11 October 2008

Buku Buatku

Membaca, buatku, adalah sebuah aktivitas mencari.. Tidak melulu tentang mencari jawaban tapi yang lebih penting dari itu : mencari pertanyaan (bukankah justru dengan bertanya jawaban tercari dan tertemukan?). Membaca berarti juga berpetualang: mata sekaligus sayap. Mata untuk melihat bentangan horison yang luas, dan sayap untuk membawa terbang menjelajahinya.

Oleh karena itu, buku adalah sebuah kapal bajak laut yang yang tak lelah mengarungi tujuh Samudera dan lautan terlarang. Yang perjalanannya lebih tua dari gugusan pulau di Samudera Atlantik. Mitos, hikayat, cerita perjalanan tertulis pada bendera yang berkibar di ujung tiang kapal. Lagu, bahasa, semangat, terukir pada dindingi-dinding kayu, terhirup bersama aroma garam yang menguap dari lautan.

Buku adalah setapak jalan menuju hutan tropis di pedalaman Afrika, yang penuh dengan perdu, sulur dan belukar, daun-daun yang lebar, dan lumut yang lembab. Di mana kota yang hilang, dengan kekayaan masa lalu, cerita-cerita tua di dinding gua, naskah-naskah kuno yang terpendam di ruang bawah tanah, menunggu tertemukan seseorang. Seperti Kota hilang di pedalaman Kongo yang dijaga gorila.

Buku juga berarti strategi perang, denting pedang, derap kuda, badai debu. Cinta sekaligus dendam, di perang besar Baratayudha. Di mana Abimanyu tertancap oleh puluhan senjata pasukan Kurawa sedang Resi Bhisma terhujam oleh seribu anak panah Arjuna.

Buku juga adalah teka-teki penuh misteri. Di mana Robert Langdon berjalan, berlari, dengan waktu di malam buta, mencoba memecahkan kode rahasia lukisan-lukisan Leonardo Da Vinci. Buku berarti juga penguak tabir misteri. Seperti Poirot yang menelengkan mata untuk memberi kesempatan sel-sel kelabu di kepalanya untuk bekerja dalam membuat gambaran besar dari kepingan-kepingan puzzle.

Buku adalah petunjuk jalan ke kotak harta yang terkubur berabad-abad. Kotak harta yang sarat petuah tentang kebijakan, kebajikan dan kebijaksanaan. Seperti Syaikh munir al-Gotbhan yang menulis sejarah kehidupan Rasulullah dari sudut yang berbeda sama sekali. Sebuah perjalanan kehidupan yang kaya hikmah, pelajaran, panduan, kejutan dan ketakjuban baru di tiap tikungnya.

Buku adalah sebuah gerbang, portal ke dunia yang sama sekali lain. Dunia di mana ada Peri Rumah yang sibuk menyiapkan makanan untuk pesta penyambutan murid baru di Hogwarts, dan ada Hobbit bertugas menghancurkan sebuah cincin ke kawah berapi.

Buku, menurutku, tak hanya mengabarkan fakta akan dunia luar: Migrasi ikan, hibernasi beruang. strategi burung manyar dalam menarik pasangan. Buku juga mengundang kita untuk menikmati benak dan emosi manusia. Menyaksikan konflik dan dilema kehidupan anak manusia. Buku mengajak kita untuk jadi kontemplatif, berdiam sebentar mengamati drama dan tragedi dalam hidup manusia lain, entah fakta atau fiksi, dan melaluinya bercermin mematut hidup sendiri.
Tapi hati-hati, karena ketenangannya, buku juga berpotensi untuk menenggelamkan, seperti telaga dan pasir hisap. Seperti mantra avada kadavera.

Itulah membaca dan buku buatku. Sebuah petualangan. Maka, buku yang tidak bisa menyediakan informasi yang dibutuhkan, dan buku yang tidak bisa memberikan perjalanan dan pengalaman baru tiap kali membacanya, buku yang tidak bisa dibaca berulang-ulang, menurut ku bukan buku yang layak dibaca.

Buku pertama yang menjadi favoritku adalah Menikmati Demokrasi dan Dari Gerakan ke Negara. Berasal dari Kumpulan kolom di Majalah Saksi dan Majalah Hidayatullah. Walau tak dimaksudkan untuk menjadi sebuah buku, tapi dari isinya tergambar sebuah uraian satu tema besar. Di mana setiap kolom terasa begitu koheren dan terstruktur dengan yang lain. Sehingga antara satu kolom dengan yang lainnya saling menopang dan mengisi. Buku tersebut berlatar kondisi Indonesia kontemporer dengan solusi kearifan masa kenabian. Anis Matta, sang penulis, mampu menterjemahkan sebuah konsep gerakan dakwah yang besar dalam tulisan yang sederhana dengan gayanya yang khas: tak banyak kata, dengan diksi terpilih, semua diracik dengan bumbu prosaik lincah dan segar. Sesedap Mencari Pahlawan Indonesia dan Serial Cinta-nya yang juga jadi favoritku.

Buku ke dua yang juga menjadi pavoritku adalah : Kuartet Pulau Buru : Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Membaca ke empat buku tersebut serasa dimasukkan dalam benak sang tokoh tapi juga ke setting tempat dan waktu cerita berlangsung. Pram mampu memaparkan sejarah dari sudut kacamata lain. Di sanalah memang kekuatan Pram, mampu menggambarkan keadaan tempat, peristiwa sejarah, emosi jiwa, dan karakter tokoh yang begitu kuat. Sampai sekarang, ini kasus untuk saya, saya masih merasa sosok Minke, sang protagonis, tokoh sentral dari novel di atas, pendiri Syarikat Islam, benar-benar pernah hidup di awal Abad duapuluh.

Jika Pram begitu kuat dalam cerita-cerita sejarah Indonesia, maka Ahmad Tohari hebat dalam penuturannya tentang alam. Dengan penanya, burung alap-alap, jangkrik, kodok, bentangan sawah, mampu memberikan arti tersendiri tentang makna kehidupan. Dan dengan penuh puitik Tohari menyampaikannya. Makanya saya sangat senang dengan Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk nya. Sambil menikmati alam dan budaya Masyarakat Banyumas berlatar masa pemberontakan PKI, kita juga diajak mengikuti kisah lenggak-lenggok hidup Srintil dari sejak kecil dalam mencari sejatinya kehidupan.


Buku di atas tak lengkap tanpa mengikutkan buku lain : Burung-burung Manyar Romo Mangun, Max Havelaar nya Multatuli. Habis gelap terbitlah terang-nya kartini. Setelah Revolusi Tak ada Lagi dan Tuhan dan Hal-hal yang tak pernah Selesai serta Catatan Pinggir nya (khusus Caping tidak bisa saya nikmati lewat buku, susah carinya!) Goenawan Mohamad. Manhaj Haroki Syaikh Munir Al-Gothban. Serta yang terakhir kumpulan puisi Mata Pisau-nya Sapardi Djoko Damono.

Jumlah buku koleksi : layak lah untuk di sebut perpustakaan pribadi. Walau setelah diteliti lagi, ternyata tak seimbang memang jenis buku yang ada.
Buku yang terakhir dibaca: Sang Musafir Mohammad Sobary, Serial Cinta-nya Anis Matta, Aku, Buku dan Sepotong Sajak Cinta Muhidin M Dahlan, Horeeluya..! Arswendo Atmowiloto, Rahasia Membutuhkan Kata Harry Aveling, dan yang belum kelar-kelar Pergulatan Intelektual di Masa Kegelisahan sebuah buku untuk mengenang seratus hari wafatnya Romo Mangun.
book list yang ada tahun ini: Nyanyi Sunyi seorang Bisu-nya Pram, Olenka- Budi darma, Catatan Pinggir 7 Goen, Madilong, Tan Malaka (ini buku-buku yang susah dicari). Yang lainnya ada Laskar Pelangi Andrea Hirata,
Buku yang terakhir di beli :Sang Musafir sama serial Cinta.

Buku yang paling berkesan dan sering di baca: yah...judul-judul pertama yang di atas tadi.

Itu buku buatku yang bisa saya sampaikan sampai saat ini. Sekarang, kalau ada waktu terluang, sudilah kiranya Kang izul, Akh Andrik, Mbak Maul, untuk meneruskannya. Dan monggo kita simak apa sebenarnya buku buat mereka.
Maaff ya kalau merasa di teror.

08 October 2008

Alhamdulillah, Saya Baik-Baik Saja.

Hari ini genap satu minggu saya di rumah orang tua, di Sukabumi. Satu tempat dimana dulu saya pernah tumbuh dengan tradisi-tradisinya untuk mengikat sebuah bantalan identitas. Tradisi-tradisi yang mungkin kini tanpa sadar sudah melekat pada diri dan menjadi sebuah identitas yang berlaku ketika hidup ditengah yang lain. Kembali kerumah berarti kesempatan untuk menjalin kembali identitas yang mungkin lepas.

Pulang kembali kerumah berarti kembali ketempat yang dulu pernah akrab sejak kecil. Lekuk-lekuk jalan, jembatan, dering telpon, pintu, pohon-pohon, pos kamling, kebun, sungai, masjid, aspal yang terkelupas, semua sudah terukir di bawah sadar dan semua menyimpan ceritanya masing-masing. Sehingga ketika saya kembali, dengan sendirinya alur cerita yang dulu pernah dibuat kini menyeruak tampak hadir di pelupuk mata. Rasa, bau, cerita, hadir kembali, mengapung memenuhi rongga kepala, bak film lama yang diputar kembali.

***
Selama seminggu itu, banyak teman dan saudara-saudaraku, di Sukabumi, bertanya bagaimana tentang kabar kuliah ku di Malang saat ini. Dan untuk memuaskan rasa penasaran atau hanya untuk menjawab pertanyaan mereka, biasanya aku jawab dengan : Alhamdulillah, baik-baik saja. Cukup. Bukan jawaban basa-basi. (Saya memang tak suka basa-basi. Jika terpaksapun harus berbasa-basi ketika bertemu kawan lama, maka saya akan awali dengan pengakuan saya ingin berbasa-basi dengan kawan tersebut. Dan sebuah obrolan yang sudah disadari dari awal oleh kedua pihak bahwa obrolannya adalah obrolan basa-basi, itu bukan obrolan basa-basi menurutku).

‘Alhamdulillah, baik-baik saja’. Sudah sangat cukup menggambarkan keadaanku saat ini.
Walaupun saya sadar, kata ‘baik-baik saja’ tersebut tak selalu menempatkan diri ini pada posisi yang diinginkan atau posisi yang diimpikan. Misalnya untuk lulus.

selalu saya mencoba belajar rumus tentang posisi hidup: ketika berdiri di puncak harapan ataupun berada di dasar jurang kehidupan. Belajar bertanya bahwa rencana yang terbaik buatku belum tentu baik bagi Yang Maha Mengatur Rencana. Walaupun bukan berarti aku duduk saja atau diam saja dan ‘nrimo-nrimo’ keadaan sekarang. Bukan! Bukan berarti pula aku tak punya pendirian yang seperti debu yang bergerak ke timur jika angin bertiup dari barat.

Hanya mencoba belajar rumus tadi dengan cara membuka ruang kemungkinan, bahwa rencana yang terbaik buatku saat ini, belum tentu terbaik buat tangan yang mengatur rencana tadi. Hanya memberi ruang untuk sebuah kesadaran bahwa ada tangan yang tak terlihat yang juga mengatur jalan hidupku, yang biasanya sering tak saya sadari kehadirannya. Entah karena mimpi yang bertumpuk atau ambisi yang berkarat di hati sehingga menghilangkan kepekaannya.

Maka jawaban “Alhamdulillah, baik-baik saja” adalah ungkapan yang (menurut saya) sederhana namun tersimpan ungkapan syukur sekaligus sabar di sana. Sukur karena bertemunya harapan dengan kenyataan. Dan sabar ketika dihadapkan dengan harapan yang belum mewujud kenyataan. “Alhamdulillah, baik-baik saja” adalah upaya menjaga kesadaran agar tetap intens. Apalagi buat saya yang sebentar-sebentar tampak ringkih, sebentar-sebentar mengeluh, dan kadang kehilangan gairah perjuangan. Maka “Alhamdulillah, baik-baik saja” adalah jawaban yang tidak mengada-ngada. Dan apa adanya.

Maka kalau ada yang bertanya lagi tentang kabarku.
Maka, akan aku jawab dengan : Alhamdulillah, aku baik-baik saja. Bukan dengan jawaban Luar biasa!, Dahshat!!, seperti saran trainer-trainer motivator.



______________________________________________
owalahhhh mbang-mbang... Ditanya kabar ae ko jawabe njlimet ngono.

05 October 2008

yang terlintas

Apakah yang terlintas di benak seorang aparat pemerintah tentang rakyat??
apa yang terlintas di benaknya keika menghadiri rapat-rapat pimpinan? ketika tampil di layar kaca?

Korban tak terhindarkan? Tumbal kebijakan? Segumpal daging? Peluang usaha? Angka statistik?
Target pembodohan? Sapi perahan?

Apakah yang terlintas di benak wakil rakyat ketika bicara rakyat??
apa yang terlintas di benaknya keika sidang pembahasan undang-undang? ketika reses?

Peluang suara? Target pembodohan? Senjata kampanye? Stempel orasi? Pengerahan massa? Batu loncatan? Jalan karir? Sumber finansial?


Sekarang apa yang terlintas di benak anda ketika bicara wakil rakyat dan aparat pemerintahan??

03 October 2008

Rindu Malang

Abu Semeru yang tercurah dari langit. Debu yang turun melayang lemah, hampa dan ragu namun merebak di sudut-sudut kota.
Teman-teman yang tercerai berai mengepak sayap sendiri-sendiri menuju mimpi masing-masing. Gang-gang. Rumah-rumah.
Warung-warung malam.
Geliat hidup.
Manusia yang terpanggang jalanan yang panas dan terjerang mentari yang terik. Keringat yang mengalirr menderas tak henti bagai sungai Kali Brantas yang membelah Malang.

Bangga, sedih, kecewa, adalah Malang bagiku.
Tempat aku berjalan setapak demi setapak dalam perjalanan menjadi diri sendiri. Tempat aku sering terjatuh dan mencoba terus untuk bisa memungut pelajaran darinya.

Mengingat semua hari dan kenangan yang pernah terlalui bersama. Futsal. Berkendara malam-malam. Kampus dan komsat tempat kami tertatih-tatih belajar menerima tanggungjawab bersama, segala salah paham yang pernah mewarnai, segala kekesalan dan pengampunan yang pernah mengambil tempat dalam hidup kami adalah pelajaran seribu SKS (Sistem Kredit Semester) bagiku.

Jalan MT Haryono. Gajayana. Sumbersari. Veteran. Kerto-kerto. Toko buku. Perempatan-perempatan. Berdenyut, meruas di jalan nadiku.
Segala harap, segala rindu, segala kecewa, segala sedih, segala cinta, berdetak terkecap dalam hati.

Dan ketika senja mulai pergi hari ini di Sukabumi, entah cemas entah harap, yang membuatku teringat tentang Malang.

Tapi yang pasti aku akan kembali ke Malang.
Karena kerja belum selesai. Dan janji belum tunai.

Buat Catur, Toto, Danny, Fajar.
Yang lainnya ingin saya sebut dalam hati.

______________________________________
Kenapa ?? disaat-saat seperti ini aku teringat terus sesuatu... apa ya?? Saat berkunjung ke handai taulan. Saat ngerjakan pemetaan fishing ground ikan tuna. Saat ngitungin statistik produksi perikanan Pelabuhanratu. Saat leyeh-leyeh, saat menyusuri jalan, terus teringat aku sesuatu. Seingatku dulu aku pernah seperti ini. Pas pertama-pertama liburan kuliah dan meninggalkan Malang.

buat Suaidi

Postingan ini sebenarnya tak bertanggal hari ini. Tapi karena seminggu kemarin disibukkan dengan persiapan mudik dan mudik serta harus kerja extra, jadi seminggu kemarin bener-bener gak sempet posting apapun. Maka terposting-lah hari ini.

Hari ini sobatku ulang tahun. Suaidi Bakhtiar, 24 Tahun sekarang. Pertama kali mengenalnya sekitar tahun 2005-an. Kami cukup dekat karena kami pernah tinggal bareng satu kontrakan, Jl Gajayana no 577 b, di belakang Sardo..pernah ngerjain ini itu bareng-bareng...pernah cerita tentang petualangan bersama...

Kalem. lumayan tinggi dan besar. Lahir di Banyuwangi. Pemeluk teguh. Aktor mumpuni. Humoris. Orator ulung. Cerdas dan cermat. Pecinta buku, yang koleksi bukunya bertumpuk di lemarinya. Cita-citanya ingin punya ponpes (kalau ga berubah).

Bisa diajak bicara tentang banyak hal. Hampir semuanya... dari Agama ke sejarah ke pendidikan ke buku ke kuliner ke internet ke blog ke musik ke teater ke budaya ke kebudayaan ke film ke Indonesia ke keIndonesiaan ke perang ke manusia ke kemanusiaan ke berenang ke organisasi ke mimpi ke puisi ke cinta ke mana-mana lah... Siap dengerin unek-unek yang ga berujung. Dialah salah satu teman yang paling asyik kalau diajak diskusi, terbuka akan pendapat yang segimanapun berbedanya. Sabar dan pinter mainin ‘kartu’ nya dalam adu pendapat, tapi tetep ga kekeh dan nggak ada pretensi untuk merasa paling bener dan paling tahu apalagi sampai memonopoli kebenaran.
Tak menggurui saat memberikan arahan.

Walau kami sama-sama pecinta buku dan seni tapi kami memiliki ketertarikan dan minat yang berbeda di dua hal tersebut. Ia suka buku agama sedang saya seneng banget sama novel dan sastra. Ia suka teater dan entreupneeur saya lebih seneng (belajar) menulis dan sepak bola. Makanya, ketika saya bangga2nya karena telah hatamin buku Musashi dan Taiko-nya Eiji Yosikawa yang setebel bantal, Ia sama sekali tak terkesan. Ia lebih menghargai buku yang (walaupun tipis namun) dapat mendekatkan pembacanya kepada Allah.
Namun pada akhirnya ada juga buku yang sama-sama kami senangi : buku-bukunya Anis Matta. Tema-tema tulisan di buku-bukunya (PM A21, MPI, DGKN, Mendem, Serial Cintanya yang waktu itu masih digarap di Majalah tarbawi), sering menjadi topik pembicaraan kami di sepanjang hari bahkan mungkin terbawa disepanjang minggu. Mungkin karena kesukaan itu pula telah merubah langgam kami bicara, kerangka kami berpikir dan mungkin tercetak dalam bagaimana cara kami menulis. Entahlah.

Salah satu yang teringat lekat dalam benak tentang Mas yang satu ini adalah gaya kepememimpinannya. Salah satu gaya khas-nya memimpin teingat jika kami di komisariat UB berada dalam situasi genting dengan masalah bejibun tak tertangani.
Ia nggak banyak menyerahkan persoalan ke floor. Sebaliknya, ia datang dengan solusi jadi, dan solusi jadi itulah yang kemudian di floor kan dengan argumen sekeras baja. Bukan karena logika argumennya, tapi lebih pada cara mengemukakan argumennya itu. Seperti adigium : the medium is the message. Jadi kalau mediumnya rigid, ya orang kemudian menangkap message argumennya sebagai sesuatu yang rigid.
Beda banget sama saya. Saya ini sok-sok an demokratis dan egaliter. Biasa memulai sesuatu dari masalah. Me-list masalah, lalu, siapa yang punya solusi silahkan bicara, pengennya kelihatan demokratis gitu. Meski kalau dipikir-pikir lagi, goblok juga ngelempar masalah ke orang-orang yang tiap harinya diajar mengunyah masalah. Seperti ngelempar irisan daging ke kawanan srigala... pada berebut daging yang cuma sekerat. Ribut, riuh bukan main. Cakar sana gigit sini. Injak sana dorong sini. Daging hancur terbagi banyak. Tak ada yang benar puas.. Malah tersisa goresan-goresan luka terkena cakar dan taring. Bodoh.

Tapi, dari semua itu, yang bikin lebih kami deket satu sama lain –yang ga tahu kenapa- adalah kami terbuka satu sama lain. Nggak ada perasaan yang di kubur saat ngomong dengannya. Kalau ada sesuatu yang aku nggak suka dengan apa yang ia perbuat atau lakuin, aku akan ngomong. Di depan nya langsung, juga sebaliknya (semoga..).
Keterbukaan ini yang mungkin bikin kami deket. Dan dari semua itu, yang pasti, dari beliau ini saya belajar tentang sahabat. Bahwa menjadi seorang sahabat bukan cuma mengusahakan kenyamanan semata, namun juga saling mengingatkan akan panggilan Yang Maha .. biarpun itu mungkin berarti membawa sang sahabat ke situasi yang tak menyenangkan.

Mungkin lebih. Mungkin saya menginginkan lebih. Atau mungkin tidak sama sekali.
Selebihnya tak aku sampaikan.
Mungkin malah ada baiknya beberapa hal-hal tak terkatakan.

Ya...Hari ini ia ulang tahun, walau masih sama-sama di Malang, kami sudah jarang bertatap muka..
Tak ada yang bisa saya berikan di hari ulang tahunnya. Hanya do’a : semoga Allah terus merestui dan memudahkan setiap langkahnya. Selamanya.


Semoga terang pengertian dan pemahaman yang dari-Nya saja yang menjadi lentera kita membangun satu dua persahabatan dalam hidup yang sebentar ini.

Anda ingin lebih kenal beliau, saya saranin untuk langsung saja kunjungi blognya, di jamin deh ga rugi. Kalau pas kesana ditanya. Bilang saja disuruh Bambang tris gituhhh...


Karena momennya juga pas.
Saya ucapin juga :
Minal Aidin wal fa izin.
Taqobbalallahu minna wa minkum. Taqobbalyaa kariim.

Buat semuanya yang sering ngunjungin, iseng atau nyasar ke Blog ini.