06 December 2011

Suatu Hari Bersama Ahmad Tohari

Apa yang tersisa dari sebuah pertemuan?

Beribu orang sudah kau temui, namun kadang tak menyisakan sedikitpun kelebatan dalam ingatan. Namun, ada pertemuan-pertemuan yang meski sekejap namun serasa abadi. Kita lalu menyebutnya "menjadi kenangan".

Pertemuan yang ‘menjadi kekal dalam ingatan’ itu yang baru saya alami kemarin. Saya sebut kemarin karena rasanya memang baru seperti kemarin meski sudah sebulan berlalu. Pertemuan itu dengan seorang bernama Ahmad Tohari.

Saya bertemu dengannya ketika ia berkunjung ke Jakarta. Saat itu ia diundang untuk menghadiri acara pemutaran film Sang Penari di sebuah mall di kawasan Sudirman.

Terus terang, ini pertemuan pertama saya dengan penulis trilogi Ronggeng Dukuh Paruk itu. Mengenakan kemeja warna putih bermotif garis, kacamata dan topi pet warna hitam ia tampak berbeda dengan semua pengunjung yang hadir. Ia terlihat.. sederhana.
Ia ternyata lebih tua dan sedikit ringkih dari yang saya kira sebelumnya.

“Saya datang di Gambir tadi malam. Dari tempat yang jaraknya 400 km dari sini,” kata Ahmad Tohari, membuka jumpa pers siang itu. Sang sutradara, produser, dan para pemain Sang Penari juga ikut hadir dalam acara itu.

Setelah semua selesai memberikan keterangan pers, Ahmad Tohari dan para pembicara lalu keluar untuk foto bersama. Dan, seperti biasa, memberikan kesempatan wartawan melakukan wawancara kembali.

Beruntung setelah foto-foto tak banyak orang yang mengeremuni Ahmad Tohari, juga mewawancarainya. Hanya beberapa orang yang meminta tanda tangannya dan berfoto bersama.

Setelah tidak ada lagi orang yang mengerumuninya, saya lalu menghadangnya saat ia mau mengambil tasnya. (Setelah memberikan keterangan pers ia masih menenteng tas jinjing yang terlihat tampak sesak yang kemudian ia simpan di balik banner Sang Penari)

Dan dengan sok akrab saya perkenalkan diri lalu mengucapkan selamat, karena bukunya sudah mengilhami sebuah karya yang lebih modern. Saat bertemu itu saya langsung mengaku sebagai orang yang menyukai karya-karyanya. Saya juga mengaku telah membaca semua karyanya dan mempunyai semua karyanya. Lengkap!

Padahal, jujur saja, ada dua buku karyanya yang belum saya baca dan miliki. Belantik dan Di Kaki Bukit Cibalak. Tapi saat itu rasanya saya tidak bisa menahan diri untuk bilang ‘belum lengkap’. Tentu saja untuk menunjukkan sebagai fans yang paling ngefans. Kapan lagi Ahmad Tohari keluar dari sarangnya di Banyumas.

Saat saya meracau seperti itu, ia masih saja tersenyum. Entah ia menyimak atau tidak yang saya katakan. Saya mungkin terlalu cepat bicara. Juga terlalu banyak.
(Saya sadar kemudian cara memperkenalkan diri macam itu benar-benar tak efektif. Saya teringat cara memperkenalkan diri Goenawan Mohamad saat bertemu Pramoedya Ananta Toer di Pulau Buru. Singkat dan efektif)

kepada Ahmad Tohari lalu saya tanyakan soal bocoran karyanya yang sedang dibuat saat ini. Dan seperti biasa, ia masih saja menjawab dengan rendah hati.

"Ah.. Saya ini kan bukan seorang penulis produktif. Beda dengan penulis yang lain yang produktif," jawabnya.

Masih memilih tinggal di tengah sawah dan betah mendengarkan suara kodok?
Ia lalu ketawa.

Saya menanyakan itu karena dulu pernah sekilas membaca artikel tentang kepindahannya dari Jakarta. Alasannya, Jakarta terlalu bising. Ia memilih kampugnya dimana suara kodok masih terdengar di sore hari.
"Iya, masih di Banyumas, masih tinggal di rumah yang di kelilingi pohon bambu," katanya. Bukankah memang, dengan penanya, burung alap-alap, jangkrik, kodok, mampu memberikan arti tersendiri tentang makna kehidupan.

Setelah selesai basa-basi saya pun dengan hormat meminta beliau untuk membubuhkan tanda tangannya di buku Ronggeng Dukuh Paruk bercover Sang Penari. Juga meminta beliau untuk berfoto bersama. :)

Ah, norak memang. Mungkin karena saya kadung menganggap bertemu penulis itu lebih susah dari pada bertemu artis atau penyanyi. Apalagi dengan selebritis yang selalu tampil di tayangan infotainment.

Sebenarnya saya juga bukan orang yang termasuk suka berfoto bersama dengan para pesohor. Apalagi berbangga saat berfoto bersama dengan mereka. Saya bangga jika orang orang lain merasa bangga jika berfoto dengan saya.

Namun saat bertemu seorang penulis macam Ahmad Tohari, jiwa primordial saya kambuh.

Saya tahu kebanggaan yang saya rasakan mungkin tidak bisa dimengerti oleh generasi pecinta Justin Bieber atau Sm*sh. Atau generasi yang menyukai para pesohor yang senantiasa tampil gemerlap di depan kamera.

Saya mengagumi manusia yang tetap memilih hidup sederhana meski karya sudah diterjemahkan keberbagai macam bahasa. Seseorang yang konsisten untuk memilih
dunia menulis yang sepi.

No comments: