11 April 2009

Just smile.

Belajar dan tumbuh di sebuah lingkungan (organisasi) yang (selalu) diasah tajam kekritisannya, di satu sisi memang membuat penglihatan ini semakin peka terhadap kejanggalan, kekeliruan, dan kesalahan yang terserak. Mulut ini sering mendadak tak bisa diam jika melihat apa yang tidak sesuai dengan harapan. Mendadak tangan ini gatal ingin segera menulis, berkomentar dan mengkritik jika mendapatkan sesuatu yang tidak ideal. Siapaun itu, apapun itu. Namun di sisi lain, tanpa sadar mempertajam ke-kritisan telah menumpulkan sisi kemanusiaan yang lain dalam diriku. Tanpa sadar (membuat diri ini) justru sering kehilangan sisi sensitifitas yang lain, yang sama pentingnyanya: emphati.

****

Dulu, pada sebuah titik mangsa, seorang rekan (dalam satu organisasi) pernah kedapatan kerja untuk memimpin kepanitiaan sebuah acara. Kebetulan sekali dia junior (di organisasi), tak pernah ada pengalaman organisasi sebelumnya, kalaupun ada, berbedalah sekali dengan apa yang ia geluti saat itu. Benar-benar baru. Sebulan sejak terjun (di keorganisasian), ia masih berkutat dengan segala idiom dan kerangka pikir yang baginya sama sekali baru. Aku salut juga dengan apa yang ia pelajari dan dengan semangat yang ia miliki saat itu.

Meski seperti itu, kepemimpinannya dalam sebuah kepanitian, penuh dengan kegugupan, kekeliruan, (dan kesalahan konsepsi) khas orang baru. Beberapa rekanku yang sudah (merasa) senior, waktu itu, langsung terlihat mengerutkan dahi. Aku pun tanpa sadar ikut ambil sikap kritis. Dan tak hentinya dalam kepala ini berkomentar: ’wah..salah tuh kalau gituh..’ ‘harus nya ga seperti itu tuh, harusnya kan begini’, ‘masa gituh’ dan semacamnya dan semacamnya.

Dan tiba-tiba saja aku terhenyak. Ingat pengalaman sendiri ketika pertama kali terjun ke dalam organiasi dan ketiban sepur untuk memimpin sebuah kepanitiaan. Tak lama sebelum itu, beberapa tahun sebelumnya. Jadi ingat, betapa keringat dingin mengalir dari hidung dan kening. Ingat betapa bingungnya ketika harus memimpin sebuah pertemuan, betapa takut salah ngomong, betapa kikuknya, dan betapa susahnya menyesuaikan jadwal dengan segala aktifitas yang baru. Sudah lama berkecimpungpun tak hentinya aku membuat kekeliruan. Betapa susahnya mengatur keseimbangan, laku, dan sebagainya dan sebagainya.

di tengah itu semua, saya teringat pada seorang senior. (Tak usahlah aku sebut namanya, nanti ia GR). Di tengah segala kesalahan dan kegugupanku, tiap kali aku merayap-tertatih-berjalan dengan apa yang aku kerjakan, ia selalu tersenyum mendukungku. Tiap kali aku menyelesaikan satu pekerjaan dalam keorganisasian ia selalu (hampir pasti) tersenyum, dan (mungkin) sambil bercanda ia memberi perhatian. Tiap kali ia tersenyum dan berkomentar sederhana tentang dukungannya kepadaku, hati ini plong. Aku merasa mendapat persetujuan dan perhatian dari seseorang yang mengerti lebih dulu bagaimana cara hidup berorganisasi.

Hanya tersenyum. Simbol penerimaan, persetujuan, atau sekedar dukungan yang diekspresikan secara sederhana. Aku yakin ia tidak sepenuhnya setuju dengan apa yang tengah aku kerjakan dan aku lakukan saat itu (ini terlihat ketika kita sedang mengobrol... dan jika ia tengah menyinggung apa yang sedang aku kerjakan... pertanyaannya itu! sampai-sampai aku bingung cari alasan apa), namun kesediannya untuk mendukungku, dengan sederhana, atas apa yang sedang aku kerjakan, benar-benar membuat segalanya berbeda.
Ah...Tak tahulah awak apa yang terjadi tanpa ada dukungan sederhana itu tadi...

****

Teringat itu semua, sekarang aku jadi sering malu pada diri sendiri. bagaimana mungkin aku yang sedang sama-sama belajar, mengambil sikap over kritis kepada rekan seperguruan dan seperjuangan. Maka, dari pengalaman itu semua, tiap kali seorang rekan, teman, saudara, tengah mengambil pilihan atas apa yang ingin ia lakukan, aku akan tersenyum seraya mengangguk atas pilihan tersebut. Dan tentu saja komentar ringan akan meluncur sebagai ekspresi dari sebuah dukunganku. Aku akan menyatakan dukungan walau hanya dengan sebuah senyuman. Sederhana memang. Akupun tak berharap banyak bahwa ia akan menangkap pesan dari apa yang aku sampaikan. Namun dari itu semua, yang terpenting, aku merasa lebih baik dan lega melakukannya.



:: ::

1 comment:

P(l)ay said...

no one can smile with me :) they just can cry with me...