30 June 2010

Tak Ada Puisi Di Jakarta

Jika disuruh memilih tempat kerja. Saya pastinya tidak akan memilih Jakarta sebagai tempat kerja. Malang pasti jadi prioritas, selanjutnya mungkin Jogja. Surabaya masih mungkin, tapi tidak Jakarta. Jakarta tak pernah benar-benar saya rencanakan.

Tapi ujian hidup kadang adalah hal yang paling dekat dengan apa yang diinginkan atau tidak diinginkan seseorang. Misalnya saja, Ibu saya adalah orang yang benci sama wartawan. Saya pun memaklumi kebenciannya. Meskipun yang ia benci adalah wartawan amplop. Wartawan yang datang ke rumah-rumah atau kantor hanya untuk minta disangoni. Tapi anggapan ibu saya terlanjur digeneralisir: Semua wartawan sama saja. Ia pun benci. Tapi, kini justru anaknya yang menjadi batu ujian hidupnya: anaknya seorang jurnalis.

Manusia memang hanya bisa berencana, sedang tak ada kuasa apa-apa untuk memutuskan hasilnya.

Kenapa saya tak berniat kerja di Jakarta?
Banyak alasan yang bisa saya masukkan dalam daftar tersebut. Mulai dari cuaca, keamanan, biaya hidup sampai ancaman banjir dan lain sebagainya dan lain sebagainya. Tapi kiranya yang paling menjadi urutan nomor satu adalah karena saya menganggap Tak Ada Puisi di Jakarta.

Tak ada puisi di Jakarta.
Itu kesimpulan pertama yang saya alami ketika beberapa kali mengunjungi ibu kota dan kemudian menjadi keyakinan. Manusia yang selalu tergesa, terdera jadwal kehidupan yang ketat. Terburu-buru nyaris monoton. Beton, gedung hanya menjanji beku tak bersahabat. Kursi besi halte yang mengkilat menawarkan sepi. Tiap hari terjadwalagendakan pasti. Hilang sudah keterkejutan. Di Jakarta lah kiranya tempat yang tepat untuk mengasingkan diri dari diri sendiri.

Untunglah manusia mempunyai kemampuan untuk beradapatasi. Untuk menyesuaikan diri. Seperti selalu ada kemungkinan untuk mengeraskan kulit ari. Tapi kulit ari yang keras kadang kehilangan sensitifitasnya jika tidak dilatih.

***
Tiga hari yang lalu saya sengaja menatap mentari senja. Saya baru sadar kalau dari atas sini senja bisa begitu indah dinikmati. Hampir tiap hari saya di ruangan ini namun baru saya sadari hari itu. Dari lantai sembilan, matahari terbenam adalah bukan sesuatu yang sulit ditemui.

Saat menatap senja itu. Lama-lama. Lekatlekat. Hati saya bergumam, betapa hal-hal yang kecil bisa membangkitkan kenangan-kenangan besar dalam dirimu. Saya ingat Malang, ingat rumah, dan perjalanan hidup.

Tiba-tiba seorang teman kerja menghampiri. Heran tampaknya melihat saya bengong.
"Ngapain lo?," katanya.
"Bengong ajah kayak gak ada kerjaan?," vonisnya .
Aih... Jakarta. pikir saya.
Untunglah teman saya kemudian melanjutkan sebuah pertanyaan yang merubah pandangan saya itu.
“Udah makan belum lo? makan yuk!”

Singkat dan sederhana. Hanya bertanya sudah makan apa belum.
Tapi mungkin inilah cara sederhana orang Jakarta dan mungkin orang lain diseluruh jagad untuk mengekspresikan afeksi di dera putar hidup yang ketat. Sekedar bertanya “udah makan belum? Makan bareng yuk!”

Entahlah. Mungkin saya saja yang sedang ke-ge-er-an.

3 comments:

erikmarangga said...

love it!!

tapi menurut saya Bang, pikiran saya adalah puisi. ketika saya menerawang di keramaian penumpang busway, pikiran asya berpuisi. menatap ruapan cokelat cappuccino dalam gelas ketika di coffee shop, itu puisi yang indah buat saya:)

kawanlama95 said...

ya dimanapun kita tinggal yang jelas kampung halaman kita itu di akherat.

mbah jiwo said...

kehilangan puisi...lebih parah lagi, kehilangan para pujangga...weleh weleh!!