16 January 2010

Gus Dur - Eulogi



Ini jelas tulisan yang terlambat.

Sudah lebih dari dua minggu yang lalu Gus Dur meninggal. Dan seperti seorang tokoh besar lainnya, hampir setiap hari, selama sepuluh hari, saya dapatkan tulisan tentang beliau terpajang di kolom opini di koran yang saya baca.

Sesaat setelah beliau meninggal, hal pertama terlintas dalam pikiran saya adalah akan menulis apa tentang beliau. Pertanyaan yang sulit, mengingat saya tak pernah bertemu dan perkenalan secara langsung yang melibatkan emosi dengan beliau. Begitupun dengan buku-buku karya beliau yang mengupas tentang ke-Islaman. Menuliskannya menjadi tak mudah, apalagi hampir setiap sisi kehidupan beliau sudah diceritakan, baik oleh orang-orang yang dekat dengan beliau maupun bukan.

Baru kemudian saya ingat, hal yang pertama kali mengaitkan beliau dalam hidup saya adalah salah satu buku karya beliau yang saya miliki sejak saya masih duduk di bangku SMP: Buku Humor. Tentu saja, mungkin karena itu pula saya kemudian lebih mengenal Gus Dur sebagai tukang humor dibanding sebagai seorang tukang presiden atau apapun. Bagi saya, beliaulah seorang yang memiliki pemahaman agama yang dalam, sekaligus memliki cadangan joke yang sepertinya tak pernah habis.

Menjadikannya seorang presiden tak merubah banyak hal pada kehidupan beliau. Lemparan joke nya masih terus mengalir di pertemuan-pertemuan. Begitupun kedekatan dan keakrabannya dengan rakyat. Hal yang saya ingat adalah bagaimana cara beliau memikirkan hal serius dengan gaya yang santai. kedekatan dan keakrabannya itu pula yang mungkin melatari acara Secangkir Kopi Bersama Gus Dur yang dulu pernah disiarkan di TVRI walaupun tak berjalan lama. saya suka.

Banyak orang menyebut Gus Dur sebagai kiayi nyeleneh. Saya setuju. Karena kata lain dari nyeleneh bagi saya adalah menunjukan sifat kecerdasan. Sayangnya, bagi kebanyakan orang, seorang dengan kenyelenehan seperti beliau menjadi aneh jika kemudian duduk di kursi kekuasaan yang sepertinya menuntut keseriusan, dahi berkerut, penuh aturan dan protokoler. Apalagi setelah sekian lama rakyat Indonesia dibekap dalam rezim Soeharto yang tak pandai bercanda.

***
Suatu kali, Agus Noor, dalam pegantar salah satu bukunya, pernah menyampaikan: jika saya menjadi presiden hal pertam kali saya lakukan adalah merubah nama Jalan-jalan tentara dengan nama-nama pelawak. A. Yani menjadi Asmuni…

Lucu. Saya terbahak ketika membacanya. Namun kemudian saya berpikir bagaiamana jika itu benar terjadi. Apakah dengan begitu juga pelawak-pelawak akan dijadikan seorang pahlawan. Tentu bukan itu kiranya maksud Agus Noor. Mungkin ia hanya menyindir kebiasaan bangsa ini yang selalu meremehkan jasa orang-orang disekitarnya. Bahkan terhadap urusan tertawa sekalipun. Atau Agus Noor mengingatkan kepada kita bahwa pahlawan tidak harus ia yang berpangkat jenderal atau bergelar raja. Pahlawan bisa juga seorang kiayi yang sederhana namun senantiasa berbuat danyang terbaik untuk bangsanya. Entahlah.

Terlepas dari semua itu, Gus Dur mengingatkan bahwa kita pernah juga punya pemimpin yang juga bisa ngelucu. Memikirkan dan menyelesaikan masalah serius dengan gaya yang ringan: “Gituh ajah ko repot”. Beliau tidak selalu benar, sebagai mana yang kemudian saya pahami. Tapi toh pada akhirnya ia juga adalah anak bangsa.

Bagi Gus Dur sendiri, mungkin tak penting benar apakah ia kemudian di kenal sebagai pahlawan atau tidak. Di makamkan dengan upacara militer yang penuh protokoler atau dengan iringan lafalan tahlil yang menggema. Toh, pada akhirnya pikirannya sudah mengalir di nadi bangsa ini.

Hanya yang hidup kemudian yang menentukan apa arti jasa-jasa beliau.

Selamat jalan, Gus.
Damai kau di sana.
Kiranya sekarang kau tak direpoti lagi dengan masalah-masalah kami.

No comments: