31 January 2009

satu dini hari di pasar Dinoyo


Sedikitnya satu kali dalam seminggu saya akan menyesuri jalan MT. Haryono pada dini hari. Pada jam dua atau jam tiga dini hari. Dari timur ke barat, lalu saya akan berhenti sebentar di depan pasar Dinoyo. Di sebuah warung kaki lima pinggir jalan.
Disana biasanya, sambil melihat kehidupan pasar dini hari, saya memesan kopi hitam, kadang stmj, tapi lebih sering hanya makan gorengan panas yang baru diangkat dari wajan..

Jika pada siang hari kita akan menemukan berbagai macam orang, saya jamin pada dini hari anda akan bertemu para pejuang. Orang-orang yang dipagi buta harus sudah memeras keringat. Tubuh-tubuh yang di awal hari harus tergesa dihela kebutuhan hidup sesehari.

orang yang mengayuh becak dengan beban berlebih. Ibu-ibu yang berjalan menyusuri jalan dengan tas jinjing. Para penumpang di bak terbuka yang merapatkan kemulnya ke badan sekedar mengurangi hembusan angin, yang sebenarnya sia-sia. Gerobak yang berjajar, melepas lelah setelah semalam berjualan. Para penjual yang terkantuk-kantuk menunggu pembeli pertama. Penjual yang tertidur di antara barang dagangan. Karung-karung yang diangkat. Sayuran tergelar. Tawar-menawar.

Pada dini hari ini selalu saya menemukan sebuah ironi. Terutama pada konteks sebuah sistem, bahwa kerja yang rajin pantas mendapat uang banyak. Tapi, ternyata orang-orang yang serajin itu hanya mendapat kehidupan involutif. Sebuah kehidupan yang menurut Clifford Geertz hanya berjalan di tempat, hanya cukup untuk makan. Kehidupan yang taktermungkinkan mempunyai tabungan yang cukup atau asuransi untuk antisipasi ketika terjadi musibah.

Saya yakin fenomena seperti ini selalu dijelaskan oleh para sosiolog, ekonom ataupun budayawan. Tapi seperti setiap penjelasan tentang fenomena apapun, selalu akan menyisakan sepotong pertanyaan kembali. Dan pada dini hari tanya itu kembali datang...

=============================

Satu malam Kamis yang lalu saya kembali menyusuri jalan MT. Haryono. Kembali saya mampir di warung yang itu-itu juga. Tak lama kemudian seseorang datang dan memesan segelas kopi hitam. Terdengar olehku sang penjual mengobrol ala kadarnya dengan orang yang baru memesan kopi tersebut. Langganan rupanya.

Lalu mereka terlibat dalam percakapan ringan. Entah sekedar basa-basi, entah butuh orang lain untuk mengadu, sambil menuang kopi dalam pisin dengan bebasnya ia membagi kekhawatirannya. Tentang telur yang harganya naik, tentang salah satu anaknya yang seorang buruh pabrik yang terancam PHK, tentang masa liburan mahasiswa yang akan mengurangi pendapatannya. Tentang sopir angkot yang tidak mau menurunkan tarif, tentang beberapa penghematan yang akan diputuskan pada hari-hari kedepan.

Sebuah bagi rasa yang begitu bebas mengalir. Begitu hangat di dingin dini hari.

Suara tahrim entah dari mesjid mana membuyarkan solilokui-ku. Sudah jam tiga rupanya. Aku pun bergegas pulang.


:: jadi ingin tahu apa pendapat mereka tentang orang seperti saya, yang cuman duduk dan ngamatin::

Desember-Januari

1 comment:

Ninis said...

Ya.. orang yang bekerja keras harusnya mendapat imbalan yang layak.. tapi dunia ini memang ironis ya..

Salam kenal :)