15 December 2010

Tentang Salah Ucap

Kalau tak salah, beberapa minggu yang lalu majalah Forbes Indonesia kembali merilis orang-orang terkaya di negeri ini.

Walaupun menurut saya, hasil reportase majalah yang berkantor pusat di New York ini tak terlalu mencengangkan. Karena daftar nama yang dirilis masih didominasi orang itu-itu juga. (Saya heran, kenapa yang kaya masih yang itu-itu juga. Ah, mungkin karena yang miskin masih yang itu-itu juga. :-) )

Orang terkaya vesri majalah yang didirikan oleh Bertie Charles Forbes ini, menempatkan dua bersaudara pengusaha rokok, Budi dan Michael Hartono, sebagai orang terkaya dengan mengantongi kekayaan sebesar Rp 100 triliun.

Wuih! Seratus triliun, bayangkan, boi.

Pasar luar biasa besar, regulasi antirokok yang mandul, cukai murah, tak heran memang jika para pemilik rokok bisa menjadi miliarder di negeri ini.

Saya sebenarnya lagi gak ingin ngomongin bagaimana nikmatnya punya perusahaan rokok di Indonesia. Hingga para pemiliknya bisa masuk daftar orang-orang terkaya. Apalagi ngomongin kepedulian karena makin mudanya usia perokok di Indonesia. Lupakan itu.

Kali ini, saya lagi ingin ngomongin masalah sepele yang sedikit ada hubungannya dengan majalah Forbes tadi. Majalah yang memang terkenal karena rutin memuat daftar perusahaan dan orang-orang terkaya di dunia itu.

Suatu kali, ada ‘Teman saya’ yang tiba-tiba menjadi sensi karena ada ‘Temen saya yang lain yang juga temennya’ menyebut Forbes dengan ‘forbes’ (dengan ‘e’ pada elang). Padahal, menurut ‘temen saya’, Forbes itu dibaca ‘forbs’. (sebenarnya saya juga menyebut forbes sama seperti bagaimana ‘Temen saya yang lain yang juga temennya’ menyebut forbes)

‘Temen saya yang lain yang juga temennya’ itu, kekeuh melafalkan Forbes dengan ‘forbes’ dan bukannya ‘forbs’.

Lucu? Menarik, malah.

Karena betapa Indonesiawi sekali sebenarnya kejadian macam ini. Indonesiawi sekali, karena jika kita tekun mengamati perbincangan sesehari, kejadian salah sebut macam gini adalah perkara sesehari di sekitar kita.

Ada banyak contoh bila memang mau dirunut. Misalnya, bila naik bis kota di Bandung dan daerah sekitarnya, maka akan ada pengasong yang tiba-tiba menawarkan ‘mijon’.

“Mijon..mijon..mijonnya, Pak,”

Tentu saja, maksud si pengasong itu, ia lagi menawarkan minuman yang katanya berenergi, Mizone. :-)

Apakah hanya orang Sunda saja yang memonopoli kejadian salah sebut yang memang agak kesulitan melafal huruf ‘f’, ‘v’, ‘z’? Ah, tidak juga.

Di Malang, Jawa Timur, ada gunung bernama Panderman yang tingginya kurang lebih 2000 meter di atas permukan laut. Konon, kata yang si empunya cerita, gunung ini dulu dikuasai (di kuasai, bukan dimiliki) seorang londo bernama Van der Man. Saya gak tahu apakah si londo ini masih ada hubungan darah dengan kiper jangkung MU Van der Sar atau pemain lain Van der Vart. Tapi yang jelas, karena kuasa pemerintah kota akhirnya mengubah dan meresmikan nama gunung ini menjadi Panderman. :-)

Masih banyak contoh lain sebenarnya. Sebut saja nama tokoh dongeng rekaan JK Rowling, Harry Potter. Pasti akan banyak lidah Indonesia menyebut Harry Potter dengan ‘heri poter’. Padahal Harry Potter dibaca “harri potte’”. Sebagaimana profesor McGonnagal yang dengan logat Inggrisnya yang kental memanggil Harry dengan ‘harri potte’.

Bagi orang Inggris, yang mungkin karena lidahnya pendek jadi susah muntir, menyebut ‘harri potte’ adalah perkara gampang. Tapi bagi orang Indonesia, yang (mungkin karena) lidahnya panjang, menyebut ‘harri potte’ butuh keahlian.

Jadi, apakah hanya monopoli orang Indosesia saja kejadian salah baca macam begini? Tentu saja tidak. Saya rasa fenomena macam ini hampir bisa di temukan di setiap negara. Namun mungkin karena keterbatasan pengetahuan saya saja (atau saya saja yang malas cari) hingga kejadian macam gini cuma hanya terjadi di Indonesia.

Orang daratan Eropa, mereka juga toh sering kesulitan menyebut nama-nama tempat di nusantara. Sebut saja, Bogor salah satunya. Dulu, ketika Herman Willem Daendles memboyong pusat pemerintahan dari Batavia ke Bogor, ia pun menamai kota barunya dengan Buitenzorg yan artinya "tanpa kecemasan" atau "aman tenteram". (cat: Batavia pada abad 19 sudah masuk kota yang jorok, kumuh, bobrok dan sering banjir. bahwa pada abad 21 batavia belum tenggelam termasuk prestasi saya kira. he.) Saya tak tahu, kenapa tiba-tiba para londo itu kemudian menamai kota hujan ini dengan Buitenzorg (dibaca boit'n-zĂ´rkh"). Bisa jadi karena londo-londo itu kesulitan melafalkan ‘bogor’ yang artinya enau itu.

sekarang kita tahu, terlepas dari masalah nasionalisme, orang Indonesia lebih memilih bogor dari pada Buitenzorg. Meskipun londo-londo menyayangkan karena katanya namanya tak lagi eksotik. Heleh.. :-)

Masih ada lagi, yaitu nama gunung yang meledak 27 Agustus 1883: Krakatau. Di eropa gunung ini dikenal dengan nama Krakatoa. Kesalahan ketik saat berkirim telegram, sehingga nama krakatau menjadi krakatoa rupanya tak banyak berpengaruh untuk mengembalikan nama Krakatau menjadi 'krakatau'. Mereka lebih memilih krakatoa yang biarpun salah tapi enak diucapkan. Kita paham lidah mereka tidak biasa melafalkan ‘au’ yang dalam bahasa kita bertebaran. atau, enau, kalau, kacau, balau, parau sengau, dan lain sebagainya.

Ah, mungkin memang pada akhirnya bahasa juga seperti masakan. Punya ‘cita rasa’ nya sendiri. Punya 'resep'nya sendiri-sendiri. Punya aturan 'gramatik', 'mood', dan 'feeling'nya sendiri-sendiri. Jadi, melafalkan kata asing semaunya sendiri dalam sebuah obrolah memang tidak selalu bisa dibenarkan.

Tapi barangkali ada konteks orientasi budaya yang bisa dipetik dari kejadian salah sebut macam di atas. Kepekaan untuk mengadaptasi satu lema menjadi bahasa kita yang disesuaikan dengan lidah, rasa Indonesia. Jadi kita tak perlu lagi seperti para mbak-mbak pembaca berita Metro TV yang cantik itu, yang meskipun berbahasa indonesia tapi berlogat Inggris.

Entahlah..

*Saya panjang lebar nulis macam ini cuma minta komentar untuk nama mengganti panggilan saya jika suatau kali saya mampir ke Eropa. Biar mereka yang lidahnya susah muntir itu tidak kesulitan menyebut nama saya.

Saya kepikir untuk memakai nama panggilan 'Bit'.

Gimana, sudah 'terasa' seperti nama eropa kah??

haha..

**buat yang dari sastra Inggris mohon maaf jika lanturan saya memang melantur terlalu jauh.

salam lanturan.