05 October 2010

pidato sang penguasa kota

Suatu pagi, tergesa-gesa sang penguasa kota keluar dari istananya. Ia perintahkan para pengawalnya untuk segera mengumpulkan rakyatnya di alun-alun kota.

”Kumpulkan semua rakyatku di alun-alun jam sepuluh nanti,” titahnya.

Di alun-alun, sang penguasa kota naik ke atas mimbar. Ia tanggalkan mahkota dan baju kebesaran yang biasa ia pakai sehari-hari.
Di atas mimbar ia kuatkan agar bisa berdiri tegak menghadap rakyatnya. Namun, kali ini wajahnya sayu, tak ada lagi kelicikan dikilatan matanya. Tatapnya meredup melemah. Wajahnya pucat seperti wajah manusia di altar pengakuan dosa.

“Saudara-saudara..”
”Rakyatku semuanya..,”
Lantang suaranya menyapa lautan manusia yang berkumpul di lapangan.
Tiba-tiba suara riuh lautan manusia diam.

Kemudian dengan lancar sang penguasa berbicara:

Saudaraku,
Hari ini, kota kita hampir sempurna terkoyak-koyak.
Gedung-gedung kita terendam air banjir
Jalanan kita macet bukan main
Tawuran hampir di setiap kampung
Sampah kita menggunung
Jalan rusak bertambah tiap hari sementara jalan baru tak rampung-rampung
Sementara korupsi tak terbendung

Sadaraku, berpuluh tahun yang lalu aku berdiri persis di sini. Di hadapan kalian semua. Waktu itu, Aku mengaku sebagai ahli. Ahli dari segala ahli. Lalu aku berjanji bahwa aku bisa membenahi semrawut kota yang tercinta ini.
Akan memperbaiki semua yang rusak.

Namun, hari ini. Kalian pasti lebih teliti dengan apa yang aku capai hari ini. Karena memang tak ada kemajuan dari kota ini yang aku perbaiki, meski satu inci.
Aku Gagal sepenuh-penuhnya gagal..

Sekarang mesti aku akui. Aku memang bukan ahlinya
Keahlian saya sama seperti keahlian kalian semua
menghabiskan uang untuk bersenang-senang.

Jadi, sekarang tergantung kalian. Kalian lah hakimku hari ini. Nasibku penuh di tangan kalian.

Begitu pidato Sang Penguasa. Tidak seperti biasa yang berkhutbah panjang dan bersilat lidah mengelak tudingan.
wajah Sang Penguasa kota terlihat pasrah. Tak ada lagi yang bisa dilakukan, menyerah bahkan bila harus di amuk.

Namun anehnya tak ada yang protes. Tak ada yang teriak rakyatnya diam memaklumi.

Lalu terdengar bisik di ujung lapangan. Lalu riuh bisik-bisik bergeser ke tengah, ke samping ke seluruh lautan manusia di lapangan. Dari belakang sayup-sayup terdengar teriakan.
Lalu lantang menggema di lapangan serempak mereka bersepakat memberikan restu.
Satu restu:
”Lanjutkan..”
”Lanjutkan...!!”

Manusia berputar mengelilingi podium, sambil melafalkan mantra

Lanjutkan..
Lanjutkan...!!
ram ram ra ra ra ram
ca ca caca ra ram