28 June 2011

Menanti Kemunculan Quentin Tarantino-nya Indonesia

Bagaimana perfilman Indonesia saat ini? Saya kira menjawab dengan jawaban ‘lumayan’ adalah jawaban yang pas untuk saat ini. Lumayan membaik.

Dari segi kuantitas, perfilman tanah air mengalami peningkatan. Ada gairah. Dalam sebulan, bisa 5 sampai 10 film baru selesai diproduksi dan siap beredar ke bioskop-bioskop.

Apalagi tanpa persaingan dengan film-film Hollywood. Saya kira film-film tanah air ini bisa mejeng tanpa harus was-was jika diacuhkan penonton. Mau bagaimana lagi, penonton hanya dihadapkan satu pilihan jika ke bioskop: film yang itu-itu saja

Lalu bagaimana kualitasnya? Saya kira bisa debatable. Baik, buruk, sedang, lumayan, bisa jadi jawaban.

Beberapa film, bisa disebut kurang memenuhi bahkan gagal disebut sebuah film. Logika cerita amburadul, latar gambar buruk, musik seadanya. Artistik? aduh jangan tanya. Namun tidak sedikit pula yang sudah membaik. Cerita lumayan, musik oke, gambar jelas, sinematografi sip. Konklusinya, semua film produksi tanah air tidak bisa disamaratakan.

Kenapa begitu? Karena memang tujuan membuat film berbeda-beda dari produser yang satu dengan produser yang lain.

Ada rumah produksi yang sibuk melayani selera penonton. Biasanya rumah produksi ini secara periodik dan terus-terusan membuat film-film bergenre horor plus plus. Maksudnya horor plus-plus adalah horor ditambah dengan komedi, atau horor ditambah adegan plus plus. Produser kategori film-film ini sampai rela mengimpor bintang film porno demi mendongkrak jumlah penonton.

Hanya satu dua rumah produksi yang tetap fokus pada kualitas sembari sibuk menyelipkan pesan moral atau pendidikan dalam filmnya. Rumah produksi ini biasanya tak ragu jika harus mengangkat tema-tema sejarah.

Sementara ada rumah produksi yang terlalu berkutat pada pesan yang ingin disampaikan, sehingga cerita, sinematografinya malah terasa terabaikan. Terlalu memikirkan pesan, lalu film sebagai sebuah hiburan tidak bisa dihadirkan. Melihat film ini serasa mendengar ceramah.

Lalu, adakah filmaker kita yang membuat film untuk ‘senang-senang’? Senang-senang dalam artian dia tidak mengikuti selera penonton, tidak juga memusingkan dengan pesan yang ingin disampaikan.

Mirip-mirip filmnya Quentin Tarantino. Orsinil, meriah, tidak membosankan. Jangan tanya soal keseriusan pada peraih oscar ini. Bahkan soal darahpun Quentin bisa sangat rewel.

Tentu saja bagi sutradara nyentrik ini, tak ada masalah membuat film seperti apapun. Modal besar, mudahnya akses ke kapital dan alat produksi rasanya tak ada hambatan untuk mewujudkan film impiannya. Hadirnya orang “gila” macam Quentin memang terasa bikin hidup lebih meriah.

Lalu, adakah orang seperti Quentin Tarantino di Indonesia? Seorang pembuat film yang akan membebaskan pecinta film dari film yang itu-itu saja? Mungkin tidak ada, atau malah banyak.

Banyak tapi sayangnya belum muncul.

Salam banyak-banyak..

No comments: