31 January 2007

ketakutan penulis

Apa ketakutanmu ketika kau nanti menjadi seorang penulis?



Dalam dunia kepenulisan yang sepi, tanpa riuh. ternyata bukan
berarti alam ini bebas dari sosok yang menakutkan. Bukan berarti
dunia ini sepi tanpa bayang-bayang yang mengejar di tiap-tiap mimpi
para penulis. Ternyata dunia ini pun penuh dengan wujud-wujud yang
menakutkan yang membayangi setiap para penulis.
Ketakutan-ketakutan itu pun berbeda bagi setiap penulis dan tentu
saja banyak hal yang melatar belakangi munculnya sosok yang
menakutkan seperti itu. selain pemaknaan terhadap tulisan pengalaman
pribadi ikut merumuskan sosok yang menakutkan tersebut.
Seorang Gunawan Muhammad beranggapan bahwa musuh sastra nomor satu
adalah salah cetak (dan ia mungkin takut akan hal itu). ketakutan ini
mungkin dikarenakan terwadahinya tulisan-tulisan GM di catatan
pinggirnya majalah Tempo tanpa harus diseleksi oleh tim redaksi.
sehingga tulisannya jelas tak akan kena banyak seleksi untuk laik
cetak, karena GM sendiri salah satu pembesar Tempo.

Berbeda dengan ketakutan seorang Emha. ketakutan seorang penulis
menurut Emha adalah ketika berkas tulisan yang Anda kirimkan ke
majalah sastra hanya tertumpuk di samping meja redaksi tanpa pernah
dibuka amplopnya (k-lo jaman sekarang mungkin kiriman imel yang terus
menumpuk di inbok tanpa pernah dibuka) . Dan menurut Emha itu nasib
yang paling buruk bagi seorang penulis dibandingkan ketakutan seorang
Gunawan Muhammad bagi seorang penulis –musuh sastra nomor satu- yaitu
salah cetak.

Ketakutan seorang Emha tersebut mungkin adalah akibat
pengalaman pribadi atau pengamatannya terhadap penulis muda yang
sering menulis puisi ke majalah sastra tanpa pernah dimuat atau
jarang dimuat. Disamping pengamatan Emha terhadap majalah sastra yang
selalu memuat sastra dikarenakan subyektivitas redaktur, dan media
massa itu sendiri.

Berbeda dengan GM dan Emha seorang Pipiet Senja dan Dewi –
dee- Lestari menganggap ketakutan ia sebagai penulis adalah
kehilangan tulisannya tanpa pernah terdokumentasikan. Hal ini
diungkapkan Pipiet karena pengalaman traumanya kehilangan tulisan
yang sudah berjumlah 100 lembar lebih di komputer tanpa ter-save.
Sedangkan menurut dee –yang disampaikan salah satu tokoh supernovanya-
(entah buku yang mana k-lo g salah `Akar') kehilangan data
seperti itu seperti kehilangan kepala. Dan Anda tak ingin merasakan
bagaimana rasanya kehilangan kepala tentunya.

Lain pula dengan penulis Mencari Pahlawan Indonesia, Anis
Matta, yang menurutnya kesuksesan penulis itu bukan dari jumlah
tiras buku yang tercetak atau terjual maka, dan mungkin yang menjadi
ketakutannya adalah tidak adanya orang yang tergerak setelah membaca
tulisannya.

Sedangkan…
Bagiku yang karya tulisnya masih sedikit dan berusaha
menembus media, salah cetak ataupun karya tulis yang tidak dibaca
oleh pemred masih bukan menjadi ketakutan. Saat ini menulis bagiku
adalah seperti pembuatan Horcrux (dalam Harpot, Horcrux adalah
pembelahan2 jiwa yang disimpan dalam sebuah benda dengan tujuan jiwa
tetap berada di dunia sehingga tetap abadi-tak pernah mati). proses
menulis adalah proses penyimpanan bagian-bagian jiwa pada tulisan,
agar ketika penulis sudah mati karya-karyanya tetap hadir. Maka
kehilangan sebuah tulisan tanpa terdokumentasikan adalah berarti
kehilangan bagian-bagian jiwa bukan hanya kepala -seperti yang
dituturkan dee-.



pandangan kecil dr tris
Karena seringnya kehilangan tulisan

 

1 comment:

Belly Surya Candra Orsa said...

Great Blog..!!!! Keep Blogging.... :)