08 October 2008

Alhamdulillah, Saya Baik-Baik Saja.

Hari ini genap satu minggu saya di rumah orang tua, di Sukabumi. Satu tempat dimana dulu saya pernah tumbuh dengan tradisi-tradisinya untuk mengikat sebuah bantalan identitas. Tradisi-tradisi yang mungkin kini tanpa sadar sudah melekat pada diri dan menjadi sebuah identitas yang berlaku ketika hidup ditengah yang lain. Kembali kerumah berarti kesempatan untuk menjalin kembali identitas yang mungkin lepas.

Pulang kembali kerumah berarti kembali ketempat yang dulu pernah akrab sejak kecil. Lekuk-lekuk jalan, jembatan, dering telpon, pintu, pohon-pohon, pos kamling, kebun, sungai, masjid, aspal yang terkelupas, semua sudah terukir di bawah sadar dan semua menyimpan ceritanya masing-masing. Sehingga ketika saya kembali, dengan sendirinya alur cerita yang dulu pernah dibuat kini menyeruak tampak hadir di pelupuk mata. Rasa, bau, cerita, hadir kembali, mengapung memenuhi rongga kepala, bak film lama yang diputar kembali.

***
Selama seminggu itu, banyak teman dan saudara-saudaraku, di Sukabumi, bertanya bagaimana tentang kabar kuliah ku di Malang saat ini. Dan untuk memuaskan rasa penasaran atau hanya untuk menjawab pertanyaan mereka, biasanya aku jawab dengan : Alhamdulillah, baik-baik saja. Cukup. Bukan jawaban basa-basi. (Saya memang tak suka basa-basi. Jika terpaksapun harus berbasa-basi ketika bertemu kawan lama, maka saya akan awali dengan pengakuan saya ingin berbasa-basi dengan kawan tersebut. Dan sebuah obrolan yang sudah disadari dari awal oleh kedua pihak bahwa obrolannya adalah obrolan basa-basi, itu bukan obrolan basa-basi menurutku).

‘Alhamdulillah, baik-baik saja’. Sudah sangat cukup menggambarkan keadaanku saat ini.
Walaupun saya sadar, kata ‘baik-baik saja’ tersebut tak selalu menempatkan diri ini pada posisi yang diinginkan atau posisi yang diimpikan. Misalnya untuk lulus.

selalu saya mencoba belajar rumus tentang posisi hidup: ketika berdiri di puncak harapan ataupun berada di dasar jurang kehidupan. Belajar bertanya bahwa rencana yang terbaik buatku belum tentu baik bagi Yang Maha Mengatur Rencana. Walaupun bukan berarti aku duduk saja atau diam saja dan ‘nrimo-nrimo’ keadaan sekarang. Bukan! Bukan berarti pula aku tak punya pendirian yang seperti debu yang bergerak ke timur jika angin bertiup dari barat.

Hanya mencoba belajar rumus tadi dengan cara membuka ruang kemungkinan, bahwa rencana yang terbaik buatku saat ini, belum tentu terbaik buat tangan yang mengatur rencana tadi. Hanya memberi ruang untuk sebuah kesadaran bahwa ada tangan yang tak terlihat yang juga mengatur jalan hidupku, yang biasanya sering tak saya sadari kehadirannya. Entah karena mimpi yang bertumpuk atau ambisi yang berkarat di hati sehingga menghilangkan kepekaannya.

Maka jawaban “Alhamdulillah, baik-baik saja” adalah ungkapan yang (menurut saya) sederhana namun tersimpan ungkapan syukur sekaligus sabar di sana. Sukur karena bertemunya harapan dengan kenyataan. Dan sabar ketika dihadapkan dengan harapan yang belum mewujud kenyataan. “Alhamdulillah, baik-baik saja” adalah upaya menjaga kesadaran agar tetap intens. Apalagi buat saya yang sebentar-sebentar tampak ringkih, sebentar-sebentar mengeluh, dan kadang kehilangan gairah perjuangan. Maka “Alhamdulillah, baik-baik saja” adalah jawaban yang tidak mengada-ngada. Dan apa adanya.

Maka kalau ada yang bertanya lagi tentang kabarku.
Maka, akan aku jawab dengan : Alhamdulillah, aku baik-baik saja. Bukan dengan jawaban Luar biasa!, Dahshat!!, seperti saran trainer-trainer motivator.



______________________________________________
owalahhhh mbang-mbang... Ditanya kabar ae ko jawabe njlimet ngono.

No comments: