30 April 2011

MUI, Uya Memang Kuya, dan Tanda Tanya

Sampai tulisan ini saya posting, setahu saya Majelis Ulama Indonesia (MUI) belum memutuskan fatwa apapun terhadap film “?” (baca: tanda tanya). Menurut Ketua Pusat Bidang Budaya MUI, KH A Cholil Ridwan, MUI masih harus membahas dengan mengadakan rapat khusus. Meskipun dari sejak awal menonton, Pak KH Kholil terlihat ingin sekali mencekal peredaran film yang dibintangi Revalina S Temat itu.

Saya tidak tahu bagaimana akhir nasib film ini, apakah film karya Hanung Bramantyo itu nantinya akan di fatwa sebgai haram, halal, atau sunnah, atau makruh. Saya tidak tahu.

Tapi saya kira memang demikian. MUI harus rapat dan rembuk terlebih dahulu. Tidak tergesa dalam memutus. Melihat secara utuh semua persoalan adalah langkah yang tepat. Apalagi sejumlah fatwa-fatwa MUI sering dipertanyakan sejumlah pihak. Terutama dalam kemumpunian ilmu dan metodologi yang digunakan ulama-ulama MUI dalam memproduksi fatwa-fatwa tersebut.

Misalnya, dalam memfatwa haram acara Uya Memang Kuya. Tampak bahwa MUI memang tergesa-gesa, kurang memahami apa yang sedang dibicarakan, dan hanya melihat kulit luar dari tayangan tersebut.

As Laksana, penulis dan seorang yang mendalami hipnosis, menilai para ulama telah gagal dan meleset dalam memahami tayangan Uya Memang Kuya. Menurut Sulak, panggilan As Laksana, fatwa haram dimunculkan dengan alasan yang sangat keliru. Keliru karena apa yang dilakukan Uya bukan hipnosis.

Sulak menganggap pertunjukan Uya Memang Kuya hanya sandiwara. Tentang hal ini, kata dia, para ulama bisa meminta pengakuan dari pelakunya langsung, baik si Uya maupun orang-orang yang pura-pura tidur itu.

Tentang Fatwa Haram

Menurut Emha Ainun Nadjib, fatwa bahwa sesuatu itu haram tidak sama dengan ‘sesuatu itu pasti haram’. Jadi, seuatu itu haram hanya menurut salah satu pendapat. Anda boleh punya pendapat yang sama atau berbeda.

Fatwa, kata Cak Nun, sapaan Emha Ainun Nadjib, adalah hasil penghayatan manusia terhadap nilai baikburuk, benar-salah, indah-jorok. Adalah produk dinamika manusia dalam memahami, meneliti, menganalisis, dan mengambil keputusan tentang sesuatu hal di antara ranah-ranah kebaikan hidup yang begitu luasnya.

Cak Nun dengan tegas menyatakan hukum halal haram itu mutlak milik Allah. Ia yang memiliki hak asasi untuk mengharamkan atau menghalalkan sesuatu. Karena Dia lah yang punya saham seratus persen dalam kehidupan.

Haram berzina, makan riba, makan babi, mencuri, minun arak. Tak ada tawar menawar dengan hukum tersebut. “Ambil atau tinggalkan,” kata Cak Nun.

Di luar itu, wilayah yang Allah mempersilahkan manusia untuk berdiskusi. Sehingga untuk satu masalah bisa lahir jutaan fatwa sejumlah pemeluk agama Islam. Tentu saja sepanjang mereka memenuhi syarat keilmuan dan metodologis untuk memproduksi fatwa.

Jikapun pada akhirnya MUI kemudian memfatwakan haram, saya kira ini waktu yang tepat untuk menyikapi perbedaan dengan damai.

Jika film ‘?’ mengajarkan bahwa perbedaan adalah niscaya, berarti penonton ‘?’ akan damai saja menyikapi fatwa haram dari MUI.

Selamat malam semuanya.

1 comment:

OEN-OEN said...

klo fatwa sesatnya NII dan LDII g berani ya si MUI ??????