01 February 2010

Orang Itu

Dulu, aku tak pernah mau menceritakannya. Menceritakannya hanya akan menjadikanku seorang yang tampak bodoh. Menjadikanku seorang tokoh dalam kisah yang, meminjam istilah Sendutu Meitulan, disebut Si ‘pecinta yang menyedihkan’ atau ‘mimpi-mimpi si patah hati’. Tapi inilah hidup bukan!?. Bahwa tidak semua yang kau impikan akan terlaksana. Dan jika kau ingin berjalan ringan menyongsong hari esok, kau harus bisa berdamai dengan masa lalu. Ya!! tepatnya aku harus berdamai dengan dunia. Berdamai dengan diriku sendiri.

aaa

Orang Itu. Yang aku sebut dengan ‘orang itu’ tentu saja ia juga seorang manusia biasa. Atau lebih tepatnya seorang perempuan biasa. Ia sama dengan perempuan lainnya: punya nama lengkap, memiliki keluarga yang ia cintai, punya alamat rumah, nomor handphone yang bisa dihubungi (walau aku tak pernah tahu berapa nomornya), dan punya hobi yang jelas. Yang tak biasa adalah senyumnya yang selalu tersimpul di bibirnya. Yang tak biasa adalah semua yang dilakukannya menjadi luar biasa di mataku.

Namanya cukup panjang. Bahkan, aku yakin, jika namanya dituliskan lengkap di kertas-kertas formulir apapun, tak akan cukup. Tapi dulu, aku dan seorang sahabat, selalu mengganti namanya dengan panggilan yang pendek ketika sedang membicarakannya. Hanya satu huruf. Hanya inisial dari nama depan nya sahaja. Tapi bagiku itu lebih dari cukup. Bahkan bagiku seperti nama-nama panggilan yang menjadi tokoh dalam kisah-kisah novel: Ve, Re, Vi, Qi, Phi. Terdengar begitu sederhana, ringkas, singkat, namun menyimpan makna dan berlembar-lembar kisah ketika diucapkan.

Sekarang aku lebih senang dengan memanggilnya dengan ‘orang itu’. Berbahaya menuliskan namanya di sini dengan nama lengkapnya yang panjang itu. Berbahaya karena hanya akan mengganggu privacy nya. Aku menyebutnya dengan ‘orang itu’ untuk mengambil jarak kembali atas apa yang tengah terjadi denganku.

Sebutan ‘Orang Itu’ untuk menempatkannya dalam ruang yang berbeda. Menyebutnya dengan ‘Orang Itu’ membuat suasana berbeda: seperti menempatkannya pada keadaan yang seolah kau sudah mengenalnya padahal belum.. Memanggil dengan ‘Orang itu’ seperti menempatkannya pada jarak yang cukup jauh darimu, tapi masih ada dalam jarak pandangmu. Namun kau cukup leluasa membicarakannya karena ia tak bisa mendengarkan pembicaraanmu.

aaa

Saat aku di bandara, akankah ada seseorang yang menyusulku, seperti Cinta menyusul Rangga. Jikalau ada, kuharap ‘Orang itu’ yang menyusulku.

aaa

Sampai sekarang aku belum pernah bertemu dengannya. Bertemu dalam arti sebenarnya. Pernah sekali aku menemukannya di jagad maya. Tentu saja aku senang. Namun kemudian sengsara karena tak bisa bercerita dengannya. Setiap obrolan pasti hanya sebatas basa-basi. Basa-basi yang paling basi. Hanya say hallo, tanya kabar dan setelah itu sudah. Tak ada lagi kata. Tak ada lagi cerita. Dan begitu terus berulang kali setiap kali bertemu denganya di dunia maya. Berulang-ulang. Sampai kemudian aku (mungkin juga orang itu) memilih diam.
Sampai sekarang tak pernah ada kemajuan hubungan dengan ‘orang itu’.
Kau tahu! ternyata bagiku lebih mudah menjelaskan dan menuliskan klasifikasi serangga yang menjadi hama padi atau migrasi belalang dari pada harus menyampaikan ini semua.

Namun mendengar kabar ‘orang itu’ baik-baik saja yang keluar dari mulutnya sendiri, bagiku sudah lebih dari cukup.

Entahlah.

Bersambung..

No comments: