15 November 2006

MUDS (Cordova)

Membuat media yang mengesankan bagi semua orang adalah pekerjaan
yang gampang-gampang susah atau sebaliknya susah-susah gampang.
Gampang karena emang bisa dibuat dan di edarkan tapi susah- dalam
hal pembuatan… (sangat subyektif emang! Dan berputar2)

so, Bagaimana dengan cordova?
Cordova; banyak yang terlintas dalam pikiran mengenai majalah
cordova yang akan terbit di bulan ini, baik tema ataupun isi. Atau
apapun itu yang akan terkait dalam pusaran arus cordova.

Yang pertama yang mengusik sosok cordova adalah mengenai kepribadian
atau identitasnya sebagai sebuah majalah. Hal ini menurutku akan
berkaitan dengan siapa sebenarnya target pasar yang akan kita bidik.
Karena ini akan menentukan diterima atau ditolaknya sebuah produk;
kesesuaian antara produsen dengan konsumen menjadi hal yang penting.
Gimana cara memunculkan sebuah kepribadian yang dominan bila
waktu membentuk kepribadian hanya seumur jagung?
Bagaimana cara menentukan sesuai atau tidaknya isi majalah cdv
dengan harapan atau keinginan pembaca Pabila tak ada data yang
mendukung sama sekali?
== dan saya pun sadar bahwa kerang tak akan ber-mutiara sebelum
cukup umurnya. Padi takkan menguning sebelum waktunya. Tapi selalu
saja ada cara untuk `mempercepat padi menguning'.
Sangat sulit emang, tapi ada rumus sederhana untuk menjawab itu
semua. Ada formula untuk memecahkan masalah tersebut. Dan ada
deduksi dari masalah tersebut yang mungkin bisa menyelesaikan
persoalan.
Yaitu untuk mengetahui siapa "kita" adalah dengan menentukan siapa
yang bukan kita (diadaptasi dari sebuah novel… yg lupa judulnya). -
Kita adalah semua objek yang terkena dampak dari arus pusaran
cordova tentu saja dengan berbagai tingkat akibat yang
ditimbulkannya- .
Masih ingat zaman-zamannya reformasi. Dimana semua elemen
mahasiswa dari yang paling kanan notok sampai kiri mentok, dari yang
kanan agak tengah sampai kiri geser tengah, semua menjadi satu
sebagai sebuah kekuatan mahasiswa yang bisa menurunkan sebuah rezim.
Saat itu semua meng-identifikasika n diri bukan dengan
logika ego "ini saya" tapi "itu musuh saya sebenarnya". Maka semua
berteriak dengan teriakannya masing-masing. Dengan ke khas an
suaranya sendiri-sendiri. Namun tetap dalam satu koor. Suara
mahasiswa. Penentang rezim.
Bisa dikatakan saat itu yang menyatukan semua aktifis pergerakan
mahasiswa yang berlainan ideologi adalah adanya musuh bersama:
Sorharto. Yang ada dalam benak hanya bagaimana cara mengakhiri
sebuah kekuatan rezim yang berurat akar dengan pemegang kekuatannya
adalah Soerharto. Itu saja. Sepertinya simple.
Maka dari contoh kasus diatas saya bisa memeras esensial
dari sebuah peristiwa itu, agar bisa dalam waktu singkat bisa
diterima target pasar kita maka kita serang musuh-musuh kita.
Lalu pertanyaan selanjutnya, sekarang ini di zaman yang kran
demokrasi mulai dibuka. siapa sebenarnya yang menjadi musuh kita?
pertanyaan yang sederhana namun membutuhkan jawaban yang pelik. Bagi
KAMMI jawabannya adalah jelas "kedholiman" namun penjelesan dan
turunan kedholiman itu membutuhkan kertas ber rim-rim agar menjadi
sebuah bentuk real dalam keseharian.
"Ah… itu mah gampang saja", mungkin kita akan menjawab kedholiman=
menempatkan sesuatu tudak pada tempatnya. Masalahnya, penjelasan
rinci penempatan itu akan menghabiskan buku yang ber puluh-puluh
jilid dengan ketebalan satu jilid=fatwa2 kontemporer edisi legkap.
(Kebayang ga tuh!)
kita balik lagi kejalan yang benar. Saya tidak ingin memusingkan
Anda dengan argumen2 tidak membangun seperti itu tentunya
.
Seorang teman dalam sebuah acara seminar tentang kelembagaan
mahasiswa (tentu saja teman imajinasi) pernah mengatakan saat ini
disaat para mahasiswa kehilangan taring ke kritisannya. Saat
mahasiswa mulai acuh dengan ketimpangan sosial. Ketika mahasiswa
lebih senang menghabiskan waktunya dengan tidur. Saat mahasiswa
lebih tenang menghabiskan harinya dengan membaca Al-Qur'an di
masjid. Atau lebih sibuk dengan ingin memperlihatkan penampilan
yang "apa adanya". Saat hanya bergelut di ruang praktikum Ataupun
sangat sibuk dengan studinya sampai tidak tahu keadaan di luar
dirinya, padahal seperti dalam x-files, "the truth is out there "
(emhh…yang ini masuk g y?) maka saat itulah jiwa mahasiwa sudah
mati.
Kemudian teman ini melanjutkan : saat ini, disaat mahasiswa sudah
terdikotomikan dengan "wilayah-wilayahnya " masing-masing, maka untuk
menyatukan peran-peran mahasiswa ini perlu dibutuhkan lagi sebuah
musuh baru. Musuh yang akan mengikis ke-egoan masing-masing. Musuh
mahasiswa saat ini adalah budaya hedonisme. Budaya konsumtif. Dan
segala kultur hasil reduksi kapitalisme. Dan kebebasan yang sebebas-
bebasnya. (bagiku ketika bicara kebebasan berarti kita telah
membentengi wilayah teritorial kita. Yang berarti mempersempit
kebebasan tersebut=taak ada kebebasan yang sebebas2nya) .
Kita hantam musuh-musuh kita. Tentu saja dengan martil buatan kita
sendiri.
Apabila sudah mengerti maksud dari tulisan di atas, saya punya
beberapa gagasan mengenai tema yang mungkin akan menjadi pilihan.
………………….
Ganti halaman

No comments: