19 December 2008

hujan bulan Desember

Ia duduk di kursi kecil sambil memandangi hujan bulan Desember. Di selasar kamar itu udara dingin meresap di kulitnya. Pori-pori kulitnya bergetar. Sore itu ia sendirian. Tapi kertak hujan yang menimpa atap terdengar bergantian. Tak banyak yang bisa ia lihat dari sudut tempatnya duduk saat itu. Hanya genting-genting rumah yang dimakan usia, dinding rumah bagian belakang yang dibiarkan tak terplester, berlatar sepotong gunung yang bertudung awan gelap.

Ia pandangi kembali air hujan yang jatuh. Dengarkan kembali ricik hujan. Tiba-tiba ia tersadar. Seolah ia baru mengalami saat seperti ini. Butir air yang seperti mutiara itu, irama hujan yang menyegarkan itu. Derau hujan yang sengau itu. Getar itu. Hal-hal yang sederhana namun selalu tersisih. Hal-hal yang tak selalu mendapat tempat dalam kehidupan...

Ia tersadar : Ia tak punya waktu untuk hal yang remeh temeh lagi.
Sudah tak ingat kapan ia terakhir kali menyengaja memandang hujan seperti ini. Sejak ia selalu tergesa. Sejak ia sibuk dengan hal-hal besar namun mematikan hal-hal kecil yang sederhana dalam dirinya...

Ingin ia berdiri lalu pergi ke luar memesan secangkir kopi panas di warung ujung jalan, tapi tampaknya hujan akan turun sampai ujung malam nanti.

2 comments:

P(l)ay said...

emangnya si tetehnya (baca: istrinya) gak bisa bikinin kupi kitu? mau luka bikinin? kupi luka lebih nikmat daripada kupi di warung ujung jalan itu, kupi hot special rasa garam :D

Bambang Trismawan said...

kopi sepesial rasa garam... hahaha .. apalagi ditambah satu sdt merica bubuk plus satu sdm pasir laut terakhir ditaburi sedikit kegilaan....

minumnya ditemani sepiring kewarasan jika masih ada.

++++++
si tetehnya masih dicari... udh beberapa hari ni ilang.. terakhir liat keselip dirak buku...