20 December 2007

I'dul Adha dan Kesadaran diri

Wahyu itu datang lewat mimpi. namun sang penerima wahyu dalam hati masih menyimpan ragu, benarkah ini pesan dari Allah ataukah hanya sebuah mimpi buruk yang datang dari setan. Masih belum yakin ia. Disamping karena begitu berat perintah yang datang, ia masih menyimpan tanya “kenapa” dari apa yang diperintah yang datang lewat mimpi tersebut.

Mengorbankan anak semata wayang. anak yang telah lama dinanti-nanti pula disayang, yang sekarang hadir ditengah-tengah hidupnya dan sedang menganjak besar, haruslah dikorbankan; begitu pesan yang diterimanya lewat mimpi. Perasaan ini berbeda dengan apa yang pernah dirasakannya dahulu, ketika ia diperintahkan harus meninggalkan anak dan istrinya tanpa makanan dipadang tandus tak bertanam. Perasaan cinta yang menancap dihati kini telah jauh lebih dalam, sehingga terasa sangat jauh lebih berat.

Namun kecintaan kepada Sang Pemilik Hidup haruslah lebih besar dari apapun yang dimilikinya di dunia. Bahkan istri, bahkan anak. Dan ingatlah ia, ini adalah nazar yang harus dibayar ketika dulu mengaharap datangnya seorang anak.
Ragu, bimbang, cemas, yang sempat berhenti di hati sang ayah hilang ketika sang anak, yang akan dijadikan korban, juga menyanggupi.

Namun pada akhirnya, hamba yang beriman, percaya sepenuhnya terhadap mimpi yang datang pada tidurnya, sebanyak tiga kali, adalah wahyu dari Allah. Adalah lagi perintah yang harus segera dilaksanakan.


Iblis, sang pembangkang, tersenyum puas mengetahui adanya perintah kepada Ibrahim untuk mengorbankan anak kesayangannya. Ia merasa berpuas diri, tak harus banyak berbuat, tapi Ibrahim sudah masuk dalam situasi simalakama. Tugasnya sekarang adalah mengajak Ibrahim untuk membangkag perintah Allah. Tak dapat Ibrahim dapatlah istrinya, Hajar, ataupula anaknya, Ismail, begitu pikirnya. Berharap jerat jebakan yang ditebar bisa termakan salah satu atau seluruh keluarga tersebut. Jikalaupun pada ujungnya gagal, piker iblis, toh perintah ini bisa dijadikan senjata untuk menjauhkan manusia dari Sang Pencipta. “Betapa tak masuk akalnya, dan betapa kejamnya perintah dari Tuhan untuk hamba yang beriman…” atau “beginikah balasan Sang Pencipta terhadap hambanya yang bertakwa” dilihatnya Sudah tak ada lagi jalan keluar dari situasi ini. Lengkung senyum menang melengkung lagi diujung bibirnya.

Di atas langit, Allah Yang Maha Bijaksana, terlihat kalem. Ia, dengan pengetahuanNya yang jauh sebelum kehidupan ada, tak nampak gusar dengan perhitungan iblis. dibiarkanNya pula iblis menjalankan rencananya menggoda Ibrahim. dibiarkanNya pula ibrahim dalam menentukan pilihan. Telah melihatnya Ia dulu, bahkan sebelum semuanya dimulai. bahkan nazar yang diucapkan Ibrahim-pun adalah tak lain mengikuti pola apa yang telah di gariskannya dahulu. Dibiarkannya iblis terus melangkah, menggoda manusia untuk menjauh dari perintah yang tlah digariskan oleh Maha Pencipta.

Hanya Hendak menguji Ia kepada hambanya yang beriman. Hanya tak ingin Allah mendapatkan cinta hambanya karena tak ada pilihan lain selain untuk meyembahnya, cinta yang membuta. Pun cinta yang terpaksa karena tak punya pilihan untuk membangkang. Atau pula cinta karena membaranya batu-batu di neraka yang mendidihkan isi kepala. Untuk itu faalhamaha fujuraha wa taqwaha- maka Allah mengilhamkan kepadanya (potensi) kedurhakaan dan ketakwaan.
Yang diinginkanNya adalah cinta dari kesadaran diri. bahwa manusia bisa berlaku sesuai dengan selera dan nalurinya, menuju kesadaran bahwa ia memiliki ego yang merdeka, yang mampu untuk bersikap ragu dan mampu pula untuk membangkang. Cinta yang terlahir dari kesadaran diri. Cinta yang tumbuh dari pilihan bebas. Cinta yang menyala setelah melawati ujian, yang kemudian dibawa setiap hari setiap detik sampai mati.

Menjelang prosesi pengor-banan, iblis melihat mereka dari jauh, dengan masih tersenyum sinis pertanda puas.
Walaupun telah gagal ia membujuk Ibrahim, begitu pula dengan istri dan anaknya. Menggoda mereka, membujuk mereka, untuk membangkang, agar menolak apa yang diperintahkan oleh Tuhan kepadanya. persis apa yang ia lakukan dulu terhadap Adam. Tapi iblis masih saja berharap akan memenangkan satu senjata lagi untuk menggoda manusia dari peristiwa ini. Sehingga ia, iblis, masih tetap saja sombong, mengira kemenangan yang sudah didepan matanya akan segera diraih. “apa lagi yang akan Kau lakukan wahai Sang Maha Bijaksana?” dalam batin iblis, seraya mengejek.

Waktu terus berjalan, nazar harus dilunasi. pengorbanan segera dilaksanakan. Namun Allah melihat keikhlasan dan kesabaran keluarga Ibrahim dalam pengorbanan tersebut. Kurang dari sedetik sebelum pedang Ibrahim menyambar leher Ismail, ketika semua mata menutup karena tak tega melihat sang anak harus tertebas lehernya oleh pedang, Allah menukar Ismail dengan domba yang sehat lagi gemuk.

Iblis membelalak. Matanya meloncat keluar, tak percaya.

Syukur, sabar, dibalasnya dengan balasan yang setimpal. Keadilan tlah ditegakkan, bukan hanya itu sifat Ar-Rahmaan Ar-Rahiim terpancar membahana.
Dan dijadikan keturunan mereka adalah keturunan yang soleh. Bahkan Rasul terakhir dipilih olehNya dari garis keturunan Ismail.

Bukan darah, bukan pula daging kurban yang sampai ke atas sana. Tapi kecintaan dan kesabaran dari hamba kepada Allah yang menjadi penilaian.

Selamat Idul Adha.

1 comment:

Ronald said...

bikin Kaleidoskop-Blog™ yuk... Liat contohnya di
http://alief.wordpress.com/ :)