tapi berasal dari ruang budaya lain pun mungkin pernah mengalami hal yang saya alami. Maklum saja, menurut saya, Jakarta memang menyimpan auranya sendiri. Menawarkan kemewahannya sendiri. Kesemrawutannya sendiri. Tantangannya sendiri. Dan, tentu saja, menampilkan kekumuhannya yang khas juga.
Sebab itu, orang dari berbagai sudut negeri ini, akan dengan mudah tergagap-gagap begitu pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta.

Karena itu, saya sering mendapatkan diri ini terngugun sendirian di hadapan kesemrawutan Jakarta. Tercenung di kemewahan Jakarta. Terheran-heran dengan logika yang digunakan dalam interaksi dengan yang liyan. Logika dingin yang terkadang tak kenal pertimbangan familial. Hubungan antar sesama yang terasa asing. Dengan mudah bertemu orang dari berbagai tempat di negeri ini untuk kemudian hilang entah ke mana.

Satu gegar budaya yang menarik yang saya alami adalah tersesat di belantara Jakarta. Untuk dua minggu atau tiga minggu pertama saya di Jakarta, hampir setiap hari saya kesasar, tersesat. Muter-muter di sepanjang jalan Sudirman-Thamrin. Maksud hati ke Kebayoran Lama, tiba-tiba saya temukan diri ini sudah di jalan menuju Tangerang. Mau pulang ke Depok, eh, sudah mau ke Banten. Mau ke Liga Mas Pancoran.. tiba-tiba sudah ada ada di semrawut Pasar Minggu. Fiuh.. dan lain-lain dan lain-lain. Padahal saya sudah sedia dengan peta Jakarta yang saya persiapkan jauh-jauh hari. Peta tetap saja peta. Tidak mengaggambarkan suasana bumi yang sebenaranya.

Gegar budaya yang menarik lainnya adalah ketika memasuki Sudirman Central Business District (SCBD). Di sana, saya bukan saja merasa menjadi alien. Tapi saya merasa datang ke tempat yang asing sama sekali. Bukan hanya dengan teknologi yang ada di sana. Tapi juga manusia yang berulang-aling, keluar masuk gedung pencakar langit, Bertemu manusia dengan pakaian yang hampir sama..

Pekerjaan saya memang memungkinkan saya untuk menghadiri undangan-undangan dari kantor yang berada diperumahan yang biasa-biasa sampai diskusi di hotel berbintang-bintang. (Untunglah pekerjaan saya tak menuntut saya untuk bangun pagi-pagi. Tidak menuntut pakaian yang resmi. Celana jeans dan kaos oblong pun jadi  ).

Yang menarik, dari pengalaman keterasingan serta kegagapan budaya macam di atas tadi adalah kesadaran bahwa lama-kelamaan makin mirip siputlah saya ini: ternyata rumah saya menempel di punggung sendiri dan terus menerus dibawa kemana-mana.
Apalagi kalau bukan disebut siput namanya. Ketika saya datang ke suatu tempat namun tak bisa untuk berbagi sepenuh asumsi akan hidup dan kehidupan dengan sebagian masyarakatnya. Masih pantaskah tempat tadi disebut tempat tinggal? Jika masih terasa terasing dengan dera putar kota beserta nilai, rasa, norma dan pemikiran di dalamnya.

Ah, mungkin pada tingkat tertentu kita adalah siput-siput yang membangun rumah di punggungnya sendiri. Rumah yang dindingnya adalah asumsi akan makna. Asumsi sendiri terhadap manusia dan komunitas. Asumsi yang terus menerus kita bolak-balik dan putar-sesuaikan dengan budaya asal-asul.

No comments: