26 May 2009

Solilokui calon sarjana : Masih belum ketemu juga jawabannya.

Rabu tanggal 27 Mei saya dijadwalkan untuk mengikuti yudisium. Sebuah ritus pengukuhan gelar kesarjanaan dalam kultur akademik. dimana para mahasiswa yang sudah belajar bertahun-tahun dianggap sudah mendapatkan semua ilmu dari bidang yang dipelajari (atau paling tidak, sudah menyelesaikan semua tahapan proses akademik) dan makanya dianggap sudah layak dalam memperoleh gelar kesarjanaannya. bak seorang pendekar yang berlatih di satu padepokan di puncak gunung, yang biasa kita lihat dalam film-film silat, dengan yudisium, maka para pendekar dinyatakan sudah cukup bekal mereka untuk turun gunung dan menyebarluaskan ilmu yang didapatnya (atau juga untuk berbalas dendam. :-) ).

Sudah lama memang saya mempersiapkan diri dan menunggu untuk dapat sampai ke momen ini. Teramat lama bahkan. Namun justru mendekati hari H, mendekati hampir ujung puncak tertinggi akademik yang saya lalui ini, yang terbersit adalah pertanyaan-pertanyaan dalam benak yang sudah lama mengendap. Bagaimana saya bisa menggunakan semua pengetahuan yang didapat selama perjalanan akademik ini? Setelah semua perjalanan akademik yang dilalui dan pengetahuan yang didapat, lalu apa?

”Lalu apa?”
Sebuah pertanyaan yang terkadang bikin hati kelu dan hilang selera; namun toh bisa pula dirasakan sebagai pemacu: bikin diri greget dan ingin bergegas tak sabar mempersiapkan langkah ke depan.

Dan semuanya terjadi di saat menginjak dua puluh sekian. Sebuah rentang usia di mana seseorang (baca:saya) masih belajar mengenal diri sendiri. Siapa bambang ini? Apa kesukaannya? Sudah belajarkah dari jatuh bangunnya selama hidup? Sudah sampai mana perjalanan hidupnya? Apa yang akan ia kerjakan di hari depan? Masih pertanyaan yang sama dengan beberapa tahun yang lalu.
Dua puluh sekian. Ternyata masih banyak yang belum ku mengerti disekelilingku. Tentang manusia, alam, hati, nafsu, cinta, pengorbanan, Tuhan. Begitu banyak pertanyaan yang harus diajukan. Begitu banyak jawaban yang mesti dicari. Tak selalu menarik. Malah sering terasa bodoh.

***
“Welocome to the junggle” begitu ucapan selamat seorang teman ketika mengetahui saya akan lulus.. Saya kira maksud teman saya dengan bilang “welcome to the junggle” itu mahasiswa itu tinggal di istana. Saya keliru.
“Mahasiswa itu kaum borjuis yang tanggung” lanjutnya.
Huh?
Aku cuma ketawa. “Borjuis yang tanggung?? “
Yaa..Mungkin. saja.

Bahwa bila didepanku adalah hutan, benar-benar saya tak punya banyak petunjuk dan tak banyak rambu terlihat untuk melewati semua rintangan dalam hutan tersebut. Harus banyak tanya bila tak ingin tersesat. (Sedangkan ... pendidikan kita menuntut mahasiswa nya untuk sigap menjawab pertanyaan. Tapi kita nggak banyak dilatih untuk bertanya.
Bukankah dengan bertanya justru jawaban tercari dan tertemukan?
Bukankah saintis itu tak lebih dari mereka yang tak pernah berhenti bertanya?)
****
Kembali ke pertanyaan-pertanyaan di atas.
Sekarang, dalam rangka mencari jawaban dari pertanyaan yang aku kemukakan sendiri saya harus meninggalkan status mahasiswa. Tak bisa lagi bersenang-senang dengan tangungan orang tua. Harus mulai berdiri sendiri. Berkeringat dingin karena merasa belum mampu.

Dan tentang Masa depan? Masa depan saya pikir seperti istana di balik hutan sana. Tak terlihat memang dari sini, tapi ia menunggu pasti di balik hutan sana. Bagaimana melewati hutannya? Sekali lagi, tak banyak petunjuk dan tak banyak rambu yang aku punya. Tapi itulah yang disebut petualangan. Bergulat pada momen pencarian. Bukan pada hasil akhir. Karena bila kita kwatir dengan hasil akhir akan begitu banyak hal yang terlewatkan dalam perjalanan hidup. Jadi, nikmati saja yang ada. Syukuri saja yang terjalani. OK, berpikir matang adalah hal baik. Namun berpikir matang dan menimbang-nimbang bukan berarti mengurung diri dalam tempurung kepengecutan karena tak pernah berani mencoba hal baru.

”Saat ini adalah bukan waktunya bercerita tapi untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya bahan cerita”. Begitu kata satu teman saya lagi. Saya setuju.

Hidup memang bisa jadi menakutkan jika kita melulu berkonsentrasi pada ketakmengertian akan apa yang menunggu di depan. Namun bukankah kejutan-kejutan adalah bumbu tersedap dalam hidup??
Sekarang cukuplah meneguhkan hati untuk menyambut apapun yang menanti di depan, dan mencoba mengambil sisi ringan hidup. Menikmati yang terjalani. Dan mensyukuri yang ada.
Nggak selalu berhasil, memang. Tapi setidaknya saya belajar...


::namanya juga bersolilokui dengan diri sendiri jadi maaf-maaf kalau tulisannya terasa kacau::

===================================up to date=================
selasa, 26 Mei 2009 11.30 WIB
dapat berita ga bisa yudisium besok karena belum lengkap persyaratannya.
you see..!?
.
Kejutan?? senangkah saya??
boro-boro!

1 comment:

bunga rumput said...

hmmm....
once more, selamat ya.
semoga berguna dan tetap berjuang..!!!