15 November 2006

tema No3

Aku (sebenarnya) tidak terlalu bermasalah dengan berbagai bentuk
hiburan yang disajikan oleh pertelevisian kita, mungkin karena
jarang nonton tv –alasannya karena keadaan mediany serta kesempatan
duduk menikmati kotak hitam tersebut- sehingga tak banyak dampak
yang kuterima, maka sifat apatis cenderung ku pilih. Namun ketika
melihat dunia sekitar kita, mengenali keadaan lingkungan kita.
dimana duduk di depan televisi adalah sebuah ritual yang tak boleh
ditinggalkan dalam setiap harinya untuk menikmati sinetron, film,
kuis dan tentu saja gosip. Mungkin kita akan berpikir ulang mengenai
dunia hiburan dalam kotak hitam kita ini.

Dalam penayangan sinetron, dulu kita menontonya memerlukan emosi
yang cukup tinggi untuk pengaturan frekuensi tangisan, kita dibuat
berdebar dengan tokoh si bintang apakah akan mendapatkan apa yang
diinginkannya setelah melewati banyak rintangan. Kemudian genre
sinetron kita bergeser ke kisah kasih para pemuda. Imbasan dari
boomingnya F4. (saat itu F4 menjadi sangat populer di Indonesia,
menjadi sebuah counter dari hegemoni budaya barat, dan dulu sempat
terpikir F4 telah banyak merubah pandangan generasi muda (terutama
para cewek) mengenai sebuah `ketampanan' yang tidak lagi harus
berambut pirang, dan bermata biru begitupun dalam style …)
Dan sekarang sinetron kita beralih ke kisah-kisah religius `yang
agak religius' dengan –biasanya- diakhir cerita tokoh antagonis mati
dengan sagat mengenaskan.
Saya memang tidak terlalu mengerti apakah memang sebuah tontonan,
baik yang dilihat maupun yang dibaca, dapat merubah mental
seseorang. Dapat menggeser prilaku seseorang.
Namun kita dapat melihat para pembangun Amerika sekarang adalah yang
dulunya baca komik Spiderman, Captain Amerika, Superman dan berbagai
tontonan lain dengan berbagai kekuatan masing-masing. Sekarang pun
Amerika dalam setiap film yang di produksi hampir selalu menanamkan
ideologi nasionalisme yang tinggi pada film-filmnya.
Jepang, sama saja, bagaimana tim sepakbola Jepang lolos ke final
piala dunia karena para pemainnya dulu baca komik Capten Tsubatsa.
Begitupun dengan para manajer di Jepang adalah mereka yang membaca
kisah-kisah heroik seperti taiko, dan pendekar samurai tak
terkalahkan musashi. China tak jauh beda.
Lalu bagaimana dengan tontonan di Indonesia? Tentu saja Saya tak
ingin membahas semuanya.
Banyak memang perubahan dari perjalanan dunia hiburan di
pertelevisian kita. Namun, yang sangat disayangkan lagi adalah
perubahan dari genre program quiz. ]
Masih ingat kuis-kuis dulu yang ditunggu oleh penduduk sekeluarga.
Menunggu Dede Yusuf muncul untuk membuka kuis tak tik boom. Menunggu
bung kepra membawakan acara Aksara bermakna dan berbagai kuis lain
karya Ani Sumadi (AS) tak ada lagi sekarang kuis seperti Galileo, Lg
prima…dll.
Bila kita jeli, kuis tersebut akan melibatkan pengetahuan para
pemain dan semua yang melibatkan ke-intelektual-an, kerja keras.
Lalu kita lihat kuis-kuis sekarang. Sekarang kuis apapun itu yang
full entertaint. Lebih Mengandalkan keberuntungan, dan ada taruhan
disana.
Seharusnya saya tidak usah terlalu kecewa dengan perubahan tersebut
karena kita tahu semua bahwa dalam setiap media ada kapital yang
bermain. Yang kadang logika yang dipakai adalah logika2 uyang kadang
tidak bisa menjangkaunya atau tidak kita terima!
Dan saya amati banyak orang tidak tahu (termasuk saya) bagaimana
sebenarnya hukum kuis seperti itu. Mungkin karena tidak dapat
informasi atau memang belum ada fatwa dari yang berwenang.
Lalu….
Akan seperti apakah nantinya seorang anak (adek saya juga sering
nonton dan kadang2 kkanya jg) yang hampir tiap hari menonton kuis
super deal 2 milyar, atau kuis lain yang menyediakan hadiah gila-
gilaan dengan cara yang gampang. Mental seperti apa yang sedang di
tanam? Aiiihhh, aihhh…. Kuis?
Coba kalo quis di kuliah juga berubah…?

lihat keluar sana kawan!

Oleh Bambang Trismawan*
-dengan hurup kecil- * selain sedang PKL penulis juga berprofesi
sebagai pengamat fenomena budaya (hihihi..)

No comments: