09 April 2009

Tuk Hendra



Pulang ke rumah, kepala ini masih dipenuhi segala deadline dan segala antisipasi untuk minggu depan. Tapi apadaya, dealine tetap jadi deadline, yang kalau ga kepepet dan tersudut, susah sekali tuk dapat wangsit bisa tuk belajar dan menyelesaikannya. Trying to be studious. Still on trying, not studious.. di tengah segala persiapan dan cari wangsit untuk bisa duduk belajar menekuni skripsian itulah saya sengaja main ke rumah teman. Dan di tengah obrol mengobrol tersebut tiba-tiba informasi itu datang.

Hendra Firmansyah, satu dari lima temanku semasa kecil. Rumahnya tak jauh dari rumah orang tuaku di Sukabumi. Bersebrangan kalau tidak disebut berhadapan. Kami tumbuh besar bersama walau dengan minat dan sifat yang berbeda. Kami lalui masa kecil bersama (ber-enam) dengan segala kenakalan, kebandelan, keluguan (dan mungkin kebodohan) khas anak desa. Kami nonton bareng saint seiya, power rangger, satriya baja hitam dan sebagainya dan sebagainya. Kami menjelajah dan bertualang ke mana-mana, di mana-mana. Mencoba serta bermain-main dengan segala garis batas. Kami belajar tentang petemanan, persahabatan, persaudaraan, dan belajar menerima tanggung jawab serta konsekuensi dari semua itu. Segala salah paham yang pernah mewarnai, penerimaan dan pengampunan yang mengambil tempat dalam hidup kami, telah menjadi pelajaran tak ternilai.

Ia salah satu teman kecilku (dari lima) yang bisa satu sekolahan sejak mulai dari SD sampai Tingkat menengah. Sejak SMP, tiap kali mau berangkat sekolah, kami akan berangkat bersama walau pulangnya tak selalu bisa bareng. Ia (mereka) dengan teman-temannya. Aku dengan teman-temanku. Tapi, tiap malam kita akan segera berkumpul bersama lagi. Berenam. Berbagi pengalaman seharian. Sejak saya hijrah ke Malang kami sudah jarang bisa ketemu. Aku sok sibuk dengan pelajaran dan macam-macamnya, ia sudah bergulat dengan pekerjaannya. Mungkin hanya saat saya pulang saja kita bisa bertemu dan mengobrol ngarol kidul sambil ditemani kopi.

Dan besok Minggu, ia akan melangkah lebih dulu untuk menaiki jenjang pernikahan. Mengikat janji dengan seseorang untuk menjalani hidup bersama. Memancang tenda tidak untuk ditempati sendiri lagi. melanjutkan petualangan hidup bersama seseorang.

Huff...h, aku memang sering jadi sentimental gak karuan bila ingat teman masa kecil dan mengingat hal-hal besar macam pernikahan. Diri ini sering terngungun (apa yah bahasa yang tepat?) di hadapannya. Entahlah.. Sementara diri ini masih bergulat dengan (segala pertanyaan untuk mengenal) diri sendiri mau jadi apa dan mau kemana... eh, satu persatu teman main sudah mulai berkeluarga.
Kemarin, saat melepas kerinduan, ia tanya, kapan aku akan segera menyusulnya... aku hanya menjawab : segera (sambil tersenyum). Tapi ia tahu apa arti “segera” itu. Dalam hati aku menjustifikasi dengan apa yang di ucapkan si Mulan : bunga yang terlambat mekar akan menjadi bunga yang paling indah... semoga saja. Setidaknya aku berharap seperti itu.

Ah, sudahlah.. tak usahlah terlalu banyak memikirkan diri sendiri (bukankah berlarut dalam pikiran satu bagian membuat kita bijaksana, tapi tiga bagian membuat kita jadi pengecut). Biarkanlah hari ini, dan sisa waktu yang ada ini, aku persiapkan untuk memberikan yang terbaik untuknya. Untuk memberi selamat dan mengantarkannya bertemu dengan sang mempelainya besok Minggu. Ucapan selamat dan penghormatan dariku, dari seorang yang pernah berbagi fantasi tentang the A team dan mac-gyver, atas keberaniannya untuk melangkahkan kaki ke jenjang hidup berkeluarga.

Ok bro..
Tak banyak yang bisa kuberikan.
Selamat menempuh jalan baru.
Semoga menjadi keluarga yang diridhoi dan diberkati oleh Allah.
Sakkinah, mawaddah, warrahmah.

::aku mungkin tak sempat bercengkrama dengan tuan putri.
Jadi, titip salam buat tuan putri yang sudah merelakan diri mau berbagi perjalanan hidup denganmu::.

1 comment:

P(l)ay said...

hahaha, sekejap jadi pengen jadi Tuan Putri...