19 December 2011

Seekor Nyamuk Yang Merindu Tuannya

Seandainya tak ada seorang perempuanpun yang merindu padaku, aku sepertinya masih cukup beruntung. Setidaknya masih ada nyamuk betina yang setia menungguku pulang saat bekerja seharian.

Kau tak percaya, memang seperti itulah kenyataannya. Nyamuk-nyamuk di kamar kos-kosanku itu selalu setia menanti kedatanganku.
Buktinya, begitu aku membuka pintu kamar, mereka langsung menghambur ke arahku dan mencoba memelukku.

Aku menganggap hal itu sebagai ungkapan sambutan. Luapan rasa kangen setelah seharian kutinggal di kosan.

Nah, kau tau, sebelum menggigitku, mereka biasanya memutar di atas kepala atau bermanuver dekat telinga sehingga dengung sayapnya cukup terdengar olehku. Setelah itu, clep!! Moncong mereka menancap. Di wajah atau di lengan. Memberi kecupan.

Lihat, betapa rindu mereka padaku. Padahal aku sama sekali belum mandi. Badanku masih bercampur keringat. Tapi mereka tak peduli. Mereka lansung mengecupku.

Kadang aku merasa kasihan pada nyamuk-nyamuk di kamarku. Mereka pasti kesepian. Sejak pagi sudah aku tinggalkan mereka sendirian. Seharian pekerjaan mereka pasti hanya menungguku. Akulah mungkin satu-satunya sahabat dan sumber makanan mereka satu-satunya.

Beruntung, populasi mereka di kamarku sudah tak banyak. Mungkin cuma lima atau enam. Semakin ke sini populasi mereka terus berkurang karena kadang aku memburu mereka karena berani mengganggu saat aku membaca. Tapi anehnya mereka tak pernah punah.

Padahal kamarku sudah terlindung kawat nyamuk, sehingga mereka tak bisa masuk keluar kamar seenaknya. Perhitunganku, jika tidak ada tambahan nyamuk dari luar kamar, harusnya mereka sudah habis sedari berbulan yang lalu. Tapi mereka masih saja eksis meski aku terus memburunya.

Kalau dipikir, memang kasihan mereka. Hanya untuk bisa bertahan hidup mereka harus bertaruh nyawa.

Seharusnya kalau aku lebih tekun dan lebih lama memperhatikan mereka mungkin aku bisa belajar bahasa nyamuk seperti nabi Sulaiman mengerti bahasa semut. Lalu aku bisa bertanya apa maunya mereka.

Setelah mengerti keinginan mereka, aku mungkin tak akan memburu mereka asalkan jangan menggangguku saat membaca. Aku mungkin akan memberi kelonggaran: silahkan menggigitku asal saat aku terditur dan jangan sampai membuat gatal.

Malah, jika mereka pintar, mungkin aku akan mengajak mereka ngobrol. Mengobrol tentang dia, misalnya. Dia yang kadang terasa sangat dekat, akrab. Namun kadang terasa sangat jauh dan asing.

Saat dekat aku bisa seperti anak kecil di depannya. Berceloteh tentang apapun. Namun saat jauh, aku merasa seorang yang asing di hadapannya. Bahkan untuk mengatakan 'hai' pun aku tak berani. Setiap kali dia terasa jauh, selalu ada yang runtuh di hatiku.

Iya, mungkin seharusnya aku lebih sering memerhatikannya. Selalu menghubunginya. Tapi, ia seorang yang mandiri. Terus-terusan menghubunginya pasti akan mengganggunya. Entahlah.

Apakah perempuan memang seperti itu? Membingungkan? Atau cuma aku yang tak bisa memahaminya. Yah, mungkin seperti itu, aku belum mengenalnya. Bahkan sampai sekarang aku belum berani menatap matanya.

Ah, nyamuk. Kau mendengarku? Kau yang hinggap di kaos yang menggantung, kau pergilah ke tempatnya. Tolong jaga dia. Jangan sampai ada seekor nyamukpun yang menggigitnya.

Si nyamuk entah mengerti entah tidak, dia terbang keluar lewat celah pintu. Angin di luar bertiup tak henti-hentinya.

No comments: