18 February 2010

Ir. Sukandar

Semangsa kuliah dulu, ada satu kelas yang selalu saya tunggu-tunggu. Kelasnya Ir. Sukandar. Tentu, bukan karena alasan penampilannya. Walaupun penampilan beliau memang agak beda dari yang lain : sederhana, terkesan “ngasal” dan santai. Rambut gerimis hampir habis, kemeja putih dengan lengan yang dilipat dan membiarkan satu kancing di bawah kerahnya terbuka, dengan tas jinjing hitam yang isinya hampir selalu berdesak.

Tentang gaya berpakaiannya, saya tahu kemudian membiarkan satu kancing kemeja terlepas sehingga memperlihatkan sebagian dada adalah ciri orang terbuka. Dan keterbukaan itulah karakter yang kemudian saya kenal dari beliau. Ia terbuka dengan hal-hal baru dan selalu mempersiapkan diri dengan kemajuan teknologi. Saya ingat, disaat dosen yang lain masih menggunakan OHP dengan lembar materi yang tak pernah berubah bertahun-tahun, beliaulah salah satu pelopor penggunaan tekhnologi (in focus dan laptop) saat kuliah. Mungkin karena keterbukaan itu juga banyak mahasiswa memanggilnya dengan sapaan akrab “Cak”. Cak Kandar.

Saya mengenal Cak Kandar sedikit terlambat. Seharusnya saya mengenal beliau ketika mengisi materi kuliah umum di acara ospek maba. Namun, seperti pada acara-acara ospek lainnya, saya tak terlalu memperhatikan pembicara bila di dalam kelas. Acara ospek dalam kelas hampir selalu membosankan. Sehingga membuat saya lebih memilih tidur atau ngobrol saat materi berjalan. Termasuk ketika Cak Kandar (yang mungkin waktu itu saya tertidur ketika ia) mengisi materi. Perkenalan awal terlewatkan. Saya luput. Setelah beberapa lama kuliah, saya tahu Kemudian beliau ini dosen yang selalu didaulat untuk mengisi materi perkenalan perikanan kepada maba di ospek-ospek fakultas, lebih-lebih di jurusan. Dan yang selalu diperkenalkannya adalah singkatan PSP menjadi Program Salah Pilih. :)

Barulah di awal kuliah saya mengenal Cak Kandar. Tepatnya ketika kuliah Daskap (Dasar Penangkapan) dimulai. Kesan pertama begitu menggoda, begitu adigium. Dan dipertemuan pertama ini Cak Kandar memberi kesan perkenalan yang susah dihapuskan dalam ingatan saya. Terutama karena peraturan “aneh” yang diterapkan di dalam kelasnya: Pakai sandal silahkan. Pakai kaos silahkan. Tidur di kelas silahkan. Gak hadir silahkan. Yang penting jangan mengganngu temannya yang ingin memperhatikan. Tentu peraturan tersebut terasa menyenangkan bagi saya. Karena menawarkan aroma-aroma kebebasan, apalagi bagi anak yang baru keluar dari penjara sekolah. Namun diperaturan ini pula saya menangkap pesan yang lain. Pesan yang lebih dalam dan selalu harus dijungjung dalam kehidupan. Kebebasan yang bertanggung jawab.

Setelah itulah saya memilih mata kuliah yang diajar oleh beliau. Bukan karena alasan nilai dan peraturannya semata. Mengikuti kuliah beliau saya bisa menyerap bgitu banyak informasi. Mungkin karena isi kuliah Cak Kandar tak selalu lurus-lurus tentang materi kuliah. Kadang materi kuliah sampai melebar dan meluber ke kehidupan sesehari. Berkelok Ke lampu rem yang warnanya merah, ke cara tidur sambil duduk dan berdiri, ke bahasa, ke jamaknya orang menggunakan kata yang salah, ke cara menggunakan jam tangan ala sniper, ke cara menampar yang benar, singkatan yang salah, ke teknologi, ke mana-mana.
Saya pikir seharusnya Cack Kandar ini mengajar mata kuliah filsafat sains. Tapi mungkin karena dulu kuliah di “PSP” yang juga program salah pilih, pada akhirnya ia harus mengajar mata kuliah PSP juga. :)

Salah satu “ilmu” dari Cak Kandar yang sering saya terapkan adalah bagaimna tidur sambil duduk dengan dagu menempel pada dada, dan bagaimana tips bolos yang pintar. Cak Kandar pernah memberi tips bolos pintar bagi mahasiswa yang terpaksa harus bolos. Dan waktu itu saya merasa termasuk kategori “mahasiswa yang terpaksa harus bolos”. Kalau mau bolos kuliah, lanjut Cak kandar, jangan bolos di pertemuan pertama kuliah. Justru pertemuan pertama itu yang penting. Karena di sanalah dosen memberikan silabus materi selama satu semester. Dan jadilah saya (sering) bolos, walau kemudian bolos tak menjadikan saya seorang yang pintar dan tak selalu bisa menerapkan “bolos yang pintar”. Karena ada juga dosen yang tidak memberikan silabus materi di pertemuan kuliah pertama.

Hal yang paling mengasyikkan dari Cak Kandar adalah bagaimana cara membangun hubungannya dengan mahasiswa dan karyawan. Hubungan Cak Kandar dengan mahasiswanya lebih dari sekedar hubungan akademik dosen dan mahasiswa, lebih dari hubungan santri dan kiayinya: Akrab. Guyub. Egaliter.

Dulu, hampir setiap hari saya mendapatkan beliau cangrukan di kantin Mamih, kantin fakultas perikanan. Entah untuk sarapan atau makan siang, tak selalu jelas. Tapi ia merasa tak risi harus duduk ngobrol dengan para mahasiswa di kantin. Memesan kopi lalu dengan segera terlibat obrolan yang seru dengan siapa saja yang ada disekitarnya. Terkadang saya juga ikutan nimrung ngobrol dengan beliau. Ngobrol dengan beliau memang selalu menarik. Obrolan apapun. Kadang obrolannya ngarol-ngidul, kadang obrolan seperti cendikiawan, tak jarang seperti seniman.

Di kantin Mamih inilah dialog terasa berjalan lancar tanpa hambatan. Seperti laiknya obrolan-obrolan warung kopi. Tiada kendala atasan bawahan. Tiada sekat psikis dosen, mahasiswa atau karyawan. Saya kira di tempat inilah ilmu pengetahuan lebih banyak dipertukarkan dari pada di ruang-ruang kuliah. Namun setelah warung Mami “digusur” saya tak pernah melihat beliau duduk makan di kantin lagi. Beliau lebih sering memesan soto dan menyantapnya di lab. Saya tak tahu kenapa. Mungkin inilah salah satu cara penolakan beliau terhadap arogansi kesewenang-wenangan. Entahlah. Mungkin saya salah. Toh, saya tak pernah tanya.

Sampai sekarang, terakhir saya bertemu, beliau belum berubah. Beliau selalu terbuka dan siap mendengar dan memperhatikan urusan-urusan mahasiswa. Selalu ada dalam barisan yang mengawal perbaikan Fakultas dan Jurusan. Memang, tak jarang ia menyindir dosen yang tak pernah menyiapkan diri dengan kemajuan jaman. Menyindir dosen yang datang ke kelas dengan materi yang sama berpuluh-puluh tahun. Tapi sindirannya terasa lebih seperti lecutan untuk membangun Fakultas Perikanan lebih baik. Beliau selalu mengingatkan Faperik UB tertinggal 15 tahun dengan Faperik IPB.

Ir. Sukandar. Ia mungkin tak kenal saya. Tapi, saya salah satu mahasiswa yang kemudian mendapat pertolongan bimbingan ketika harus mengulang ujian skripsian. (Maklum, mahasiswa bodoh, ujian skripsianpun harus ngulang :) ). Dari itu semua, keterlibatannya dalam menawarkan ruang kelas yang tak selalu membosankan, kesediannya mendengarkan, keterlibatannya dalam setiap perbaikan, keakrabannya dengan mahasiswa, menjadikan Ir. Sukandar salah satu dosen favoritku.

Maju Terus Faperik!!

***
Mungkin sesekali kita senandungkan lagi yel-yel nostalgia kita. Yel-yel yang, menurut saya, wah!
Wah, bukan karena liriknya yang hebat! Wah, karena ia seperti mengejek kesadaran dan keadaan kita saat itu, mahasswa baru. Terus terang, lirik ini seperti senyum monalisa:
Eeoooo... (plok..plok..plok..)
Eeeeoooo...(plok..plok..plok..)
Eeeoo..eeoo..eeeooo...
Faperik pilihanku
Jaya perikananku 2x

5 comments:

mbah jiwo said...

mengenang kembali jadi mahasiswa, saat kita layak disebut 'masih belajar'

salam hangat dari MALANG

oyen said...

emang jarang dosen yang sabar dan terbuka kayak getu, dulu jaman saya kuliah di IPB ada dosen spesial idola seluruh mahasiswa, Bu Sriani, beliau dosen terbaik nasional th 2007, suabaarrre nge-polll, mpe mahasiswa bimbingnya bejibun...salt dah untuk beliau-beliau ini

M Mursyid PW said...

Orang nyentrik memang biasanya lebih terbuka dan permisif.

Bambang Trismawan said...

MJ< setiap saat toh sebenarnya kita masih belajar ko.
salam hangat balik. :)

Oyen< jarang banget emang. kayaknya harus sudah dilestarikan tuh.. :)
dimasukkin meseum atau apa gitu gimana. hehehe..

Pa Mursyid< orang nyentrik selalu asyik. kagak munafik. :)
makasih udah berkunjung, Pak.

Tejo said...

Ir. Sukandar itu sosok eksentrik. Disukai mahasiswa karena gayanya yang stay young. Cuman saya tidak bisa mendapat kesan mendalam selama berinteraksi dengan beliau. Pokoknya Ir. Sukandar extraordinary lecture deh!